08 - Sisi Gelap
Selamat pagi!
Apa kabar? Semoga kalian masih dalam lindungan Allah Swt. Tetap sehat, ya. Hati-hati.
Saya mau berpesan kepada kalian, khususnya yang muslim. Dan untuk mengingatkan diri sendiri pula.
Guys, sadar atau tidak hari-hari yang berat ini adalah ujian dari Allah buat kita. Allah sedang meminta kita untuk melihat fenomena ini sejernih mungkin. Kita sedang dihadapkan pada salah satu situasi langka yang cukup menyedihkan. Lihat deh, rumah-rumah ibadah terutama masjid sekarang dibatasi. Sedih, ya.
Kalian tahu nggak. Nggak ada masjid yang berdiri atas izin Allah, pun nggak ada masjid yang tutup atas izin Allah. Sekarang di mana-mana masjid sedang sepi. Salat lima waktu di masjid yang datang hanya DKM karena dibatasi. Salat jumat pun sama. Lebih sepi dari biasanya.
Saya punya satu ketakutan yang semoga ini hanya sebatas ketakutan. Beberapa hari ini saya merenung dan menghitung. Waw, hina sekali saya ini punya amaliyah yang sedikit. Banyak sekali dosa-dosa saya. Bahkan kalau diingat-ingat rasanya sampai pusing menghitung dosa sendiri. Sampai berkeringat saya. Beneran.
Bagaimana jika ini awal dari sebuah akhir? Saya membenak demikian.
Allah seolah menutup rumah-rumah-Nya untuk saat ini. Memberi waktu pada bumi untuk bernapas sejenak. Kezaliiman sedang ada di mana-mana. Dunia ini sangat buruk untuk dikejar-kejar. Tak akan pernah cukup. Sekarang mungkin kebanyakan dari kita baru menyadari atau merasakan secercah rindu pada masjid yang selama ini jarang kita sambangi. Kita menyadari apa yang sebenarnya kita miliki selama ini setelah kehilangannya. Tentu ini bukan kehilangan yang total karena semoga wabah ini akan berakhir. Saya yakin ini akan segera berakhir.
Apakah Allah sedang menguji hamba-Nya dengan jarak? Jarak antara kita dengan rumah-Nya? Apakah ketika dalam jarak ini kita akan bisa mengingat-Nya? Apakah dalam masa pengamanan diri di rumah ini kita akan merenungi segalanya? Itu beberapa pertanyaan yang muncul lagi di benak saya.
Sejak 1 Januari 2020, ketika malam pergantian tahun, saya berada di sebuah masjid bersama sahabat saya. Saat itu saya merasakannya dengan sangat kuat. Saya gelisah hampir setiap hari setelahnya. Saya merasakan sesuatu yang sangat tidak mengenakkan. Ada yang menghimpit dada saya tidak secara harfiah. Saya sering tidak tidur ketika malam. Otak saya aktif oleh kecemasan yang aneh. Segalanya berseliweran. Saya sering menangisi hal-hal yang tidak saya ketahui. Internal saya seperti merasakan sesaknya napas banyak orang yang digabung menjadi satu. Bahkan detik ini saya merasakan tekanan yang sangat berat di kedalaman saya. Inner-self.
Saya seperti diketuk-ketuk dari dalam. Banyak sekali getaran yang menyambangi saya. Mereka datang dan pergi dengan bermacam 'notifikasi' yang susah untuk dijabarkan.
Harusnya kalian merasakan juga akhir-akhir ini waktu terasa seperti karet. Satu minggu terasa lama. Saya justru merasakan sebuah persiapan besar di atas sana. Entah, saya hanya merasakannya.
Hari ini, Jumat, tanggal 2 Sya'ban. Setelah salat magrib saya berpesan kita berzikir, ya. Kita berdoa supaya Allah segera mengangkat wabah ini dari muka bumi. Nanti kalau sudah salam dari salat magrib jangan langsung berdiri. Tapi ambil posisi duduk yang nyaman. Masih di atas sajadah. Bacanya ini:
1. Istighfar 100x
2. Tasbih, Tahmid, Takbir, Tahli, Hauqolah, masing-masing 100x
3. Hasbunallah wani'mal wakil ni'mal maula wanni'mannasir 100x
4. La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazzalimin 100x
5. Shalawat nabi 100x. Kalau mau shalawat yang pendek juga nggak apa-apa. Tapi lebih bagus lagi kalau salawatnya pake salawat ibrahimiyah. Solawa ibrahimiyah itu loh yang dibaca sebelum salam (setelah syahadat dan mengacungkan jari telunjuk saat tahiyat). Yang batasnya sampai fil 'alaminna innaka hamidummajid. Ini salawat yang sangat bagus dan fadilahnya besar sekali.
