29 - Jiwa-jiwa yang Digadai

Halo, selamat malam.

Tadi kepencet karena salah unggah. Tombol simpan dan publikasikan sebelahan. Jangan suuzon dulu bisa kan.

Lagu Fix You by Danny Olson, Jedelyn.

***

***********

BAB 29

[Sidney]

Gue berjalan ke arah rumah dengan perasaan yang benar-benar hampa. Seolah pada tiap langkahnya gue menipis, melebur, dan tak berarti sama sekali ketika angin yang biasa hilang menerjang pelan. Seperti sehelai bulu burung yang terlepas dari kepak. Atau satu buih rapuh yang meletup begitu saja ketika disinggung pesisir. Gue nggak ada artinya sama sekali di hadapan kebanyakan manusia.

Tiap langkah yang gue ambil, gue menangis. Hati rasanya seperti disobek oleh Sahnaz. Kecewa. Dan semakin menyakitkan karena yang mengecewakan adalah orang yang gue anggap nggak akan pernah mengecewakan. Gue tolol. Gue bodoh. Gue bego. Kenapa selama ini begitu percaya dan nggak melihat sesuatu yang salah dari perasaan Sahnaz?

Di depan pintu saat memegang kenopnya, gue buru-buru mengelap air mata meski bandel sekali mereka terus berderaian. Begitu membuka pintu, adik gue yang paling kecil, Pink sedang berdiri beberapa langkah di sana. Dia masih memakai piama dan memeluk boneka tedy berwarna merah jambu yang tempo hari diberi Lexi dari mantranya. Ekspresinya kebingungan melihat gue yang telanjang dada dan celana sedikit sobek.

Gue berusaha menyeimbangkan diri meski rasanya seperti menaklukkan badai ketika sedang di puncak amukan. Gue tersenyum penuh dusta, "Hei," ucap gue dengan suara serak. Pink terdiam, "Kak Rania sama Karin belum bangun?" tanya gue yang dijawab dengan anggukan lagi oleh Pink.

"Kak Lexi mana?" badai dalam diri gue terjeda seketika saat Pink bertanya begitu. Kenapa adik gue masih mengingat Lexi? Bukannya semua bunga di depan rumah gue meranggas seolah kehilangan mantranya?

"Kak Lexi?" gue heran, "Yang mana?" tanya gue menguji.

Tapi Pink seperti kebingungan dengan pertanyaannya sendiri. Lalu dia melihat wajah boneka yang dibawanya. "Yang itu," jawabnya tak yakin.

"Habis mimpi, ya?" gue berusaha membelokkan pembicaraan ini karena gue pun sama belum bisa kalau tentang Lexi.

"Kak Lexi mana?" tanya Pink lagi. Namun kali ini dengan nada yang sedikit memaksa.

Gue berjalan mendekat ke arah Pink dan berlutut di hadapannya. Gue menyentuh kedua pundak Pink untuk berbicara. "Bagaimana kalau Pink ke kamar dulu, nanti Kakak buatkan omelet."

Pink terdiam benar-benar seperti ling-lung. Lalu dengan polosnya telunjuk Pink menyentuh mata gue yang basah. Gue segera menangkap tangan itu dan menurunkannya.

"Ya?" gue membujuk. Dan akhirnya Pink mengangguk. Gue mengantar adik gue itu ke kamarnya. Masih sekamar sama Karin. Yang tidur terpisah hanya Rania. Gue juga memastikan ke kamar Rania yang masih terlelap. Semalam kami bercerita sampai larut. Itu cukup untuk membuat adik-adik gue tertidur lebih lama. Kecuali Pink yang memang tidur lebih awal.

Setelah itu gue berjalan ke dapur dengan perasaan yang kembali kalah oleh badai. Namun terdistraksi oleh sekilas aroma Lexi yang seolah dia benar-benar masih ada di dalam rumah ini. Lalu gue teringat betapa sebenarnya gue juga kacau dan merusak semuanya. Dan sentimen itu sudah cukup untuk memicu air mata kepayahan gue semakin mencair. Gue berdiri sambil berkacak pinggang karena nggak tahu mau ngapain.

