07 - Good Couple
Selamat pagi!
Apa kabar? Semoga selalu sehat dan kebal dari ancaman wabah.
Sambil mendengar azan subuh saya berdoa, semoga yang membaca cerita ini mendapat ketenangan jiwa. Kesulitannya segera dimudahkan. Masalah yang pelik segera terselesaikan. Ujian yang berat segera diringankan. Hutangnya segera terlunaskan. Sempitnya segera dilapangkan. Dan sedihnya segera digembirakan. Semoga keselamatan senantiasa untukmu dan keluargamu. Aamiin.
...
Kalau bab kemarin ditulis selama 8 jam. Maka bab ini sampai 6 jam. Bagian tersulit menulis di bab ini yaitu ketika saya harus menyesuaikan percakapan dua karakter cewek agar tidak terkesan aneh. Maksud saya, cukup sulit bagi saya yang seorang cowok menghadirkan POV cewek. Apalagi sampai membuat mereka saling nyambung dalam bercakap-cakap. Semoga berhasil.
Oh iya, makasih buat yang masih setia sama tulisan saya dan bahkan mengikutinya sampai bab ini. Semoga nggak menyesal dan selalu terhibur. Bukan cuma terhibur, tapi juga bisa mengambil pelajaran di dalamnya.
Terimakasih juga untuk yang selalu seru-seruan di kolom komentar. Kalian tahu nggak, usaha keras saya seolah terbayarkan setiap melihat kalian dengan semangatnya berkomentar dan bahkan antusiasme kalian ketika nungguin unggahan bab terbarunya. Nggak ketinggalan yang vote juga dong.
Kenapa sih vote dan komentar itu penting? Yep, tentu saja. Selama cerita yang kalian baca itu bagus menurut kalian, dengan ramainya komentar dan vote maka penghuni Wattpad lain akan bisa menemukan cerita itu.
Apalagi, UYS ini bakal lebih ambyar total dibanding Juno. Juno aja udah segreget itu. Hehehe. Saya yakin kalian bakal nangis-nangis parah di UYS melebihi di Juno.
Tapi serius, guys. Saya menyayangkan banget buat kalian yang nggak baca Juno versi buku. Maksud saya, ada 2 bab penting yang sayang bangettt buat dilewatkan. Semoga kalian bisa memilikinya.
Terimakasih. Kalian baik.
Selama saya sehat dan masih terus dikasih nikmat berpikir dari Allah Swt., maka saya akan terus bercerita buat kalian. You support my work, I keep writing the best I can give.
Kita sepakati sekali lagi kalau cerita ini hanya fiksi. Sebuah karangan. Hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan nyata itu hanya sebagai aksesoris dan kepentingan cerita semata. Oke? Nikmati saja dunia karangan saya di cerita ini. 🌹
Oke, lagu kali ini PENTING BANGET untuk diputar sambil baca. Karena lagu ini bukan cuma jadi rekomendasi, tapi punya peran dalam cerita. Khususnya di bab ini.
Judul: Tak Terima
Penyanyi: Donne Maula Ft. Sheila Dara
Anggap saja, lagu ini adalah soundtrack utama UYS. Karena liriknya related banget.
Selamat membaca dan menyelami! 🌹
*ada typo kasih tahu.
*******
*******
Chapter 07
[Lexi Briana]
Ini hari ketiga gue kerja di Remember Me. Dan sejak malam itu, gue belum melihat energi Antonim itu lagi. Jujur, itu sedikit bikin gue was-was. Jadi, ke mana dia? Masuk ke dalam tubuh Sid? Tapi cowok ini nggak ada menunjukkan perubahan sama sekali. Dia masih terlihat seperti biasanya. Sorot matanya tetap sama. Cara dia tertawa juga nggak ada yang berbeda. Tingkah lakunya. Logat bicaranya. Semuanya sama. Cuman, sampai sekarang dia belum menanyakan soal Karolin! Padahal harusnya dia bakal banyak tanya karena gue udah mau ambil lowongan ini.
