10 - Di Balik Mantra-mantra

Halo! Selamat sore!

Maaf yak, tadi April Mop sengaja biar gagal dimuat sama kalian. Hahaha 😂

Sudah nungguin banget ya? Sesuka itu ya sama cerita ini? Asik. hehehe

Guys. Sekarang sudah memasuki bulan April. Semoga hal-hal baik akan memenuhi bulan ini untuk kita semua. Di bulan ini juga akan datang Ramadhan. Kita perbanyak ibadah dan terus mensyukuri banyak hal yang kita miliki selama ini.

Saya jadi tersadar, ternyata bisa keluar rumah dan menjalankan aktivitas tanpa perlu was-was adalah nikmat besar yang selama ini saya lalaikan dan baru terasa setelah terjebak di rumah seperti sekarang.

Berharap banget wabah ini cepat berlalu karena mematikan banyak sendi-sendi kehidupan. Jangan berhenti beribadah dan berdoa. Kata Allah kan Ud'uni astajib lakum. Berdoalah/memintalah kepada-Ku niscaya akan kukabulkan untuk kalian. Kita bisa melalui hari-hari ini dan setelah semuanya selesai semoga kita berubah menjadi insan yang pandai mensyukuri nikmat. Aamiin.

Bab ini harus cermat banget ya kalian bacanya. Lumayan mengulas sejarah dan akan menjawab banyak pertanyaan kalian.

Guys ramein komentar yah. Saya seneng bacainnya. Hehe. Cuma itu yang bisa kalian lakukan untuk menyenangkan saya yang sudah susah-susah menulis. 😁

Musik buat bab ini adalah sebuah instrumen fantasi. Enak banget buat fokus. Judulnya The Streets of Witherum oleh Jeremy Soule.

Bantu saya temukan typo.

***
***

[Lexi Briana]

Ini bakal jadi sesuatu yang rumit buat dipahami. Tapi gue masih merumuskan beberapa hal di dalam kepala gue supaya kedepannya peristiwa yang ditakutkan nggak akan terjadi. Segalanya semakin rumit karena kalau sampai urusan ini nggak nemu jalan antisipasi yang bener, sama aja kayak gue meletakkan semua orang di kota ini sedang dalam ancaman bahaya. Gue nggak akan membiarkan itu terjadi. Sid hanya korban. Dia bukan monster yang sebenarnya.

Sekarang gue sedang mengendarai motor Sid. Motor cowok yang ukurannya bikin paha gue sakit sepanjang nungganginnya. Sahnaz telepon Sid berkali-kali tapi nggak diangkat karena sampai saat ini Sid belum sadar. Masih seperti mati. Pulas. Pembuluh darah di sekujur tubuhnya menghitam dan kentara. Itu membuat tubuhnya jadi terlihat memiliki garis-garis akar. Beruntung tanduk dan sayapnya lenyap ke dalam. Tapi pasti akan tetep bikin Sahnaz ketakutan kalau sampai dia melihat Sid dalam rupa yang seperti itu.

Lalu Sahnaz nge-chat gue buat nanyain Sid lagi apa kenapa teleponnya nggak diangkat. Gue nggak jelasin apa-apa tentang situasi yang sebenarnya. Nggak mungkin dong gue bilang "Pacarmu tadi berubah jadi separuh iblis dan dia bisa membahayakan semua orang termasuk kamu. Dan gue menyarankan supaya kamu jaga jarak dulu kecuali kalau kamu pengin diterkam." Yep, nope. Akhirnya gue yang berangkat sendiri buat jemput Sahnaz.

...

Pertolongan datang dari dua sosok bernama Kalima dan Quentin. Mereka berdua mengangkat Sid ke dalam kamar dan membaringkannya. Gue bener-bener nggak tahu dan bingung mereka itu siapa, sampai akhirnya gue ngikutin mereka masuk ke kamar untuk pertama kalinya. Kamar itu tercium aroma wangi kayak ada tumpahan minyak esensial di lantainya. Energi di dalam sini lebih positif dari dugaan gue. Terasa nyaman. Hangatnya merasuk sampai ke ulu hati. Tentram. Dekorasi interiornya bagus, gila. Ukiran kayu tertata di beberapa sudut. Rak-rak buku tersusun rapi. Ada banyak buku. Dan yang bikin gue penasaran adalah sebuah lemari besar yang bertengger sendirian di posisi paling pojok. Lemari itu tertutup dengan gembok tergantung.

