1. Misi Selesai!
Langit cerah, gedung-gedung pencakar langit, dan lampu-lampu gedung menghiasi kota New York. Sebentar lagi jam malam akan berakhir, tetapi sekumpulan orang berjas itu tidak tertidur. Mereka berkumpul di sebuah ruangan, di rumah besar jauh dari perkotaan. Terlihat tak pernah dijamah tangan-tangan usil manusia. Banyak tumbuhan merambat dan lubang-lubang hasil gigitan rayap pada bangunan itu.
Di dalam sana, tidak terdapat bilik. Hanya ada satu penerangan dan beberapa karung berisi jerami. Ada satu meja juga, dua pintu di depan dan di belakang bangunan, dan tangga menuju lantai dua. Di meja, beberapa koper besar terletak di atas meja yang lebar. Berisikan beratus-ratus lembar dolar dan berbungkus-bungkus ganja serta sabu dari Cina.
Selain itu, sebuah perdagangan manusia sedang terlaksana berkedok penyewaan jalang. Mereka dibayar mahal oleh tiga orang berjas rapi yang dari pakaiannya tercium bau menyengat parfum ternama.
Para jalang tidak tahu kalau mereka akan dijual, dan bodohnya mereka mau saja, dengan iming-iming diberi kehidupan tajir layaknya aktris papan atas.
Namun, tidak dengan salah satu di antara mereka.
"Satu juta dolar. Bagus!"
Salah satu di antara tiga orang kaya itu tersenyum senang. Yang satunya lagi--yang baru saja berbicara--tertawa.
"Aku tidak menyangka kau akan menyerahkan begitu banyak uang kepadaku," katanya. "Bagaimana bisa, Marcel?"
Marcel. Marcello Lippi Simone, lelaki yang merupakan seorang buronan kelas belut dan kakap kepolisian, hanya tersenyum hingga tindik di bibirnya bergoyang. "Bos narkoba sepertiku memiliki banyak cara untuk mengumpulkan uang, Houston," jawabnya.
Houston Logodre, lelaki berusia 35 tahun itu ikut-ikutan menyeringai.
"Tidak sia-sia aku memberimu kepercayaan." Ia menghampiri Marcel dan menepuk-nepuk bahunya. "Terima kasih."
"Tidak masalah."
Yang satunya hanya menatap mereka. Ia adalah anak buah dari Houston, tetapi karena menjadi tangan kanan, dia memakai pakaian mewah mirip sepertinya, untuk berjaga-jaga ada penembak misterius yang menembak pemimpinnya yang padahal jika dipikir, kemiripannya dengan Houston akan membuat 95 persen badannya beresiko untuk ditembak.
"Bagaimana dengan para calon istriku?" tanya Houston setengah berbisik. Ia menatap sembilan orang wanita yang berusaha menggodanya, di tengah-tengah genggaman erat di lengan oleh para anak buah Marcel.
"AKU MENDENGARMU, BERENGSEK!!! AKU TIDAK AKAN MENJADI ISTRIMU, APA PUN ANCAMANMU!" Seorang wanita berteriak. Di pipinya, air mata membanjiri. Wajah cantiknya yang mulanya dipenuhi make-up, berubah menakutkan. Ditambah rambut yang acak-acakan karena ia berkali-kali memberontak di genggaman seorang lelaki.
Marcel berdecak. Lagi dan lagi. Sudah sepuluh kali wanita itu berteriak--entah meminta dilepaskan, memaki Houston atau dirinya, atau hanya berteriak, berusaha memecahkan gendang telinga semua orang.
"Lepaskan!" Wanita itu kembali memberontak. Ia ingin dilepaskan, lalu lari menyelamatkan diri.
"Diamlah! Jalang seperti kita pantas untuk mendapatkan ini," kata salah seorang dari teman-temannya.
"AKU BUKAN JALANG, KALIAN DENGAR!? LEPASKAN!"
Marcel memutar malas kedua bola matanya. Ia meraih pistol di atas meja, mengarahkannya ke atas, menarik pelatuk, dan ledakan peluru yang memekakkan telinga langsung terdengar.
