21 - Terperangkap
Halo. Selamat malam.
Apa kabar? Bagaimana puasanya? Lancar?
Hm, Bab kemarin tumpah ruah ya kalian gara-gara ada Hoerudin muncul. Lol.
Bab ini saya memakai sudut pandang baru. Karena sangat penting untuk kalian melihat dari berbagai perspektif dari cerita ini. Ini bukan bab yang kemarin direview admin @writtenby.sahlilge karena saya geser urutannya. Bab yang itu akan dipakai buat yang setelah ini.
Bab ini sengaja diunggah malam karena cukup aman supaya nggak mengganggu kalian saat berpuasa.
Saya tegaskan di awal, bab ini saya buat untuk memotret segala sisi cerita. Don't judge me karena bab ini penting. Skandal di cerita ini penting karena kisah cinta yang akan saya buat di UYS bernuansa bad romance. Bad romance artinya kisah cinta yang mengesalkan. Baper adalah bonusnya dan bukan sebuah keharusan. So, keep your mind calm.
Aturan next part sama seperti sebelumnya, minimal 10K. Oke? Nggak kelamaan, kan? Kalian sanggup bgt lah.
Oke, selamat membaca. Kali ini lagunya berjudul The War by SYML. Ini wajib banget didengerin karena nuansanya berbeda. Lagu ini juga pernah muncul di JJB. So, recalling the memory.
Selamat membaca.
Bantu saya temukan typo.
***
*******
BAB 21
[Timothy]
Sahnaz Rinaning Pamuji. Nama yang sangat cantik. Luar biasa cantik. Secantik yang punya. Sial, gue naksir banget sama cewek ini. Dari A ke Z, dia mencentang sebagian besarnya. Dia, harus, jadi, pacar, gue.
Gue bahkan nggak bisa berhenti diam-diam nyari sudut yang oke buat sekadar mengamati Sahnaz Rinaning Pamuji. Namanya entah berapa kali gue ulang-ulang secara lengkap di dalam kepala. Gue eja. Mungkin bukan cuma gue, kan, yang cuman berurusan sama nama seseorang saja bisa berdebar hebat? Sialnya lagi, gue sering tersesat di pikiran gue sendiri begitu pengamatan gue berhenti di sekitar wajahnya. Sial ... sial, sial, sial.
She's like a fairy. And she's so fragile that I can't let her down in my eyes.
Gue tahu perasaan ini bermula dari sudut pandang mata. Tapi nggak perlu waktu lama untuk lekas merembas ke hati dan meracuni pikiran gue begitu kami mulai berinteraksi.
Perasaan fantastis yang meluap-lupa ini bikin gue makin canggung di depan Sahnaz. Bawaannya mau mengumpat terus karena pasti gue terlihat bodoh setiap kali di depan Sahnaz. Tapi dia selalu terbuka seolah berusaha membuat gue merasa diterima olehnya. Itu mendorong gue untuk terus mendekat dan membuatnya terbiasa.
Kami orang asing. Kami saling baru. Tapi seperti dipertemukan untuk sebuah takdir merah jambu.
Setidaknnya di situasi seperti ini, gue berhasil membuat Sahnaz untuk tidak berlarut-larut dalam dukanya. Dia berhasil gue buat mengerti bahwa kepedihan yang dia rasakan juga dirasakan oleh banyak orang. Gue tahu pasti ada yang menggerogoti jiwanya dari dalam setiap kali dia mengingat semua tragedi yang telah menimpanya tiga hari yang lalu. Dan selama itu pula kami bertiga ―gue, Sahnaz, dan Mas Fahru― tetap bertahan di rumahnya. Tentu saja, gue dan Mas Fahru yang membersihkan semua kotoran yang ada. Sementara itu gue membiarkan Sahnaz lebih banyak menenangkan diri di kamar.
