25 - I Got Your Back
Halo, kalian. Selamat sore/malam/pagi/siang kapan pun kalian baca ini.
Apa kabar? Semoga sehat selalu ya.
Di tempat saya cuaca pagi lagi dingin banget. Saya lagi kurang sehat malah. Demam dan pilek. Tapi karena udah kangen sama pembaca, terutama komentarnya yang kadang bikin mood naik, akhirnya saya pelan-pelan nyusun bab ini buat diunggah saya sendiri.
Kangen sama UYS nggak nih? Pasti ngangenin, ya. Hehehe.
Oh, iya. Saya mau tahu dong situasi terkini di daerah kalian. Ada yang sudah memasuki Kenormalan Baru? Atau masih memakai aturan PSBB? Terutama yang di Bandung nih, saya perlu kabar. Hehe.
Stay safe, ya. Harus tetap rajin cuci tangan, pakai masker, minum suplemen/vitamin, dan banyakin gerak. Kalau ada yang harus dilakukan di luar rumah, tetap ikuti protokol kesehatan. Saya juga sudah muak dengan keadaan, tapi harus sabar demi kebaikan diri sendiri juga. Hehehe.
Kemarin situs TokoTalk lagi sedikit gangguan untuk setting diskon. Insya Allah kode diskon bisa dipakai mulai Senin besok. Akan diumumkan di Instagram writtenby.sahlilge.
Eh, omong-omong follow akun Wattpad saya juga dong. Huhuhu. Masa sudah betah baca belum follow juga. Hihihi. Nggak maksa deng. Terserah kamu. Jangan follow karena terpaksa. Saya tetep seneng kok kalian baca karya saya meski nggak follow.
Oh, iya. Bab ini akan menjadi batas petualangan baru. Meski nanti masih akan disisipi penjelasan dari alur yang masih tersembunyi. Bab ini mungkin sedikit mengejutkan dan cukup nyaman dibaca. Karena sedikit banyak akan meredakan ketegangan kalian sendiri.
Saya sarankan banget supaya kalian sambil dengerin lagu yang berjudul Surrender by Natalie Taylor, ya. Betul ini lagu yang lagi ramai dipakai sama TikTokers. Tapi saya sudah kenal dan dengerin lagu ini lumayan lama.
Eh, gini. Pernah ada yang nanya ke saya. Katanya, apa sih pendapat saya sama fenomena TikTok? Jawab di sini saja ya mumpung banyak orang. Pendapat saya: Silakan main TikTok! Nggak apa-apa. Lah namanya juga perkembangan zaman. Orang yang bilang TikTokers itu alay mereka merasa seolah paling berpikir dewasa dan bijak. Padahal mah ikut nonton dan ketawa kalau ada akun repost di Instagram. Lakukan saja dan silakan berkarya! Pendapat saya, ya boleh aja. Yang kreatif dan menghibur, ya! Share positivity juga. Dan ndak usah cari gara-gara. Jangan bikin konten rasis. Itu buat kebaikan kamu juga. Ya buat semua medsos pun sama. Gunakan dengan positif dan manfaat. Sip? Sip? Saya juga pernah instal TikTok karena penasaran. Cuman bingung gimana pakainya makanya saya copot padahal belum sempet bikin akun. Soalnya temen punya TikTok juga tapi cuma buat nonton aja karena lucu katanya.
Udah lama nggak baca komentar kalian. Um, tembusin 10K komentar deh buat nebus bab 26. Hehehe. Siap geng?
Bantu saya temukan tipo. Terimakasih sebelumnya.
Oke lah. Selamat membaca, ya.
***
******
BAB 25
[Lexi]
Setelah masuk ke dalam rumah gue langsung bergegas ke kamar. Nggak banyak yang harus gue kemasi karena yang paling penting adalah tas kecil gue. Itu pun cukup cepat untuk gue atasi. Adik-adik Sid belum bangun. Lalu ketika pintu rumah terbuka, entah kenapa gue dilanda panik yang meluap. Dengan segera membaca mantra Quentin untuk tidak terlihat. Jadi siapa pun nggak akan pernah tahu gue ada di rumah ini.