Gue berdiri di dekat pintu karena ragu untuk masuk.

Pemuda tampan bernama Quentin berjalan mendekati gue, yang ternyata hendak menutup pintu. Tatapan kami bertemu sesaat. Dia nggak ngomong apa-apa. Wajahnya seperti bukan lokal. Rambutnya kecokelatan. Kulitnya putih-putih bule. Cara mereka berbicara ketika panik aksen Bahasa Indonesianya aneh. Tapi serius, dia ganteng.

Lalu sebuah buku besar jatuh ke lantai dari slot rak dengan sendirinya. Gue terkejut karena bersuara keras. Lebih terkejut lagi ketika buku itu berubah menjadi seorang bapak-bapak gendut dengan pakaian yang gayanya sama seperti Quentin. Klasik. Kepalanya botak di bagian depan dan beruban di bagian belakang. Beliau memiliki dua janggut, atau lebih persisnya lemak di leher. Beliau menghadap ke arah gue. Tersenyum.

"Ikut aku," ujar beliau yang berjalan melewati gue keluar kamar.

Gue masih tertegun karena masih berusaha memahami apa yang baru saja gue lihat. Mereka ini sebenarnya siapa?

Gue berjalan mundur perlahan. Mengikuti bapak-bapak itu yang dengan satu jentikannya lampu-lampu di seluruh ruangan menyala. Membuat suasana seperti malam karena tidak ada sinar matahari yang masuk.

"Jangan khawatirkan Sidney. Kalima dan Quentin akan membuatnya stabil." Beliau berbicara sambil terus berjalan menuju sofa. "Kemarilah. Akan kujelaskan beberapa. Kau layak mendapatkan semua penjelasan yang perlu kau tahu."

Gue masih kehabisan kata-kata untuk menyahut. Yang bisa gue lakukan hanya menuruti beliau untuk duduk di seberangnya. Gue nggak takut sama sekali karena nggak ada energi yang terasa mengancam dari orang ini. Gue cuma bingung.

"Namamu?" beliau bertanya. "Aku Alistair. Ayahnya Quentin."

Hah?

Beliau menyandarkan punggung di sofa. Lalu mengeluarkan sebuah cerutu dari saku rompinya. Sebuah korek keluar dan melayang dari saku yang lain, menyalakan api sendiri tanpa dipegang, sampai akhirnya cerutu itu mengepulkan asap.

"Lexi," jawab gue.

"Lexi. Namamu mengingatkanku pada sebuah ramuan abadi; Elixir. Tapi jelas itu berbeda." Asap mengepul keluar dari mulutnya.

"Kalian siapa?" gue bertanya tanpa basa-basi.

"Kami tinggal di sini. Di dalam kamar itu. Selama ... kurasa sekitar sepuluh tahun sejak Bahri mengamankan kami."

Sid menyebut nama itu sebagai pewaris Remember Me.

"Sidney belum tahu tentang sejarah kami. Dia belum pernah berusaha mengenal kami lebih jauh karena ... dia cukup penakut," ujarnya lagi.

Gue memperhatikan saja karena cuma itu yang bisa gue lakukan. Sebenernya lebih karena gue masih kepikiran sama kejadian yang menimpa Sid tadi. Sial, ekspresi kesakitannya masih terbayang-bayang di ingatan gue.

"Kau ta-," kalimat Alistair terpotong saat terdengar suara Sid teriak lagi. Gue menoleh seketika ke arah kamar. Saat gue hendak berdiri beliau melarang. "Jangan. Biarkan saja. Dia hanya sedang melawan energi itu. Kalima dan Quentin bisa menanganinya."

"Tenang, Lexi. Mereka baik," malaikat gue bersuara.

Gue duduk kembali dengan napas yang terengah-engah seketika. Ini nggak akan fokus kalau gue harus menyimak orang ini berbicara sementara suara kesakitan Sid terdengar terus menerus.

Iya, awalnya gue benar-benar nggak bisa fokus sampai akhirnya Alistair bercerita bahwa beberapa buku yang ada di rak itu adalah manusia-manusia yang telah terikat oleh sebuah kutukan. Alistair, Quentin, dan Kalima adalah bagian dari keluarga Royal Dutch atau Bangsawan Belanda pada awal abad ke-20 ketika Indonesia masih terjajah. Mereka menjadi korban dari sebuah kutukan seorang perapal mantra bernama Bramantya.