Kalau ada yang bertanya, kenapa sih kok harus 100 kali? Kenapa harus 1000 kali? Dan seterusnya. Alasannya gini. Satu zikir itu punya energi. Semakin banyak energi itu diciptakan, maka getarannya akan semakin kuat. Semakin ada pengulangan, semakin menancap energinya. Frekuensi.
Kurangi maksiat. Maksiat yang paling jelek adalah maksiat yang dilakukan ketika dalam suatu musibah. Sekarang yang kena musibah juga bukan yang terjangkid covid saja. Tapi yang tidak pun pasti juga kena dampak. Kita semua sedang dalam musibah sekarang. Tolong, kurangi maksiat. Perbanyak ibadah mumpung lagi ada banyak waktu luang di rumah. Perbanyak juga tadarusnya. Ayo, ambil alqurannya dan kita lihat pembatas ayat kita sudah sampai di halaman berapa. Baca saja. Hayati getarannya. Tidak tahu artinya, tidak apa-apa. Baca cuma bisa sepuluh ayat per hari? Tidak apa-apa. Yang penting, rasakan. Buatlah diri kita merasa candu akan getarannya.
Yang biasanya nonton drakor fantasinya ke mana-mana, coba sekarang istirahatkan matanya. Istighfarkan matanya. Istighafarkan otaknya yang selalu dibawa berkhayal. Bisa jadi, dosa kita juga menyumbang musabab terjadinya musibah ini. Ghibahnya dikurangi. Jangan nagih. Saya juga belum jadi orang bener. Saya cuma mengingatkan, ayo, bareng-bareng. Saya tahu jiwa kita sedang lelah. Lelah dengan semua hal duniawi ini. Urusan yang sebenarnya hanya persinggahan sementara selagi kita masih berada di alam dunia ini.
Tolong, bantu bumi ini sembuh dengan cepat. Kita doakan bumi yang kita tinggali ini. Kita sebut bumi di dalam doa kita. Bumi itu makhluk Allah yang baik banget ke kita. Ibu kita.
Kurangi kebencian dalam diri kita terhadap apa pun. Perbanyak stok maaf kita. Atau setidaknya lupakanlah apa yang pernah melukai kita. Redakan amarah yang saat ini ada di dalam dada kita karena apa pun. Tenangkanlah emosi kita. Lakukan meditasi di atas sajadah. Berdiam diri di rumah dengan zikir. Ciptakan terus menerus energi positif dalam diri kita.
Insyaallah, setelah Ramadhan situasinya akan membaik. Sepanjang April nanti bakal banyak kejutan. Kita harus tetap tenang. Vaksin sedang di jalan dan situasi akan berangsur pulih. Kita doakan juga para first responders yang di garda terdepan sana: para tim medis, pemerintah juga sedang mengusahakan yang terbaik, penyintas covid, dan kita semua yang masih sehat, semoga senantiasa dalam perlindunag Allah Swt.
Saya nggak kenal sebagian besar dari kalian. Tapi saya saaaaangat mendoakan kalian setiap saya ingat. Bagaimana pun kita pernah berinteraksi di sini. Kalian menyentuh deretan aksara yang lahir dari perasaan dan jiwa saya. Di sinilah kita betemu. Tanpa kalian sadar, ini adalah bagian dari dimensi bahasa energi yang saya maksud. Kita terhubung. Kalian berhasil saya bawa masuk ke dalam dimensi ini.
Harusnya kalian merasakan sebuah nuansa yang berbeda pada tulisan-tulisan saya. :)
Saat kalian membaca tulisan ini, ini adalah bentuk komunikasi yang saya maksud dengan getaran energi dari dimensi bahasa. Kalian baca tulisan ini dalam keadaan mulut terdiam, kan? Tapi kalian seolah mendengar suara saya yang sedang berbicara pada kalian, kan? Iya, kalian mendengar itu di dalam dada kalian. Dan sekarang kalian mungkin tersenyum karena saya mengungkapkan ini. Kita terhubung.