Dor!
Wanita itu seketika diam. Tembakan ancaman ditujukan kepadanya. Ia menunduk, lalu terduduk, dan berakhir terisak. Ia tidak akan bisa bebas terlebih setelah Marcel memberi peringatan, pertanda dia marah kepadanya dan akan menghukumnya dengan hukum cambuk jika masih berani melawan.
"Sudahlah, Bung. Dia perempuan. Kasihan dia." Houston menenangkan Marcel. Marcel mengambil napas, membuangnya, lalu mengangguk pelan.
"Dia tidak bisa tenang dari tadi," runggut Marcel.
"Aku bisa menenangkannya di mobil. Jangan khawatir," sahut Houston. Marcel menatapnya, lalu tersenyum kembali.
"Baiklah, karena semua sudah disodorkan, maka aku akan mengambilnya. Sepuluh wanita itu akan ikut bersamaku ke Rusia. Jika mereka memuaskan, aku akan memberi uang lebih." Houston memperbaiki kerah jasnya. "Kuharap kau selalu mengecek rekeningmu untuk memastikan aku tidak berbohong."
Marcel menyeringai. "Apa pun keinginanmu."
Houston mengalihkan matanya dari Marcel. Ia menoleh kepada tangan kanannya, memberi isyarat kalau semua barang itu sudah bisa diambil.
Tangan kanannya mengangguk paham. Ia menyuruh para rekannya untuk segera mengemasi barang-barang sebelum berangkat pergi.
Wanita tadi tetap memberontak. Ia tidak mau ikut karena sudah tahu dengan apa yang dua pria kaya itu lakukan.
Marcel hanya tersenyum di tempat. Tiga karung uang sudah berada di tangan anak buahnya dan saatnya mengiringi kepergian mereka dengan tatapan.
"Bos! Bos!"
Marcel, Houston, maupun yang lain menghentikan aktivitas mereka dan menoleh ke asal suara. Seorang lelaki berjas berlari masuk dengan wajah panik seakan-akan baru saja melihat hantu.
"Ada ... Ada ...."
"Ada apa?" tanya Marcel dengan nada malas. Ia tidak suka kesenangan dijeda apalagi oleh anak buahnya sendiri.
Seorang gadis berbandana langsung masuk mendobrak pintu dan menarik lelaki itu. Si lelaki yang baru saja ingin menjawab Marcel, menutup rapat-rapat mulutnya saat sebuah pisau lipat berhiaskan cairan merah kental menempel di lehernya.
Tak menunggu aba-aba, semua barang dijatuhkan. Berpuluh todongan pistol mengarah kepada si gadis berambut hitam keunguan tersebut.
"Jauhkan pisaumu dari lehernya jika kamu masih ingin hidup, Jalang!" suruh Marcel yang juga mengangkat pistolnya.
"Tidak akan."
Blub!
Mati lampu. Kegaduhan akibat kaget terdengar dan semua orang meraba mencari penerangan.
"Sebentar! Aku punya mancis." Suara Houston menginterupsi mereka. Houston mengeluarkan sebuah benda kecil berlapiskan logam, menjentik tutupnya dengan ujung jempol, kemudian sebuah api keluar dan menari, tetapi tak berlangsung lama kala garis merah membentang dari lantai dua rumah.
Perhatian yang mulanya ke mancis milik Houston, beralih ke garis tersebut. Garis itu mengenai kepala seorang anak buah, sebelum sebuah peluru kecil melesat dan digantikan dengan ledakan kecil yang bergema.
Dor!
Satu anak buah tersungkur ke lantai.
"TO-"
Seseorang yang berusaha berteriak, mendadak senyap. Houston sontak mengambil pistolnya. Kali ini kepanikan orang-orang terdengar.
Teriakan dan ledakan bergema di dalam rumah. Percikan api akibat keluarnya peluru dari selongsong pistol menyinari ruangan sesaat, sebelum digantikan dengan erangan.
Laser tadi membidik dari arah yang berbeda-beda. Marcel dan Houston berusaha menembak si biang kerok, tetapi tidak berhasil sampai pelurunya habis.