Bramantya adalah seorang pemuda dari kalangan pribumi yang menjadi semacam peladen atau pembantu di keluarga bangsawan itu. Dia mengurus kegiatan rumah tangga bangsawan dari umur enam belas tahun. Bahkan dia juga yang menjadi kusir kereta kencana setiap kali tuannya hendak bepergian.

Gue bisa menyimpulkan kalau Bramantya ini sebenarnya seorang tawanan. Semacam itu. Dia ditawan oleh bangsawan Belanda dengan dalih sebagai jaminan sebab sawah orang tuanya yang dibiayai oleh mereka, tidak menghasilkan panen yang bagus, sehingga tidak bisa memberi keuntungan secara penuh. Jangankan untung, balik modal pun nggak.

Dalam sebuah kesepakatan itu, Bramantya pernah meminta kepada bangsawan. Bahwa dirinya rela dijadikan tawanan dan digunakan sebagai apa pun asalkan orang tuanya tidak mendapat hukuman atau penyiksaan. Sejak saat itulah dia benar-benar menyatu dengan keluarga barunya.

Lambat laun Bramantya memiliki gaya hidup yang elit seperti bangsawan itu. Cara dia berpakaian, etika di meja makan, bahkan dia sering dibawa sebagai pendamping saat kunjungan-kunjugan mitra. Namun diam-diam dia sering menyelundupkan pasokan pangan untuk keluarganya. Baginya, sepotong daging yang dia makan nggak ada yang rasanya enak jika setiap kali dia menikmatinya selalu teringat nasib keluarganya.

Dari cerita Alistair, gue mulai berpikir kalau Bram ini sebenarnya Sinestesian yang kemampuannya hampir sama seperti punya gue. Alistair bilang, "Laki-laki itu seperti bisa membaca semua kode alam dan memakainya untuk melakukan hal-hal yang di luar nalar manusia. Seperti ketika dia bisa menemukan kode alam bahwa api bisa diperintahkan untuk menyala tanpa pemicu apa pun, maka Bram akan mengubah kode itu menjadi semacam mantra tertentu agar bisa dia pakai. Dan semacamnya, dan semacamnya."

Bram mengumpulkan semua mantra itu dalam catatan pribadinya. Jumlahnya ada ribuan mantra yang berhasil dia kumpulkan. Mantra itu dia pisahkan menjadi beberapa kelompok. Ada mantra yang bekerja jika diarahkan kepada manusia, binatang, tumbuhan, alam, dan bahkan benda mati. Semuanya dipisahkan dalam jilidan yang berbeda-beda.

Kemampuan Bramantya itu lantas diketahui oleh pemuda bangsawan lain. Yaitu Quentin dan Kalima. Mereka berdua adalah muda-mudi yang juga tinggal di dalam bangunan rumah besar yang sama. Kecuali Kalima yang berasal dari keluarga bangsawan lain yang dititipkan pada keluarga itu sebab orang tuanya sedang berkelana jauh untuk jangka waktu yang tidak diketahui.

Quentin meminta Bramantya untuk mengajarinya beberapa mantra. Dia berhasil. Namun ketika Quentin mulai terus menerus meminta mantra yang baru, Bramantya menolak. Karena acap kali mantra yang diajarkan malah digunakan untuk hal-hal yang buruk. Berbeda dengan Kalima yang selalu menyimpan mantra itu untuk hal-hal yang baik.

Namun Quentin mengancam akan memberitahu semua orang tentang kemampuan Bramantya kalau sampai dia tidak diajari mantra-mantra yang baru. Bramantya mengiyakan, akan tetapi Quentin melanggar janji yang dibuatnya sendiri. Dia membocorkan kemampuannya di tengah perjamuan makan malam keluarga besar. Quentin menunjukkan trik-trik sihir miliknya kepada semua orang dengan tanpa mengindahkan janjinya. Bramantya marah namun dia tidak berani melakukan sesuatu karena Quentin selalu mengancam akan mencelakai keluarga Bram.