Saya sangat menyayangi pembaca saya. Di mana pun kalian berada saat ini, entah sedang apa, hei, saya di sini berdoa untuk kalian. Mendoakan sesuatu yang manis dan cukup Allah yang tahu apa yang saya mintakan untuk kalian.
Jaga diri baik-baik, ya. Jaga iman juga. Jangan selalu minta ketemu. Insyaallah kita akan bertemu kok. Jika tidak di dunia ini, berarti di sebuah padang rumput yang hijau dalam Nikmat-Nya kelak. Aamiin
***
Selamat membaca. Jangan lupa ramaikan komentar, vote, dan share. Ayo antar Sid ke posisi yang bagus di genre ini. Ajak kawan-kawan baca juga. 🌹
***
Lagu: A Future for the korgan – Mass effect 3 Soundtrack
***
[Sidney Vancouver]
Gue hanya memakai handuk yang membungkus setengah badan. Berjalan ke arah kamar mandi sambil bawa ponsel. Menyalakan pemanas air pada shower. Sembari menunggu, gue duduk di kloset. Ketik pesan buat Sahnaz.
Gue: "Dia udah nge-chat kamu?"
Naz: "Udah, Kak. Ini aku lagi bales-balesan. Makasih udah beliin paket internet juga buat dia."
Gue: "Ya udah, ngobrol aja. Aku bolehin kok. *kiss"
Naz: "Iya, makasih. *kiss"
Naz: "Kakak udah di rumah?"
Gue: "Ini lagi nungguin air anget. Mau mandi."
Naz: "Oh, oke. *melet"
Gue: "*kiss"
Beberapa menit kemudian lampu kecil di pemanas berubah hijau yang artinya temperatur air sudah cukup. Gue lalu bergegas mandi sebelum hari semakin malam.
Setelah selesai, gue berderap kembali ke kamar. Membuka lemari untuk mencari kaos lengan panjang dan bokser. Usai berpakaian gue mengambil handuk yang basah untuk disampirkan.
Suara pintu kamar diketuk tiga kali.
"Bentar...!" sahut gue.
Dengan langkah santai sambil mengacak-acak rambut biar lekas kering, gue menghampiri pintu. Namun ketika pintu itu dibuka, tidak ada siapa pun di sana. Gue menoleh ke bawah barang kali ada sesuatu yang ditinggalkan. Tapi nihil.
Mungkin adik gue iseng. Gue lantas menutup kembali pintu itu. Berjalan ke arah cermin, mengambil botol parfum dan menyemprotkannya ke badan.
Sejurus kemudian terdengar suara jendela diketuk tiga kali dari luar sampai membuat gue menoleh seketika.
Ini pukul delapan malam. Rese banget adik gue jam segini main-main.
Gue lantas bergegas keluar kamar dan berjalan cepat ke ruang tengah. Tapi yang gue dapati malah semua adik gue lagi pada nonton tivi. Sementara itu Ibu di dapur sedang bikin mi instan.
Jadi?
"Kalian tadi keluar?" gue bertanya pada ketiga adik gue. Mereka malah saling tatap nggak ngerti maksud gue apa.
Kalau nanya Ibu ... nggak mungkin, sih.
Gue tidak mencurigai apa pun atau berprasangka ganjil sampai akhirnya ketika gue kembali ke kamar dan menutup pintu, suara ketukan di jendela kamar terdengar lagi. Kali ini cukup keras seperti orang marah-marah.
Jelas gue penasaran sama apa yang ada di sana. Tetapi, belum juga gue sampai di jendela, suara ketukan itu berpindah ke atas plafon langit-langit kamar. Langkah gue terhenti dan seketika mendongak ke atas. Pelan, namun tetap terdengar. Seperti ada langkah kaki di balik plafon kamar gue. Namun senyap tak lama kemudian. Dan dengan cepat suara ketukan itu berpindah ke dinding di sebelah kiri gue. Kenapa dinding yang keras bisa terdengar seperti diketuk? Cepat-cepat gue menoleh. Namun suaranya cepat-cepat pindah lagi ke dinding sebelah kanan, pindah lagi ke pintu, ke jendela, ke plafon lagi, dan terus menerus berulang sampai gue tidak tahu harus menoleh ke arah mana. Perpindahan ketukannya sangat cepat.