Tiga hari ini kami bertiga sudah semakin dekat. Kecanggungan yang ada seperti di awal berangsur hilang. Gue sama Mas Fahru juga cukup mudah mengakrabkan diri satu sama lain. Kami berdua yang bekerja sama membereskan semua kekacauan di rumah Sahnaz. Bahkan kami juga yang bergantian membuat makanan untuk bertiga. Meski sebatas mi instan dan nasi yang dimasak pakai kompor.
Becca hanya datang ketika malam. Siangnya dia patroli ke tiap penjuru kota untuk menghabisi Wilwa dan memberi pertolongan ke siapa pun yang perlu. Setiap kedatangannya terasa menyeramkan. Angin ribut datang dan suhu semakin dingin. Dia anaknya tidak banyak bicara. Bukan tipe gue. Dia tidurnya di sofa tidak mau di kamar. Tapi itu bukan masalah besar. Gue tahu dia pasti juga mengalami tekanan dari setiap pertarungannya. Apalagi terakhir dia bercerita, katanya gelombang Wilwa yang baru dipanggil bukan hanya memakan manusia, tetapi ada yang seperti bertugas menghancurkan apa saja. Toko-toko, rumah, kendaraan, dan fasilitas umum lainnya. Mereka benar-benar dalam sebuah kendali perintah.
Sekarang situasinya makin mencekam. Mengherankannya Wilwa hanya muncul di DKI Jakarta saja selama tiga hari terakhir. Seolah mereka ingin menghabisi populasi di provinsi ini sebelum merambah ke daerah lain. Setiap hari jumlah mereka bertambah. Kata Becca jumlahnya sudah tembus seratus ribu Wilwa. Angka itu diketahui oleh Sinestesian yang punya kemampuan berkomunikasi untuk bisa mengetahui itu. Jadi yang bisa dilakukan cuma mengurung diri di rumah atau tempat teraman lainnya. Ini bisa disebut seperti lockdown parsial.
Sekarang Wilwa ada di mana-mana meski sudah tidak begitu bergerombol. Mereka bersembunyi dan mengintai. Memasuki bangunan-bangunan yang sudah mereka kacaukan dan menjadikannya tempat beristirahat atau semacamnya. Kehadirannya benar-benar meniupkan ketakutan di setiap penjuru kota. Semuanya bingung entah itu pemerintah atau pun Sinestesian. Yang jelas keduanya juga nggak bisa disalahkan. Ini bukan perkara yang bisa dientaskan dengan menjentikkan jari. Kalau pun terselesaikan pasti akan ada bekas dari kekacauan dan korban meninggal yang sangat berat untuk dientaskan.
Gue yakin banget kejadian ini sudah menarik perhatian dunia. Berharap akan ada bala bantuan dari internasional. Terutama para Sinestesian mancanegara. Entah bagaimana gue yakin Juno yang telah membuat malaikat gue menyapanya itu punya jaringan yang penting. Dia pasti mengenal banyak Sinestesian. Gila. Gue belum pernah melihat seorang manusia melakukan aksi sehebat itu. Dan Becca, dia tipikal cewek yang nggak bisa dibuat marah. Atau akan berakhir mati terpanggang.
Lexi, Juno, dan Becca. Gue nyaris mengira yang memiliki kemampuan aneh cuma gue di dunia ini. Ternyata gue nggak sendirian. Itu membuat gue yakin ada banyak potensi yang bisa gue gali dan kembangkan dari kemampuan gue. Diam-diam gue juga melatih semua potensi yang gue miliki.
Hari ini persediaan makanan kami hampir habis. Mau tidak mau harus ada yang keluar untuk mencari persediaan lagi. Waktu yang paling tepat untuk keluar adalah malam hari. Di antara kami berempat yang paling memungkinkan untuk keluar adalah gue. Nggak mungkin Sahnaz, apa lagi Mas Fahru yang masih punya trauma untuk keluar. Becca nggak mungkin juga karena dia urusannya lebih ribet. Jadi memang harus gue yang keluar malam ini. Berasa mau nyari nafkah buat Sahnaz.
