20 - Mempesona

Hai, selamat siang. Iya ini update.

Apa kabar?

Bagaimana bab kemarin? Greget?

Saya tahu 15K berat buat kalian. 13K is enough.

Um, saya lagi agak males bikin author note panjang-panjang. Langsung baca saja, ya. Jangan lupa komentar dan votenya.

Bab ini, mengejutkan.

Saya mau tembusin 10K komentar di bab ini. Patokannya gitu aja. Nggak yang tepat 10K bakal diunggah. Intinya kalau udah lewat 10K pasti nggak akan lama bab selanjutnya diunggah. Entah satu atau dua hari setelahnya. Ngerti ya?

Lagunya Lovely by Billie Eilish ft. Khalid.

Ready? Bab ini uwaw.

Bantu saya temukan typo.

Selamat membaca.

***

********

BAB 20

[Sahnaz]

Aku tertidur seperti mati dan menyesal karena ketika terbangun aku masih di rumah yang sama.

Saat kau kehilangan seluruh keluargamu dalam satu malam, tidak ada hal lain yang melintas di pikiranmu selain melakukan apa pun agar bisa menyusulnya. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku setelah ini atau apakah satu napas dan detak yang lainnya akan memiliki arti lagi.

Rasanya diutarakan atau dijelaskan dengan bahasa apa pun, rasa sakit, hancur, hampa, kehilangan, duka, dan rasa-ingin-mati-juga di dalam diriku tak bisa dijelaskan lagi. Tidak ada telinga yang mampu mengerti. Atau pun hati yang sepadan untuk merengkuh luka seberat ini.

Aku takut. Dunia sudah tak aman lagi. Aku percaya dengan sebuah kehancuran dunia, tapi bukan yang seperti ini.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Apa makhluk-makhluk itu? Kenapa di dunia yang sudah semodern ini masih ada eksistensi dari makhluk yang dalam hitungan ilmiah seharusnya tidak ada? Apakah ini tidak bisa diprediksi oleh siapa pun seperti pandemi dua tahun yang lalu?

Kilasan itu tayang kembali di dalam kepalaku. Tragedi mengerikan dan suara jeritan keluargaku semalam. Seketika menggugah duka yang tak bisa dibendung. Air mataku mengalir tapi cepat-cepat kuseka. Menangis tak akan menghidupkan mereka lagi.

Sekarang aku harus berkeluh pada siapa? Aku benci ketika menceritakan pada orang lain bahwa aku merasa sendiri, merasa sepi untuk saat ini, lalu mereka yang kuceritakan akan mulai mengabsen nama-nama orang dalam hidupku yang harusnya bisa aku percayai untuk berkeluh, ketika pada kenyataanya, I really am alone right now.

Perasaan sakit ini, aku tahu. Aku tahu aku tak akan pernah bisa melupakannya begitu saja, namun aku juga tak bisa terus-terusan seperti ini. Perasaan yang seperti mendorong aku untuk menyerah saja, tapi di saat yang sama aku tahu aku tak akan bisa untuk sekadar melempar ingatan tragedi itu layaknya napas yang terhela.

Aku melepas diri dari lilitan selimut. Berderap perlahan mendekati cermin untuk melihat seperti apa wajah seorang gadis yang ditinggal keluarganya secara sadis di waktu yang sama. Tampaklah di sana pantulan bayangan seorang manusia yang sudah kehilangan semua harapannya. Aku seperti mayat hidup.

Pintu kamar sudah terbuka. Lexi mungkin sedang beristirahat di bawah. Aku tidak tahu bagaimana nasibku sendiri kalau saja dia tidak datang. Entah bagaimana aku tidak heran ketika Lexi bisa melawan satu makhluk itu sendiran. Hanya masih bertanya-tanya dengan pakaian yang dia kenakan.

Tok ... tok ...

Aku menoleh. Cowok yang datang bersama Lexi berdiri di ambang pintu. Namanya Timothy. Dia memakai seragam montir setengah badan dan kaos putih. Ada noda darah di kaosnya. Tangannya membetulkan posisi kacamata. Canggung.