Setelah benar-benar tak terlihat, gue melangkah perlahan keluar dari kamar. Terpaksa menghadapi Sid dan Sahnaz yang kembali berpelukan erat di dekat pintu yang tertutup di belakang punggung Sid sehingga gue nggak bisa keluar sebab terhalang. Sid memeluk Sahnaz dengan air mata yang mengalir. Sebuah duka yang terbit kembali. Sementara itu Sahnaz pun sama. Dia mengusap belakang kepala Sid sambil berbisik, "It's okay. Aku kehilangan juga."
Gue bingung karena malah semakin sesak melihat pemandangan itu. Sebenarnya Sid milik siapa?
Gue bahkan masih tetap memandang ketika Sahnaz mencium Sid. Dan perasaan di dada gue semakin aneh. Saat Sid bergeser sedikit sehingga membuat ruang yang cukup untuk membuka pintu, gue segera bergegas menyalip kesempatan itu. Dengan satu mantra pintu itu terbuka sedikit. Gue yakin Sid bahkan menyadari itu. Lalu gue berjalan cepat keluar dari rumah.
Sambil berjalan gue menjentikkan jari sehingga semua mantra dan sugesti yang ada di sekitar rumah ini terlepas. Tanaman bunga rambat yang memagari rumah seketika layu. Gue cuma mempertahankan keindahan di belajang rumah. Bagian kecil di mana makam ibu Sid berada.
Di sana Timothy masih tertegun memandangi rumah Sid dari dekat mobil. Alis Tim mengendur. Raut mukanya memerah dengan ekspresi bisu. Apa yang terjadi?
Gue nyaris menampakkan diri di depan Timothy tapi gue urungkan. Tim sebelumnya nggak tahu gue ada di sini. Juga karena tiba-tiba Tim mengelap matanya yang basah. Lalu dengan cepat dia memutar badan dan masuk ke dalam mobil sampai kemudian dia pergi dengan mobil itu. Gue nggak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi ada aura membiru padam yang meluntur dari pergelangan tangan Timothy yang masih terbaca jelas dan mengisyaratkan sebuah energi kesedihan.
Sekali lagi gue menoleh ke belakang untuk melihat rumah itu. Selama hidup gue jarang banget bertemu perasaan sedih. Karena hampir nggak ada bagian paling sentimen dalam hidup gue yang terkoyak sebelumnya. Tapi kali ini lain. Beberapa hari menghabiskan waktu bersama Sid meski dengan sebuah alter yang berbeda. Tapi tetap saja, yang akhirnya gue sukai adalah rupa siapa kalau bukan Sid sendiri. Seminggu sudah cukup untuk merasa benar-benar memiliki. Sebuah visi masa depan yang beberapa kali terlihat sangat gue percaya. Tapi kalau situasinya seperti ini, bagaimana? Sid bukan milik gue. Sid sedang milik Sahnaz.
Menahan satu desakan di pelupuk mata, gue lantas berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah ke mana Timothy pergi. Berjalan dengan perasaan bingung dan hati yang tanpa henti mengutuk diri sendiri.
Di sepanjang jalan sisa-sia mayat bergelimpangan. Aroma tak sedap sudah diterbangkan ke mana-mana oleh angin. Sejak itu matahari tak pernah terlihat lagi. Awan hitam menyelubung atmosfer rapat-rapat. Angin juga seperti tak memiliki jeda untuk bergerak. Wilayah ini benar-benar sepi, yang sebenarnya sudah cukup aman kalau keluar rumah. Tapi siapa yang sanggup? Siapa yang akan bisa tega berjalan keluar untuk menyaksikan semua kekacauan yang ada?
Rumah-rumah di sepanjang jalan yang gue lewati sudah sepi ditinggal penghuninya. Beberapa ada yang benar-benar kacau seperti bekas diterpa badai. Perlahan gue melepas mantra tak terlihat. Langkah kaki gue mulai tampak di trotoar. Gue membisikkan mantra lagi untuk sebuah pakaian aksi yang berwarna hitam. Meski itu malah jadi mengingatkan gue pada malam ketika Sid mulai menerima dirinya sebagai separuh iblis dan kami bertarung bersama. Tapi gue segera menepis pikiran itu. Gue merasa nggak penting.