Ada dua motor di rumah Sahnaz. Tapi yang satu sudah dipakai Lexi waktu dia pergi. Dan gue nggak bisa kalau keluarnya pakai motor karena situasinya berbahaya. So yeah, Gue menjarah lagi. Dapat satu. Meski bukan Jeep.
Penerangan yang kami miliki hanya mengandalkan lilin. Itu pun mau habis dan mesti ada persiapan stok lagi. Lagian rumah Sahnaz tidak terlalu besar. Ini perumahan klaster biasa yang nggak luas juga.
"Kalau bisa ambil rokok juga. Udah dua hari paru-paru gue nggak senyum," kata Mas Fahru yang lagi berbaring di sofa sambil baca majalah. Dia sudah menghabiskan sisa rokok milik Papanya Sahnaz di hari pertama dia gue bawa masuk.
"Iya, Nak. Tapi Papa nggak janji dapat," jawab gue sambil memasang risleting jaket yang dipinjami Sahnaz di sofa seberang.
Mas Fahru melirik kesal dari balik majalah. "Gue yang masak seminggu ke depan kalau lo dapat rokok banyak."
"Berdoa aja semoga nemu minimarket yang jarahable."
"Itu list kebutuhan yang harus lo cari udah gue catat dan taruh di meja. Usahakan dapat semua."
"What?" gue terkejut karena nggak mengira dia membuat daftar kebutuhan beneran. Gue lalu mengambil kertas itu. "Ini serius kita perlu garem, micin, de-el-el? Nggak. Gue nggak mau nyari ginian. Pokoknya yang paling gampang aja. Mi instan, minuman, snack, lilin, dan mungkin kebutuhan mandi. Kita ini lagi bertahan hidup bukan mau buka usaha nasi padang."
"Ya terserah kalau lo pada nggak bosen."
"Gue sama Sahnaz nggak ngeluh ini," jawab gue. "Nggak bosen gue makan mi terus."
"Ya udah yang penting rokok."
Gue memutar bola mata sambil menjejalkan kertas itu ke saku. Lalu menaiki tangga ke kamar Sahnaz. Pintunya nggak ditutup jadi gue bisa langsung lihat dia yang lagi lipat baju di karpet dan sepertinya baru selesai beresin sprei. Dia juga menyalakan lilin sebagai penerangan. Paling rajin emang.
"Alo," ucap gue dari luar pintu.
Sahnaz mendongak dengan senyum lemah. Dia masih sering nangis kalau teringat keluarganya. "Hey, Tim."
"Boleh masuk?"
"Masuk aja. Anggap ini rumah kita."
That 'kita' fill my heart. Gue nggak melihat Mas Fahru di kata 'kita' yang disebut Sahnaz.
Gue lalu duduk di sebelahnya bersandar pada tempat tidur. Berada di kamar cewek rasanya lain. Aroma wanginya begitu mengundang. "Gue mau keluar nyari persediaan. Lo mau nitip apa?"
"Kamu perginya mau ke mana?"
"Mungkin minimarket atau apa aja senemunya nanti."
Sahnaz menghentikan aktivitas melipat bajunya. "Bosen sih mi terus. Tapi ya mau bagaimana lagi."
"Sama, bosen. Lo penginnya apa emang?"
"Bikin nasi goreng atau telur dadar barangkali. Tapi itu perlu garam, micin, atau semacam bumbu racik."
"Nanti gue cari garam sama micin."
"Kamu bawa uang, ya. Kalau ada toko yang buka mending beli dari pada jarah," Sahnaz lalu meraih sweaternya yang ditaruh di tempat tidur dan merogoh sakunya. "Ini uangnya."
Gue terkekeh melihat uang itu. "Lo bercanda? Udah nggak bakal ada toko yang buka. Semua orang lagi sibuk menyelamatkan diri. Cuma orang gila aja yang masih buka toko. Percaya sama gue, di luar keadaanya sudah kacau banget, Naz."
"Kalau gitu setelah menjarah kamu tinggal taruh uang ini di tempatnya. Ada atau pun nggak ada orangnya, tetap taruh."