Gini jadi orang bodoh. Segalanya yang ada di kehidupan ini seperti nggak layak untuk gue miliki. Semuanya hilang. Semuanya pergi. Nggak ada yang benar-benar menetap.

Suara pintu terbuka dan tertutup terdengar. Langkah kaki Juno yang pelan berderap mencari gue sampai ke dapur. Lalu berhenti beberapa langkah di belakang gue. Gue tahu itu dia. Gue hafal bobot langkah kakinya.

"You won the game," kata Juno pelan.

Gue memutar badan untuk menghadap ke arahnya. Masih berkacak pinggang karena berusaha menopang semua yang seperti ingin ambruk begitu saja di dalam diri. Gue mengembuskan napas berat dari mulut. Menggeleng aneh. Sial. Gue nggak bisa pura-pura oke.

"Come here," pintanya.

"What?"

"You need this." Juno menggerakkan kedua lengannya.

Gue menggelengkan kepala. Mengembuskan napas yang lebih berat sebelum kemudian gue mengunci mulut rapat-rapat karena rasanya pengin nangis aja dan menahan diri untuk tidak.

"Sid," Juno menggelengkan kepalanya. Lalu berjalan mendekat dan dia memeluk gue.

Saat itu juga gue langsung kalah. Semuanya terlepas di sana dan gue nggak bisa menopang diri lagi. Percampuran emosinya sekarang benar-benar pelik. Gue mungkin kehilangan banyak. Tapi keberadaan sahabat seperti Juno yang kembali setelah hilang, rasanya seperti gue sudah punya tempat terbaik untuk mengakui semua kepayahan yang mendera gue selama ini.

Juno mengusap punggung gue dan sedikit tepukan. Terakhir kami berpelukan yaitu di malam sebelum keesokan harinya tanpa sepengetahuan gue Juno hilang. Jadi ini reuni lain yang benar-benar di momen yang berantakan.

"Gue nggak salah, kan, Jun?" isak gue payah.

"Nggak ada yang salah dan nggak ada yang benar. Memang harus terjadi seperti itu," jawabnya netral.

Gue kacau banget. Berasa udah nggak utuh lagi.

Pelukan kami cuma sebentar. Setelah terurai tangan kanan Juno lalu memegang pundak kiri gue. "Dengar, Sid. Lo sudah melewati ini, oke? Lo sudah bebas. Kalian sudah bebas," ujarnya sebelum menurunkan tangannya.

"Tapi dia pergi seolah gue ini nggak pernah jadi alasan kenapa dia harus bertahan, Jun."

"Iya, sulit. Gue paham. Cuman, situasinya sekarang mengharuskan lo untuk mengambil keputusan dengan cepat. Dipertahankan pun udah nggak akan kayak awal lagi."

"Gue pengin mecahin kepala cowok itu."

"Gue tahu," sahut Juno, "Gue tahu rasanya ketika cewek lo lebih milih orang lain ketika yang kita yakini dia benar-benar sejati buat kita. Gue tahu."

"Lo tahu?"

"Tentu saja. Gue semacam ... pernah mengalami hal yang sama seperti lo." Juno tersenyum getir. Tapi ketika mulut gue sudah terbuka mau ngomong lagi, dia langsung bertepuk tangan satu kali. "Oke, udah selesai. Nggak ada waktu buat berlarut sama patah hati. Simpan dulu buat nanti."

"Kenapa lo selalu menghindar kalau topik pembicaraannya mengarah ke Lana?" tanya gue terus terang.

Juno tidak langsung menjawab. "Karena jawabannya sama. Bukan waktu yang tepat. Gue simpan untuk nanti ketika semua ini berakhir."

"Jadi lo diam-diam sedang menahan badai juga?"