Angin masih bergerak kencang dan dingin sampai-sampai gue harus mengusap lengan, saat di jarak sepuluh langkah di depan gue, ada seorang pria dewasa yang berdiri. Dia memakai mantel panjang berwarna cokelat yang menjuntai seperti jubah sampai betis. Sepatunya terbuat dari kulit. Terlihat rapi dengan celana panjang dan kemeja krem yang juga dirangkap kardigan. Ada sebuah syal yang melilit di sekitar lehernya seolah dia sudah sangat mempersiapkan diri untuk momentum kacau ini dengan penampilan yang rapi. Dia memandang ke arah gue. Jantung nyaris terhenti karena gue sangat mengenali wajah itu. Langkah gue terhenti juga.
Yang gue lihat dari penampakan masa depan memang sedikit buyar. Tapi kalau yang sekarang berdiri di depan gue adalah Sid dewasa itu, gue nggak tahu lagi. Kalau itu dia, kenapa ada di sini? Kenapa menghadang gue seolah dia sudah tahu gue akan melewati jalan ini?
Beberapa saat saling tertegun. Kemudian dia yang melangkah duluan untuk mendekat ke arah gue sampai jarak kami hanya tinggal satu langkah. Gue memandang wajahnya yang seperti ingin tersenyum. Rambutnya yang di bagian depan bergerak tertiup angin.
"Nggak harus memperkenalkan diri lagi, kan?" ujarnya dengan nada bicara yang lembut. Suara pria dewasa yang seolah tahu bagaimana cara menghadapi cewek semuda dan keras seperti gue.
"Lo siapa?" tanya gue pura-pura mengelak.
"Nggak perlu pura-pura lagi."
Gue seperti gagu karena nggak tahu mau ngomong apa.
"Maafin aku yang bodoh, ya. Di masa ini aku mengacaukan banyak hal," ujarnya. "Dan mungkin aku nggak akan bisa jadi sestabil ini kalau nggak ada kamu."
Gue bingung mau menampik dengan cara bagaimana. Kalimatnya seolah mengiyakan apa yang gue lihat dari visi masa depan yang ditunjukkan oleh alter iblis itu.
"Untuk apa lo muncul?" tanya gue malahan.
"Mungkin untuk menyelesaikan semua kekacauan ini," jawabnya. "Dan karena tahu kamu nggak bisa bergerak sendirian."
"Gue bisa."
Alisnya terangkat sebelah. Lalu ada gerak bibir yang mengisyaratkan ingin mencemooh jawaban gue tadi. "Iya, kamu memang bisa. Tapi saat ini yang tahu tindakan paling tepat buat menyelesaikan kiamat ini hanya aku. Dan mungkin memang harus aku yang melakukannya."
Gue tertegun sesaat. "Lo beneran Sid?"
"Suami kamu di masa depan tepatnya," jawabnya dengan senyum percaya diri tapi tetap terkendali.
Berdebar. "Itu cuma tipu muslihat iblis, kan?" tepis gue. Angin masih berkelabat di sekeliling. Menggerakkan rambut dan mantelnya.
"Apa harus aku kasih bukti yang nggak bisa kamu bantah lagi? Yang sudah kamu lihat memang benar, Lex." Rasanya aneh bertemu dengan pria dewasa yang mengaku sebagai suami masa depan gue di situasi seperti ini.
"Ini lo yang asli atau-."
"Aku yang asli. Aku yang ini sudah nggak terikat dengan iblis lagi. Sesuatu terjadi. Mungkin tak lama lagi setelah ini. Kamu nanti ngerti."
"Maksudnya?"
"Semua ini akan berakhir. Kekacauan ini akan berakhir. Dan beberapa orang harus berkorban. Termasuk aku."
"Gue nggak ngerti apa maksud lo."
Dia memutar bola mata. "Intinya kamu jangan berjuang sendirian," tegasnya. "Aku sudah berkelana sama Juno selama ini. Dan dia sudah tahu tentang kamu. Juga apa yang sedang terjadi antara aku dan kamu di zaman ini. Itulah kenapa Juno menunda untuk ketemu sama aku di zaman ini. Karena aku yang meminta. Lalu bagian ini biar aku yang selesaikan."