Gue memandangi wajahnya yang memang berekspresi serius dengan kalimatnya tadi. Lalu mengembuskan napas, "Ya udah sini." Gue meraih selembar uang lima puluhan itu. "Ini cuma biar lo seneng aja."
Sahnaz tertawa kecil. Lalu dia kembali duduk dan melipat baju lagi. Sementara itu gue masih duduk di sana, mengamati wajah Sahnaz dan menenggelamkan diri pada keindahan itu. Dia, manis banget.
"Hey," ucapnya mengaburkan ketersesatan gue, "Aku sering bertanya-tanya. Kamu sambil mikirin apa sih kalau lagi natap aku kayak gini? Terus senyum-senyum sendiri. Nggak cuma sekali loh."
"Gimana?"
"Iya kamu sambil mikirin apa kalau lagi ngelihatin aku?"
Cuma bayangin nyium. "Nggak. Lo merhatiin gue sedetail itu?"
"Apaan merhatiin. Kamu tuh ya, semua orang juga merasa kali misal lagi dilihatin."
Gue lalu terkekeh. "Ya ngelihatin aja. Belakangan lihatnya yang serem-serem. Jadi berasa nemu oasis aja pas lihatin lo."
"Nggak usah gitu-gituan. Aku udah punya cowok."
YouknowwhatIdontcare. "Mana? Nggak kelihatan."
"Ya nggak di sini."
"Terus?"
Sahnaz menghela napas melalui mulut. Gue tahu dia kena. "Udah sana katanya mau pergi. Malah ngajak ngobrol."
Gue lalu berdiri dari sana dan berjalan cepat keluar dari kamar sambil menyembunyikan senyum.
Hari sudah gelap gulita. Pukul setengah sembilan malam. Suasana sudah cukup mendukung untuk keluar. Gue amati lingkungan ini sedang sepi. Sudah cukup kalau mau keluar. Namun ketika gue mengikat tali sepatu, ada langkah kaki yang menuruni tangga.
"Tim, gue mau ikut keluar aja deh," ujar Sahnaz.
"Ngapain? Nggak usah. Bahaya di luar."
"Aku tahu minamarket yang paling dekat. Cuma ratusan meter dari sini. Juga ada barang pribadi yang mau aku cari."
"Perlu apa? Nanti aku cariin."
"Nggak. Aku mau cari sendiri. Kamu bisa memastikan kita selamat, kan?"
"Iya, gue bisa. Tapi kalau lo ngomong gitu biar dibolehin ikut, gue nggak mau."
Sahnaz mengerjap sebentar. "Aku janji bakal kooperatif."
"Ajak aja udah. Lagian berhari-hari dia di rumah terus," sahut Mas Fahru nggak bener.
"Nah," Sahnaz merasa didukung. "Katakan saja apa yang perlu aku lakukan biar selama pergi nanti aman sampai kembali."
Gue bingung antara nurutin permintaannya atau mengabaikan. Ini memang kesempatan bagus kalau gue mau lebih dekat sama Sahnaz. Tapi tetap aja ini mempertaruhkan banyak risiko.
Napas gue terlepas menyerah. "Pakai jaket, pakai helm meski kita naik mobil, pakai sepatu, celana harus jins, masker juga pakai karena udara di luar nggak sedap, dan nurut sama semua arahan gue."
"Kenapa kamu nggak memakai semua yang disebutin tadi?"
"Gue nggak perlu gituan."
Sahnaz hormat. Lalu bergegas naik ke kamar untuk memenuhi semua arahan gue. Sejurus kemudian kami berdua sudah berada di dalam mobil. Sahnaz duduk di sebelah jok kemudi.
"Begitu mobil dinyalakan, kita akan memulai sebuah pertaruhan selamat atau celaka. Sebenarnya momen ini bisa dijadikan untuk lo belajar dan tahu tentang situasi di luar sana yang sedang kita semua hadapi. Oke?"
Sahnaz mengangguk sambil benerin posisi helm.