Napas gue memburu seirama detak jantung ketika akhirnya senyap. Nggak ada rupa sama sekali. Tadi benar-benar hanya suara ketukan yang berpindah-pindah seolah sedang mempermainkan gue. Tangan gue segera mengibas ke belakang ketika seperti ada orang yang meniup tengkuk kepala gue. Di saat yang sama telinga kiri gue berdenging.
Ini nggak wajar.
Dada gue kembang kempis tak beraturan.
"Hei," suara seseorang memanggil dari belakang gue. Cepat-cepat gue memutar badan untuk melihat.
Di dekat lemari ada sesosok siluet hitam. Bergeming. Seperti manusia bentuknya. Gue terhenyak tak bisa bicara. Siapa? Sejak kapan dia ada di sana?
Gue tidak bisa mengeluarkan suara untuk bertanya pada sosok itu. Demi Tuhan, gue ketakutan. Gue bukan orang yang cukup pemberani untuk hal-hal semacam ini.
Tak lama kemudian sosok itu maju tiga langkah ke arah gue. Gue otomatis mundur. Namun lama kelamaan bayangan itu berubah bentuk menjadi seutuh manusia. Dan bukan main terkejutnya ketika dia malah terlihat sangat menyerupai Juno.
"J-jun?" tanya gue was-was.
Dia terus melangkah maju. Senyumnya sinis. Raut mukanya sangat jahat seperti perundung.
"Lo kesepian, kan?" ucapnya. Suaranya pun sangat mirip dengan suara Juno. Dia terus melangkah ketika gue pun turut mundur.
Napas gue semakin memburu. Mulut gue terasa kering dan tak bisa memeras kelenjar ludah.
"Karena lo nggak berguna, Sid. Lo cemen. Lo payah. Lo cuma bikin gue repot. Pengganggu," ujarnya lagi seolah mengintimidasi. Lantas dia terkekeh sinis. Gue tertekan.
"Mau jadi apa lo kalau kayak gitu terus? Nggak guna. Tolol. Bodoh. Cuma bisa bergantung sama orang lain."
Tiba-tiba punggung gue terasa seperti menabrak orang di belakang gue ketika mundur. Gue langsung menoleh ke belakang karena terkejut.
Di sana sosok yang menyerupai Ayah berdiri dengan seringai. Sementara itu sosok Juno yang tadi menghilang.
"Kamu anak yang nggak bisa diandalkan. Nggak bisa jadi contoh buat adik-adik kamu. Ayah kecewa. Bosan hidup di rumah yang ada kamunya," ujar Ayah.
Gue melangkah mundur dengan perasaan yang sangat sakit di dalam dada.
"Keluarga baru Ayah sekarang jauh lebih bahagia. Mungkin karena nggak ada kamunya di sana. Dan istri Ayah yang sekarang jauh lebih bikin bahagia dari pada ibu kamu. Kamu nggak berguna, Sid."
Bibir gue gemetar. Telapak tangan gue basah oleh keringat dingin. Pelupuk mata gue terasa nyeri seperti ingin menangis mendengar kalimat jahat itu.
"Kakak jahat," suara Karolin jelas sekali terdengar di kamar gue. Lantas gue menoleh ke segala arah untuk mencari suara itu. Dan muncullah sosok Olin di dekat tempat tidur. Dia berdiri memakai baju pasien. Lagi, sosok ayah menghilang. "Kakak jahat," ujar Olin seperti ingin menangis.
Saat itu juga perasaan gue remuk. Jelas sekali itu suara Olin. "Aku mati karena Kakak nggak bisa biayain operasi. Kakak nggak nahan Ayah ketika dia pergi dari rumah."
"Lo nggak berguna, Sid." Perpindahan cepat kembali pada sosok Juno yang sudah ada di dekat pintu. "Lo penyesalan terbesar dalam hidup gue. Gue nyesel punya teman kayak lo."
Namun kali ini ketiga sosok itu benar-benar ada dan tidak menghilang salah satunya. Mereka berdiam diri menatap gue dari posisinya masing-masing. Mematung dengan tatapan kosong. Sementara itu napas gue terdengar sangat jelas di antara keheningan itu.