"Gue mengecek kamar ini beberapa kali. Syukurlah kalau lo udah bangun," dia berkata dengan ekspresi canggung yang kentara.

"Lexi mana?" tanya gue dengan suara lirih.

"Lexi pergi. Katanya ada yang perlu bantuan. Dia meminta gue untuk berjaga di sini."

Aku mengangguk lemah. Tentu saja Lexi akan menyelamatkan lebih banyak orang lagi. Dia terlihat sangat berani.

"Gue tadi masak mi rebus," kata Timothy lagi. "Sori gue pakai peralatan dapur lo nggak izin dulu. Piringnya sudah gue bersihin lagi dan dikembalikan ke tempatnya semula. Tapi mi yang tadi milik gue kok. Ada banyak di mobil. Bukan mobil gue juga." Dia mengusap lengannya sendiri di ujung kalimat. "Sebenarnya, mi jarahan. Mobilnya juga." Dia menyeringai sebentar dengan canggung.

Aku belum paham apa maksudnya. "Oh. Pakai aja."

Timothy mengangguk. Masih berdiri di sana. "Kalau lo mau, gue bisa masakin. Mau yang kuah atau ... goreng?" dia berkata ragu karena tatapan gue pasti terlihat sayu.

Just to make him feel welcomed in the house, "Yang kuah."

"Gue juga suka yang kuah by the way," ujarnya sebelum ragu-ragu memutar badan hendak pergi. Tapi dia mengurungkan langkahnya dan kembali menghadap ke arah gue.

"Lebih baik lo di sini aja. Jangan turun dulu. Gue belum selesai bersihin ... darah di bawah. Dan ada yang lain juga."

Darah. Harusnya aku tahu itu. Namun aku tak ingin mempertanyakan itu darah siapa atau aku akan berakhir membayangkan semuanya.

Belasan menit kemudian cowok itu kembali. Membawa nampan yang berisi dua mangkuk mi instan kuah yang uapnya masih mengepul. Di jarinya juga tercantel satu plastik besar yang kutebak isinya snack dan kaleng-kaleng soda. Dia duduk bersimpuh di lantai menyiapkan semuanya.

"Gue lupa sendoknya. Be right back," ucapnya sambil berdiri. "Gue tadi lancang buka rice cooker di dapur lo. Dan ... di sana masih ada nasi yang tersisa. Masih banyak. Kalau boleh."

Gue mengangguk tanpa berkata apa pun. Masih duduk di kursi rias sambil menyesali ponsel yang sudah mati tanpa daya. Aku pengin telepon Sid.

Timothy lalu pergi. Saat kembali dia membawa nasi itu bersama jar-nya sekalian. Dia lantas mengangkat mangkok gue dari atas nampan untuk disuguhkan. Lalu dia juga mengangkat miliknya. Aku menahan diri untuk tidak bertanya kenapa dia masak mi lagi padahal katanya tadi udah makan.

Terus sekarang kenapa dia ikut duduk di kamarku dan seolah harus banget sarapan bareng?

"Makan. Ini ditemenin," katanya.

"Gue nggak tahu yang lo suka keripik kentang, tortila, atau singkong. Jadi gue bawain ketiganya. Kalau minuman soda sama saja," ujarnya lagi tanpa menatap padaku karena tangannya sibuk mempresentasikan makanan yang dia bawa.

"Makasih," jawabku.

Barulah dia menatap ke arahku, tersenyum. Entah kenapa aku jadi teringat Sid. Aku lalu mangangkat mangkok mi itu meski sebenarnya nggak ada selera makan sama sekali. Kuseruput kuah satu sendok.

"Lexi bilang gue harus menahan lo di sini untuk sementara sampai keadaannya cukup kondusif," Timothy berbicara di tengah makan.

"Aku memang nggak berencana pergi dari rumah ini," sahutku masih belum menyuap lagi.

