19 - Sabotase Alam Bawah Sadar
Assalamualaikum. Halo, selamat pagi kalian bucinnya UYS. Iya ini update. Nggak usah nagih lagi.
Kemarin dua hari saya sibuk ngurusin sampul baru Schoolah sama ilustrator makanya nggak sempet ngurusin unggahan UYS. Saya tahu kok sudah lewat 10K komentar, nggak perlu diingetin.
Eh, gimana bab kemarin? Nangis? Ambyar? Pecah?
Sanggup membayangkan berada di posisi Sid?
Semoga kita semua dihindarkan dari perpisahan yang terlalu menyedihkan bersama orang-orang yang kita sayangi.
Bagaimana puasanya, lancar? Udah punya hutang? Cewek mah punya keistimewaan yah. Tahu.
Hmm, di bab ini emosi kalian kayaknya bakalan diuji lagi deh. Tapi kali ini bakal lebih bikin syok, kesel, bingung, dan cukup membuat bengong.
Percaya? Buktikan sendiri saja deh.
Bab ini juga bakal membuat kalian mungkin terperangah dengan cerita Lexi. Btw, dia menceritakan latar belakangnya loh di sini. Siap-siap konsentrasi juga yaw.
Entah kenapa saya yakin banget bab ini bakal ngalahin bab kemarin gejolaknya. Asli. Dan kalian bakal stres penasaran sama bab selanjutnya. Seperti selalu. Karena itu, saya tantang bab ini tembusin sampai 15K komentar untuk membayar bab 20. Kalian nggak mau, saya nggak peduli. Karena 10K kayaknya terlalu mudah ya buat kalian. Hadeh, kemarin aja belum 48 jam udah sampai. Saya yakin bab ini bakal melampaui 15K komentar karena bab ini panjang bener. Serius. Dan ada banyak bagian yang pasti bakal dikomentarin sama kalian.
Melalui komentar kalian saya juga jadi tahu apa reaksi kalian sama bab ini. Jadi saya bisa mengantisipasi banyak hal. Jadi, komentar sangat pentin buat jadi acuan saya menulis bab-bab selanjutnya.
Oh iya, guys. Saya nggak yakin UYS akan dibukukan melalui penerbit. Meski udah diminta sih, tapi saya berpikir untuk menariknya atau entah bagaimana nanti. Kenapa? Karena cerita ini lumayan gore. Pasti bakal banyak sensor/cut kalau melalui penerbit dan jadinya nggak asik. Padahal mah nggak apa-apa. Kecuali kalau ada penerbit yang sanggup mengabulkan permintaan saya. Loh ini karya saya. Semua hak kesepakatan ada di tangan saya. Yooosss!
Saya belum diskusi lagi sama editor. Juga UYS ini bakal jadi novel yang tebalnya ngalahin Juno, tentu penerbit bakal berat buat nentuin harga. Tapi jangan khawatir! Saya justru seneng banget kalau UYS nggak sama penerbit mayor. Karena saya bisa mengustomasi bukunya sesuai selera saya sendiri. Dan ceritanya bisa dibukukan secar penuh pun setebal apa pun nanti. Saya berencana membuat UYS jadi buku fisik yang super keren. Juga, pasti dengan harga yang jauh lebih terjangkau untuk buku setebal ini. Maksudnya jauh perbandingannya sama buku di TB. Gramedia dengan tebal serupa. Karena ada penekanan biaya margin yang lumayan meringankan kalian dan tidak memberatkan di saya.
Bang, kan nanti jadi nggak banyak yang tahu cerita UYS?! Come on, bagi saya semakin susah didapatkan semakin keren buku itu. Apalagi kalau bukunya emang sekeren UYS. Oops. Hehehe maaf, canda. Tapi serius, saya lebih pengin UYS self-publishing karena saya sudah membayangkan yang keren-keren dari segi cover pun. Ada opsi paperback sama hardcover. Impian saya punya novel fantasi yang gahar tampilannya. Hihihi. Dan kalau kalian pengin UYS banyak yang tahu, just help me share it.
Berbahagialah yang nanti menang Giveaway dapat UYS, book of de year. wqwq
Udah itu saja pembukaannya. Bab ini menantang emosi. Siap?
Lagu yang harus diputar masih sama kayak lagu kemarin. Die Alone by FINNEAS. Lagunya cocok banget.
Oh iya, saya belum menyisir typo. Bantu temukan ya.
Selamat membaca!
***
********
CHAPTER 19
[Lexi Briana]
"Ibu, Lex," ujarnya nyaris tak terdengar dalam pelukan gue. Itu suara cowok terapuh yang pernah gue dengar seumur hidup. Dan saat itu juga gue tahu jasad siapa yang dibungkus selimut itu.