Tapi gue tidak tahu apa yang sedang terjadi. Gue nggak bisa membantah pernyataan mereka. Apa yang mereka katakan adalah prasangka buruk dan penyesalan gue selama ini. Seolah mereka keluar dari kepala gue dan menegaskan apa yang selama ini cuma jadi konflik di dalam diri gue.
Tubuh gue terasa lemas. Hati gue hampa dan awan bersalah seolah menggumpal lebih besar lagi di dalam sana. Napas gue perlahan melambat. Air mata gue keluar diam-diam.
"Iya," ucap gue ragu, "g-gue memang seperti itu." Bibir gue gemetar saat mengucapkannya.
Di tengah ketegangan itu tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ibu muncul membawa semangkuk mi instan. Pada saat yang sama ketiga sosok itu menghilang.
"Makan dulu, Kak," kata Ibu. "Itu punya Kakak di meja. Jangan langsung tidur."
Gue hanya menjawab dengan anggukan kepala. Lalu Ibu pergi ke ruang tengah tanpa menutup pintu lagi. Gue bergegas menutup pintu itu pelan-pelan.
Ketika gue menoleh ke belakang, sosok bertiga tadi benar-benar menghilang. Gue duduk lemas di lantai bersandar pintu. Tertegun. Pikiran gue melayang-layang.
Gue kira itu sudah selesai, namun ternyata semua tadi seolah hanya permulaan. Karena ketika gue masih duduk tak tahu harus berbuat apa, tidak disangka-sangak aliran listrik di rumah gue padam.
Suara angin terdengar ribut di luar jendela. Hawanya terasa lain. Dingin dan hambar. Gue seolah bisa merasakan ada seseorang atau sosok lagi di dalam kamar gue. Sosok itu berjalan dengan langkah yang terseret-seret di lantai mendekati gue yang terduduk. Jantung berdentum tak mau diam ketika bayangannya seolah sangat dekat dan duduk di depan gue persis.
Perlahan-lahan, gue merasakan embusan napas seperti uap hangat yang begitu dekat dengan wajah gue. Seolah pemilik napas itu hanya berjarak satu jengkal dari wajah. Gue nggak bisa bicara. Mulut gue terkunci rapat. Otot-otot gue meregang. Tangan gue gemetar hebat.
"Kau tidak mengecewakan bagiku," terdengar suara berat dan mendesah yang sangat dekat, "kau sempurna."
Napas hangat itu seolah bertukar masuk ke dalam tubuh melalu lubang hidung gue. Rasanya seperti menghirup gumpalan uap yang panas namun tidak membuat tersedak. Aromanya tercium seperti anyir darah. Air mata gue mengalir dengan sendirinya. Wujud dari rasa takut yang sama sekali nggak bisa digambarkan. Namun gue masih tidak bisa bergerak karena tubuh benar-benar seperti terkunci.
Semakin lama semakin banyak pula uap itu masuk ke dalam tubuh tak bisa ditahan. Dia merasuk dengan sendirinya. Gue sedikit mengerang namun tetap tanpa daya untuk sebuah penolakan. Suara gue nggak bisa keluar. Gue menangis dari dalam. Meronta dari dalam. Teriak dari dalam. Kesakitan dari dalam. Merasakan nestapa yang sangat kelam dari dalam.
Tak lama kemudian gue merasakan suhu tubuh merangkak naik. Ada energi sangat besar yang merasuk ke dalam raga. Dia seperti mengisi setiap ruang dalam tubuh gue. Merayap pada pembuluh nadi. Memenuhi dada gue dengan hawa yang serupa amarah dan dendam. Adrenalin gue bergejolak. Amigdala dalam kepala gue mengaktifkan kecemasan aneh yang berkecamuk.
Di dalam kepala gue tampak jelas kilasan wajah orang-orang yang pernah membuat gue kecewa. Mereka yang menyia-nyiakan gue. Mereka yang pernah menertawakan gue. Mereka yang nggak pernah mengakui apa yang gue lakukan. Mereka yang selalu menganggap gue nggak mampu. Mereka yang telah tega menghilang dari hidup gue tanpa alasan pasti seolah gue memang sangat pantas untuk ditinggal. Dan yang terakhir adalah wajah-wajah asing. Lalu tanpa jeda, kilasan itu memulai lagi. Namun rupa yang terlihat sangat aneh, seperti manusia setengah tumbuhan, juga yang setengah binatang. Setiap kilasan yang muncul juga bersamaan dengan rasa benci yang semakin dalam. Menumpuk. Memberontak. Hingga akhirnya energi itu seolah berhasil menyabotase tubuh gue.