Tangan Timothy bergerak mengambil dua kaleng soda dari plastik. Membukanya satu untukku, lalu baru untuk dirinya sendiri. "Tapi nggak mungkin selamanya di sini, kan? Perumahan ini sudah sepi omong-omong. Ada tadi pagi gue lihat bapak-bapak yang pergi naik motor keluar perumahan. Mungkin semalam dia berhasil sembunyi. Percaya sama gue, dia nggak akan selamat."

"Kok kamu ngomongnya gitu."

"Semalam orang yang pidato di televisi kan bilang kalau matahari terbit Wilwa akan lebih garang. Kita diminta untuk tetap di rumah. Lo juga kenal, kan? Siapa namanya? Juno?"

"Oh," respons gue singkat. Lalu menyeruput kuah satu sendok lagi. "Mereka banyak banget, ya?"

"Siapa?"

"Makhluk itu."

Timothy meletakkan mangkoknya. Lalu menatap udara sambil berlagak berpikir. Senyumnya aneh. "Lexi bilang ada sepuluh ribu yang menyerang. Belum tahu persis apa tujuan dan asal-usul mereka. Gue masih newbie."

Lalu dia memangku mangkoknya lagi. "Tapi dari yang Lexi bilang mereka itu semacam dipanggil. Gue sempat berpikir siapa pun yang terlibat dalam pemanggilan makhluk-makhluk seram ini adalah seorang summoner."

"Sum-, apa?" tanya gue kurang jelas.

"Summoner. Dalam dunia gim ada istilah summoning. Artinya proses pemanggilan yang konteksnya mengarah ke makhluk dimensi lain. Semacam itu. Para Summoner ini kalau emang benar ada, pasti mereka melakukan semacam ritual tertentu yang persembahannya dikhususkan kepada satan. Dan mengerikannya lagi untuk melakukan pemanggilan semacam itu mereka harus melakukan victimizing atau tumbal di awal. Ini cuma teori gue. Semakin banyak yang ditumbalkan atau dikorbankan, biasanya tujuan mereka juga besar."

"Aku nggak yakin orang semacam itu masih ada di zaman modern ini," ujarku.

"Jadi yang semalam dilakukan Juno dengan menyabotase jaringan elektronik masih belum cukup buat lo percaya?"

"Maksudnya Juno Summoner?"

"Bukan. Dia Sinestesian. Sama seperti gue."

"Sinestesian?"

Timothy mengangguk. Kemudian lanjut menyelesaikan minya. Setelah selesai makan, cukup lama kami berbincang. Dia membuka tentang apa itu Sinestesian dan juga situasi yang terjadi saat ini. Aku cukup terkejut ketika diberitahu bahwa Lexi adalah orang semacam itu juga. Tapi sepertinya ada yang lebih dari sekadar Sinestesian pada diri Lexi. Pasti ada sesuatu yang lain. Dia terlihat sangat kuat dan tak kenal takut.

Kami berbincang sampai lewat tengah hari. Di luar tidak terasa cerah. Awan mendung menggantung sejak pagi. Tidak ada celah kisi matahari yang jatuh ke bumi. Rapat. Anginnya berembus dingin. Bahkan aku seperti tak pernah merasakan suhu dingin yang sejatuh ini.

"Gue harus turun ke bawah sebentar," kata Timothy.

"Ke mana?"

"Ada orang di mobil. Mungkin dia sudah sadar."

"Hah. Siapa?"

"Mau ikut?"

"Aman, nggak?"

Timothy diam sejenak. "I'll get your back. Gue pastikan lo aman. Asal jangan jauh-jauh."

"Aku pakai jaket dulu."

Setelah pakai jaket aku kemudian keluar kamar. Timothy ternyata menungguku tak jauh dari pintu kamar.

"Dengar. Gue jelasin sekali lagi apa yang akan lo lihat di luar nanti. Lo pasti akan melihat potongan tubuh atau isi perut yang tergeletak di mana-mana. Apalagi di kamar lo ada tubuh Wilwa yang mati. Nggak bermaksud menakut-nakuti, tapi gue harus ngasih tahu sejelas mungkin."