Lebah-lebah itu berkeliaran di sekitar tubuh Sid begitu gue datang. Mereka beterbangan tanpa menyengat. Lalu hinggap di dekat gorden.
Gue tidak bisa mendeskripsikan energi yang gue rasakan saat memeluk Sidney. Dia memiliki tiga sumber energi yang saling melilit keluar dari tubuhnya. Itu milik Sid, Iblis dan Antonim. Tapi yang jelas, ketika gue menyerapnya untuk mencoba merasakan apa yang sedang Sid rasakan, otomatis gue ikutan menitikkan air mata. Bagaimana energi sedih, ketakutan, hampa, marah, sakit, dan entahlah apa lagi itu benar-benar mengeruk jiwa. Gue nggak heran kalau setelah ini Sid mungkin akan berubah jadi sosok yang sangat berbeda. Mungkin lebih hening dari keheningan itu sendiri.
"Semua orang berhak mengekspresikan perasaanya dan nggak ada yang berhak menghakimi," bisik gue lagi. Cara Sid memeluk benar-benar erat seolah dia adalah manusia yang terdampar di pulau terpencil, sendirian, dan pada akhirnya bertemu manusia lagi.
Satu lagi, dia menangis hebat. Benar-benar ekspresi tangisan yang belum pernah gue tangani sebelumnya. Bahkan terasa sangat lain ketika itu adalah tangisan seorang cowok.
Tangan gue yang memeluk punggungnya bisa merasakan kulit Sid yang bahkan terasa lain. Setiap selnya seolah berduka. Gue merasakan guncangan di antara isakan itu. Dia tidak berbicara sama sekali. Cuma menangis. Dia seperti tidak peduli gue ini siapa. Sikapnya yang seperti ini seakan dia ingin berkata, "Wahai dunia, gue hancur." Dan dari energi yang terhirup oleh gue memang kesedihannya itu sangat nyata. Pedih.
I mean, gue sama dia memang baru kenal sebentar. Tapi entah kenapa bahasa-bahasa yang energi Sid jelaskan bisa gue pahami begitu saja dan seolah sangat dekat. Itu sebabnya gue pun turut meneteskan air mata saat ini meski tak sehebat dia.
Cukup lama Sid menangis sampai akhirnya dia sedikit terkendali, lantas pelukan kami terurai. Spontan, kedua tangan gue sigap menyisir rambutnya dengan jari-jari. Gue mengelap keringat dan air mata di wajahnya. Lalu gue pegangi kedua pipinya. "Dengar, kita akan mengurus jasad ibu kamu dengan layak, oke?"
Sid memejamkan mata memeras sendu. Lalu mengangguk pasrah.
"Gue tahu ini sulit. Tapi tenangin diri dulu," pinta gue lagi.
"Ibu, Lex," rintihannya hanya seperti itu.
"Iya, Sid, iya. Turut berduka. "
Dia masih sangat kacau dan kesulitan menenangkan diri. Gue membujuknya untuk pindah ke sofa. Gue ingin memperbaiki dirinya dulu.
Sid mau pindah ke sofa pada akhirnya. Gue nggak menyalahkan ketika gelagatnya jadi seperti anak kecil. Dia bahkan seperti nggak bisa duduk. Seakan lupa melakukan hal-hal kecil. Dia langsung mengambil posisi berbaring dan menggunakan lengan kanannya untuk menutupi mata. Gue melihat luka cakaran di perut, bagian rusuk, betis, dada, dan sedikit garis darah di pipinya. Pasti luka itu tidak dia rasakan.
"Sebelum gue kasih baju, luka lo harus disembuhkan dulu. Gue punya mantra yang bagus."
"Jangan disembuhin."
"Sid, kalau infeksi malah lebih nyusahin diri lo sendiri," bujuk gue pelan-pelan.
Dia terdiam. Suara hidungnya terdengar seperti pilek.
"Kalau pakai mantra bisa cepat menutup lukanya. Mau, ya?" gue terus berusaha.
"Jangan. Jangan cepat sembuh. Gue dapat luka ini bareng Ibu. Biarin membekas," jawabannya itu memukul perasaan gue keras-keras dan membungkam.
"Tapi tetap harus diobati," kata gue.
Tangannya lalu menunjuk ke arah ruang tengah. "Di sana."
Gue berjalan ke arah yang dia tunjuk. Sebuah kotak P3K menempel di dinding setinggi satu meter dari lantai. Ini bentuk perhatian seorang Ibu ketika menaruh kotak darurat setinggi itu biar bisa diraih anak kecil untuk jaga-jaga.