...
...
***
[Lexi Briana]
Pagi ini ada sebungkus nasi padang di balik pintu. Tertulis di kertas bungkusannya "Semangat buat hari ini."
Gue tersenyum aneh dan langsung bisa menebak siapa pelakunya. Gue buru-buru mengambil ponsel dan mengetik sebuah pesan, "Makasiii, Uda!". Dibalas dengan stiker OK.
Apakah uda-uda yang satu ini sedang naksir adinda yang jelita?
Butuh seratus bungkus lagi untuk meluluhkan hati ini, wahai.
Tapi terserah deh. Yang penting sarapan gratis. Dapat sarung gratis buat selimut. Aroma sarung uda-uda emang terbaik. Bikin nyenyak pas dibawa ngorok. Dikasih kaos longgar juga. Dikasih jins bekas yang cakep juga. Hari ini kalau boleh rikues kasih gue peralatan mandi deh. Odol kek. Sampo kek. Aduh, merinding gue dibaikin sama orang.
Pas mau berangkat kerja, sambil nunggu motor Sid ada di parkiran Remember Me, gue duduk di kursi panjang depan warung nasi padang. Di sebelah gue Uda Fahru lagi ngopi sambil merokok. I am okay with cigar.
"Maaf, Uda, gue nggak jadi ambil sif malam. Ternyata ribet juga kerja di Remember Me," kata gue santai.
"Lagian gue nggak tega kalau lo kerja sampai larut malem."
"Ea."
Uda Fahru mengembuskan asap rokok ke udara. Senyumnya mengembang lebar.
"Lusa ada pasar malam nggak jauh dari sini."
"Boleh, ayo."
"Belum ngajak sih."
"Iya, ayo. Itu jawabannya kalau Uda mau ajak gue. I am available selegi dijajain semalaman."
Uda Fahru tertawa. "Lo seru, ya."
"Tipe lo gitu ya, Uda?"
"Belum bilang sih."
"Iya, tipe lo. Itu jawabannya kalau Uda masih nggak mau bilang."
"Iya deh, tipe gue."
"Yes!"
"Kenapa bilang yes?"
"Karena bukan no."
Uda Fahru terkekeh lagi. "Pagi-pagi udah rame gini. Gimana kerjaan di Remember Me? Jadi cuma seminggu doang?"
"Tau tuh si Bos."
Pergerakan Sid memang mudah dikenali energinya. Tapi kali ini terlalu mudah. Motornya melintas di depan gue. Dan itu terlihat sangat berbeda.
"Hati-hati. Sajak-sajak cakra yang kelam telah menyesuaikan diri," ujar malaikat gue seketika. Well, gue yang ekstrover ini sayangnya punya malaikat yang kayaknya introver. Jarang banget bersuara.
"Lo tahu nggak kalau gue belum bisa mendeteksi jenis Antonim yang ini. Gue belum pernah lihat yang energinya sebesar itu," sahut gue dalam hati. "Maksud gue energinya sangat sulit untuk diajak bicara. Beda sama energi milik pelaku kriminal berat yang pernah gue temui sebelumnya."
Malaikat gue cukup lama menjawabnya. "Energi yang memiliki dialek iblis. Pemuda ini telah memberi makan energi itu dengan kesedihan, kekecewaan, dan dendam yang dimilikinya. Alih wujud. Antonim turunan dari seorang Sinestesian yang mampu menguasai emosi-emosi manusia. Namun kali ini ada getaran iblis."
"Maksudnya?"
"Energi Sinestesian punya turunan Sinonim dan Antonim. Kau tahu itu. Dua turunan itu akan menyebar sendiri-sendiri. Sifat kemampuannya pun berbeda menyesuikan siapa sumbernya dan siapa inangnya. Namun dibanding Sinonim, yang paling rentan berolah-alih adalah Antonim. Antonim mudah ditunggangi oleh kepentingan yang lebih gelap lagi sehingga energinya memungkinkan untuk menjadi ganda."
"Ganda? Jangan bilang Antonim yang ini sudah bersekutu dengan iblis."
"Iblis dari zaman lain. Aku melihat iblis ini pernah menguntit seorang pengelana waktu dan masih bertahan di sini. Ada lebih dari satu penguntit. Namun yang satu ini berhasil lari dari penangkapan."
