12. Pelaku

Dinda duduk di sofa, memperhatikan Yessy sibuk mengutak-atik komputer bersama Agatha. Setelah diberitahu Agatha kalau lokasi pengebom jika digaris membentuk segitiga, Yessy mendadak bersemangat. Ia melesat ke mejanya, mengetik di sana, mulai meretas lagi, sekaligus memperhatikan lokasi tempat tiga titik yang tadi Agatha temukan. Namun, titik-titik itu telah berubah tempat, membuat Agatha dan Dinda kesulitan untuk mengingat-ingat di mana letaknya sebelumnya.

"Kurasa di sini," kata Agatha sambil menunjuk ke komputer. Yessy menekan mouse-nya dan sebuah gambar muncul di layar.

"Gedung Putih?" tanya Yessy sedikit kaget. Agatha juga demikian.

"Lokasi pengebom yang bisa membelah diri itu rupanya di Gedung Putih," sambung Yessy sambil mengetik lagi di papan keyboard-nya.

Gedung Putih adalah istana kepresidenan Amerika Serikat. Gedung itu juga merupakan kediaman resmi presiden beserta keluarganya selama dijabat sebagai presiden, dan cukup aneh sekaligus mengerikan ada pengebom di sana.

"Apakah dia pengawal presiden?" tanya Agatha.

"Biar kuretas dulu kamera pengawas." Menjawab, Yessy sibuk mengutak-atik komputernya dengan mata sedikit-sedikit menatap keyboard dan sedikit-sedikit menatap layar.

Agatha mengendikkan bahu. Ia menoleh kepada Dinda yang menatapnya dengan mata melebar.

"Bagaimana?" tanyanya.

"Salah satu dari 3 titik itu tadi pagi berada di Gedung Putih," jawab Agatha.

"Sekarang, titik-titik itu berada di .... Tunggu dulu!" Yessy mengerutkan dahi. "Titik ini bergerak." Ia menunjuk ke sebuah titik yang bergerak.

Agatha menoleh lagi ke komputer, sedangkan Dinda bangkit dan memperhatikan peta yang tergambar di layar komputer lain.

"Lokasinya dekat dengan InterContinental Willard, hotel bintang lima yang dekat dengan Gedung Putih." Tak jadi meretas CCTV rumah presiden Amerika Serikat, Yessy meretas CCTV hotel mewah. "Kita akan mengetahui satu dari tiga pelaku itu," kata Yessy sambil menyeringai, sangat menakutkan.

Dinda bergidik melihat senyumannya yang terpantul di layar komputer. Mengerikan, dan entah kenapa setiap orang pendiam tersenyum mereka pasti lebih menakutkan dari penjahat.

Beberapa saat kemudian, Yessy berhasil meretas kamera pengawas. Di peta, titik tadi sudah berada di dalam hotel. Itu berarti pelakunya sudah ada di sana.

"CCTV satu, dua, tiga, empat ... lima puluh CCTV," kata Yessy, berdecak kecil, "Hotel ini benar-benar menjaga ketat keamanannya."

Agatha dan Dinda takjub melihat komputer Yessy, penuh dengan 50 CCTV hotel yang lengkap menampilkan pergerakan para penghuninya.

"Apakah tidak masalah meretas kamera pengawas sebanyak itu?" tanya Dinda, "Bagaimana nanti pihak pengaman hotel panik karena CCTV diretas?"

Sesuai pengalaman Dinda, CCTV yang diretas di suatu tempat dan pada saat itu rekamannya tergambar di komputer atau televisi pengelola CCTV, akan langsung mati dan meninggalkan gambar 'perang semut'-jika di televisi, dan gambarnya mirip dengan televisi yang tidak mendapat sinyal lewat antena. Jika hanya di komputer, mungkin sedikit glitch, lalu perlahan mati sampai CCTV selesai diretas. Dan Dinda pernah melihatnya langsung.

"Itu tidak akan terjadi," jawab Yessy, "Retasanku tidak akan menghasilkan efek apapun dengan pengelola CCTV. Tenang saja."

Dinda menghela napas lega.

"Kalau begitu, lanjutkan!" perintah Agatha yang sudah penasaran siapa pelaku itu.

"Ngomong-ngomong tentang titik, kenapa dua titik lain mengikuti titik yang di hotel? Maksudku, lihat! Titik ini bergerak ke hotel, dan dua titik lainnya mengikuti, tapi tetap menjaga jarak sehingga jika ketiga titik itu digaris, bentuknya tetap segitiga sama sisi," tanya Dinda, mengerutkan dahi melihat peta digital dengan tiga titik yang tetap berbentuk segitiga jika digaris. "Seakan-akan, titik yang di hotel menggerakkan mereka."

