11. Anak Jalang

"Kakak! Kakak! Ayo, bangun!"

Dervin menarik tangan Dinda untuk bangun. Lelaki itu sudah mandi dan rapi dengan rambut disisir menyamping. Karena bangun jam 1 pagi, Dinda tidak sadar ketiduran. Dinda hanya mengerang malas dan menarik tangannya kembali.

"5 menit," sahut Dinda, serak.

"Nanti kebablasan sampai 5 jam bagaimana?" Dervin mengambil kembali tangan Dinda dan menariknya.

"Sungguh, 5 menit saja," jawab Dinda. Dervin berhenti menariknya.

"Baiklah, hanya 5 menit," katanya, "Jika lewat dari itu, aku akan mengguyurmu dengan air dingin." Dinda mengangguk pelan sambil memeluk bantalnya.

Dervin membuang napas. Ia pun berbalik dan keluar, walaupun sempat melirik Dinda yang masih mendengkur.

Namun, bukan Dervin namanya jika tidak membangunkan orang sampai bangun. Dia akan memakai segala cara, tidak peduli akan dimarahi ujung-ujungnya.

Dinda mulai masuk ke dalam mimpinya lagi. Kasur yang nyaman dan udara yang sejuk membuat gravitasi terasa menguat. Mengakibatkan Dinda tak ingin beranjak atau bergerak. Ia hanya ingin memeluk bantal dan bersembunyi di dalam selimut, menghindari cahaya matahari yang masuk lewat jendela yang sengaja Dervin buka.

Suhu dingin udara sontak menurun drastis saat wajah Dinda diguyur air. Dinda sontak bangun dengan jantung nyaris copot karena terlalu cepat berdetak. Wajah, jilbab, baju, dan kasur yang ada di bawahnya basah. Dinda menoleh ke biang kerok-Dervin yang menahan dirinya untuk tertawa sambil memegang sebuah gayung.

"DERVIN SANTASA!!!"

Agatha dan yang lain, yang bersiap untuk sarapan di ruang makan kaget mendengar teriakan Dinda. Beberapa saat kemudian, suara gemuruh dari kamar adiknya terdengar disertai suara kaki menapak sedang berlari.

Dervin sampai ke ruang makan dan bersembunyi di belakang Agatha yang hendak duduk. Dinda datang dengan senter di tangannya, ingin memukul lelaki itu akibat ulahnya yang membuat kepalanya berdenyut sakit akibat bangun mendadak.

"Kak Agatha, tolong aku!" pinta Dervin yang sempat-sempatnya tertawa.

"Serahkan dia! Aku ingin memukulnya," kata Dinda, berang.

"Hei, ada apa ini?" tanya Agatha yang bingung.

"Hore! Kejar-kejaran!" seru Nadia, senang.

"Calm down, Dinda" James menenangkan Dinda yang berusaha memukul Dervin, tetapi tak bisa karena lelaki itu lihai bersembunyi di belakang Agatha.

"Calm down ndasmu!" Logat Jawa Dinda keluar karena kesal. James yang tidak mengerti hanya mengernyit.

"Hentikan!" perintah Agatha yang bosan tubuhnya digoyang-goyangkan Dervin.

Dervin berhenti, segera mematuhinya, sedangkan Dinda langsung menghampirinya dan memukul pelan kepalanya dengan senter.

Dervin mengaduh. Walaupun dirinya lebih tinggi dari Dinda, tetapi Dinda bisa menggapai kepalanya.

"Rasakan itu!" Dervin terkekeh kecil mendengar perkataan Dinda. "Habis bajuku basah karenamu!" omel Dinda.

"Maaf," pinta Dervin sambil menyatukan kedua telapak tangannya, memohon dengan mata memelas, tetapi hati Dinda tidak akan luluh karena itu.

"Tidak ada maaf," sahut Dinda, ketus. "Kau harus mendapatkan balasan."

Dinda meletakkan senter ke atas meja dan menggelitiki Dervin. Dervin tak dapat menahan tawa, kegelian, dan mau tidak mau harus berlari lagi untuk menghindarinya.

"Dervin! Dinda! Sudahlah! Ayo, makan!" teriak Agatha.

"Nanti!" jawab mereka berdua, serempak. Agatha berdecak kecil, merasa lucu mendengar sahutan mereka.

"Mereka makin akrab dalam waktu yang singkat," kata Raven, setelah sekian lama diam memperhatikan mereka. Agatha meliriknya, tersenyum tipis.

"Baru tahu?" tanyanya. Raven berdehem, mengiyakan.