"Siapa yang menangkap?"
"Pemuda itu kenal dekat dengan penangkapnya."
Seketika gue teringat sama seseorang bernama Juno yang kata Sahnaz adalah teman dekat Sid. Tanpa berkata apa-apa lagi gue beranjak dari bangku dan meninggalkan Uda Fahru.
"Lo serius Antonim bisa gitu?"
"Energi jahat selalu punya cara untuk mencari sekutu, Lexi. Iblis dan Antonim adalah kombinasi yang akan sulit untuk dipecahkan. Keduanya saling mengikat dengan mudah."
"Tapi yang gue lihat Sidney punya getaran yang baik."
"Kurasa kau juga melihat kesedihan, dendam, dan kecewanya, kan?"
"Jadi itu sebabnya?"
"Ada lagi. Kau dalam bahaya."
Seketika langkah gue terhenti.
"Kau dalam bahaya karena energi ini sangat membenci Sinestesian. Lebih membenci dari lawan-lawanmu sebelumnya. Iblis yang satu ini dari masa depan. Artinya dia sudah melalui masa bertapa dan memiliki dendam yang menggunung. Dia berasal dari zaman di mana kaummu, Sinsetesian, sedang dalam agresi memberantas bangsa iblis yang menginvasi peradaban manusia."
"Ada lagi?"
"Artinya ada kemungkinan besar dia ingin menghabisimu juga. Kau Sinestesian yang paling dekat darinya untuk saat ini. Setidaknya sebelum dia bisa keluar dan memburu Sinestesian lain."
"Tapi kenapa harus Sidney?"
Malaikat gue terdiam sesaaat. "Karena pemuda itu memiliki kendali penuh akan kekuatan-kekuatan besar di toko itu. Juga, dia adalah tawanan yang sempurna."
"Tawanan?"
"Ya."
Gue menelan ludah. "Ada lagi?"
"Alih rupa bentuk."
"Plis. Maksud lo?"
"Dia separuh iblis."
Gue menyeberangi jalan untuk sampai di Remember Me. Sid sedang berusaha membuka gembok dengan kunci.
"Pagi, Bos!" ucap gue seperti biasanya.
"Pagi, Lex."
Waw, getaran di sekitarnya terasa kuat sekali. Meski cara dia bertingkah masih terasa sama saja.
"Ehm," gue berdehem, "Udah sarapan belum? Kalau belum nanti gue pesenin makan kayak kemarin."
"Udah," gembok berhasil dibuka. Lalu dia menghadap ke arah gue. "Oh, iya. Lo mau kerja di sini lebih lama, kan?"
Gue nggak langsung menjawab. Lebih tertarik mengamati kedua matanya karena biasanya akan ada sebuah getaran yang berbeda kalau seseorang sudah dihinggapi Antonim. Dan ... ya, dia sudah ada di sana.
"Lo boleh kerja di sini selama yang lo mau," Sid menambahkan. Lalu tangannya merogoh saku celana untuk mengeluarkan sebuah amplop. "Ini sisa UMP lo."
Gue bengong untuk sesaat. Dia lantas meraih tangan gue dan menjejalkan amplop itu ke dalam genggaman gue.
"Oke?" ujarnya mantap. Lalu melangkah masuk.
Gue mengikutinya di belakang.
"Jadi, apa ada sesuatu yang membuat lo berubah pikiran secepat ini?" tanya gue.
"Ya," jawabnya. Dia melepaskan jaket dan menyampirkannya di meja kasir. "Sahnaz yang bujuk gue."
"Dan lo setuju?"
"Dia pacar gue, Lex. Masa gue nggak setuju. Apa pun bakal gue lakuin buat dia," Sid berdiri membelakangi gue. "Apa pun," penegasannya terasa aneh. Lalu dia memutar badannya.
"Lagian, gue baru sadar ternyata gue semacam butuh lo," ujarnya lagi, "Maksud gue, kinerja lo bagus."
Gue menelan ludah karena penekanan intonasi bicaranya yang terasa lain. Dan untuk pertama kalinya, gue nggak pengin menyamarkan karakter gue lagi di depannya. Karena Sid yang ini seolah tidak mengenali karakter gue yang selama ini gue tunjukkan di depannya. Tapi gue masih perlu memastikan banyak hal.