Gue membukanya kemudian. Lalu mengambil kain perban, betadine, alkohol botol kecil, kapas dan plaster. Sebelum kembali ke Sid gue melangkah lebih dalam mengambil sebotol air dingin di dalam kulkas yang saljunya mencair karena tidak ada aliran listrik. Gue menghela napas panjang sebelum keluar. Semuanya gue letakkan di meja.
Karena nggak mungkin gue suruh dia mandi, lantas gue kembali ke dalam untuk mencari handuk dan mengambil segayung air dari kamar mandi.
Sid diam saja masih menutupi wajahnya dengan lengan saat gue mulai mengelapi badannya dengan handuk yang dibasahi. Tubuhnya lemas seperti tanpa daya. Masih sedikit terisak meski tak ada air mata yang mengalir. Pelan-pelan gue membersihkan noda darah di pinggiran lukanya. Sebelum mengulanginya dengan kapas yang dibasahi alkohol. Dia sama sekali tidak menjingkut padahal itu pasti perih banget. Seolah dia sedang mati rasa.
"Bisa duduk sebentar, nggak?" pinta gue.
Sid lalu duduk dan langsung mengambil posisi membelakangi. Kelopak matanya membengkak.
Lalu gue melakukan hal yang sama pada luka-luka di punggungnya. Setelah itu untuk sentuhan terakhir gue menutup semua luka dengan kapas dan kain perban. Badannya dililit penuh karena banyak luka di sana. Di wajah cuma gue kasih plaster karena hanya ada luka segaris di pipi. Dan perban-perban lain di betis. Dia tidak protes sama sekali.
"Mau outfit yang cool banget, nggak?" tanya gue berusaha menghibur karena dia sudah mulai tenang. Sidney tipikal cowok yang perlu pengakuan akan sebuah pesona dari orang lain. Dan gue saat ini sedang ingin jadi salah satu orang yang mengakuinya. Selain Sahnaz.
Dia menjawab dengan gerakan bahu kecil.
Sweater krem, celana jogger, kaos kaki. Voila! Dia sudah berpakaian hangat sekarang.
"Gue juga bisa menetralkan emosi lo, kalau mau," tawar gue. Kali ini dia mengangguk pelan.
Sid masih di posisi duduk yang sama saat gue menyentuhkan kedua telapak tangan ke punggungnya. Jujur saja, sebenarnya gue pun hampir kehabisan energi. Gue menggunakannya terlalu banyak akhir-akhir ini. Tapi gue masih bisa mengusahakannya untuk menyalurkan apa saja yang tersisa untuk Sid. Dia lebih membutuhkan dari pada gue.
Mengejutkannya, Honi yang tadi hinggap di gorden beterbangan ke arah gue. Mereka hinggap di punggung. Kerumunan mereka membuat gue seperti batang pohon yang hendak dibuatkan sarang lebah. Namun bedanya Honi itu cantik bentuknya. Sayapnya berkerlip emas. Dia menyala kekuningan lebih dari kunang-kunang. Gue bisa mengerti bahasa energi, tapi serius, energi yang Honi pancarkan berbeda. Saat dia menempel di badan gue, gue nyaris mengira ada yang sedang bernyanyi atau apa. Energi itu terdengar seperti nyanyian merdu peri-peri di hutan ajaib. Sid tadi memang dihinggapi, tapi gue nggak yakin dia bisa mendengarkan nyanyian energi Honi yang semenenangkan ini. Benar-benar Sinonim yang unik.
Ketempelan Honi membuat gue merasa mendapat tambahan energi baru. Ini sambung menyambung antara Honi ke gue lalu ke Sid. Semakin lama perasaannya semakin baik. Sekarang segalanya terasa masuk akal kenapa Remember Me terasa ajaib bekerja pada emosi manusia. Ada ratunya di sana. Gue penasaran bagaimana wujud dan suara nyanyian energinya. Pasti lebih menenangkan di dekat ratu. Iblis dan Antonim saja bisa ternetralkan. Apalagi sekadar gejolak emosi manusia.
Belasan menit berlalu, denyut energi Sid mulai stabil. Aura kesedihan yang memancar juga berkurang. Ini hanya terasa di sekitar kami. Tapi kalau ruangan jelas berbeda. Ada energi kematian di ruangan ini sebab jasad yang terbungkus itu. Dan gue mulai menyadari sesosok energi yang sedang duduk di dekat jasad itu. Gumpalan energi ruh berwarna biru. Dia diam di sana tanpa berbahasa.
Setelah dirasa cukup, gue melapaskan sentuhan. Honi yang hinggap di punggung gue beterbangan memasuki ruang tengah. Sid lalu bersandar di sofa. Gue juga melakukan hal yang sama di sebelahnya.
"Semua kekacauan ini terjadi kurang dari dua puluh empat jam dan itu sudah cukup untuk mengubah banyak hal," Sid berkata tiba-tiba. Entah kenapa gue seneng. Gue seneng dia bicara. Meski dengan suara yang hampir habis.