Agatha yang mendengarnya mengernyit, lalu beralih dari komputer Yessy ke komputer tempat titik-titik itu tergambar.

"Kau benar. Kenapa bisa bergerak bersamaan?" Agatha melebarkan mata.

"Ada yang aneh," gumam Yessy, "Dia masuk ke lift, tapi tidak keluar. Ke mana dia?" tanyanya pelan.

"'Dia'? 'Dia' siapa?" Agatha sontak menoleh lagi ke komputer Yessy. Yessy memutar rekamannya mundur 10 detik, melambatkannya, dan menunjuk ke arah seorang lelaki tegap berjas yang masuk ke lift.

"Titik itu adalah dia," kata Yessy, "Gordon Brown."

"Go-Gordon? Mantan wakil walikota New York yang dikenal karena korupsi terbesar di benua Amerika akibat perbuatannya?" tanya Dinda, tidak percaya, dalam satu hentakan napas.

Yessy hanya mengangguk.

"Gila! Apakah dia pelaku pengeboman masjid itu!?" teriak Agatha, berang.

Yessy mengangguk lagi.

"Tidak kusangka," kata Dinda, sangat kaget. Pasalnya, Gordon adalah orang pertama yang membentuk IIS. Namanya dikenal di mana-mana. Namun, semuanya tak berlangsung lama setelah dia dipecat menjadi wakil walikota akibat korupsi besar-besaran yang melibatkan sangat banyak pejabat. Mulai saat itu, namanya dilupakan, dan siapa sangka karena itu dia mengebom Islamic Center.

"Coba lihat! Dia tidak keluar dari lift setelah masuk. Sampai dua menit lamanya." Yessy membuang napas. "Apa yang dilakukannya?"

Sampai sepuluh menit Yessy, Dinda, dan Agatha menunggu, barulah pria itu keluar dari lift dengan langkah santai, di lantai satu.

"Sialan!" umpat Yessy, "Sepuluh menit kita menunggu dan ternyata pria itu tidak beranjak naik ataupun turun. Malah keluar juga di lantai satu."

"Apa maunya?" tanya Agatha yang ikut-ikutan kesal. Kakinya sudah lelah berdiri, tetapi dipaksa untuk tegak karena menunggu Gordon keluar. Dan hasilnya pria itu tidak ke mana-mana.

"Kita biarkan dulu Gordon. Masih ada 2 titik yang harus kita selidiki," sahut Dinda, "Dari sini saja pria itu sudah mencurigakan. Kita harus selalu mengecek lokasinya."

Yessy dan Agatha mengangguk, setuju dengan usul Dinda.

"Baiklah, aku akan menyelidiki dua titik ...."

Yessy berhenti meretas CCTV, tetapi saat kembali ke peta, 2 titik tadi menghilang.

"Di mana dua titik itu!?" Yessy mengutak-atik komputernya, mencari keberadaan dua titik yang masih harus diselidikinya itu.

"Menghilang," kata Yessy, pelan, setelah tidak dapat menemukan lagi titik-titik itu. Dinda dan Agatha menoleh kepadanya dengan ekspresi kaget.

"Dua titik itu menghilang." Yessy menunduk sambil berpikir. Dinda dan Agatha menoleh lagi ke arah komputer, di mana hanya ada satu titik di sana.

"Tiga titik tadi hanya untuk pengalihan. Seseorang di balik semua ini sengaja memasang tiga titik dengan satu dipasang kepada Gordon. Agar siapapun yang tahu bingung siapa pelaku sebenarnya. Karena itulah saat Gordon bergerak, titik-titik itu juga bergerak." Yessy menarik kesimpulan. "Pertanyaannya, bagaimana bisa seseorang itu tahu kalau ada yang melihat tiga titik itu? Dia pasti menghapusnya setelah kita tahu siapa pelaku sebenarnya. Namun, bagaimana bisa dia tahu? Tidak mungkin komputerku disadap."

Yessy memeriksa komputernya, memastikan tidak ada penyadap di sana. Dan juga memeriksa sistem, takut komputernya sudah diretas.

Yessy menghempaskan diri ke atas kursi. Pikirannya berperang sengit karena hal tadi.

"Beristirahatlah! Kurasa ini sudah cukup," suruh Agatha, kasihan melihat Yessy terduduk lemas setelah beberapa waktu duduk di depan komputer dengan tangan yang tak henti-hentinya bergerak.

Yessy mengangguk. Agatha pun mengajak Dinda untuk menjauhinya, membiarkan Yessy beristirahat. Dinda langsung pergi ke sofa dan duduk lagi di sana. Agatha juga demikian, sambil menghela napas dan memijit pelan pelipisnya.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara Nadia dari luar. Dia sudah datang dari berbelanjanya, setelah beberapa jam yang lalu pergi bersama Dervin, Raven, dan James.