Marcel meraba saku baju dan celananya. Setelah tidak menemukan satu peluru pun di sana, ia meraba meja dengan tergesa-gesa.
Teriakan Houston terdengar, lalu mendadak sepi. Itu berarti, beberapa mungkin sudah tewas di tangan kawan, atau mungkin lawan, termasuk di Houston.
Lampu kembali hidup. Marcel terbelalak melihat berpuluh mayat tergeletak disertai darah yang tergenang. Lubang-lubang peluru menghiasi tubuh mereka. Asap akibat ledakan mengepul, menciptakan kabut di dalam ruangan.
Ia bukan satu-satunya yang bertahan. Houston bersandar di kaki meja, mengerang lemah memegangi lengannya yang terluka. Wanita-wanita tadi berkumpul di sudut ruangan sambil berpelukan. Mereka berusaha melindungi satu sama lain. Marcel tersadar kalau gerombolan hawa itu kekurangan satu anggotanya.
"Kimberly-"
"Aku di sini."
Marcel terbelalak, sebuah pukulan telak mengenai tengkorak belakang. Dia terjatuh ke lantai, berusaha bertahan. Namun gagal saat lehernya merasakan sebuah benda kecil setajam jarum menusuknya.
Pandangannya kabur, buram, sebelum digantikan kegelapan akibat bius dari serum tersebut. Wanita yang tadi memberontak, berdiri di belakangnya dengan wajah bertolak belakang dari sebelumnya.
Houston dan wanita-wanita tadi terbelalak di tempat. Wanita berambut coklat kemerahan bergelombang itu sudah menunjukkan sisi menakutkannya.
Tangan kanan Houston berada di belakangnya. Sebenarnya dia adalah temannya, dan Houston menggeram marah.
"Pengkhian-"
Dia membungkam mulut Houston dengan peluru bius. Membunuhnya dengan peluru timah hanya akan membuatnya dipenjara dengan Houston yang dikekang di bawah tanah, dan itu tidak adil.
Wanita itu menatap si lelaki, lalu gadis berbandana tadi muncul dari ujung meja dengan wajah pucat pasi.
Seorang lagi, lengkap dengan bulletproof di tubuhnya, menghampiri sebuah koper. Di tangannya, senjata laras panjang berlaser tergenggam.
Ia membuka benda tersebut, memperhatikan berlembar-lembar uang dengan tatapan muak.
"Uang hasil penjualan narkotika" Ia mengangguk, setuju dengan perkataan si wanita.
"Sudahlah, biar mereka yang menangani ini." Lelaki tadi menepuk bahu si wanita setelah mendengar suara klakson bergema dari luar. Derap langkah yang menginjak kayu dan daun kering terdengar sebelum pintu terbuka lebar dan lima orang bersenjata mengarahkan pistolnya.
"Angkat tangan!"
Mereka telah sampai, dan setelah tahu kalau empat orang yang baru saja mereka todongi pistol merupakan bagian dari tim kawan, mereka meminta maaf.
Marcel dan Houston berhasil ditangkap. Para wanita tadi sudah diamankan.
Akhirnya, misi sulit yang telah memakan waktu berbulan-bulan itu selesai!
***
Sebuah mobil van berhenti di depan sebuah apartemen kecil. Di samping kanan dan kirinya, dua apartemen lain mengapit. Sekarang jam 2 pagi dan mereka sampai di rumah. Mengurus mayat dan buronan sudah selesai dikerjakan. Sekarang, saatnya beristirahat sembari menunggu misi selanjutnya dan upah dari atasan.
"Aku benci misi di dalam kegelapan."
Pintu mobil terbuka. Para penghuninya keluar satu-persatu. Seorang dari mereka, berambut hitam bercampur ungu dengan kulit sebening mutiara, melepas bandananya. Ia memberi kesempatan darah untuk mengaliri pembuluh wajahnya yang sempat memucat ketakutan.
"Aku bisa merasakan lima peluru melesat ke arahku." Gadis berumur 24 tahun itu mendengkus.