Lambat laun ketika Bram mengumpulkan lebih banyak mantra. Sebuah kabar tentang terbunuhnya orang tua Bram terdengar. Mereka gugur karena agresi antek-antek keluarga bangsawan ketika merampas lumbung padi yang menyimpan hasil panen melimpah. Menyedihkannya, kabar itu sampai padanya setelah dua bulan tragedi itu terjadi.

Bram marah. Dia sudah tidak bisa menahan kekesalannya lagi. Dia merencanakan sebuah pembalasan kepada para bangsawan pada acara jamuan makan malam besar-besaran. Malam itu, sebuah mantra meracuni semua makanan yang terhidang di meja. Semua bangsawan yang menikmati hidangan di meja itu sekarat secara bersamaan. Kecuali para peladen yang merupakan teman-teman Bram dan si Pemilik rumah, Alistair.

Saat itu Kalima dan Quentin baru pulang dari sebuah perjalanan jauh. Bram berdiri di depan pintu menghadang mereka berdua yang turun dari kereta kencana. Kalima dan Quentin tidak tahu apa yang sudah terjadi di dalam sana. Sampai akhirnya mereka masuk dan melihat mayat-mayat tersungkur di atas meja.

Dalam hati Bram, dia juga ingin sekali melakukan hal serupa kepada Kalima dan Quentin. Akan tetapi masih ada sedikit rasa pertemanan yang menahannya. Hanya saja, dia sudah tidak ingin melihat mereka menikmati sebagian dari rampasan itu. Dan mereka sudah terlalu banyak menyimpan mantra yang berbahaya. Itu sebabnya, satu bisikan mantra melayang di udara dan mengenai Kalima dan Quentin. Mereka seketika berubah menjadi dua buku yang terpisah.

"Itu adalah sebuah kutukan untuk kami. Quentin dan Kalima berubah menjadi buku-buku kosong yang tidak akan pernah habis jumlah lembarnya meski sudah dipakai berkali-kali. Jumlah lembarnya sebanyak sel memori manusia. Kau tahu berapa banyak sel memori manusia? Milyaran," kata Alistair. "Tapi kami tidak terlihat setebal itu, kan? Jumlah lembaran hanya kiasan. Fungsi kami bukan pada jumlahnya. Tapi kemampuan memori yang dimilikinya."

"Jadi Anda adalah orang yang menyuruh antek-antek itu untuk merampas lumbung petani?" tanya gue.

"Bukan aku. Sebenarnya yang selama ini berlaku ceroboh adalah mereka sendiri. Maksudku, anak buahku. Yang aku tahu hanya persediaan di gudang kami penuh. Aku tidak peduli bagaimana cara mereka mendapatkannya."

"Lalu kenapa Anda tidak dibunuh oleh Bramantya?"

"Karena Bramantya tahu aku tidak menyuruh. Dan mungkin selama ini dia merasa memiliki hutang budi karena aku membesarkannya dengan sangat layak."

"Tapi kenapa dia membunuh tamu bangsawan yang lain?"

"Kurasa dia hanya muak dan marah."

Gue tertegun.

"Bramantya tidak menaruh mantra pada makananku. Dia membiarkanku panik melihat semua kejadian itu. Semacam peringatan keras. Hingga tanpa aba-aba, dia mengubahku menjadi buku juga. Lalu beberapa orang di rumah itu termasuk para peladen dia ubah juga."

"Itu kutukannya?"

"Bukan."

"Lalu?"

"Kami dibiarkan menjadi buku untuk waktu yang sangat lama. Dia memasukkan kami ke dalam karung dan membawa kami kabur dengan kereta kencana. Masa-masa itu, kami hanya buku."

"Tapi bagaimana mungkin Anda akhirnya bisa melakukan sihir itu? Seperti tadi. Korek yang melayang."

"Bramantya kabur dan menjadi buronan. Itu adalah dekade pertama abad ke-20. Wajahnya terpampang sebagai buron di kertas-kertas. Dicari, hidup atau mati. Namun siapa sih yang bisa menangkap penyihir hebat?"

Gue mulai paham.

"Semakin hari Bram semakin menemukan lebih banyak mantra-mantra baru. Namun tumor di kepalanya membuat dia tidak bisa mengingat terlalu banyak. Dia lantas menyalin memori mantranya pada kami. Kalima menampung mantra-mantra penyembuhan dan hal-hal yang indah. Quentin menampung mantra-mantra kelam dan licik. Sementara aku menyimpan mantra-mantra yang hanya akan bekerja pada benda. Seperti yang kau lihat tadi. Secara otomatis ketika mantra itu tertulis secara kasat mata di dalam kertas bukuku, itu juga tersimpan di dalam memoriku dan mengubahku menjadi penyihir terbatas juga."