Raven memang begitu. Sama dengan Yessy, tidak banyak bicara dan jika sudah bicara sekali, dia akan diam lagi.

"Kuharap ini tidak berakhir," kata Nadia tiba-tiba, tersenyum melihat ke arah tempat mereka menghilang.

Agatha menunduk. "Semoga. Dinda pasti sedang merindukan teman-temannya, dan dia akan membujuk Dervin untuk pulang bersamanya," ucapnya murung. Agatha sebenarnya sudah lama mengenal Dinda. Sejak dulu memata-matainya karena kartu keluarga Dervin hasil retasan Yessy yang membuatnya tahu siapa intelijen rahasia yang sebenarnya musuhnya itu.

Semua orang tiba-tiba menjadi sedih. Bagaimana tidak? Dervin adalah lelaki termuda di tempat mereka, dan mereka sudah menganggapnya seperti adik sendiri.

"Ngomong-ngomong, tadi malam aku mendengar desahan." Agatha mengubah topik saat tahu semua temannya bersedih akibat ucapannya. Yessy dan James seketika pucat, sedangkan Nadia melebarkan mata dan Raven mendatarkan wajah, tahu siapa pembuat desahan itu. Desahan itu saja pertamanya ada di kamarnya.

"Dua orang di antara kita bercumbu panas di pintu depan," sambung Agatha sambil membalik badan, bersiap untuk duduk, "Ada yang tahu siapa?"

"Biar aku menebaknya!" Nadia menyahut. "Raven dan jalangnya?"

Agatha tertawa kecil, sedangkan Raven melotot dan menatap tajam Nadia, tidak terima dengan tuduhannya.

"Bukan," kata Agatha, sambil melirik James, "Kau tahu siapa, James?"

James membuang napas putus asa. "Baiklah, itu aku dan Yessy. Maaf jika aku tidak memberitahumu, Agatha. Kami saling mencintai sejak lama dan baru mengatakannya tadi malam, saat sedang mabuk."

Agatha tersenyum kecil. "Senang mendengar kalian mengaku," sahutnya.

"K-Kau tidak marah?" tanya Yessy. Ia takut dimarahi oleh Agatha karena mencintai James, karena dulunya Agatha yang pertama kali mencintainya, sebelum sebuah tamparan melayang ke pipinya dan mengakhiri hubungannya.

Agatha mengernyit. "Marah? Tidak. Aku malah senang Yessy menemukan pasangan yang cocok," jawab Agatha, "Tapi, bisakah kalian tidak mendesah saat bercinta? Kasihan aku dan Raven yang masih sendirian." James dan Yessy tertawa.

"Baiklah, kami tidak akan mengulanginya," sahut James. Agatha tersenyum kecil, dan tepat saat itu, Dervin datang sambil menggendong Dinda.

"Sudah selesai kejar-kejarannya?" tanya Agatha. Dervin mengangguk lelah, lalu menurunkan Dinda yang mengacak-acak rambutnya.

"Dia ... sangat ... gesit," kata Dervin sambil menunjuk kakaknya dan mengatur napasnya yang tersengal.

"Aku bukan intelijen jika tidak gesit," sahut Dinda. Dervin mengipas-ipas tangannya tidak peduli sambil berjalan ke meja makan.