"Termasuk sisa tubuh keluargaku," aku berkata memberanikan diri.

Timothy memandang seperti berusaha mengerti perasaanku. "Tapi yang terpenting sekarang lo masih aman dan kita bisa melalui ini."

Aku lalu berjalan di belakang Timothy berusaha tidak bereaksi berlebihan kalau nanti melihat sesuatu yang di luar dugaanku. Aku bahkan memegangi bagian belakang kaosnya.

Dekat tangga ada tubuh besar berbulu yang terbaring dengan darah cokelat berlumuran lengket di lantai. Lebih besar dari ukuran pria dewasa. Aku sempat melirik sebentar untuk melihat seperti apa wajahnya. Menyeramkan nyaris seperti keras. Aku mendekatkan diri pada punggung Timothy.

Di lantai bawah bahkan lebih berantakan. Aroma tak sedap menyeruak seperti bangkai segar. Anyir dan sedikit busuk. Kalau seperti ini adanya aku tak mungkin sanggup bertahan lebih lama di rumah. Tapi mau tinggal di mana? Bagaimana dengan rumah Sid? Apa dia akan membolehkanku sementara di sana?

Saat kami berhasil keluar dari rumah, aku berusaha kuat untuk menahan tangis. Aku masih terus memegangi kaos Timothy. Masih bertanya-tanya kenapa dia memegang kunci inggris di tangannya. Ketika kami hendak ke arah gerbang komplek, Timothy menahan diri.

"Mundur, mundur! Pelan-pelan," pintanya.

"Kenapa?"

Dia menyuruhku diam dan menarikku kuat-kuat untuk bersembunyi di dekat tong sampah orang lain. Ternyata, di mobil yang hendak kami datangi ada sekitar lima atau enam Wilwa yang sedang menggeruduk. Mereka berusaha mengakali agar bisa masuk ke dalam mobil. Bahkan ada yang loncat-loncat di atap mobil itu sambil mengeluarkan suara-suara ganjil yang bikin merinding.

"Sial!" umpat Timothy. "Ada orang di dalam mobil itu. Pasti dia sudah sadar dan membuat suara panik makanya Wilwa itu datang."

"Aku takut, Tim."

"Nggak. Gue bakal lawan mereka. Lo tunggu di sini."

"Aku nggak mau sendirian!" seruku nyaris menangis ketakutan. Demi apa pun aku takut melihat wujud makhluk-makhluk itu.

"Terus kalau lo ikut ke sana lo mau apa? Ikut menghajar? Bisanya cuma ngeri gini, kan? Makanya, nurut."

"Kalau ada yang datang dari arah lain gimana?!"

Timothy menoleh ke beberapa arah. "Tadi pagi gue sudah menyisir area dalam komplek. Tidak ada apa pun. Kayaknya yang ini datang dari luar komplek."

Aku mengelap air mata yang menetes. "Aku takut tahu nggak sih!"

"Gue ngerti. Gue juga nggak berani-berani amat. Tapi saat ini ada cewek yang harus gue lindungi. Itu cukup buat gue maksain diri jadi berani."

Aku berusaha mengerti sekarang.

"Pokoknya lo juga jangan lengah, oke? Selagi gue melawan Wilwa yang ada di sana. Kalau ada apa-apa coba teriak sekuat mungkin supaya gue tahu. Setelah ini gue janji bawa lo pergi ke tempat aman," Timothy berusaha meyakinkan.

Akhirnya aku menganggukkan kepala.

Sebelum pergi Timothy memandangku lamat-lamat. Kemudian tangannya cepat sekali menyeka air mata di pipiku tanpa memberi kesempatan aku mengelak. Lalu pergi tanpa bicara. Never could imagine the way the apocalypse happened, you with someone new.

Saat dia berjalan, aku bisa melihat dengan jelas perubahan fisiknya menjadi keras dan berwarna seperak kunci inggris. Aneh, menakutkan, dan terlihat kuat.