"Gue juga kehabisan kata untuk mengomentari apa yang terjadi saat ini," gue menimpali.
Gue lihat dia bersandar dengan nyaman. Atau itu karena dia sedang sangat lemas. Dia perlu makan. Kemarin dia belum makan banyak. Setelah ini mungkin gue perlu mencari sesuatu di dapurnya untuk dimakan. Sereal, telur, roti, atau apa pun.
"Lo yakin nggak tahu apa yang sedang terjadi?"
"Nggak begitu yakin. Cuman malaikat gue bilang, ini ulah seorang manusia yang ingin mencapai posisi tinggi di atas manusia lainnya. Entah orang ini suruhan atau memang dia sendiri yang melakukannya. Yang jelas, dia bukan orang sembarangan. Paling tidak ada banyak kekuatan yang menyokong di balik ulahnya," jawab gue.
"Siapa pun itu, mereka harus mati di tangan gue," ujarnya serak. Tidak, dia tidak menangis. Itu hanya suara dari orang yang sedang kekurangan daya. "Ini tentang nyawa banyak orang yang gugur."
Gue mengangguk. "Are you feeling better now?"
"I'm trying."
Kami hening untuk beberapa saat.
"Gue perlu memakamkan jasad ibu. Tapi sebelum itu, bantu gue mandiin jasadnya, ya?"
"No," jawab gue, "Jangan dimandikan."
"Kenapa?"
"Darahnya akan bersaksi kelak untuk semua kezaliman ini. Lo pernah dengar zaman dahulu kaum-kaum yang berperang di jalan Tuhan dan gugur, darah mereka tidak dibersihkan? Langsung dimakamkan dan hanya dengan perawatan kafan yang seadanya?"
"Tapi Ibu nggak sedang berperang, Lex."
"Pahami secara kontekstual, Sid. Dia adalah korban dari kezaliman yang besar. Ibumu mungkin memang nggak berperang. Tapi ada kelompok manusia yang sedang berusaha memerangi Wilwa dan siapa pun itu yang jadi dalang dari kekacauan ini. Wilwa sama seperti musuh peperangan yang harus dikalahkan."
Sid sepertinya mulai paham apa yang gue maksud meski dia cuma diam.
"Teman lo yang namanya Juno keren. Dia pemimpin Sinestesian untuk generasi sekarang. Pidato sabotasenya hebat," gue memperjelas maksud dari 'perang' yang tadi gue kaitkan. "Mungkin lo juga dengar, kan? Televisi di rumah Sahnaz menyala dan teman lo itu mulai bicara. Gue tahu karena Sahnaz yang mengenali suara itu."
Sid menjatuhkan tatapannya ke lantai. "Sejak semalam, gue benci Juno," ujarnya dengan nada datar.
Seketika gue menoleh.
"Kalau saja dia nggak membuat listrik di kota ini menyala, pasti nggak akan ada Wilwa yang tertarik untuk menyerang komplek gue. Karena situasi tenang-tenang saja sampai akhirnya listrik menyala," Sid mengatakan itu dengan sedikit percikan jengkel.
"Meskipun itu cuma beberapa menit, tapi pasti ada ratusan atau bahkan ribuan orang yang gugur saat listrik menyala," tambahnya lagi.
"Tapi itu semacam keharusan, Sid. Dan gue rasa ini bukan ulah Juno. Mungkin ... Sinestesian lain? Dia menyebut "kami" waktu bicara. Berarti mereka banyak. Itu juga salah satu cara bagus untuk menenangkan masyarakat dan ngasih tahu pemerintah."
"Iya, tapi pasti ada cara lain! Misalnya dengan muncul dan memberitahukannya secara langsung!" dia sedang sedikit emosi makanya terdengar tidak masuk akal.
"Satu negara harus tahu tentang ini dan bukan hanya per orangan, Sid," kata gue, "Tolong jangan membakar diri dengan amarah lo sendiri. Gue paham perasaan lo sekarang. Berkecamuk dan-."
"Lo nggak paham, Lex. Lo nggak paham karena sekarang yang jadi korban meninggal adalah ibu gue. Bukan ibu lo. Lo nggak akan pernah paham."
Gue melepaskan napas panjang karena sepertinya pergolakan emosi Sid kembali terbit. Lagi-lagi keheningan menyela di antara kami.
"You know what? Ada beberapa hal yang nggak pernah terjadi dalam hidup gue," gue membuka suara pelan-pelan. Harus ada yang memecah keheningan ini. "Keluarga, sebuah pelukan, dan bagaimana rasanya dicintai. Tiga hal itu bagi gue langka. Gue bisa merasakan setiap orang yang kehilangan keluarganya. Dengan semua kenangan yang telah mereka bagi bersama, lalu harus terpisah karena takdir memang menggariskan untuk tidak bertemu lagi. Kematian."
