22 - K A T A S T R O F E

Halo. Selamat siang.

Iya ini update. Seneng kalian pada.

Kangen nggak neeeh? Say my name! Lol lol lol.

Belakangan saya lagi agak kurang sehat dan banyak urusan. Jadi malas unggah. Dan emang udah malas unggah UYS sih. Zzz. Nggak usah disemangatin. Saya lagi perlu malas.

Apa kabar jiwa raga? Sehat? Semoga jerawatnya cepat sembuh ya kalian. Lol.

Nggak kerasa udah setengah jalan nih Ramadhan. Semoga kalian mendapatkan keberkahan dan ganjaran yang setimpal dari usaha kalian, ya. Aamiin.

Udah utang berapa hari neh? Heuuu.

Um, bagaimana bab kemarin POV Timothy? Hahahahahahahahahaha.

Kalem atuh da saya mah bukan PHO. Hanya profesional di bidang menirukan PHO sahaja khusus menghidupkan karakter Timothy.

Ada yang nanya, Bang nama Sahnaz diganti ya? Iya, saya ganti. Waktu itu di Instagram beda.

Ada yang nanya lagi, Bang nama panjang Timothy siapa? Timothee Chalamet kayak cast Juno? Kerana ini Timothy-nya lokal maka namanya adalah Timothy Slamet.

Hahaha, canda. Nama panjangnya nanti ada. Buat plot twist aja.

Awas, bab ini bakal mencengangkan. Yep, seperti biasanya.

Di bab ini agak brutal. Berakhir membingungkan. Dan hati-hati, imajinasinya dijaga jangan sampai kelepasan. Karena saya juga nggak akan menjelaskan secara detail. Hanya ngasih tahu kecelakaan-kecelakaan yang terjadi di dua sisi. Saya terpaksa unggah siang karena nanti malam ada acara.

Untuk bab selanjutnya dari 10K naikin ke 13K deh. 10K belum juga 24 jam udah sampai komentarnya. Maruk kalian mah sama UYS. 13K no tawar-menawar no berbaik hati saya.

Saya menyarankan lagu untuk di bab ini diputar. Karena efeknya mampus banget. Lagunya berjudul Dynasty by Rina Sawayama.

Selamat membaca, ya. Lumayan jeda 4 hari, wkwk.

Bantu saya temukan typo. Saya selalu baca komentar kalian.

***

*******

BAB 22

[Timothy]

Kalau gue mengubah diri menjadi materi keras, mungkin gue bisa melawan mereka tetapi Sahnaz juga besar kemungkinannya untuk terancam karena dia nggak punya perlawanan. Bisa-bisa dua orang yang terdengar sangat marah itu meringkus kami atau melakukan perbuatan yang bengis. Karena sepertinya satu-satunya yang mereka inginkan adalah agar kami mati.

"Ini kalau orang biasa nggak mungkin ngumpet, sialan! Cuih! Nggak mungkin cuma satu orang di dalam sini kalau ada mobil dan banyak keranjang. Pasti mereka tahu sesuatu makanya langsung ngumpet waktu kita datang ke sini," ujar salah satu dari mereka yang terdengar ngotot. "Sudah lah, bakar aja tempat ini, anying. Biar jadi abu mereka."

"Woi! Keluar lo pada, sampah!" teriak yang satunya lagi. "Gue tahu ada orang di dalem, woi! Dikira gue nggak denger suara cewek? Hah! Binasa, kalian! Manusia rendahan! Mati aja, kalian, mati!"

Lalu pintu ditendang kuat-kuat. Pintunya terbuat dari besi makanya suara tendangannya terdengar keras dan menakutkan dari dalam. Mereka nggak berhenti berserapah.

"Kita harus gimana, Tim?" rengek Sahnaz lirih.

Napas gue terengah-engah karena jujur ikut terbawa paniknya Sahnaz. Ruangan ini hanya seukuran kamar. Ada satu pintu lagi yang terhubung ke ruangan lain yang sepertinya itu adalah gudang. Tapi bisa fatal kalau kami malah masuk lebih dalam lagi.