Dinda dan yang lain tertawa kecil melihatnya. Dinda lalu pergi untuk mandi dan beberapa menit setelahnya, makan pagi bersama mereka.

~~~

Pagi yang cerah. Semua pegawai ramai di tempat parkir, berjalan memasuki gedung kantor IIS. Wajah mereka terlihat ceria dan cerah. Terkecuali Peregryne, yang masing-masing memasang wajah datar karena malas pergi ke kantor.

"Untuk pertama kalinya, aku bosan ke tempat kerja," kata Kimberly. Biasanya, dia yang menghidupkan suasana bersama Dinda ataupun Xin sebelum masuk ke kantor.

Tidak ada yang menyahut perkataannya. Mereka sama dan tidak ingin menanggapi lebih banyak.

Setelah masuk, mereka pergi ke lift. Namun, di tengah perjalanan, Maxim menghampiri mereka.

"Dinda belum ditemukan?" tanyanya dengan suara beratnya yang khas. Leo mendengkus, lalu mengangguk.

"Kuharap anak itu segera ditemukan. Aku merindukan derap kakinya saat pergi ke luar untuk ke masjid," sahut Maxim.

Leo dan yang lain tersenyum. "Terima kasih doanya, Pak."

Maxim mengelus bahu Leo, memberinya semangat. Leo hanya menepuk punggung tangannya, berterima kasih kembali karena telah menyemangatinya.

Maxim pun menyingkir, Leo dan yang lain pamit untuk pergi.

"Pria itu merindukan Dinda," kata Xin setelah jauh, "Itu lucu sekaligus menyedihkan."

Yang lain terkekeh kecil. Mereka baru saja ingin mengatakan demikian.

"4 tahun di IIS, setiap hari keluar dari kantor saat jam istirahat, tentu saja Pak Maxim merindukan Dinda," sahut Franklin, "Walaupun berhalangan untuk beribadah, Dinda pasti mendatanginya walaupun hanya sekedar menyapanya."

Yang lain mengiyakan perkataannya. Mereka diam sejenak menunggu pintu lift terbuka karena sebelumnya Leo menekan tombol dengan tanda panah ke atas di samping pintu.

Mereka ingin melangkah masuk ke dalam lift setelah pintunya terbuka. Tetapi berhenti, karena sebuah tim yang merupakan musuh mereka berada di dalam sambil tersenyum miring.

"Ah, Leodan," sapa Bella Porchia, "Hai, dude!"

"Aku sibuk. Kita akan berbincang lain waktu." Leo tidak membalas sapaannya.

"Untuk apa buru-buru?" tanya Bella sambil keluar dari lift bersama rekan-rekannya, menghadang mereka masuk, "Oh, aku tahu. Mencari Anak Jalang itu lagi?"

"Hei, jaga mulutmu!" Franklin maju untuk memukul gadis itu, tetapi ditahan. "Sebelum aku merobeknya."

Bella terkekeh meremehkan. "Coba saja jika kau ingin dipecat," sahutnya, "Anak Jalang itu memang pantas untuk diculik."

"Diam kau, Jalang!" Kimberly ikut-ikutan emosi.

"Kau yang diam," sahut Bella, "Tim kalian adalah tim payah jika ada dia di sana."

"Payah?" Leo mengernyit meremehkan. "Hei, apakah kau lupa dengan misi Master-mu yang mengajak kami untuk terlibat?"

Wajah Bella memerah. Ia memendam kata-kata kasar yang ingin dilontarkannya mengingat semua orang sedang memperhatikannya sekarang-dan juga Leo.

"Sudahlah, berbicara dengan kalian tidak ada gunanya." Bella mengipaskan tangannya ke wajah Leo yang lebih rendah darinya. "Sampai jumpa, Payah."

Leo tidak menjawab. Tim Bella pun pergi sambil menatap remeh mereka sejenak.

"Jalang itu benar-benar sangat ingin kumusnahkan!" kata Kimberly, ingin menghampiri Bella yang berjalan menjauh agar dapat melampiaskan permainan fisiknya. Namun, Xin segera menarik kerah baju belakangnya dan menariknya masuk ke dalam lift.

"Jangan urus dia! Kita urus saja pekerjaan kita," kata Leo kepada teman-temannya. Mereka mengangguk sambil merasakan lift naik ke atas.

Beberapa saat kemudian, mereka sampai ke lantai tempat ruangan mereka terletak. Mereka berjalan ke sana, lalu masuk dan meletakkan tasnya ke meja masing-masing.

"Aku masih kesal dengan Bella," kata Kimberly.

"Lupakan itu! Jangan membuatku kesal karena mendengar nama itu lagi," sahut Leo. Kimberly mendengkus. "Baiklah."

Leo membuang napas, lalu mengajak teman-temannya ke ruangan penyelidikan yang telah mereka tinggalkan satu hari.

Mereka memulai penyelidikan tanpa basa-basi. Kali ini, mereka akan memperhatikan dengan seksama rekaman CCTV masjid sebelum menetapkan Deadly sebagai pelaku. Mereka harap membuahkan hasil. Karena semua orang merasa aneh jika hanya Deadly pelakunya, sedangkan mereka tidak masuk ke dalam masjid dari beberapa jam sebelum pengeboman sampai pengeboman terjadi.

Franklin dan Kimberly memperhatikan komputer, ikut membantu Xin dan Zack. Leo duduk di kursinya, merenungi panggilan Bella kepada Dinda yang mendadak mengisi pemikirannya sejenak.

Anak Jalang. Kenapa Bella begitu suka memanggil Dinda seperti itu?

Pasti ada sesuatu, pikir Leo. Namun, ia tidak ingin mengurusinya sekarang.

~~~

Ndasmu: Bahasa Jawa yang berarti; kepalamu.

~~~

Hola!:D

Apakah ada kesan, pesan, kritik, atau saran? Share aja di kolom komentar, dan klik bintangnya:)

Terima kasih sudah menunggu dan membaca! See you next part!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top