Sid terdiam. Tatapannya kosong ke arah permukaan meja.
"Tapi tentang gue ceritanya lain, Sid. Gue belum pernah benar-benar tahu siapa pastinya orang tua gue. Keluarga gue hanya ... seluruh sepi yang ada di bumi ini. Itu alasan kenapa gue selalu memeriahkan diri sendiri. Playing dumb."
Sidney menoleh ke arah gue perlahan.
"Lo percaya nggak kalau di negara ini ada sekumpulan masyarakat rahasia yang menjalankan misi khusus di luar dari kepentingan negara, bahkan kriminal?"
Sid menatap gue dengan siratan jawaban ragu.
"Karena lo sudah terlibat di dalam dunia seperti ini, lo juga harus tahu bahwa perkumpulan itu benar-benar ada. Mereka terdiri dari orang-orang yang punya kemampuan di atas manusia rata-rata. Tetapi mereka bukan Sinestesian." Sid menyimak apa yang gue ceritakan karena sepertinya dia mulai tertarik.
"Mereka berbisnis. Untuk uang," sambung gue, "Perkumpulan ini kemudian berubah menjadi sebuah organisasi yang terstruktur. Ada ketuanya, ada antek-anteknya, dan tentunya ada klien yang membutuhkan jasa mereka. Sehingga terjalinlah sebuah rantai bisnis yang sempurna."
"Apa yang mereka lakukan?" Sid bertanya.
"Semua jenis kriminal. Pembunuhan pesanan, jual beli organ manusia, pemasok di pasar gelap, transaksi boko haram di darkweb, sabotase data pemilu, apa pun. Semua jenis kriminal tingkat tinggi, selama itu dengan bayaran tinggi pula. Aksi mereka sangat terstruktur dan terencana. Sampai-sampai Badan Intelejen Negara dibuat kewalahan untuk mengungkap jaringannya. Hingga detik ini mereka masih berbisnis."
Sid seperti sedang memproses. "Lalu apa hubungannya dengan lo?"
"Gue mungkin nggak tahu siapa orang tua gue secara pasti. Tapi memori terjauh gue yang bisa diingat adalah gue besar dan hidup di antara mereka. Gue dibesarkan oleh para elit di organisasi itu."
Wajah Sid tercengang samar-samar. "Gue tahu siapa pemimpinnya dan orang-orang penting di sekitarnya. Gue nggak bisa sebutkan nama beliau karena bagaimana pun ini kode etik."
Sid mengangguk mengerti.
"Lo jangan berpikir organisasi ini isinya orang-orang yang kayak preman pasar, Sid. Mereka elit. Markas mereka mewah. Harta mereka banyak. Setelan pakaian sampai kendaraan mereka bahkan di atas kemampuan para selebritas tanah air. Lokasi markasnya nggak akan pernah ditemukan di peta. Atau setidaknya mereka berhasil membuat pemancar satelit untuk tidak mengenali titik koordinat mereka. Persanjataan mereka lengkap. Agen-agennya adalah para kriminal yang nggak bisa disepelekan sama sekali. Detektif ulung sampai mata-mata, mereka juga punya agen yang seperti itu."
"Gue membayangkan mereka seperti agensi kriminal rahasia atau organisasi mafia," Sid menyimpulkan.
"Boleh dikata begitu."
"Dan ... lo dibesarkan oleh mereka?"
Gue mengangguk. "Ya. Seenggaknya sampai gue umur lima belas tahun."
Tatapan Sid fokus ke arah gue.
"Gue diasuh oleh anak buah pemimpinnya. Anak buah yang paling dekat dengan tahta tentunya. Gue diajari semuanya di sebuah camp pelatihan yang rahasia juga, sedari kecil. Bela diri, mencuri, menyelinap, menyamar, bahkan sampai persenjataan."
"Termasuk membunuh?"
"Gue membunuh pertama kali di usia tiga belas tahun. Seorang politikus yang ditawan karena pesanan lawan politiknya sendiri. Dia diikat di sebuah kursi saat itu. Babak belur. Gue dibawa ke sebuah ruangan di mana orang itu sedang diikat. Gue dikasih sebuah pistol dan semacam mendapat sebuah kehormatan untuk menuntaskan orang itu di hadapan mereka. Sebagai tontonan."
Dahi Sid mengernyit.