Juno hanya mengangkat bahu. "Oke? Jadi sekarang jangan dulu bahas patah hati yang kita punya. Itu nggak penting buat dibicarain di saat kayak gini. Bodoh malah kalau kita terus-terusan terjebak di pusaran ini. Sekarang tentang bagaimana kita harus menghadapi kekacauan yang ada dan bagaimana mengakhirinya. Ini memang tanggung jawab semua orang. Tapi yang seperti gue dan lo, punya tanggung jawab lebih besar."

Setelah terdiam sesaat, gue lalu mengangguk. Berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang itu. Memang benar. Membebaskan urusan sama Syahnaz juga berarti membebaskan diri gue untuk melangkah ke hal yang baru. Juga terbukanya peluang-peluang untung lebih maju dan tidak terus terjebak pada pusaran yang sama. Satu lagi, gue jadi tahu seperti apa orang yang selama ini berusaha gue pertahankan.

Gue nggak sepenuhnya benci Sahnaz. Bahkan sampai saat ini gue masih sayang banget sama dia. Gue cuma lemah ketika melihat dia yang begitu ketakutan melihat siapa gue sekarang dan memilih untuk berlindung di balik punggung orang lain.

Dan memang itu yang gue mau. Kebahagiaan Sahnaz. Ini bukan berlebihan, tapi gue benar-benar mengakui betapa rasanya tak apa-apa dia pergi asalkan bahagia. Tak apa gue yang berdarah-darah, tak apa-apa. Seseorang memang harus memilih yang terbaik. Gue mungkin pernah menjadi bagian terbaik di hidup Sahnaz kalau memang selama ini cintanya ke gue bukan ilusi. Tapi yang lebih baik akan selalu ada.

Bukan hal yang sederhana memberikan ke orang lain apa yang sudah diperjuangkan begitu keras sedari lama. Gue nggak mungkin bohong tentang perasaan ini. Sakit. Sakit banget. Tapi terserah. Gue cuma mau udahan. Udahan sama pertentangan batin. Thank me, next.

Juno menepuk pundak gue sekali lagi. Kemudian dia berjalan ke arah pantri di mana ada tiga porsi roti isi yang siap dihidangkan di sana. Diambilnya salah satu dan tanpa permisi memakannya.

"Lo yang bikin? Enak," ujarnya dengan mulut penuh, "Kornet dan keju setengah lembeknya pas," komentarnya sambil menganggukkan kepala seolah dia paham soal makanan dan memang begitu.

"Itu bukan gue yang bikin," gue mengelap mata yang basah. Lalu berjalan ke arahnya. Mengambil satu porsi yang sama dan memakannya.

"Siapa?" suara Juno nggak jelas karena sambil mengunyah seolah belum makan berhari-hari.

"Lexi."

"Jadi kalian benar-benar berumah tangga?"

"Lo berlebihan banget ya kalau melabeli sesuatu."

"Lah, faktanya memang seperti itu. Dia buatin lo sarapan. Dan ngasih "pelayanan ekstra". Bukan sekadar numpang berteduh di sini aja."

Gue memutar bola mata. Berusaha menjadi biasa lagi meski susah. Ketika gue menoleh, roti itu sudah habis di tangan Juno. Dia malah mau ambil satu lagi.

"Itu buat adik gue sebenarnya."

"Oh," tak dipedulikan, tetap dimakan, "Lo juga ikut makan."

Kami berdua hening sesaat sibuk makan sambil bersandar di pantri. Setelah habis dua porsi Juno berjalan ke kamar gue menyawel handuk dan baju ganti dari lemari gue. Lalu hilang di balik pintu kamar mandi. Gue termenung sesaat. Betapa semuanya berubah dalam hitungan hari.

Gue sedang mengangkat omelet ke piring saat Juno keluar dari kamar mandi dengan handuk mengelilingi pinggangnya. "Sarung mana?" tanya dia.