Satu-satunya cara untuk keluar dari sini adalah kalau gue mengubah diri menjadi zat gas atau udara. Sebab jika gue bisa keluar dari sini maka gue akan bisa dengan mudah menangani mereka. Akan tetapi fentilasi di ruangan ini terlalu tinggi untuk gue raih. Gue nggak bisa menyentuh udara yang bergerak jadinya. Mengubah diri menjadi materi keramik pun akan lebih susah kalau tetap saja harus membuka pintu. Gue tidak masalah melawan mereka. Yang gue cemaskan cuma Sahnaz nggak mungkin bisa melawan.

Satu-satunya pergerakan gas yang ada hanya napas kami sendiri. Pada saat itulah gue memiliki ide yang kurang meyakinkan dan belum pernah gue coba sebelumnya. Ide itu datang dari napas yang berembus.

Gue melepaskan dekapan pada Sahnaz. Lalu memegang kedua sisi leher Sahnaz sambil ibu jari mengusap sekitar pipinya. Gue melepas helmnya ketika di dekat rak obat tadi. Lalu gue berbisik di dekat wajahnya. "Kita mungkin akan mati, tapi bukan sekarang."

Sahnaz terisak ketakutan.

"Lo di sini aja. Kalau bisa masuk ke bagian paling dalam ruangan ini. Jangan nyalakan senter, karena perubahan gue kali ini akan membuat gue melepas semua pakaian gue. Nurut sama apa yang gue bilang, oke?" pinta gue lagi.

"Kamu mau ngapain?!"

"Menyelamatkan lo, tentu saja," ujar gue dengan nada diberanikan. "Nurut, ya?

Sahnaz mengangguk lalu gue suruh untuk pelan-pelan masuk ke dalam ruangan yang lain. Ruangan ini gelapnya bukan main. Entah kenapa gue lebih merasakan tekanan ketika berhadapan dengan dua manusia ini dari pada dengan para Wilwa. Mungkin karena manusia bisa memuntahkan sumpah serapah yang mampu mengerdilkan nyali. Tapi kali ini gue memberanikan diri meski gemetar.

Di depan gue sedang ada ujung benang yang sedang dicari oleh Juno dan para elit Sinestesian lainnya. Musuh. Kalau gue sampai mati tanpa sempat menyampaikan informasi ini, maka gue sama saja seperti mati dengan sia-sia. Gue nggak mau mati untuk saat ini. Gue nggak mau kalah dari mereka. Dan gue nggak mau ciuman dari Sahnaz tadi berlalu tanpa penjelasan apa pun darinya.

Gue berjalan mendekati pintu. Ingin merasakan tekanan dari intimidasi mereka lebih dekat. Sebab entah bagaimana, seperti ada yang bergejolak di dalam tubuh gue. Sebuah pengetahuan anyar baru saja terpasang di dalam memori gue. Ini terasa seperti momen-momen ketika sinestesia gue mengalami evolusi. Namun ini adalah pengetahuan potensi. Di dalam kilasan itu pengetahuan baru berkata bahwa gue bisa menyerap materi serupa untuk membesarkan tubuh dan menggunakannya sebagai perlindungan. Gue juga melihat materi-materi lain yang terus berseliweran di dalam kepala. Rasanya seperti sebuah ponsel yang baru saja diinstal sebuah aplikasi dan gue adalah ponsel itu yang sedang beradaptasi dengan aplikasi tersebut.

"Lakukan sekarang," kata sesuatu yang selalu membimbing gue dari dalam kepala sejak gue berevolusi.

Gue melepaskan kacamat dan menyimpannya ke dalam saku jaket. Penglihatan gue lebih baik ketika gue berubah materi. Lalu gue menarik napas panjang dan menahannya cukup lama di dalam dada. Sampai dirasa cukup sesak gue lantas menadahkan kedua telapak tangan seperti berdoa lurus di depan wajah. Kemudian gue mengembuskan napas perlahan tepat di kedua telapak tangan gue. Konsentrasi gue langsung berpusat pada indera peraba. Sebuah klik klik klik bekerja begitu cepat di telapak tangan gue. Rasanya seperti sedang kesemutan. Ini proses pengenalan materi. Yang gue raba bukanlah udara biasa, melainkan karbondioksida. Zat gas emisi dari respirasi paru-paru yang tidak diperlukan oleh tubuh lagi, atau malah bisa bersifat racun. Tak lama kemudian ..., poof ..., berhasil. Pakaian gue terjatuh di lantai seolah tak ada orang yang memakainya. Tubuh gue berubah menjadi zat gas dengan materi karbondioksida yang pekat.