"Oke," gue menyutujui.
Sid mengangguk-angguk. Menatap gue dengan senyum yang aneh. "Lo seneng, kan. Kerja di tempat yang sekeren ini."
Gue tidak menjawab.
Dia berkacak pinggang dan tiba-tiba menatap sekeliling ruangan seolah-olah dia adalah pelanggan yang baru saja masuk ke toko ini. "Tempat yang luar biasa."
Untuk sesaat, terlepas dari apa yang sedang diam-diam mengancam, gue kepikiran sama Sahnaz. Dia juga terancam bahaya kalau situasinya kayak sudah kayak gini.
"Hari ini lo enerjik banget. Tumben," gue berusaha mengomentari hal-hal kecil yang terasa berubah darinya.
"Gue bersemangat," jawabnya. Gue terkejut saat tiba-tiba dia duduk di atas meja kasir. "Seperti seharusnya. Gue nggak tahu hari ini kayak plong banget. Lo pernah nggak ngerasain suasana yang kayak gitu?"
"Ya."
Gue mengamati sekali lagi tingkahnya yang aneh itu. Sampai tak lama kemudian gue merasakan ada sebuah benturan energi di sekitar tubuhnya. Jelas sekali itu bersumber dari Remember Me. Energi itu meradiasi dengan sangat rapat ke arah Sid. Energi itu melesat dan berpendaran dari segala arah toko ini. Dan yang paling besar datang dari dalam kamar.
Perlahan-lahan Sid yang ini mulai berubah. Raut mukanya menjadi seperti Sid yang sebelumnya. Sebuah alter emosi?
Gue punya dugaan kalau Antonim itu masih mendapat perlawanan yang cukup kuat dari toko ini.
Kemudian Sid seolah baru menyadari bahwa tingkahnya yang duduk di atas meja itu tidak sopan. Dia bahkan melonjak turun ke lantai cepat-cepat.
"Selamat pagi, Bos," gue hanya memastikan apa yang sedang gue curigai.
"Hei, Lex. Pagi."
O-key. Tadi bukan dia.
Kali ini gue memahami satu hal lagi.
"Ada yang bisa gue bantu?" tanya gue tanpa pikir panjang.
Sid tertegun menatap gue cukup lama. Napasnya tersengal seperti baru berlari ratusan meter. "Lo lihat dia, nggak?" tanyanya dengan suara bergetar.
Gue mengangguk saja meski 'dia' yang Sid maksud masih ambigiu. Namun gue tahu arahnya ke siapa. "Perlu nggak gue tutup Remember Me untuk hari ini?"
Sid mengiyakan. Ekspresi wajahnya kali ini benar-benar ketakutan seolah dia baru saja melihat sesuatu yang menakutkan.
"Apa yang lo lihat, Lex?" tanya Sid cemas.
Mungkin kali ini gue udah nggak bisa kendor lagi. Antonim itu sudah benar-benar masuk ke dalam tubuh Sid di luar jangkauan pengawasan gue. "Gue tahu apa yang lo maksud. Dan kayaknya kita perlu bicara. Pembicaraan yang panjang."
***
***
Apa komentar kamu untuk bab ini?
Ingat, energi buruk yang saya isyaratkan dengan istilah Antonim sejatinya merupakan sebuah simbolis dari kehendak buruk yang ada dalam diri kita. Fantasi dalam tulisan saya selalu memiliki falsafah tersendiri.
Malaikat di sini adalah kiasan atas sisi baik dari diri manusia. Bukan secara harfiah malaikat.
Antonim adalah hawa nafsu.
Sinonim adalah keseimbangan energi.
Kekuatan Sinestesian adalah sebuah potensi besar dalam diri kita yang Tuhan titipkan.
Sejatinya seorang pengarang punya beban yang sangat besar. Dan saya nggak ingin menjadikannya sebagai sesuatu yang mudarat. Allah melihat saya menulis semua karangan saya. Allah tahu niat saya dalam menulis
Tetap bersenyawa.
Buang energi buruk jauh-jauh.
Sekarang, entah bagaimana cerita ini akan berakhir, nikmati saja.
Kalau alurnya menyakitkan, ya memang sudah seharusnya.
Salam.
Semoga kalian senang membaca tulisan saya.
Sampai jumpa di bab selanjutnya.
🌹
Ig: @sahlil.ge
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top