"Kenapa lo harus datang dengan solusi? Maksudnya kenapa harus datang setelah semua ini terjadi? Kenapa nggak datang ketika semua belum terjadi dan lo mencegah semuanya?"
"Ada banyak takdir yang nggak bisa dibengkokkan. Terutama kematian. Dan satu lagi, pertemuan. Aku nggak bisa membatalkan itu karena ada takdir lain yang harus tetap dipertahankan. Karena setelah ini banyak manusia yang akan belajar dan memasuki fase kesadaran yang baru. Memang banyak yang akan kehilangan. Tapi kebangkitan spiritual mereka akan jauh lebih cepat."
Sid benar-benar telah dewasa dan terlihat berhasil dengan itu. Belum sempat gue merespons, dia menyentuh pundak gue dan dalam sekejap gue merasakan sebuah lentingan jarak dan waktu dengan cepat. Dia membawa gue berteleportasi dengan durasi yang lebih singkat dari sekedip mata. Karena tiba-tiba kami sudah berada di atas atap rumah di seberang trotoar. Gue bahkan terhuyung sebentar karena merasakan sedikit ketidakseimbangan. Tapi Sid memegangi gue agar tidak jatuh.
Gue tertegun sesaat. "Bagaimana caranya lo melakukan itu?" tanya gue masih penuh kebingungan.
"Istriku yang ngajarin," jawabnya sambil mengusap debu dilututnya sendiri. Kami lalu duduk menghadap jauh ke rumah Sid yang juga hanya terlihat atapnya.
"Maksud lo ... gue?"
"Siapa lagi? Sahnaz? Ya, kamu lah."
"Ini beneran nggak sih?" gue berusaha meyakinkan sekali lagi.
"Bentar," ujar Sid. Lalu dia mengeluarkan sebuah gawai aneh yang bentuknya tipis banget. Benda itu ternyata ponsel. Tapi bisa menayangkan sebuah monitor hologram di hadapan kami. "Di masa depan cuma beberapa orang saja yang masih pakai ponsel klasik. Dan hanya orang yang mampu beli saja yang punya ginian."
Gue nggak menanyakan nama benda itu. Sid mengusap layar gawai itu beberapa kali sampai monitor hologram di depan kami itu mengikuti arahannya. Menampilkan beberapa slide foto. "Di mana, ya ... oh, ini," dia berhenti pada sebuah foto. Potret perempuan yang sedang memangku anak kecil cewek. "Itu kamu dan anak kita yang berumur satu setengah tahun. Namanya Calix."
Mulut gue sontak terbuka lebar dan langsung menoleh ke arah Sid. Alis gue menyudut kencang banget. Sid menoleh ke gue dengan senyum lebar tanpa ragu. "Masih perlu bukti lagi?"
"Ini mungkin editan dan akal-akalan."
Sid memicingkan matanya. "Next slide."
Gue beralih ke monitor hologram tadi dan di sana sudah menayangkan sebuah foto anak laki-laki berumur mungkin sepuluh tahunan. "Namanya, Axton. Anak kedua kita. Sori, lupa bilang, Calix tadi yang ketiga. Di masa depan kamu lagi sering marah-marah ke Axton karena dia nggak mau selesaikan proyek sekolahnya dan malah sibuk main gim VR setiap waktu."
Mulut gue masih ternganga. "Tunggu! Ada berapa?" tanya gue entah kenapa malah panik.
"Apanya?"
"Anak lo."
"Baru tiga."
"Hah?" gue terkejut.
"Dan ini dia yang pertama. Jagoanku. Yang sekarang sedang kuliah di US. Namanya Kansas," gue semakin syok, banget, sama semua pemaparan Sid.
"Lo umur berapa sekarang?!" tanya gue sedikit ngotot.
"41 tahun."
"Serius? Kenapa masih terlihat seperti awal tiga puluhan."
"Aku dan kamu sama-sama berhenti menua di usia segitu. Jadi sampai kapan juga kita akan tetap terlihat muda. Ini semacam pengaruh mantra dari kamu. Ke depannya kamu bakal makin hebat, asal kamu tahu."
Gue masih berusaha merangkai semuanya agar bisa dipercaya sambil memandangi wajah cowok bernama Kansas di monitor hologram itu.