Rencana selanjutnya adalah gue harus keluar dari ruangan ini. Satu-satunya jalan keluar adalah fentilasi di atas pintu. Karena bentuk gue sudah seperti gas, lantas gue bergerak bebas merambat di udara dan menyelundup keluar melalui celah fentilasi seperti asap begitu saja. Proses ini sangat mulus dan tidak diketahui oleh dua bangsat itu. Begitu berhasil keluar, gue tidak langsung mengacaukan mereka. Gue punya rencana.

"Hei," ujar gue dari jarak beberapa langkah di belakang mereka. Sontak mereka menoleh ke belakang dan menyorotkan senter. Namun mereka kebingungan karena tidak bisa melihat rupa gue yang berbentuk transparan karbondioksida dengan konsentrasi pekat.

Dua orang ini berpakaian yang sama berwarna serba hitam. Model pakaiannya aneh seperti seragam. Jari-jari mereka dipenuhi cincin akik. Mata mereka memakai celak hitam. Aromanya seperti wewangian minyak dari penyulingan kekayuan klenik. Yang satu berperut buncit seperti om-om, nggak tahu umur berapa. Satunya lagi masih muda seperti berusia awal tiga puluhan.

"Lo berdua mengintimidasi orang yang salah di ruangan ini," ucap gue lagi berusaha mengompori emosi mereka.

Yang perutnya buncit lalu berjalan maju dengan kedua bola mata yang mendelik seolah ingin menghajar gue seandainya terlihat. Namun ketika dia masih berjalan, tangan gue yang tak terlihat olehnya itu bergerak halus menerjang wajahnya dan membiarkan satu lengan karbondioksida pekat membajak saluran pernapasannya sampai ke dasar paru-paru.

Mungkin kalau ini bisa terlihat maka akan tampak seperti seseorang yang menelan tangan melalui hidung. Gue yang tidak bisa dihajar ini lantas mengeruk sampai pada paru-parunya. Bertahan lama di sana sampai orang itu terkejut dengan napasnya yang sesak. Usaha gue kali ini akan menghambat oksigen yang masuk ke dalam tubuhnya.

Tapi tunggu, great, orang ini punya asma. Dia langsung terjerembab ke belakang menubruk rak kopi saset dan memegangi dadanya sendiri seperti bengek. Atau setidaknya efek dari yang gue lakukan ini membuatnya susah bernapas. Jelas, konsentrasi karbondioksida yang pekat dan terlalu banyak pada tubuh akan membuat oksigen dalam darah menjadi sulit untuk di lepaskan ke dalam sel tubuh.

Laki-laki yang lebih muda mendekati si Om yang mulai seperti sekarat mengalami gagal napas. Orang itu sudah terkapar di lantai dan seperti kesusahan menghidu oksigen. Tentu saja semakin susah karena setiap dia berusaha menarik napas yang masuk ke dalam tubuhnya justru karbondioksida yang harusnya dikeluarkan tubuh. Tak lama kemudian, kepekatan zat gue sepertinya mulai merambah pada otaknya.

Lo yang akan mati di sini, bedebah! Entah kenapa gue semakin marah karena mendengar mereka yang memanggil semua Wilwa hanya untuk maksud biadab. Dan kalau harus melakukannya, maka orang ini akan menjadi manusia pertama yang gue bunuh.

"OM ...! OM ...!" yang muda panik. Gue punya rencana lain untuk yang satu ini.