"Buat apa?"

"Gue mau ziarah ke makam ibu lo."

"Waw. Great. Di ruang salat. Ambil sendiri aja."

Tidak dijawab, Juno cuma langsung pergi ruangan yang gue maksud. Tak lama kemudian, saat semua sarapan buat adik-adik gue terhidang. Juno muncul lagi sudah mengenakan sarung dan kaos punya gue.

"Mau pakai kopiah juga, lo?" tawar gue.

"Ada?"

"Di kamar gue."

"Lo naruh barang misah-misah banget sih," ujarnya sambil lalu.

Gue lantas pergi membangunkan adik-adik gue. Semoga Lexi masih mempertahankan beberapa sugesti. Pelan-pelan gue beranjak ke kamar Pink dan Karin. Begitu masuk, Pink sedang duduk di tepi tempat tidur sambil memainkan bonekanya dengan lesu.

"Kak Karin nggak bangun-bangun," Pink berkata seperti merajuk.

"Kan semalam tidurnya larut," kata gue, "Karin. Bangun, Dek." Gue membuka gorden supaya cahaya luar masuk ke dalam meski tak secerah hari-hari biasa.

Kemudian gue mengguncang pelan pundak Karin. Beberapa kali mengguncang sambil memanggil namanya, tapi karin tidak memberi tanda hendak bangun. "Karin?" panggil gue sekali lagi.

"Sudah Pink bangunin dari tadi, tahu," ujar Pink.

"Rin?" gue mulai cemas. Dadanya masih kembang kempis. Tapi dia tidak bisa terbangun sama sekali, meski sudah gue guncang lebih kuat. Matanya terpejam, tapi badannya terkulai seperti pingsan. Suhu badannya normal. Tidak pucat juga. "Rin?"

Apa ini ada kaitannya sama Lexi? Gue mulai cemas. Tiba-tiba teringat momen mencekam tentang Olin yang sebelum dia pergi keadaannya benar-benar seperti ini.

"Kak Rania juga," kata Pink.

Setelah mendengar itu, gue langsung bergegas ke kamar Rania yang masih tertidur dibalut selimut. Mengejutkannya, keadaan Rania juga sama seperti Karin. Bedanya, tubuh Rania nyaris kaku namun napas dan denyut nadinya masih ada dan normal.

"Ran ...!" gue menepuk-nepuk pipinya, "Rania ..., Ran?"

Lompatan tempo denyut jantung gue berubah siginifikan. Dari tenang menjadi panik beralih begitu cepat. Gue berlari cepat mencari Juno. Tapi dia masih duduk di tepi makam Ibu sambil membaca kitab suci.

Gue kembali ke kamar Karin untuk memastikan sekali lagi. Dan keadaannya masih sama. Hanya Rania yang badannya benar-benar kaku seperti dikunci sendi-sendinya.

Ini ulah Lexi? Apa ini cara dia dendam? Sialan tuh cewek!

Karena gue semakin panik dan nggak karuan banget pikirannya, tanpa pikir panjang gue memanggil Juno. Dia lantas mengakhiri doanya lebih cepat dan menghampiri gue heran.

"Adik gue," kata gue panik. Juno pasti melihat ekspresi kacau di wajah gue makanya dia tidak bertanya apa pun dan langsung mengikuti langkah gue ke kamar.

Setelah mengecek keduanya, Juno bahkan sama-sama tidak tahu apa yang sedang terjadi pada kedua adik gue itu. Sementara gue cuma bisa bengong nggak tahu harus ngapain lagi karena yang gue rasakan hanya mati rasa dari dalam. Terlalu banyak duka yang berlapis.

"Lo punya teman Sinestesian yang bisa mengurus ini?" tanya gue gemetar.

Juno terdiam sebentar. "Ada. Tapi gue nggak tahu apakah dia bisa datang atau nggak."

"Dia ikut bertempur di sini? Di bagian mana? Biar gue datangi sendiri."