"Aku sengaja datang ke sini karena tahu fase ini kamu lagi sendirian. Dan ternyata kenapa akhirnya kamu aman-aman saja ya karena ditemani aku yang ini. Paham nggak?"
"Kenapa kamu harus muncul?"
"Kan sudah kubilang, mau menyelesaikan semuanya. Seingatku kejadian ini akan berakhir secara misterius. Tapi sekarang ketika aku datang ke sini, ada semacam dugaan kalau yang menyelesaikan secara misterius itu adalah aku sendiri. Karena cuma orang dari masa depan saja dan yang selamat dari apokalips ini yang tahu sumber masalahnya di mana. Dan detik ini cuma aku yang tahu. Bahkan Juno nggak tahu padahal kami bareng terus selama ini. Selain itu aku datang karena kamu perlu ditemani."
Gue mengusap kening sendiri. "Jujur. Gue masih punya satu milyar pertanyaan."
"Tapi kita nggak punya waktu banyak buat mengurai satu milyar pertanyaan itu, kan?"
Gue menghela napas.
"Kalau nggak meleset. Berarti sekarang kamu sedang mengandung Kansas."
"HAH?" kali ini gue terkejut melebih yang sebelumnya.
"Nggak usah terkejut. Kita melakukan itu," ujarnya seperti biasa saja. "Ya meski bukan dalam kesadaranku. Tapi itu benar-benar terjadi, Lex. Kansas tercipta dari sana."
Sesaat gue melirik perut gue sendiri dengan sedikit paranoid. Napas gue memburu.
"Dan kamu nggak boleh marah karena di sini yang punya kesadaran ketika melakukan semua itu adalah kamu, Lex."
"Tapi bukannya-."
"Iya. Memang iIblis yang mengendalikan. Tapi secara biologis tetap aku yang jadi ayah dari Kansas. Aku pernah diam-diam menguji keaslian DNA Kansas dan keterkaitannya sama aku. Tanpa sepengetahuan kamu. Dan itu seratus persen."
"Tapi bagaimana bisa? Maksudnya ... gue beneran bingung."
"Aku nggak mau cerita banyak. Karena kamu juga harus ketemu takdir itu juga. Sama aku."
"Sahnaz?"
Sid lalu beralih memandang atap rumahnya sendiri. "Dia punya takdirnya sendiri yang nggak bisa aku ubah atau paksakan."
"Tapi kan ... di masa ini lo masih bahagia sama Sahnaz!"
"Sesuatu akan terjadi, Lex. Dan aku nggak mau ikut campur."
"Sesuatu apa?"
"Ya sesuatu. Buktinya sekarang aku lebih milih di sini sama kamu dari pada nemuin diriku sendiri dan Sahnaz. Karena aku sedang nggak berusaha mengubah apa pun."
Gue termenung sesaat. Jujur, gue sudah punya rasa percaya dan suka ke Sid. Dan dengan dia yang datang dari masa depan menjelaskan semuanya, ngasih tunjuk banyak hal, juga karena dia bilang keberadaannya akan menyelesaikan kekacauan ini. Apalagi karena nurani gue merindukan sebuah keluarga yang dari dulu seperti mustahil untuk gue dapatkan, aku tergiur dengan apa yang aku tahu saat ini. Gue nggak salah, kan? Siapa sih yang nggak akan memihak sebuah percaya yang positif di tengah kekacauan seperti ini?
"Bagaimana ceritanya kenapa lo bisa berakhir sama gue? Kalau semua ini bukan bohongan."
Sid terkekeh. "Itu petualanganmu sendiri dan aku di masa ini. Tapi, kita akan belajar banyak kok. Terutama aku. Akan ada yang jauh lebih hebat dari ini."
Entah kenapa gue tersenyum sedikit. Ada sayatan yang terobati. "Jadi lo sekarang datang untuk gue?"
"Kalau nggak untuk kamu, berarti untuk Kansas," jawabnya dengan nada bicara keayahan yang begitu serius. Tentu gue nggak pernah melihat ekspresi keayahan seseorang sebelumnya. Dan ini terasa lain.
"Lo yakin gue ... mengandung?" tanya gue.