Oke. Itu memukau dan mengerikan di saat yang sama.

"Apa di sini hanya kalian bertiga?" tanya gue.

"Tidak. Peladenku di sini juga. Beberapa dari mereka menyimpan mantra-mantra tumbuhan, binatang, dan alam. Kami semacam pelampiasan untuk Bram. Asal kau tahu, Bramantya nyaris bisa melakukan banyak hal yang akan tampak seperti meniru Tuhan. Dia benar-benar pemecah kode alam yang hebat. Seolah semua kode alam dan kata sandi untuk menaklukannya sudah ada dalam genggamannya. Dia tidak sama seperti penyihir yang selama ini kau tahu bersekutu dengan jin. Bramantya menemukan kode alam dan melakukannya dengan bakat Sinestesiannya. Tanpa bantuan bangsa jin atau pun iblis."

"Apa dia-."

"Ya, dia Sinestesian. Sama sepertimu. Kemampuan penaklukan semesta dengan bahasa-bahasa kodifikasi semesta."

Gue terkejut Alistair langsung bisa mengerti maksud gue. "Aku bisa melihat tato di punggungmu. Dan kalau kau merasa bingung kenapa kau sampai di tempat seperti Remember Me ini. Itu adalah sebuah takdir yang sudah terikat dengan kutukan kami."

"Maksud Anda?"

"Bramantya meninggal setelah dia berjuang dengan penyakitnya. Usianya mendekati tiga puluh tahun saat itu. Tapi sebelum dia meninggal, kami diberi satu kutukan. Kutukan itu membuat kami akan bisa menjadi manusia sesaat ketika tidak terpapar sinar matahari meski tidak secara langsung. Itu berarti ketika malam. Atau seperti sekarang, aku menutup semua jalur masuk cahaya matahari ke dalam toko ini."

Gue menahan napas sesaat. "Lalu bagaimana bisa kalian ada di toko ini?"

Alistair terkekeh. Cerutunya sudah habis. "Kubilang Bramantya adalah orang yang hebat. Dia menangkap ruh seekor unicorn yang terjebak dan berkeliaran di alam ini. Ruh itu sudah bergabung dengan Sinonim, namun dia belum menemukan inangnya. Masih berbentuk energi. Seperti Antonim dan Iblis, Sinonim pun cocok dengan ruh-ruh baik seperti unicorn. Lalu karena Bramantya penasaran dengan manifestasi energi itu, dia lantas membiarkan energi itu hinggap pada seorang manusia bernama Bahri. Pemilik toko ini sebelum Sidney."

"Jadi-."

"Bahri hanya manusia biasa seperti Sidney. Dia sama-sama dihinggapi oleh energi yang bersilangan. Bedanya Bahri menyimpan energi yang sangat positif. Lain Sid yang ... kau bisa melihatnya, separuh iblis. Fisik Bahri menjadi semacam berumur panjang karena ruh unicorn. Dan unicorn itu menyimpan memori sejarah yang sangat tua sehingga dia menjadi satu-satunya Sinonim yang paling langka."

Gue mengembuskan napas panjang.

"Ada satu cara untuk membebaskan kami dari kutukan ini. Dan takdir itu menggiringmu untuk melakukannya."

"Nggak mungkin."

"Lexi, kau memiliki kemampuan yang hampir sama seperti Bramantya. Aku tahu persis kemampuanmu. Aku bisa memindaimu sejak pertama kali kau menginjakkan kaki di toko ini."

Gue terdiam nggak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Kami akan terbebas dari kutukan apabila ada yang membaca kami sampai tamat. Bukan hanya membaca, tapi juga menghafalkannya sehingga mantra-mantra kami berpindah ke memori pembacanya Dan selama ini belum pernah ada yang berhasil menamatkan kami. Bahri dulu memang pernah membaca kami, tapi dia hanya memilah mantra-mantra yang dia perlukan saja. Dia tidak mau menamatkan kami. Sementara Sidney tidak pernah berani membaca kami."

"Kenapa Bahri tidak mau menamatkan kalian?"