Saat ini Sid sedang melakukan negosiasi dengan seorang laki-laki di kursi. Sementara itu pacarnya yang bernama Sahnaz baru saja masuk membawa tiga wadah bakso dalam kantong keresek. Dia masih pakai seragam sekolah. Biasanya bakal diantar pulang sama Sidney kalau toko udah mau tutup. Kami sudah berkenalan.
Gue lantas menyusulnya ke dapur.
"Punya gue yang bawang gorengnya banyak, kan?" tanya gue.
"Iya, aku nggak mungkin lupa, Lexi," jawab Sahnaz. Cewek ini baik loh. Dia nggak curiga atau kayak cemburu gitu ke gue yang kerja di sini seharian sama pacarnya.
Sahnaz mengambil tiga mangkuk, menuangkan semua bakso tadi ke tiga mangkuk itu. Dan gue cuma nonton. Ihuy.
"Kalian manis banget deh," kata gue.
"Seperti seharusnya, kan?" Sahnaz terkekeh.
"Mungkin." Gue menguyup kuah di mangkok gue pakai sendok. Surgawi.
"Dia capek kerja setiap hari. Aku juga capek di sekolah. Ketemunya ya kalau momen-momen kayak gini aja. Jadi," kalimatnya terjeda saat tangannya meraih dua sendok untuk ditata di baki, "aku seneng ngelakuin ini." Bibirnya tersenyum benar-benar tulus.
"Awee, gemes banget." Padahal dalam hati gue kayak, ew.
Sahnaz memegang nampan mau dibawa ke depan.
"Biar gue aja," kata gue.
"Aku pengin bawain ini buat dia. Please," wajahnya memohon malu-malu.
Gue mendesah. "Ya udah sana. Haduh haduh. Gitu ya orang pacaran."
Sahnaz terkekeh sebelum pergi. "Aku udah rapi belum?"
"Apanya?"
"Penampilannya."
"Hmm. Udah kayak satu juta like."
"Thanks!" ucapnya tanpa suara. Cewek ini nggak bosan senyum.
Gue lalu menarik kursi plastik buat duduk.
Bakso ini asli enak banget. Tapi tunggu. Kalau dua mangkuk itu dihidangkan ke depan, terus dia makan apa? Nggak beli?
"Kamu nggak beli bakso juga?" tanya gue sewaktu Sahnaz kembali ke dapur dengan wajah bangga setelah menyuguhkan bakso untuk tamu pacarnya. Seolah itu adalah sebuah kehormatan.
Tangan Sahnaz langsung meraih gagang pintu kulkas untuk mengambil minuman dingin di dalamnya.
"Aku nggak suka bakso," jawabnya setelah meneguk. Lalu menyeret kursi lain untuk duduk di sebelah gue. Dari sini kelihatan banget ya kalau dia punya sopan santun. Maksud gue Sahnaz ngerti harus menjauh ketika Sid lagi ada urusan sama tamunya. Malah dia nggak ngeluh dan kayak yang seneng banget bisa ikut melayani. Harusnya itu tugas gue.
"Beneran? Nanti jangan-jangan yang gue makan ini punyamu."
"Serius, Lex, aku nggak suka bakso. Kalau suka dan pengin pasti aku beli juga," terangnya sambil kipas-kipas leher pakai telapak tangan.
"Ya udah. Nonton gue makan aja."
"Nggak tahu kenapa aku tuh seneng kalau lihat dia lagi serius sama kliennya," ujar Sahnaz tiba-tiba. Wajahnya masih terlihat bahagia.
"Masa?" tanya gue sambil mengunyah.
"Iya. Aku suka nggak percaya aja dia bisa serius kayak gitu."
"Maksud kamu?"
"Dulu dia receh banget. Ugh. Annoying. Pokoknya gitu deh. Sok asik. Konyol. Seru sih. Tapi kayak yang berlebihan buat aku. Ngerti nggak?"
Gue menyudutkan alis. Lalu menggeleng.