"Pakai sabuk pengaman. Lo cuma boleh keluar dari mobil kalau gue sudah memastikan situasi aman. Satu lagi. Kalau nanti ada wilwa dalam perjalanan ini, jangan begitu panik. Bayangin saja kita adalah tokoh fiksi yang kehidupannya sedang diatur oleh seorang penulis di luar sana. Sesuatu mungkin akan terjadi, tapi pasti memiliki maksud tertentu."
"Termasuk memaksakan kehendakmu untuk seolah lupa kalau aku sudah punya cowok?"
"Kok lo nyimpangnya ke sana?" gue mengaitkan sabuk pengaman dengan senyum menelisik.
"Aku rasa itu topik yang paling jadi konsenmu untuk akhir-akhir ini."
Gue berdebar hebat mendengar Sahnaz mengatakan itu. So, will she down for us? Kami bertatapan di balik remang-remang. "Sejak pertama kali lihat lo. Kiamat menjadi terasa lebih indah."
Sahnaz tidak merespons. Tatapannya lalu beralih ke depan. Tapi gue tahu dia menyembunyikan sebuah ekspresi. Gue nekat banget. Bener-bener nekat memegang tangan kanan Sahnaz pakai tangan kiri. Gue remas perlahan tanpa mengatakan apa pun. Tidak ada penolakan. Tangannya lembut. Gue bisa merasakan jemarinya yang hangat dan lentik. Pada saat itulah ada lesatan kembang apa di dalam dada. This girl is mine already.
Lalu gue melepaskannya perlahan dengan senyum tertahan dan perasaan semangat yang menembus ubun-ubun. Kemudian perlahan gue menyalakan mobil dan berhasil keluar dari area perumahan tanpa ada sosok Wilwa yang melintas. Tapi harus tetap waspada.
Jalanan lebih sepi dari pada sebelumnya. Sahnaz berdecak ngeri melihat situasi di sekitar jalan. Sepi. Tidak ada tanda kehidupan sama sekali. Tiga hari ini agresi terjadi begitu cepat dan brutal. Jadi populasi yang gugur pun pasti meningkat drastis. Di jalanan mayat bergelimpangan. Wilwa tidak menyantap sampai habis semua. Asalkan yang digigit mati dan memakan secukupnya, maka ditinggalkan begitu saja lanjut mencari mangsa yang baru.
"Di sana," kata Sahnaz sambil menunjuk. "Itu minimarketnya." Gue lalu mengarahkan mobil ke lokasi yang ditunjuk itu. Di sana sepi. Lingkungan ini memang sepi. Benar kata Sahnaz lokasinya dekat.
"Jangan dulu turun. Kita tunggu sekitar lima menit," kata gue setelah mematikan mesin sehingga lampu mobilnya padam.
"Kenapa?"
"Memastikan ada yang mengintai kita atau nggak. Wilwa bisa mengintai. Mungkin situasi terlihat sepi, tapi bisa jadi mereka sedang menunggu kita keluar dan baru melancarkan aksinya."
"Oh, oke."
"Lo masih berani, kan?" tanya gue menoleh padanya.
"Masih."
Kami berdiam di dalam mobil pada detik-detik berikutnya. Tanpa ngobrol. Tapi jujur gue suka situasi ini. Di luar gelap. Suara-suara senyap. Sementara di dalam mobil kerlap-kerlip perasaan meletup. Andai saja perasaan itu dikeluarkan dari dalam dada, sepertinya akan cukup menerangi gelap di sekitar sini. Tapi jangan, cukup di dalam saja.
"Kenapa kamu berusaha melewati garis?" tanya Sahnaz.
"Karena gue nggak melihat garis itu," jawab gue.
"Kamu berpengalaman banget ya sama cewek?"
"Gue?"
"Mm."
"Nggak. Pernah pacaran satu kali. Putus setahun yang lalu."
"Kenapa," dia berujar tanpa nada tanya. Tatapannya lurus ke tangannya di pangkuan.
"Gue yang mutusin."
"Iya, kenapa."