"Hoooy!" teriak Tim. Aku mengintip dari balik tong sampah. Semua Wilwa itu langsung menoleh ke arah Tim. Tentu saja mereka seperti berhasrat menyerang. Ini terlihat seperti segerombol preman yang hendak menyerang seorang remaja.

Timothy berdiri di jarak belasan meter dari makhluk itu. Benar-benar tak perlu waktu lama bagi mereka untuk langsung menyerbu Timothy secara bersamaan. Perutku seperti kram menahan ketegangan yang menjalar seketika. Sesekali aku mengintip penuh rasa takut untuk melihat. Timothy menghantam dan menendang sebisanya. Meski pukulannya tidak cukup bertenaga tapi masa jenis besi yang mengubah dirinya itu bisa memberi efek benturan yang lebih kuat.

Dua Wilwa berhasil ditumbangkan. Tersisa empat lagi yang masih berusaha kuat menyerang tanpa ampun. Saat itulah Tim kewalahan. Dia ditindih empat Wilwa itu. Mereka berusaha menggigit Tim. Namun kesusahan karena sekarang dia seperti sekeras besi.

Kesengitan itu berlangsung cukup lama. Aku kebingungan sendiri di dekat tong sampah. Menangis ketakutan namun menahan diri untuk tidak bersuara.

Sesuatu yang aneh terjadi. Angin mendadak berembus kencang dengan kepyar-kepyur air yang lembut. Awan di atas komplek menggulung seperti pusaran. Kilat menggelegar bersahut-sahutan di balik awan. Aku melihat dengan sangat jelas pusaran seperti kinton yang jatuh dan melesat turun di atas atap rumah di seberangku. Awan itu melebur dan berpencar secara dramatis hingga tampaklah seorang cewek dengan rambut berkibar karena angin di atas sana.

Aku terperanjat memperhatikan dari posisi takutku. Cewek itu berdiri tenang seolah sedang memantau apa yang terjadi di bawah. Parasnya sangat berkarisma seolah dia bisa menarik perhatian semua pasang mata di tengah kekacauan dan ladu alam yang gelap seperti sekarang.

Tak lama kemudian dia melesat ke bawah dengan wujud awan seperti semula dan merubah diri kembali begitu tiba di paving. Dalam pengamatanku, aku melihat di genggaman tangan cewek itu berkelabat sebuah kilat listrik. Lalu dia berteriak kencang, "BANGSAT!"

Sontak itu menarik perhatian semua Wilwa yang sedang melumpuhkan Timothy dan akhirnya lebih tertarik untuk menyerang cewek itu. Mereka meninggalkan Timothy yang sudah kewalahan. Namun belum sampai mereka menyentuh cewek itu, lantas kilatan listrik yang sangat kuat dan menyilaukan melecut dari tangan cewek itu mengenai semua Wilwa. Listrik itu menyambar secapat mungkin hingga menimbulkan efek suara yang sangat keras dan memekakkan telinga layaknya petir. Bukan main, semua Wilwa mati seperti terpanggang.

Entah kenapa aku akhirnya memutuskan untuk berlari menghampiri Timothy. Cewek yang tadi hanya menoleh sebentar ke arahku dan membiarkan aku mencapai Timothy. "Tim, nggak apa-apa?"

Timothy lekas berdiri dan membersihkan badannya dari debu dan bulu-bulu Wilwa yang rontok. Lalu dia mengubah diri menjadi manusia kembali. "Gue oke. Tadi nyaris."

Kami berdua menoleh ke arah cewek itu yang sekarang sedang berjalan ke arah kami. Wajahnya dingin dan seperti sungkan tersenyum. "Semuanya aman?" tanyanya dingin.

Aku dan Timothy saling tatap sebentar. "Thanks," ucap Timothy.

Cewek itu berlalu melewati kami. "Jangan dulu berpikir untuk keluar dari komplek ini. Di luar gerbang ada ratusan Wilwa yang pengin makan kalian," ujarnya.