"Lo tahu nggak, sampai saat itu, gue nggak kenal seperti apa dunia luar. Gue dari kecil di markas mewah mereka. Saat itu dunia normal yang gue tahu, ya, hanya tentang kriminal," lanjut gue, "Gue bukan cewek satu-satunya karena di sana ada agen perempuan juga. Tapi mereka nggak ramah. Judes. Ada sih beberapa yang ramah, para selirnya. Lo tahu lah, perempuan-perempuan yang jadi pemuas seks untuk para elit. Mereka di sana nggak ada yang berkeluarga, asal lo tahu. Kalau sampai ada yang ketahuan berkeluarga, kepala pecah."
Dahi Sid semakin banyak kerutannya.
"Pengasuh yang paling gue ingat namanya Endu. Dia pria yang keren. Chinese. Mungkin sekarang usianya 37. Gue boleh memanggilnya paman. Dia nggak punya tugas untuk memenuhi pesanan klien. Tugasnya hanya mengurus markas. Semacam orang yang menanggungjawabi seluruh gedung markas itu. Tapi tentu saja dia punya skill. Gue banyak belajar darinya. Orangnya seru," gue sedikit mengenang.
"Serius lo nggak tahu siapa orang tua lo?"
Gue terdiam sesaat. "Endu pernah bilang, entah ini benar atau nggak, gue adalah anak dari pemimpinnya. Tapi, Endu juga berpesan kalau gue nggak boleh memanggil beliau sebagai Papa. Bos Besar itu sudah menghapus istilah keluarga dalam hidupnya." Ada napas yang terlepas dari perut Sid saat gue mengatakan itu.
"Mungkin sekarang pertanyaan lo adalah, siapa ibu gue?"
Sid mengangguk lemah.
"Jawabannya, gue nggak tahu. Mungkin seorang selir penting, lalu dia dibunuh sama Bos Besar. Atau ... ya, gue sama sekali nggak bisa menebak-nebak. Intinya, hal-hal yang lo sebut keluarga itu nggak pernah terjadi dalam hidup gue."
Tatapan kami bertemu di udara. Tatapan saling mengerti.
"Iya, lo benar. Mungkin gue nggak akan pernah paham bagaimana rasanya ditinggal mati oleh ibu kandung. Tapi, di satu sisi, gue sudah khatam mengeja kehilangan dan sepi dari dulu. Jadi, setop menyalahkan apa saja karena ini tentang kematian, Sid. Lo percaya takdir, kan? Memang sebab yang mengantar pada takdir kadang menjengkelkan. Lo juga berhak untuk marah. Lo berhak kecewa dan sedih juga. Tapi jangan menyalahkan ... Juno, yang ... maksud gue, dia cuma menjalankan kewajibannya sebagai Sinestesian tinggi. Dan nggak mungkin dia bermaksud menyebabkan kematian lebih banyak ketika listrik menyala."
Wajah Sid akhirnya terbebas dari kesan jengkel. Gue berhasil meyakinkannya. Dia mengangguk lalu melepaskan napas.
"Satu-satunya yang harus kita salahkan adalah dalang dari pemanggilan para Wilwa ini," tambah gue.
Sid mengangguk lagi. "Maaf."
"It's okay. Lo nggak perlu minta maaf."
Sid terdiam kembali.
"Sekarang gue harus gimana, Lex?" tanya Sid beberapa saat kemudian.
"Memakamkan ibu lo dengan layak, kan?"
"Ya, tapi setelah itu. Gue nggak tahu harus bagaimana caranya ngasih tahu adik-adik gue dan jelasinnya. Gue nggak siap menangani kesedihan mereka juga. Rasanya gue pengin mereka langsung ngerti tanpa harus gue jelasin atau tanpa harus melewati jam-jam penuh tangis lagi. Bukan hanya tentang ibu. Tapi ini juga tentang Wilwa."
Gue lalu ikut memikirkannya.
"Ada solusi? Atau lo punya mantra khusus untuk ... menghipnotis?"
Kata terakhir dari kalimat Sid mungkin mengarah pada sebuah solusi. Satu-satunya hal yang langsung gue ingat dari kata hipnotis adalah buku Quentin. Pasti ada mantra serupa di sana. Hipnotis adalah salah satu jenis tipu muslihat yang memungkinkan pelakunya untuk menyabotase alam bawah sadar seseorang.
"Tunggu sebentar," kata gue yang buru-buru mengambil buku Quentin dari fanny pack.
Buku Quentin sudah gue kecilkan sampai seukuran gantungan kunci. Gue lalu merapalkan mantra yang membuatnya kembali pada ukuran semula di meja. Setelah itu gue meletakkan tangan di sampul buku Quentin untuk berkomunikasi dengan energinya. Gue meminta diberitahu mantra yang berkaitan dengan tipu muslihat atau sabotase alam bawah sadar. Dan bukan main melegakannya saat getaran energi yang gue terima adalah sebuah iya.