Gue menarik napas sampai bersuara, "Sendirian jauh lebih baik dari pada bersama dengan orang yang salah. Dia posesif. Dia juga narsistik. Dan menjalin hubungan dengan orang yang narsistik adalah seperti mengorbit pada bintang yang salah. Tinggal tunggu waktu yang tepat sampai dia mengalami supernova dan gue akan ikut hancur juga. Dia penuh aturan. Sementara itu-."
"Cowok benci aturan."
"Yep," gue menggigit bibir sendiri. "Dan nggak tahu kenapa harus apokalips banget yang ngasih jalan buat ketemu sama yang seperti lo," gue terus terang banget orangnya.
Sahnaz terdiam sesaat. "Tahu nggak," ucapnya masih datar dengan suara kecil yang seperti berebut keluar dengan napasnya sendiri.
"Hm?"
"Sebuah perhatian dari orang yang salah di masa-masa sulit bisa membodohimu dan membuatmu berpikir seakan-akan orang itu adalah yang terbaik."
"Do you think I'm that wrong person?"
"Susah buat bilang nggak. Tapi memang iya."
"No, gue bukan orang salah, tapi waktunya yang salah."
Kami berdua terdiam. Dua menit berjalan sejak mobil berhenti. "Seperti apa pacar lo?" tanya gue.
"He's a nice guy. Humoris. Mandiri. Tapi gampang ditebak."
Sebuah 'tapi' adalah peluang besar untuk bermacam toleransi. Termasuk kesempatan masuknya orang baru. Gue tahu gue terdengar kurang ajar, tapi nada bicara Sahnaz seperti nggak begitu tertarik membahas pacarnya sendiri.
"Aku bahkan nggak tahu dia selamat atau nggak. Dia nggak bisa berkelahi seperti kamu. Kurasa."
Sebuah pesimistis adalah peluang besar yang lain.
Gue menganggukkan kepala. "Cowok idaman lo seperti apa?"
"Kenapa? Biar setelah ini kamu berpura-pura jadi cowok idamanku alih-alih jadi dirimu sendiri?"
Shit.
"Kenapa sih cowok selalu nanyain itu?" tanya Sahnaz lagi.
"Karena cowok yang nanya itu sedang berusaha jadi opsi terbaik untuk cewek yang ditanya."
"Bukannya lebih baik meyakinkan cewek itu dengan versi dirinya sendiri? Like, here I am or this is me. Just the way they are."
"Karena mana mungkin sebuah opsi dipilih tanpa jadi favoritnya dulu sebelumnya."
"Nggak semua cewek sama, Tim. But boys will always be boys."
"Maksud lo semua cowok sama saja?"
"Iya. Kecuali Juno."
Semua cowok sama kecuali Juno. Zzz. Gue memutar bola mata. "Heuh. Salah arena kalau lo mau bandingin semua cowok sama yang sejenis Juno." Gue nurutin pendapatnya saja.
Sahnaz terkekeh lucu mendengar reaksi gue. "He's amazing."
"Amazing like you wanna be his girlfriend?"
"Cowok keren banyak. Tapi Juno berada di level yang nggak bisa disetarakan sama cowok lain. Semua cewek di SMA-ku mengakui itu. Apalagi sekarang setelah aku tahu Juno adalah manusia super, dia semakin nggak bisa digapai. Semua cewek naksir dia. Tapi ini lebih seperti naksir selebritas yang cuma bisa mimpi doang untuk bisa jadi ceweknya. Dan itu yang membuat seorang cowok terlihat spesial. Diidolakan banyak cewek, tapi punya satu hati yang dia pilih sendiri."
"Lo yakin dia punya tambatan hati?"
"Yakinlah. Tapi terlalu misterius untuk ditebak siapa. Cowokku pernah bilang kalau Juno punya cewek."
"Yang namanya Lana itu?"
"Aku nggak tahu Lana siapa."
"Jadi Juno adalah patokan cowok idaman lo?"
"Yes but no. Not for the context we talking about."
Gue mengembuskan napas sambil melepas sabuk pengaman. Lalu keluar dari mobil untuk pergi ke minimarket tanpa ingin membahasnya lagi. Tak lama kemudian dengan lari kecil Sahnaz menyusul.