"Ya sekarang mungkin kamu belum sadar. Tapi nanti kamu akan tahu. Dan selagi Sid di masa ini masih akan mengabaikan kamu, makanya aku yang harus menebus. Jadi, impas. Aku yang sudah punya pengalaman dengan tiga anak, harus mengedukasi kamu di masa sulit seperti ini. Lagian kalau bukan aku, siapa lagi coba?"
Gue tertegun karena perlahan segalanya mulai masuk akal.
Kemudian Sid mengambil tangan kanan gue. Di sana terlihat sangat kontras. Dua tangan beda usia. Kali ini bahkan terasa benar-benar berbeda. "Kamu cewek yang tangguh. Paling tangguh dari yang pernah aku temui. Kamu juga galak. Paling pinter nyari cara buat marahin aku kalau bikin salah. Mungkin di rumah malah kamu yang kayak jadi kepala keluarga," Sid terkekeh sebentar. "Tapi tetap. Bagaimana pun kan kamu yang lahirin ketiga anakku. Aku menghargai kamu."
Gue menelan ludah sendiri diperlakukan sebaik ini sama seorang pria. I mean, my future husband?
"Sekarang kamu mulai suka sama aku, kan?" tanya dia menebak.
"Artinya gue merebut lo dari Sahnaz nggak sih?" gue ragu.
"Nggak juga. Dia juga bersalah."
"Bersalah apa?" tanya gue lagi.
Tapi Sid malah tertawa. "Hah. Aku juga heran. Tapi nanti kamu akan tahu lah. Detik ini aku di zaman ini pun belum tahu. Tapi nanti akan."
Sid melepaskan syalnya dengan satu tangan. Lalu melilitkannya di leher gue. Setelahnya dia menatap gue dengan lamat. Menyentuh pipi gue dengan tangan kanannya. Perlahan hidung Sid tampak memerah bersamaan dengan kedua bola matanya. "Sekarang aku ngelihat kamu nggak ubah seperti sesosok gadis yang sangat kuat, Lex. Kamu melalui masa lalu yang berat. Apa pun itu."
Dan kalimatnya kali ini benar-benar mengenai gue. Mendadak perasaan gue tersentuh.
"Sudah cukup berjuang sendiriannya," ujar Sid. "Tolong percaya sama aku kali ini. Kalau yang aku ceritain tadi dan keberadaan aku di depan kamu ini masih seperti mustahil buatmu, apa itu nggak lebih mustahil dari keadaan saat ini yang ternyata benar-benar nyata?"
Gue menjatuhkan pandangan ke bawah. Demi apa pun, gue meneteskan sesuatu dari mata. Maksudnya, gue nggak pernah loh seumur hidup dapat perlakuan yang selayak ini dari seorang cowok.
"Di masa depan kita punya keluarga dan rumah yang selama ini kamu impikan. Aku tahu karena kamu selalu mengatakan itu. Kalau kamu sekarang sudah punya sepercik bara percaya sama apa yang aku sampaikan, aku janji akan bantu kamu memperbesar bara itu. Karena, jujur, di masa depan aku sudah mendapatkan semuanya. Kamu, rumah, dan anak-anak. Sekarang aku datang untuk menyelamatkan semua itu," ujarnya bersama satu aliran yang meluncur di pipinya.
Sid mengangkat dagu gue dengan telunjuknya. "Kamu percaya kan sama aku?"
"Berusaha percaya," jawab gue getir.
Sid mengangguk dengan senyum. "Kamu memang hebat. Tapi aku akan di sini selama kamu berjuang. Aku akan berjuang untuk kamu dan semuanya. Kekuatan apa pun yang kamu punya saat ini, gunakan sehebat mungkin. Aku akan ngimbangin kamu. Di masa depan kamu juga ngajarin aku banyak mantra. Jadi aku bisa mengimbangi kamu saat ini dengan apa yang aku punya. Jadi, setelah ini giliran petualangan kita."
"Sid gimana? Maksud gue-."
"Dia atau aku yang itu akan belajar sesuatu. Dan ada satu hal yang akan bikin dia makin sedih kalau dipaksa mengikuti keadaan yang sekarang. Jadi biarin aku aja."
Gue benar-benar luluh dan memilih untuk percaya. Lalu Sid yang dewasa itu memeluk gue dengan pelan. Sebuah rengkuhan dari pria dewasa yang terasa berbeda.