Buku Quentin lalu membuka halaman dengan sendirinya sampai pada sebuah halaman yang tersurat mantra itu. Di sana juga terdapat keterangan bahwa mantra itu berfungsi seperti hipnotis yang cara kerjanya tergantung dari sugesti yang ditransfer oleh perapal mantra. Mantra ini memungkinkan perapalnya untuk bisa menghapus, menambahkan, dan bahkan mengganti informasi yang ada di memori seseorang dengan cara melalui sabotase alam bawah sadar dan pengaruh sugesti.
Gue menoleh ke Sidney dengan senyum lebar. "Sepertinya ada satu solusi."
Kemudian gue menjelaskan pada Sid sampai dia benar-benar paham.
"Jadi, sekarang tinggal keputusan lo, Sid. Ini satu-satunya cara yang sesuai dengan keinginan lo," kata gue setelah menjelaskan.
"Meski risikonya adalah adik-adik gue akan lupa beberapa detail tentang ibu dan mereka nggak punya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal," Sid berbicara sendiri, "Oke. Ini yang terbaik untuk semuanya."
"Yakin?"
Sid terdiam sesaat, bernapas panjang, lalu mengangguk mantap.
Rencananya adalah kami akan menggunakan mantra ini untuk menyabotase alam bawah adik-adik Sid dengan tujuan menambahkan dan mengganti informasi di dalam memorinya. Kami juga menyepakati beberapa sugesti yang akan gue transfer kepada mereka.
Pertama, memori mereka akan ditanam sebuah informasi bahwa ibu mereka telah meninggal satu tahun yang lalu dalam keadaan damai. Sid menitikkan air mata saat meminta sugesti ini.
Kedua, memori mereka akan dibuat bisa menerima kenyataan baru itu dan tidak lagi bersedih atasnya.
Ketiga, hari ini akan mereka ingat sebagai hari peringatan kematian ibunya sehingga nanti mereka bisa menghadiri makam dalam keadaan mengenang dan bukan berkabung. Sid berencana akan memakamkan ibunya di halaman belakang rumah yang penuh rumput.
Keempat, mereka juga akan ditambahkan dalam memorinya tentang Wilwa dan apa saja yang harus mereka lakukan agar tetap aman.
Kelima, ...
"Sid, lo yakin dengan sugesti yang kelima? Ini ide gila dan penuh risiko."
"Lex, mereka hanya akan menerima orang baru terutama cewek di rumah ini kalau cewek itu adalah orang dekat gue. Dalam beberapa hari ke depan lo nggak akan bisa pergi ke mana pun. Situasinya lagi nggak aman sama sekali. Gue minta lo tetap di sini. Temani gue menyesuaikan diri dengan semuanya. Kita juga perlu menyusun rencana."
"Tapi mana mungkin gue menanamkan informasi di dalam memori adik-adik lo bahwa gue di rumah ini adalah sebagai pacar lo, Sid."
"Asal lo tahu, Sahnaz nggak diterima adik-adik gue. Mereka nggak suka cewek yang dekat sama gue, hanya karena mereka semacam cemburu kalau kasih sayang gue diberikan untuk cewek yang bukan mereka. Punya tiga saudara cewek itu capek. Dan ini terjadi juga karena gue selalu seratus persen kasih sayangnya buat mereka."
"Dan sekarang pasti mereka akan semakin menjadi kalau tiba-tiba ada gue di rumah ini sebagai sang pacar dari kakak mereka! Maksud gue, Sid, gue nggak bisa. Gue nggak mau kalau Sahnaz tahu terus malah ada kekacauan yang seharusnya gue nggak pernah terlibat"
"Kecuali, lo juga menanamkan sugesti agar mereka bisa menerima lo. Dan mana mungkin sih lo bakal jadi beneran punya something ke gue. I'm a weirdo. Juga, kita baru kenal. "
Jalan pikiran Sid aneh.
"Tapi gue bisa berperan sebagai orang lain, Sid! Sepupu lo misalnya? Atau kayak realitanya aja, rekan kerja. Bahkan adik lo cemburu sama rekan kerja?"
Sid seperti tidak suka dengan jawaban gue. Dia memalingkan wajah. "Maksud gue ini cuma pura-pura dan sementara, Lex. Maaf aja, tanpa bermaksud mendiskreditkan masa lalu lo, tapa gue bahkan nggak yakin kalau lo adalah tipikal cewek yang akan mudah jatuh cinta. Dan urusan ini nggak ada kaitannya sama persoalan cinta di antara siapa pun. Entah lo, atau pun gue."
Maaf, tapi sekarang gue berdebar hebat.
Gue lalu menyerah. "Kalau kedepannya terjadi apa-apa karena ini. Gue lepas tangan," kata gue.