"Kok ninggalin!" protesnya dengan suara rendah.
"Sudah lima menit."
Gue menyalakan senter dan menyorotkannya ke dalam minimarket. Tampaknya sudah ada orang yang melakukan penjarahan di sini. Tapi masih ada banyak yang tersisa. Hanya saja sedikit berantakan.
Dengan gerakan sigap gue melompat ke bagian kasir. Mengambil entah berapa bungkus rokok lebih dulu di etalase.
"Lo mau cari apa? Cari cepetan," kata gue.
"Ih!" sahut Sahnaz sengit.
Tentu saja dia langsung berjalan ke area pembalut dan toiletries.
Setelah cukup dengan rokok, gue lalu berpindah ke area mi instan. Gue menampung sebanyak-banyaknya sampai penuh dua keranjang. Gue juga melihat ada ikan kaleng yang tersisa cukup banyak. Kemudian minyak goreng, bumbu racik, keperluan mandi, minuman soda, dan apa pun yang bisa ditampung. Berangsur-angsur gue memasukkan mereka ke dalam mobil.
Setelah selesai gue menyusul Sahnaz yang masih di minimarket. Dia sedang di dekat rak obat-obatan. "Apa lagi yang belum?" tanya gue begitu sudah di sebelahnya.
"Aku nyari obat-obatan tapi udah pada nggak ada. Adanya vitamin. Kamu pengin vitamin nggak?"
Pertanyaan itu memiliki kisi-kisi peduli bagi gue yang mendengarnya. "Nggak," jawab gue.
Sahnaz terus-terusan memeriksa rak sambil menyorotkan senter. Gue berdiri di sebelahnya terus menerus. Dia lalu jongkok karena mungkin kelelahan. Gue ikutan jongkok.
"Kamu nggak mengambil semua stok yang ada kan? Biar nanti kalau ada orang yang perlu dan datang ke sini mereka juga dapat jatahnya. Kita nggak boleh serakah."
"Nggak. Aku sisain." Gue ikutan duduk di lantai.
Gue memandangnya dalam samar, "Naz," panggil gue. Sahnaz menoleh. Lalu gue nekat lagi mengambil tangannya dan meletakkannya di dada kiri gue. Ini mungkin lebay. Tapi gue terdorong untuk melakukannya. Entah kenapa. "Ini debarnya asli," kata gue.
Sahnaz tertegun.
"Kita memang baru mau empat hari bareng. Tapi semuanya terjadi begitu cepat dan terasa meyakinkan," gue berkata pelan-pelan. "Gue tahu ini terlihat gila dan seolah mengada-ada."
Tatapannya lurus ke gue.
"Gue pengin lo tetap aman. Gue pengin lo tetap hidup. Dan gue pengin ada lo di kehidupan yang mencekam ini tetap bernapas dalam pengawasan gue. Nggak tahu kenapa gue senekat ini ngomong. Gue bahkan nggak peduli lo punya cowok. Gue tahu ini salah, tapi gue pengin setidaknya melalui ini semua sama lo."
Dia masih menatap dengan napas yang sepertinya memburu.
"Lo percaya nggak sih gue ngomong kayak gini?" tanya gue dengan perasaan lepas.
Meski setelah gue ngomong begitu secara mengejutkan ... Sahnaz tiba-tiba mencium gue lebih dulu dan sedikit berlanjut. Tapi getaran di tanah seperti gempa mengacaukan semuanya. Getaran itu seperti langkah kaki yang besar.
Kami berdua saling tatap dan gue segera berdiri untuk pergi ke arah pintu. Gue mematikan senter. Melongok ke arah Utara karena ada sebuah insting aneh yang gue rasakan. Bukan main, ada semacam arak-arakan obor yang dipimpin oleh makhluk tinggi besar persis seperti raksasa. Mata gue melebar seketika. Pasukan itu masih berjarak ratusan meter, tapi sosok raksasa yang tingginya mungkin sekitar sepuluh meter itu jelas terlihat pergerakannya.