"Dia nggak mau ikut ke sini. Beda zaman. Gue satu kali ketemu dia waktu di konferensi rahasia antar-Sinestesian. Dia jadi salah satu delegasi. Satu zaman sama ... Lana."

"Plis, Jun. Lakuin sesuatu. Kalau ada syarat atau apa, gue bakal lakuin asalkan siapa pun itu dia mau datang ke sini."

Juno tertegun sesaat. "Dia susah diajak bicara, Sid."

"Bisu?"

"Maksud gue, susah untuk dinegosiasi. Lebih tua dari gue itu sebabnya gue nggak begitu berani maksa dia."

"Bukannya kalau dia darai masa depan tetap saja lo yang lebih tua?" gue heran, "Tapi lo yang memimpin mereka, kan? Atau memang ini cuma alasan karena lo yang nggak mau bantu gue?"

"Bukan gitu. Gue memang memimpin mereka, tapi yang lintas zaman sedikit susah untuk diatur. Terutama Sinestesian masa depan. Mereka generasi yang berbeda sama kita. Mereka lebih cerdas dan kadang sedikit keras kepala. Mereka nggak suka rencana-rencana. Mereka betindak sesuai maunya sendiri."

Gue mendengus kesal. "Lo nggak bisa gitu lebih tegas dikit kali ini? Maksud gue ... Jun," gue menatap Juno, "gue nggak bisa kehilangan lagi," gue mengatakan itu dengan lemas.

Juno juga sepertinya bingung. Lalu akhirnya dia mengendurkan pundaknya dan berkata, "Beri gue waktu sepuluh menit," pintanya sebelum kemudian gugup berjalan keluar rumah .

Gue mengikutinya karena sedikit ada rasa khawatir dia akan menghilang untuk tidak kembali lagi. Di pekarangan depan rumah, masih memakai sarung, nyeker, Juno membuka sebuah portal dengan semudah itu. Lalu dia masuk ke dalamnya sampai portal itu menyusut di udara sampai menimbulkan percikan gesekan listrik.

Gue tertegun karena Juno menghilang di balik portal itu. Dia akan kembali lagi, kan? Ini cuma sepuluh menit, kan? Dia ke mana?

Belum sampai sepuluh menit, atau mungkin cuma tujuh, sebuah percikan listrik muncul dari tempat yang sama. Tak lama kemudian, portal muncul dalam bentuk lingkaran yang aneh. Lalu dua orang muncul dari balik portal itu. Juno dan seorang cowok berusia dewasa muda. Seperti tiga tahun di atas gue. Cowok itu memakai celana jins navy, kaos polo kuning berkerah, dirangkap sebuah jaket hitam berbahan satin, memakai topi, dan janggutnya seperti bekas dicukur. Oh, dia juga menggendong sebuah tas.

"Langsung masuk aja," kata Juno ke cowok itu, "Setelah itu lo boleh pergi."

Gue berdiri di teras menunggu kedatangan mereka berdua. Saat teman Juno sudah dekat, gue berniat menyambutnya dengan uluran tangan mau salaman. "Hei, thanks udah mau datang."

Tatapan cowok itu lurus ke bawah. Tidak menatap wajah gue sama sekali. Sangat sombong. Bahkan dia seperti sengaja menabrak dada kiri gue saat berjalan masuk ke rumah seolah tidak ikhlas didatangkan ke sini.

"Ramah sekali," heran gue.

Juno berhenti di teras dengan napas ngos-ngosan. "Lo lihat sendiri kelakuannya."

"Wah. Dia minta dibayar berapa? Gue kasih."

"Duit kita nggak berguna di masa depan. But, be nice to him. Dia tadi lagi sama pacarnya di perpustakaan. Dan agak sewot waktu gue paksa ikut," terang Juno masih kecapekan.

"Bad boy perpus?"

Juno menggeleng, "Gue tadi diketawain banyak orang karena penampilan gue kayak gini."