"Sahnaz masih tetap pacar gue. Lo tenang aja," Sid berkata pelan tanpa menatap gue.
Gue menghela napas. "Oke, terserah. Tapi ingat, gue nggak akan ikut-ikutan sama risikonya."
Sid mengangguk kemudian.
Sugesti kelima, uh, plis, gue nggak mau nyebutin yang kelima.
Setelah kesepakatan dibuat. Gue lalu pergi ke kamar adik-adik Sid untuk melancarkan rencana yang telah disepakati. Sid juga menyaksikannya ketika gue menyentuh kepala mereka, menyabotase memori mereka melalui alam bawah sadarnya, dan mentransfer sugesti. Gue nggak tahu apakah ini berhasil atau nggak. Mereka masih tertidur pulas efek dari Honi.
Kemudian, giliran mengurus jasad ibunya Sid. Ini bagian yang nggak kalah membebani batin karena selama proses merawat jasad tersebut Sid nggak berhenti meneteskan air mata dan tangan tremor. Gue memperbaiki pemulasan jasad itu dengan kain kafan yang layak. Tentu itu dari mantra gue. Sid menyalati jasad itu sendirian. Setelah itu kami berjibaku membuat makam di pekarangan belakang rumah yang memang berumput bagus.
Ini sangat menyedihkan ketika semuanya cuma ada gue dan Sid yang melakukannya. Komplek sepi seperti area mati. Gue yakin banget semalam ada agresi Wilwa besar-besaran sebelum gue datang karena ada mayat Wilwa di sana-sini.
Sebagai penghormatan untuk pemakaman seorang ibu, gue juga berempati untuk melakukan sesuatu. Ada tiga buku yang bernama Abraham, Wulan, dan Petra. Isi mereka masing-masing adalah mantra-mantra yang bekerja untuk elemen alam, tumbuhan, dan binatang. Gue membuka Buku Wulan untuk mencari mantra bunga-bunga. Dan mantra itu benar-benar memiliki keindahan yang luar biasa. Pekarangan belakang rumah Sid menjadi penuh ditumbuhi bunga-bunga. Pun pada makamnya akhirnya bisa ditaburi banyak kelopak dari bunga-bunga itu. Indah, namun tetap bernuansa pilu.
Alistair benar, kalau seseorang bisa menguasai mantra dari semua buku itu maka akan seperti meniru cara kerja Tuhan. Sebab ada banyak hal tak masuk akal yang bisa dilakukan dengan mantra-mantra. Dan akan sangat berbahaya kalau buku-buku itu jatuh di tangan orang yang salah.
Seketika pekarangan yang tak luas itu menjadi pemakaman yang sangat cantik. Penuh dengan bunga bahkan sampai di pagar-pagarnya. Bahkan tanah bekas galian makam pun tertutup rumput kembali seolah pemakaman itu sudah berumur lama. Kemungkinan sugesti ketiga akan berhasil semakin besar.
Gue memandangi Sid dari kejauhan. Dia sedang membacakan ayat suci di dekat makam itu dengan tangan yang juga repot memunguti air matanya yang berjatuhan. Gue menungguinya sampai dia selesai. Setelahnya Sid berjalan ke arah pintu masuk dari pekarangan. Matanya samar-samar masih berlinang dari balik kacamata yang dia pakai sebelum pemakaman.
Kami berdiri berhadapan. "Nggak tahu apa jadinya kalau lo nggak ada di sini," ujar Sid ke gue.
***********
***********
Gambar ini bagus. Manis. Tapi ngelihatinnya jangan sambil keinget Sahnaz. Nanti agak ada efek celekit.
***********
Oke, Sid, keputusan Lo bakal bikin marah banyak orang. Selain pake kesadaran akal, kesadaran hati juga perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Apa komentar kalian untuk bab ini?
Apa yang kalian rasakan selama membaca bab ini?
Oh iya, Lexi belum tuntas ya ceritain masa lalunya dan kenapa dia bisa sampai ke Remember Me. Santai. Nanti ada.
Hahaha, saya tahu kalian sedang mengkhawatirkan kemungkinan konflik di cerita ini. Dan saya akan siap mengguncang emosi kalian lebih rrrrrrr lagi.
Untuk bab ini saya mau pasang hastag #SukaSukaKakanda. Kalian pasti tahu apa maksudnya. Lol.
Jangan lupa 15K. Nggak bisa ditawar lagi. Asal jangan komentar yang sifatnya spam. Itu nggak akan dihitung. Karena saya nggak bisa dikibulin. Jarak 15K juga bisa dijadikan untuk saya bernapas.
Jangan lupa juga votenya hadeeh. Katanya sayang UYS.
Sampai jumpa bab selanjutnya.
Instagram @sahlilge @writtenby.sahlilge
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top