Gue langsung kembali masuk ke dalam minimarket. Tanpa banyak bicara gue langsung menarik Sahnaz ke bagian lebih dalam dari minimatket. Ada pintu kantor atau gudang di sana yang tidak terkunci. Kami masuk ke sana. Lalu gue pasang pengait pintu untuk mengunci.
"Ada apa?" tanya Sahnaz langsung cemas.
"Lo nggak akan siap untuk lihat ini," jawab gue lirih. "Diam. Jangan buat suara."
Kami berdua mematung di dalam ruangan itu. Gelap tanpa pencahayaan sedikit pun. Otomatis gue memeluk Sahnaz karena dia mulai ketakutan.
Semakin ke sini, getaran langkah itu semakin terasa mendekat. Lalu terdengar suara beberapa pria yang berkata, "Ada minimarket, Bos! Sikat?"
"Jarah aja, jarah! Bawa semua rokok yang ada," jawab seseorang yang dipanggil Bos tadi.
"Siap, Bos! Lanjut aja jalannya. Nanti kita susul kalau sudah selesai jarah."
Lalu sekitar tiga orang mungkin, masuk ke dalam minimarket. Mereka tertawa dan bercanda seperti orang yang tidak sedang dalam situasi sulit.
Sahnaz mulai ketakutan.
"Setelah ini kita ritual pemanggilan di mana lagi?"
"Mana gue tahu, anying. Nggak akan ada pemanggilan lagi. Fokusnya sekarang mengincar bocah-bocah super yang sudah terpancing keluar. Tujuan kita itu dulu. Pancing semuanya keluar, habisi satu-satu lalu giliran kita yang muncul seolah pahlawan yang sebenarnya."
"Eh, itu keranjang penuh. Apa ada orang di sini?"
Seketika mereka senyap. Gue juga ikut was-was karena merasakan ada langkah yang keliling ruangan.
"Nggak ada siapa-siapa. Tapi itu di depan ada mobil. Coba cek mobilnya."
Tak lama kemudian. "Di mobil ada barang-barang, nih!"
Lalu secara mengejutkan knop pintu ruangan di mana kami berdua sembunyi diputar pelan. Tapi tidak bisa dibuka karena sudah gue pasang pengait.
"Sssh," desis gue meminta Sahanaz menahan diri untuk tidak menangis. Napas gue memburu karena setelah itu mereka menendang-nendang pintu.
"Gue yakin ada orang. Ini tercium parfum cewek. Dobrak aja pintunya," kata salah seorang di luar sana dengan nada mengintimidasi.
***
*********
Aih, Sahnaz Mothy. Kalian terdakwa! Yang baca pas puasa semoga bisa mendinginkan kepala segera. Hm, untuk tiduck saya deskripsikan secara detail. Bisa-bisa batal puasa kalian.
Apa komentar kamu untuk bab ini?
Saya berusaha membentuk karakter Timothy biar bisa berbeda dari POV Sid.
Apa yang kamu rasakan saat membaca bab ini? Jangan baper ke mereka. Jahat kalian kalau baper. Lebih jahat dari yang nulis. Lol.
POV Sahnaz dan Timothy penting banget. Mereka akan muncul beberapa kali dan tentu saja akan saya jaga supaya nggak mendominasi POV Sid atau Lexi.
Bab ini agak relaks. Tapi setelah ini siap-siap nggak akan oke lagi. Segalanya makin rumit.
Juga, jangan pada nanyain kapan ada POV Sid or Lexi. Ikuti saja alur yang saya buat. Nggak usah pesan-pesan alur. Kakanda ndak suka.
Juga, siap-siap ya. Ini bakal ada chapter spin off yang lebih waw lagi. Insya Allah.
Oke sampai, jumpa. Semangat 10K.
Oh, wait, btw Juno udah tembus 1Jt reads dan menduduki posisi #1 di kategore Sastra. Makasih ya.
Instagram @sahlilge @writtenby.sahlilge
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top