Seberapa lama manusia normal mampu menahan napas? Satu menit? Dua menit? Tapi dengan kadar karbondioksida yang sepekat ini belum sampai dua menit orang yang gue bajak saluran pernapasannya itu sudah tak sadarkan diri. Entah mati atau pingsan. Yang jelas, dia terkapar tak berdaya. Gue masih bertahan pada saluran pernapasannya satu menit kemudian sampai akhirnya ... gue merasakan sebuah detak yang berhenti. Barulah setelah itu gue menarik diri dari tubuhnya.

Gue menghuyung mundur sampai pada di sebalik rak yang tidak terpapar sorotan senter. Gue ingin mengubah diri menjadi manusia lagi tapi pasti akan terasa aneh sebab telanjang bulat. Lalu dia berkata lagi, "Kau ingat bagaimana rasanya saat menyentuh api dan mengubah materimu menjadi api?"

"Ya," jawab gue lirih.

"Kalau kau bisa mengingat setiap materi yang pernah kau sentuh dan pernah mengubah diri menjadi materi itu, maka kau bisa melakukan transformasi materi tanpa harus menyentuhnya lagi. Indera perabamu menyimpan memori itu. Kau pasti bisa tahu bagaimana tekstur sebuah kain tanpa harus menyentuhnya, kan?"

"Ya."

"Memori manusia mengingat banyak hal melalui rangsangan pada semua inderanya. Kau mengingat aroma, warna, suara, dan rasa. Kau juga pasti bisa mengingat sebuah tekstur dari materi benda-benda yang pernah kau sentuh. Indera perabamu adalah pusat memori terdahsyatmu, Timothy."

Gue jadi teringat bentuk tato yang terlukis seperti hena yang magis di kedua tangan gue. Lexi sempat memuji bentuk tato gue. Dan akhirnya gue mulai mengerti.

"Selagi kau pernah mengalami perubahan dengan materi tertentu, maka kau tak harus selalu menyentuh dulu untuk bertransformasi. Karena tekstur dari materi itu sudah terekam dalam memorimu."

Sebuah ledakan pengetahuan memencar di dalam kepala gue dan membuka pemahaman yang lebih besar. Jadi gue bisa bertransformasi tanpa harus ke mana-mana membawa kunci inggris? What the waw? Kenapa malaikat gue baru ngasih tahu sekarang dan bukannya tadi pas gue lagi panik nyari udara?

"Kenapa gue baru dikasih tahu sekarang?"

"Kau sudah cukup belajar dan rasa tertekan itulah yang membuka tingkatan baru ini. Setelahnya lebih seringlah mencoba banyak material baru."

Setalah itu di dalam kepala gue seperti ada tayangan kilasan yang berisi pilihan memori materi yang bisa gue pakai untuk transformasi selanjutnya. Kalau divisualisasikan mungkin lebih seperti memakai helm robotik yang menayangkan menu kemampuan khusus. Bedanya ini di dalam kepala yang hanya gue saja yang bisa melihatnya.

Air, listrik, udara, api, besi, kayu, kaca, keramik, batu, dan sosis―nggak mungkin gue jadi sosis untuk melawan begundal. Semua memori transformasi itu seolah melayang-layang di depan kepala gue dan seperti saling mengajukan diri untuk gue pilih. Tapi karena rencana gue kali ini agak gila, yang gue pilih adalah api. Gue pernah bertransformasi menjadi api dan rasanya kuat banget energi yang gue miliki saat memakai api.

Pemuda brengsek yang mulai ketakutan karena temannya mati tanpa terlihat siapa yang membunuhnya itu, sekarang lebih terkejut lagi saat sebuah kobaran api besar berjalan mendekat ke arahnya. Jilatan api yang gue miliki bahkan lebih besar dari biasanya. Dengan wajah beringas yang penuh kobaran marah, gue terus melangkah ke arah pemuda itu. Satu ruangan mini market menjadi terang. Plastik-plastik bungkus makanan meleleh setiap kali gue lalui, bahkan turut terbakar setelahnya. Semakin ada api yang bermunculan, semakin besar pula gue merasakan penambahan kekuatan.