"Lo di sini dulu," bisik Timothy. Dia bergegas menghampiri Jeep dan membuka pintu itu dengan sebuah kunci. Lalu keluarlah seorang laki-laki dari dalamnya. Aku kenal wajah orang itu, tapi tidak tahu namanya.

Timothy memapah laki-laki itu sampai ke arah kami.

"Gue hampir mati karena pengap!" protes laki-laki yang dipapah Timothy.

"Dan gue juga nyaris mati nyelamatin lo!" Timothy membalas.

Mengerikannya, seolah terpancing dengan kegaduhan tadi. Gerombolan Wilwa yang sangat banyak itu datang dari arah gerbang komplek. Mereka seperti sekawanan demonstran yang marah. Aku segera bersembunyi di balik punggung Timothy.

Cewek super tadi menghela napas seperti muak dengan makhluk-makhluk itu. Kemudian dia menatap ke atas. Jelas sekali terlihat jejak-jejak awan dari lesatan asing, ia tak tampak karena pergerakannya terlalu cepat. Namun sepersekian detik lesatan itu mendarat luput dari pengamatan. Sosok cowok itu sudah berdiri di hadapan kami. Dia menoleh ke belakang sebentar. Rambutnya pendek berwarna kecokelatan. Memakai coat panjang berwarna hitam. Gue langsung mengenali siapa dia. Karismatiknya bahkan tadi tak bisa diamati siapa pun. Lesatannya sangat halus. Juno.

Jadi seperti ini dia yang sebenarnya? Seorang Sinestesian? Apa semua Sinestesian tampak berwibawa seperti mereka? Maksudku Lexi, Timothy, Juno, dan cewek super tadi. Apa memang seperti itu mereka didesain oleh takdir?

"Gue belum terlambat, kan, Bec?" kata Juno dengan senyum kecil yang terlihat dari belakang saat dia menoleh tadi. Masih sama. Senyum memesona itu masih sama. Dia terlihat lebih tinggi dan berisi. Aku tidak salah melihat, dia punya kumis dan jenggot tipis. Rambutnya keren dipotong pendek. Aku berdebar sendiri lihatnya.

Lalu cewek yang tadi merasa dipanggil 'Bec' maju ke arahnya. "Gue kira lo tadi nyangkut di tower. Lama," jawab Bec.

Mereka ngobrol santai seolah di depan sana nggak ada rombongan makhluk gila yang sedang berlari cepat penuh amarah.

"Gue tadi lupa rumah ini rutenya ke mana. Dari atas kurang jelas," jawab Juno lagi. Padahal di telepon aku sudah jelas ngasih titik lokasi rumahku.

Aku, Timothy, dan lelaki dari Jeep itu nggak bisa bereaksi apa-apa. Kami tertegun.

"Gue yang atasi ini," ucap Kak Juno.

"Nggak usah sombong. Gue juga bisa abisi mereka sekali sambar."

Juno terkekeh. "Mumpung sekarang legal nampakin kekuatan sendiri di depan manusia biasa."

Lalu Juno tiba-tiba jongkok dan menyentuhkan tangan ke paving. Dan tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, seketika semacam portal terbuka lebar di sepanjag paving sehingga otomatis semua Wilwa itu terhisap ke dalam portal itu. Seolah dilempar ke dimensi lain, mereka hilang dan hanya menyisakan beberapa.

Kemudian Juno seperti menutup portal itu untuk membiarkan Wilwa yang tersisa bergerak maju. Samar-samar seperti ada bayangan tipis sebuah sayap yang besar dan gagah keluar dari punggungnya. Sayap itu tidak fisik. Juga tak begitu jelas. Hanya bayangan semu. Tapi bukan main, ketika dia mengibaskan satu kali, aku dibuat tercengang karena Wilwa yang tersisa terbelah dua di depan penglihatan kami. Dan semua aksinya itu berlangsung kurang dari dua satu menit.

"Tamat. Jeep-nya ikut terpotong jadi dua," desah Timothy lemas di sebelahku seperti menyayangkan Jeep jarahannya.