"Itu nggak penting. Yang lebih penting, lo yakin dia bisa bantu?"

"Kansas salah satu Sinestesian yang punya bakat medis. Dia bisa melihat dan merasakan setiap sel dan jaringan yang ada di tubuh makhluk hidup. Dia bermain-main dengan cakra. Kalau ada yang salah, dia juga akan memperbaikinya dengan mantra atau entah," Juno menjelaskan, "dia rumit banget."

"Namanya Kansas?"

"Itu yang gue tahu."

"Keren, tapi kelakuannya kayak bangsat," komentar gue kesal.

Lalu kami masuk ke rumah. Di sana Kansas sedang berusaha mengangkat tubuh Rania yang kaku untuk di bawa ke ruang tengah yang lebih luas. Gue bergegas menyiapkan sebuah bantal di sofa untuk diletakkan di karpet halus.

"Apa gue juga harus angkat adik gue yang satu lagi?" tanya gue ke Kansas.

"Kenapa harus tanya? Dua-duanya, kan?" jawabnya ketus.

Gue cuma tanya, bangsat! Juno lalu memberi isyarat agar gue lekas mengangkat Karin karena dia seperti tahu gue akan mengumpat.

Begitu kedua adik gue sudah dibaringkan bersebelahan di atas karpet, Kansas meminta agar gue sama Juno mundur untuk memberi sedikit ruang.

"Mereke nggak sakit secara medis," kata Kansas dingin.

"Lalu?" gue bertanya. Awas kalau dia jawabnya aneh-aneh. Tapi Kansas tidak menjawab.

Dia melepaskan topinya, memamerkan rambutnya yang ikal bergelombang dan wajahnya yang kurang ajar gagah. Dia punya rahang yang sudah membentuk. Hanya saja, gue baru sadar kalau bola matanya sedikit aneh. Irisnya tak seperti manusia pada umumnya. Melainkan berwarna keunguan gelap.

Lalu bibirnya yang punya lekukan di bagian atas itu berkomat-kamit tipis. Di saat yang sama, curahan gelombang berwarna gelap tampak keluar dari perut kedua adik gue. Benar-benar seperti asap yang keluar dari badan. Dan gelombang itu membumbung menembus plafon rumah entah hendak pergi ke mana.

"Jiwa mereka sedang digadai," ucap Kansas.

Sejenak gue terdiam. Lalu, "Maksudnya? Oke, gue tahu pasti ini ulah Lexi dan mantra gelapnya."

"Bukan!" Kansas tiba-tiba membentak gue sampai membuat gue terlonjak kaget. Tatapannya sinis dan seperti tidak suka dengan dugaan gue.

"Gue cuma menebak karena yang namanya Lexi adalah cewek penyihir yang-."

"Can you just stop talking?" pintanya dengan nada kasar seolah benci banget sama gue.

Kami berdua saling tatap. Lalu tak lama kemudian, Kansas melanjutkan apa yang harus dia kerjakan. Merapal mantra dan entah apa lagi.

Gue bergeser mendekati Juno. "What the fuck," ucap gue tanpa suara ke Juno. Dia hanya merespons dengan bahu terangkat.

"Yang ini," Kansas menunjuk Rania, "Akan terus seperti ini sampai jiwanya benar-benar terkuras habis."

"Gue berhak bicara. Jangan coba larang gue," ucap gue nggak tahan, "langsung ke intinya. Apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan mereka?"

Kansas menolehkan kepalanya ke berbagai arah seperti mencari sesuatu. "Ada yang terkubur di sekitar rumah ini. Dan itu harus dimusnahkan dengan cara dibakar."

Tentu saja pernyataan itu membuat gue berpikir tentang makam ibu. Tapi apa maksudnya? Gue lantas menoleh pada Juno yang sepertinya juga tidak paham.

***
*********

Ig: @sahlilge @writtenby.sahlilge

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top