Pelukan itu hanya sebentar. Kehidupan gue memang sefantasi ini dan gue percaya. Kalau nggak percaya, sama saja seperit gue menafikkan kemampuan gue yang memang semustahil itu kalau dinilai dari kacamata rasio. Tapi rasio gue mengatakan ini nyata.
"Sekarang gimana?" tanya gue yang mulai menaruh kepercayaan pada pria ini.
"Mau pakai rencanaku atau rencanamu?" dia menawarkan.
"Selama ini gue meremehkan lo, sih. Jadi, sekarang gue kasih kesempatan. Pakai rencana lo aja. Lagian, gue belum memiliki rencana apa pun karena tadi pergi juga sebab ... ya itu lah."
Dia tertawa lebih lepas. "Okelah. Asal kamu tahu, aku yang di depanmu ini punya kemampuan yang lebih kuat dari apa yang kamu punya sekarang."
Gue mengerutkan dahi dengan senyum tak percaya. "Kan katanya gue yang ngajarin."
"Iya, tapi kan secara energi aku yang dewasa lebih besar."
"Kalau gitu coba bukutiin sekarang!" tantang gue.
"Teleport tadi masih kurang meyakinkan?"
"Yang lain dong!"
Dia memutar bola mata. Lalu tanpa aba-aba menjentikkan jari dan seketika seperti ada tiupan angin besar dari balik mantelnya yang membuat tubuhnya melayang dengan sangat halus sampai setinggi beberapa meter dari atap. Lalu mendarat lagi dengan posisi berdiri.
Gue cukup antusias sampai ikut berdiri. "Lo pakai mantra apa?"
"Nggak boleh dikasih tahu dong, kan kamu juga yang nanti nemuin mantra ini."
Gue bersedakap sambil memicingkan mata. "Yang lain."
Dia berkacak pinggang seperti menyerah. Tapi bukan, dia cuma sedang ancang-ancang untuk aksi magis lain yang lebih mencengangkan. Yaitu sebuah kecup. Di atap tinggi. Di tengah angin yang melilit. Gerimis tipis. Dan rasa sendu yang perlahan melunakkan perasaan. Dan pada saat yang sama dia juga melakukan teleportasi yang lebih cepat dari kedipan mata.
Dia membawa gue berpindah ke sebuah trotoar lain, di mana dari posisi kami berdiri, terlihat dengan jelas Remember Me yang runtuh, nyaris rata dengan tanah. Ada apa lagi?
***
*****
Hmmm. Gimana komentar kamu untuk bab ini?
Apa yang kamu rasakan selama membaca bab ini?
Yaaah, itu Remember Me runtuh kenapa? :(
Terus Timothy gimana? :(
Kalian paham kan sama bab ini?
Jangan benci sama Lexi atau siapa pun tokoh di buku ini. Mereka sama seperti manusia biasa yang berbuat kesalahan dan belajar dan berubah dan melanjutkan hidup.
UYS tinggal sekitar 15 bab lagi, guys. Huhu.
Intinya semua akan terjadi untuk takdirnya masing-masing. Dalam kehidupan ini saya nggak percaya adanya kebetulan. Saya lebih percaya yang semacam "kebetulan" itu sebagai sinkronitas. Termasuk kehidupan kalian juga.
Apa pun yang terjadi. Tetap berbuat baik, ya. Serius, kamu di masa depan akan berterimakasih sama kebaikan yang kamu lakukan hari ini. Begitu pun kamu di masa depan akan menyesali keburukan yang kamu lakukan saat ini. Jangan sampai deh ya di masa depan nanti kita malah mengalami kesulitan hidup karena terjebak pada situasi karmic (karma).
Kalau hari ini masalah kalian banyak dan hidupnya terasa pelik. Coba beristighfar. Terutama untuk semua kesalahan yang barangkali tak sengaja kamu lakukan di masa lalu. Sebab, kamu yang sekarang adalah sebab dari kamu di masa lalu.
Tetap sehat, ya. Baik-baik di sana.
Terimakasih sudah berkomentar, vote, dan share. Terumata terimakasih sudah membaca. It mean a lot for me. ^^
Sampai jumpa di bab selanjutnya. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top