"Karena dia tahu apabila kami ditamatkan, maka kami akan langsung mati. Terbebas dari kutukan, sekaligus mati."

Seketika gue menutup mulut dengan tangan karena terkejut. "Dan kalian ingin aku membebaskan kalian dari kutukan ini, untuk mati?"

"Itu lebih baik dari pada menjadi buku dan berdiam diri di rak selamanya. Kau akan bisa menyimpan mantra-mantra yang kami miliki dan menggunakannya hanya dengan menghafalkannya."

Gue masih diam.

"Aku yakin kau bisa bertanggungjawab dengan mantra-mantra kami."

"Mungkin orang lain. Bukan gue."

"Lexi. Kau sekarang berjuang sendirian. Kalima dan Quentin hanya bisa menenangkan iblis itu dalam tubuh Sid. Mereka tidak bisa mencabutnya karena kasusnya sama seperti Bahri. Bedanya Bahri tidak berbahaya. Sedangkan Sidney bisa membahayakan semua manusia. Kau pasti sudah tahu itu," Alistair menatap gue dengan yakin. "Kau baru bisa menguasai bahasa energi. Mungkin sekarang kau harus menguasai bahasa kodifikasi alam untuk menjadi temanmu nanti. Kecuali kalau kau yakin bisa menangani Sidney kedepannya."

Gue menggeleng kecil.

"Apa aku harus menceritakan siapa dirimu dan bagaimana masa lalumu pada Sidney agar kau mau?"

"Anda sedang mengancam?"

Alistair tersenyum. "Aku tidak perlu mengancam kalau kau tinggal mau saja. Lagipula kau tidak akan dirugikan apabila menguasai mantra-mantra kami. Kurasa kau bahkan akan bisa lebih hebat dari Bramantya."

Gue nggak bisa berkutik kalau dia sudah berkata seperti itu. Gue belum siap Sid tahu siapa gue sebenarnya.

Lantas gue mengangguk.

Alistair mengembuskan napas panjang. "Akhirnya, setelah seratus tahun lebih ini akan segera berakhir. Aku ingin kau membacaku pertama kali. Nanti malam, bawa aku pulang. Aku menyimpan empat ratus empat puluh empat mantra benda-benda. Aku yakin kau bisa menghafalkannya dalam semalam."

"Terus bagaimana dengan Quentin dan Kalima?" tanya gue.

"Dia pasti akan setuju dan bahagia sekali. Aku mohon. Jangan sampai kau menyesal kalau menolak ini. Sid akan terus memburuk."

Gue termenung untuk sesaat. "Baiklah."

...

Penemuan besar-besaran dari informasi yang gue dapat dari Alistair terus terngiang sampai gue tiba di depan sebuah gerbang sekolah yang megah. Sahnaz sudah menunggu gue di sana.

"Hai, partner!" seru gue basa-basi.

"Dia lagi kenapa sih kok sampai kamu yang harus jemput?" tanya Sahnaz agak cemberut. "Telepon juga nggak diangkat."

"Serius, gila, ya. Dia tadi lagi mencret-mencret parah banget."

***

******************

😞😞😞

Apa komentar kamu untuk bab ini?

Kebayang nggak sama apa yang saya ceritakan di bab ini?

Udah paham belum sama maksud pembicaraan Alistair sama Lexi?

Pada situasi seperti ini Lexi bebannya besar banget. Saya bilang gitu karena udah tahu kedepannya bakal ada apaan. Yang sadis-sadis lah pokoknya. Hhh.

Sekarang gini. Lexi sebisa mungkin harus menjauhkan Sid dari Sahnaz. Karena bakal bahaya. Tapi susahnya ya karena Sahnaz nggak tahu apa yang sedang terjadi.

Apakah Sid dan Sahnaz harus selesai di awal cerita?

Kalau kalian jadi Sid, apa siasat atau rencana atau alasan yang bisa dipakai untuk menjauhkan Sahnaz dari Sid? Selain putus. Jawab!

Dan kalau kalian jadi Lexi. Apa yang akan kalian lakukan? Ambil tawaran dari Alistair? Atau ...? Jawab!

Udah siap nangis sesakit-sakitnya di cerita ini? 🙂

***

Guys keep vote, komentar, dan share cerita ini, yah! Jangan sampai ambyar sendirian.

Thanks!

Maap tadi ngeprank 😂😘

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top