"Kami pulang!" serunya sambil membuka pintu. Ia langsung melesat ke ruang tamu untuk meletakkan beberapa cemilan di atas meja.

Dervin dan Raven hanya mengikutinya. Mereka tampak kelelahan karena mengikuti Nadia berbelanja.

"Aku beli ini, ini, ini, dan ini." Nadia mengeluarkan cemilan dalam sebungkus plastik besar yang ada di tangannya, sekaligus memperlihatkannya.

Agatha tersenyum. "Kau benar-benar tahu apa yang sedang kami butuhkan sekarang, Nadia," katanya.

Nadia mengangkat dua ujung bibirnya. Tersenyum manis.

"Ini terlalu banyak. Kenapa kau mengeluarkan uangmu untuk ini?" tanya Dinda sambil meraih sebungkus cemilan berisikan biskuit, "Kami tidak bisa menghabiskannya."

"Kau, kecuali kami," sahut Nadia, "Lagipula, stock cemilan sudah habis. Jadi, aku membelinya lagi."

"Well, walaupun begitu aku dan Kak Raven sangat kelelahan." Dervin berjalan gontai ke arah sofa, lalu duduk di samping Dinda. "Dia mondar-mandir di minimarket. Kami terpaksa mengikutinya agar tidak ada kejadian apa-apa."

Nadia terkekeh, tak merasa bersalah. Raven dan Dervin mendengus mendengar kekehannya.

"Kalau begitu, istirahatlah di pundakku," kata Dinda sambil menepuk bahunya, "Aku akan menyuapimu biskuit ini," sambungnya sembari mengarahkan biskuit itu ke mulut Dervin.

Dervin tersenyum kecil. Ia menyandarkan kepalanya di pundak kakaknya, lalu melahap biskuit yang kakaknya sodorkan kepadanya.

"Kurasa kalian tidak cocok menjadi adik-kakak. Kalian lebih terlihat seperti pasangan seperti itu," kata James yang baru saja masuk ke ruang keluarga. Yessy segera bangkit mendengar suaranya, menghampirinya, dan menciumnya.

"Tidak, kami tetap adik-kakak walaupun gayanya seperti pasangan. Benar 'kan, Kak Dinda?" sahut Dervin sambil menurunkan kepalanya untuk berbaring di paha Dinda.

"Dasar!" Dinda terkekeh kecil mendengar sahutan Dervin. "Cepat habiskan biskuit di dalam mulutmu itu!"

"Baiklah," kata Dervin, melagukan ucapannya.

Semua orang sontak tertawa. Mereka lalu bersama-sama duduk di ruang keluarga dan menikmati cemilan masing-masing.

~~~

"Gadis yang begitu pintar."

"Namun, dia tidak sepintar diriku."

Seorang pria berperawakan tinggi dengan tubuh kekarnya tertawa di atas kursinya. Rambutnya yang botak di tengah, wajah yang keriput, menunjukkan ciri khas seorang wakil walikota tua yang telah dipecat karena tindak kriminalnya.

"Mereka telah mengetahui keberadaan Anda. Apakah Anda tidak cemas dengan itu?" tanya seorang gadis di depan mejanya, berdiri pakaian serba merah. Lipstik merah di bibirnya melengkung ke bawah, menunjukkan ekspresi cemas pemiliknya.

"Tidak, Sayang," kata Gordon Brown, pria tadi, "Mereka tidak akan berani macam-macam, dan seandainya berani, teman muslimah dan adiknya itulah yang akan menjadi imbasnya," lanjutnya.

Gadis itu tanpa sadar tersenyum. "Anda benar. Kalau begitu, apa perintahnya sekarang?"

Gordon membuang napas perlahan, lalu menyodorkan sebuah kertas kepadanya, di bawah lampu ruangan yang hanya itu satu-satunya lampu yang menyala.

Gadis itu mengambilnya, lalu membacanya, dan terkekeh setelahnya.

"Perintah yang bagus. Aku akan menjalankannya dengan timku," kata gadis itu.

"Kalau begitu, pergilah! Aku ingin melanjutkan acara minum-minumku lagi," suruhnya sambil mengibaskan tangan. Gadis itu mengangguk patuh, lalu berbalik dan berjalan ke luar sambil membawa kertas itu.

"Oh, ya, Bella." Pria itu menginterupsi pergerakannya. "Jangan sampai ketahuan," pesannya.

Gadis berambut coklat itu mengangguk, sebelum melanjutkan perjalanannya kembali.

~~~

Hola!:D

Nothing.

Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Sampai jumpa di part selanjutnya!!! ^O^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top