Pemuda itu lantas berteriak ketakutan sambil mundur dan meringsak di pintu besi. Namun dia cepat-cepat berusaha melarikan diri keluar. Spontan gue melempar satu bola api ke arahnya dan mengenai tepat di punggung orang itu. Dia terus berlari meski sebagian tubuhnya sudah terbakar. Berteriak kesakitan ke jalan raya. Sampai akhirnya dia guling-guling di atas aspal dalam keadaan terpanggang api sebesar itu.

Dalam gerakan melayang seperti lesatan api, gue mengejarnya. Tentu saja, rombongan arak-arakan tadi terpancing untuk menoleh ke belakang. Rombongan itu terdiri dari beberapa Wilwa dan manusia-manusia yang tampangnya sama seperti dua orang yang baru saja gue habisi. Bedanya, ada satu raksasa besar yang berjalan di depan mereka. Sontak mereka menggembor ke arah gue dan bergegas menghampiri.

Gue berdiri di tengah aspal dalam wujud kobaran api yang sudah setinggi pohon. Suasana sekitar menjadi terang benderang. Dalam materi seperti api ini tidak ada yang bisa menghantam gue. Anehnya, raksasa tadi dan tiga orang yang memimpin arak-arakan itu terus berjalan dan tidak menghiraukan kehadiran gue. Berbeda dengan Wilwa dan manusia-manusia biadab itu yang malah berduyun-duyun menyerang gue.

Pada jarak beberapa meter setelah mereka mendekat, ukuran gue semakin membesar. Mereka mengurungkan diri karena ketakutan dengan rupa gue saat ini. Aji mumpung mereka sedang berkumpul di depan gue, maka gue merentangkan tangan sampai kobarannya memenuhi jalan raya. Kemudian gue bergerak cepat menyapu mereka seperti ombak api yang cukup kuat tanpa melewatkan satu pun yang menghadang. Lalu gue tetap bertahan di sana untuk memanggang mereka semua secara bersamaan.

Wilwa memiliki banyak rambut di sekujur badannya, itu membuat mereka justru mudah terbakar. Sementara itu manusia yang tersapu juga kalangkabut karena pakaian mereka terbakar. Lalu karena ingin segera mengentaskan mereka, gue lantas bergerak memutar membentuk efek gelombang pusaran besar agar mereka semakin terperangkap di dalam pusaran api dan benar-benar terpanggang sampai mati.

Setelah selesai dengan mereka, gue ingin mengejar raksasa dan orang-orang yang tak menghiraukan gue. Akan tetapi malaikat gue menahan dengan ucapan, "Kau tak mampu melawan mereka sendirian, Timothy. Mereka mengabaikanmu karena tahu kau hanyalah sepele yang bisa mereka habisi. Mereka tidak peduli dengan kawan-kawannya yang mati terpanggang. Mereka memiliki kemampuan lain yang mengerikan. Bukan saatnya memperburuk situasi dengan membuat mereka marah."

Amarah gue sudah meninggi dan ingin menyambar mereka juga. Tapi gue teringat Sahnaz dan gue nggak boleh ceroboh sampai kalap oleh amarah gue sendiri. Kemudian gue mengecil menjadi ukuran manusia dengan kobaran yang sedang. Kemudian melayang cepat kembali ke arah minimarket. Berharap ada Becca atau Juno yang melihat raksasa itu. Setidaknya gue sudah mendengar percakapan tolol mereka dan tahu tujuan dari semua kekacauan ini.

Saat memasuki minimarket gue terkejut dengan rak-rak yang terbakar. Lantas dalam sekejap gue mengubah materi diri menjadi air untuk memadamkan semua kobaran dengan sedikit sapuan air. Setelah itu barulah gue mengubah diri menjadi besi. Pakaian gue ada tepat di balik pintu, jadi gue hanya perlu mendobraknya. Dan dalam satu kali tendangan besi pada bagian kenop, pintu itu berhasil terbuka.

"Naz ...?!" panggil gue. Namun tidak ada jawaban.

Gue bergegas mengenakan pakaian yang tergeletak di lantai. Setelah itu berjalan masuk lebih dalam lagi. "Naz ...?!"