"Itu tidak akan terjadi jika kamu bersembunyi tepat waktu, Xin," sahut teman perempuannya, berumur tak lebih dan tak kurang dari umurnya.
Xin Lee Goya, pemilik rambut hitam tadi, kembali mendengkus. "Aku sudah bersembunyi tepat waktu. Tapi .... Argh! Pokoknya aku tidak menyukainya!"
Temannya, Kimberly Merry, hanya diam.
"Setidaknya kau sudah mengerjakan tugasmu dengan baik." Pintu mobil sisi kiri ditutup. Di depan pintu itu, seorang lelaki berjas, berumur 25 tahun berdiri sambil meregangkan ototnya.
"Franklin benar. Kita sudah menuntaskan mereka, mengurusnya, dan sekarang tinggal menunggu upah dari atasan. Kita bisa beristirahat selama tidak ada misi baru dari Sir Thomas." Lelaki bernama lengkap Franklin Daurdedale itu melirik pemimpinnya, sekaligus rekannya; Leodan Jackson yang baru saja menyahut perkataannya.
Kimberly dan Xin ikut-ikutan meliriknya. Mereka yang jumlahnya enam itu lalu beriringan masuk ke apartemen yang berdiri di depan mereka.
Jalanan yang biasanya ramai menjadi sepi karena hari sudah berganti pagi. Setelah masuk ke dalam apartemen kecil bernuansa klasik itu, Franklin dan Leo merebahkan diri ke atas sofa ruang keluarga.
Xin dan satunya—Zack menyiapkan susu dan makan malam yang tak sempat mereka santap. Kimberly dan temannya—Dinda, pergi ke kamarnya di lantai dua.
"Kau akan turun untuk makan, Dinda?" tanya Kimberly sebelum masuk ke kamarnya. Gadis yang menggunakan penutup kepala berbahan karet itu mendongak.
"Tidak. Aku masih kenyang," sahutnya, lembut.
Kimberly menghela napas. "Baiklah. Kalau begitu selamat malam." Ia pun menutup pintu kamarnya.
"Selamat malam juga." Dinda juga ikut-ikutan, lalu mengambil napas dan membuangnya dengan kasar.
Dinda berbalik dan menuju ke sebuah meja. Kamarnya tidak besar, juga tidak terlalu kecil. Sisi kanan penuh dengan rak buku. Sisi kiri diisi dengan kasur berwarna putih bergambar kepala panda dan lemari pakaian, serta lemari lain tempat senjata-senjata api buatannya tersimpan.
Sisa sisi ruangannya penuh dengan pigura foto. Kebanyakan bergambar dirinya dan teman-temannya.
Dinda meletakkan senjatanya ke atas meja. Tak lupa melepaskan bulletproof yang telah membuat sekujur tubuhnya berkeringat kepanasan.
Ia tak ingin mengganti baju dan melepas penutup kepalanya. Dia langsung merebahkan diri ke atas kasur dan terlelap tanpa menghiraukan suasana pagi New York di luar jendela.
"Dinda, kau belum tidur, bukan?"
Dinda mendengar suara Leo dari depan pintu kamarnya.
"Jika kau tidak keberatan, bisa buatkan aku esai mengenai Marcel selama misi? Kim sudah mengerjakan esai tentang Houston. Sekarang giliranmu!"
Dinda mendengkus. Istirahatnya selalu diganggu oleh lelaki kecil berumur 25 tahun itu. Namun tidak mematuhi perintah akan membuatnya celaka. Dinda terpaksa membuka mata, bangkit, pergi ke meja, dan langsung membuka laptopnya, lalu mulai mengerjakan apa yang Leo minta. Tidak peduli dirinya begitu letih dan matanya sudah berat untuk dibuka.
~~~
Mancis: Sejenis korek api yang memiliki penutup.
~~~
Hola!:D
Still remember me? Ngiah! Kalian pasti masih ingat dengan saya:)
Awali tahun dengan cerita baru. Gimana menurut kalian? Apakah ada kesan, pesan, kritik, atau saran? Share aja di kolom komentar;D
Tak bisa berkata banyak. Selamat menikmati dan nantikan terus kelanjutannya!!!^O^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top