Setelah semua tuntas oleh Juno sendiri. Dia lalu memutar badan. Saat itulah aku bisa melihat dengan jelas seperti apa rupanya yang sekarang. Sudah lama aku tak melihat wajahnya. Ada yang bilang dia pergi kuliah. Tapi yang lain bilang dia pulang ke Swiss. Aku tidak tahu mana yang benar. Dan sekarang aku lebih yakin kalau Juno tidak pergi kuliah atau pun ke Swiss.

Juno berjalan menghampiri kami. "Naz," sapanya dengan senyum. Dia benar-benar tak terlihat seperti remaja lagi. "Nggak usah kaget dengan gue yang sekarang. Ini zaman di mana segala hal yang tampak mustahil sangat pantas diberi kesempatan untuk dipercayai."

Aku mengangguk.

"Ini, Becca," Juno memperkenalkan cewek super tadi. "Rebecca. Teman gue."

Aku masih kehabisan kata-kata. Rasanya obrolan di antara mereka bukanlah posisiku.

"Becca akan di sekitar sini untuk beresin Wilwa yang ada. Gue sendiri nggak bisa lama-lama karena harus ke Bandung sekarang. Kikan lagi kritis di rumah sakit. Gue baru tahu semalam," ujarnya lagi. "Nanti gue ke sini lagi."

Aneh benar-benar aneh aku masih belum bisa bicara. Semua ini terlalu sangat aneh.

"Kikan? Perasaan lo nggak bilang mengunjungi orang bernama Kikan ada di rencana misi kita hari ini," ujar Becca heran.

"Ini mendadak, oke?"

"Dia temen lo? Atau jangan-jangan dia ini cadangan lo setelah putus dari Lana?"

"Becc," tatapan Juno memperingatkan Becca.

"Heran bener gue sama lo."

Juno memutar bola matanya. Lalu kembali menatap kami bertiga.

"Kalau bisa coba bertahan di sini dulu. Tadi ada yang bilang mereka melepas empat puluh ribu Wilwa lagi. Semua akan semakin sulit karena sampai saat ini pemerintah masih nggak ada tindakan apa pun. Himbauan gue yang semalam dianggap iseng. Kalau gini jadinya, semua harus berjalan sesuai cara kami," Juno berkata dengan nada sedikit kesal.

"Kak, tunggu," akhirnya aku berbicara. "Kalau nanti ke sini lagi, tolong Sid dulu yang ditemui."

Juno malah terkekeh lepas berkacak pinggang. "Sid? Dia masih hidup?"

"Kak!"

"Bercanda. Biarin aja. Dia lagi belajar satu hal yang nggak bisa gue intervensi. Lagian selama ini gue bareng Sid kok. Bukan Sid yang di sini tentunya. Dia Sid dari zaman lain. Susah ya dipahami? Nanti juga ngerti," jawabannya justru membuatku bingung.

"Gue tadi datang ke sini karena katanya kamu lagi parah situasinya. Sekarang udah aman. Becca akan menjaga wilayah sini. Gue nggak akan mikirin Sid dulu. Biarin. Dia lagi punya momen belajarnya sendiri," tambahnya.

Setelah Juno berkata begitu, lalu ada hentakan angin kuat dan secara tak kasat mata itu menghilangkan Juno dari hadapan kami semua. Dia pergi tanpa berpamitan sekali lagi. Seolah ada obrolan tentang Sid yang ingin dia hindari.

***

**************

Awww. Siapa itu yang muncul?

Masih bisa berdebar tak ketemu Juno di sini?

Apa komentar kamu untuk bab ini?

Lana dan Juno putus? Bijimana ceritanya??????? Terus wat hepen wit Kikan? Ih, Saya kepo deh. Lol.

Jangan lupu follow instagram @writtenby.sahlilge. Ini akun book club karya saya yang dikelola oleh admin. Semua informasi dan trivia tentang cerita karya saya akan ada di akun ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top