Sebuah pintu tertutup rapat. Harusnya Sahnaz ada di dalam sana. Gue lalu membukanya buru-buru. Gue masih berkeringat hebat dan belum tenang sama sekali. Ruangan itu adalah gudang persediaan. Sorot senter terlihat di balik tumpukkan kardus. Di sanalah gue menemukan Sahnaz dalam keadaan menangis ketakutan. Lebih dari itu, dia menunjukkan ekspresi trauma yang sangat besar.

Gue langsung menghampirinya dan ikut duduk di sebelahnya. Tangannya tremor. "Naz?" panggil gue pelan. Dia seperti tidak mendengar suar gue. Terisak hebat.

Gue lalu memegangi kedua pipinya agar dia melihat wajah gue. Butuh beberapa detik sampai Sahnaz benar-benar mengenali gue. Kemudian tentu saja, gue memeluknya. Entah kenapa gue ikut merasakan trauma yang sedang mengungkungnya. Dia terisak hebat.

"Kan tadi gue sudah bilang. Di rumah aja," kata gue perlahan sambil mengusap bagian belakang kepalanya. Dia masih membenamkan wajahnya di dada gue sesenggukan. "Gue nggak malu kok kalau lo mau nitip benda gituan. Tinggal sebutin aja detailnya."

Tapi di sisi lain ada bagusnya tadi dia ikut. Seenggaknya gue tahu kalau dia membuka pintu untuk kehadiran gue di kehidupannya yang mencekam dan sendirian.

Kemudian gue berkata, "Setelah ini, semua kebutuhan lo harus disandarkan ke gue, oke?" Sahnaz mengangguk lemah. Tangannya juga melingkar di punggung gue ketakutan. Gue mengecup kepalanya. Lalu mengusap kepalanya lagi.

"Sekarang kita nggak bisa pulang dulu. Kita tunggu sekitar satu jam lagi sampai komplotan tadi berlalu semakin jauh. Setelah itu barulah kita pulang." Sahnaz cuma bisa mengangguk saat gue berbicara.

Setelah itu kami hanya berdiam di sana. Butuh waktu lama untuk Sahnaz kembali tenang. Yang bisa gue lakukan cuma membujuk, membetulkan rambutnya, mengelap keringat dan air matanya, lalu apa lagi kalau bukan mengamankannya dalam pelukan? Dia milik gue sekarang.

***

*******

[Sidney Vancouver]

Bagian paling sulit dari memiliki dua jiwa dalam satu tubuh adalah ketika gue dan iblis saling berbagi masa lalu dan informasi diri. Juga ketika gue atau pun orang lain sulit membedakan antara mana kemauan gue sendiri dan mana kemauan iblis. Apa lagi dia sudah sangat halus melakukan dominasi. Termasuk, saat dia mengajukan sugesti kelima yang di luar dari keinginan gue sendiri.

Sisi iblis dalam diri gue menyukai Lexi. Dalam kurun empat hari ini, dia telah melangkah terlalu jauh. Dan gue nggak ngerti sama sekali kenapa Lexi seolah nggak bisa mengenali mana sisi yang sedang berbicara saat itu? Atau, apa Lexi bahkan tidak bisa mengenali saat iblis memakai tubuh gue untuk menciumnya dengan gila?

Kenapa Lexi tidak menolak? Kenapa seolah Lexi malah sangat tidak keberatan dengan sugesti kelima?

Itu membuat gue jadi serba salah menjadi diri gue sendiri. Maksudnya, bahkan dalam masa-masa bertahan hidup, gue sama Lexi malah berbaur layaknya pasangan sungguhan dan Lexi memainkan perannya dengan sangat natural seolah dia benar-benar mengakui gue sebagai cowoknya yang ... sah.

Bertahan di rumah membuat gue melihat sisi lain dari Lexi. Dia akrab sekali dengan adik-adik gue. Dia membuat makanan untuk kami. Dia memotong rambutnya jadi sebahu. Sering memakai parfum yanag enak banget di indera penciuman laki-laki gue dan pakaian yang bagus. Seolah dia melakukan semua itu untuk gue. Juga, tanpa ragu menyender bahu gue di sofa sembari dia membaca buku-buku mantra.

Terkadang bersamanya seolah hari-hari ini bukanlah sebuah apokalips. Bukan perasaan gue, tapi suasana yang dibangun Lexi di sekitar gue.

Lexi benar-benar seperti menyukai gue ketika bahkan bukan diri gue sendiri yang memulainya.Melainkan sisi iblis dalam diri gue sendiri. Like, Lexi is not the girl I used to know. Sosok berumur ratusan tahun yang perkasa dan terjebak dalam tubuh gue yang baru berusia sembilan belas tahun. Dan tentu saja Lexi pasti memahaminya dengan artian lain.

Pada beberapa waktu ketika adik gue tertidur, segalanya selalu berubah di luar kendali. Dominasi iblis begitu menguasai. Dia selalu membuat gue menghampiri kamar Lexi dan kami melakukannya dalam lepas kesadaran gue sendiri. Ketika itu, memang gue merasakan ledakan gejolak yang tidak bisa dibendung pula dan terasa lain. Tubuh gue seperti overdosis oleh hormon testosteron yang sebenarnya itu hawa dari iblis gue. Dan selalu berakhir seperti itu. Lexi menyukai gue dan mengikuti alur yang diinginkan iblis gue. Sementara itu tubuh gue hanya menjadi media bagi iblis untuk melampiaskan ketertarikannya pada Lexi. Ini seperti terjebak pada labirin dengan ujung yang rumit.

Lexi mungkin nggak pernah jatuh cinta sebelumnya. Tapi dia hidup dan besar di tengah mega skandal. Jadi meski dia telah menjadi Sinestesian yang berperangai jenius, tegas, dan seperti minim sisi feminisnya, ketika dihadapkan sisi lain gue yang tampak lebih pria dari sebenarnya, dia jatuh. Dia tidak mengerti romansa, itu sebabnya menjalin hubungan dengan gue yang notabene milik cewek lain baginya seperti bukan masalah. Lexi nggak paham percintaan. Dia besar dengan cara yang berbeda dengan cewek lain. Dia tidak tahu aturan tentang mencium cowok milik orang lain itu salah. Di dalam kepala gue segalanya tampak kacau balau.

Seminggu berlalu sejak kami memulai hidup di rumah tanpa berusaha keluar. Gue terkejut saat terbangun dari tidur dan Lexi sudah ada di kamar gue membawa roti dan segelas minuman. Dia tersenyum, mendekat ke wajah gue, menyerahkan sebuah cium, lalu berbisik, "Good morning, I love you."

For me, it was a disaster. Gue yang sedang bukan dalam mode iblis hanya bisa tertegun menatapnya, tidak tahu harus bereaksi seperti apa karena cewek yang ada di hadapan gue ini adalah Lexi versi mengagumkan. Dan sisi laki-laki gue juga tidak bisa menepiskannya ... juga. I can't stop myself.

***

******

Hm, what's happening here? What's wrong with my characters in this chapter?

Santai aja atuh pikirannya jangan ke mana-mana. Cool-kan dulu. Sok minum yang dingin-dingin.

Apa komentar kamu untuk bab ini?

Apa yang kamu rasakan selama membaca bab ini?

Ada yang sambil dengerin lagunya? Bagaimana sensasinya? Kalau saya sih nyatu banget ya.

Jadi, kalian dukung Timmy sama Nanaz? Yakin?

Atau sudah mulai pasrah juga kalau Sid sama Lexi?

Atau pengin nimpuk saya aja? Hahahaha.

Yep, kedepannya alur semakin rumit. Tapi semakin seru juga karena Tim punya informasi penting soal antagonis di cerita ini. Sementara itu kemunculan raksasa di antara mereka sudah bakal jadi nggak santai dan jadi penjelasan panjang nantinya. Yang dipanggil 'Bos' itu bukan raksasanya. Tapi manusia yang ada bersamanya itu.

Enjoy aja deh, ya. Nggak usah minta alur yang macem-macem. Nurut. Setiap cerita ada porsinya masing-masing.

Dah. See you next chapter.

Instagram: @sahlilge @writtenby.sahlilge

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top