"Sid itu humoris sebenernya. Paling bisa bikin suasana jadi pecah. Dan dia lucunya itu natural."
"Hah?"
"Aku nggak bohong." Dia masih kipas-kipas sambil satu tangannya yang lain pegang ponsel.
"Kamu bilang tadi dia annoying. Gue bingung deh kenapa kalian bisa jadian."
"It's a long story."
"Oke, kalau gitu mari bergosip."
"Kamu serius?" Sahnaz malu-malu.
"Buruan, mumpung pacarmu lagi sibuk di depan."
Sahnaz menarik napas panjang. "Oke. Aku percaya sama kamu."
Hah? Serius? Bahkan pacar Sid bisa dengan mudah cerita? Apakah semua orang memang semudah itu percaya sama orang baru atau ini memang karena cuma aku yang terlalu skeptis pada banyak hal?
"Dia pernah aku tolak sebelumnya. Karena aku kurang suka cowok yang terlalu rame. I mean, oke cowok yang kayak gitu emang seru. Tapi aku tuh lebih suka sama cowok yang bawaannya kalem dan serius. Maksudnya serius yang nggak sepaneng loh ya."
Gue mengangguk sambil pura-pura nyimak total biar dia semakin terus cerita. "Noted."
"Surprisingly, people change, kamu tahu itu. Termasuk dia."
"Kalian satu sekolah atau gimana?"
"Aku adik kelasnya."
"Keyyy. Terus?"
"Dia ke mana-mana hampir selalu sama sahabatnya yang bernama Juno. Mereka adalah dua cowok paling akrab yang pernah aku lihat seumur hidup. Serius. Cara mereka berteman tuh udah kayak saudara. Dan kayaknya banyak kok yang ngakuin itu."
Gue mengangguk. Ini semakin menarik.
"Tapi, mereka berdua kontras banget perbandingannya. Juno itu cowok yang ... kamu pernah nggak, lihat cowok yang kayak perfect banget dari banyak sisi?"
"Terdengar cuma fiksi. Tapi, plis! Cowok dalam kehidupan gue nggak ada perfek-perfeknya samsek. Ugh!" Gue memutar bola mata.
"Kalau gitu lo harus lihat foto ini," kata Sahnaz antusias. Dia lalu mengusap-usap layar ponselnya sampai akhirnya menunjukkan sebuah foto di Instagram. "Ini foto Juno sama Sid waktu mereka kelas sebelas."
Foto itu menampilkan dua sosok cowok. Yang satu berambut hitam kecokelatan, lumayan ikal, matanya unik kayak bukan lokal, dan wajahnya pun nggak kelihatan oriental tapi cakep parah. Gue nggak bohong. Dia yang namanya Juno. Sedang berpose melipat tangan di dada. Tersenyum. Lalu di sebelahnya ada Sid yang lagi merangkul cowok bernama Juno itu. Tertawa lebar. Dan tangannya yang lain mengacungkan dua jari. Mereka sama-sama memakai seragam sekolah. Foto itu kayak diambil di pinggir lapangan bola.
"Terus? Lo naksir sama Juno?"
"Enggak lah! Maksud aku, nggak berani. Dia itu seolah nggak tersentuh, Lex. Dan aku nggak pernah lihat dia deket sama cewek mana pun. Pernah sih ada rumor gitu. Tapi nggak jelas."
"Rumor apaan?"
"Dia pacaran sama artis."
"Hah?"
"Ya gitu deh. Namanya juga rumor. Nggak tahu bener apa nggak, kan? Tapi kayaknya cuma hoaks. Soalnya Juno itu penulis juga. Bukunya bagus-bagus loh asli. Aku baca beberapa karyanya. Lumayan terkenal deh. Banyak penggemarnya. Tapi ya gitu. Dia seolah tak tersentuh oleh para cewek."
"Oh, cowok yang suka jual mahal gitu, ya?"
"Nggak juga. Dia ramah, Lex! Tapi nggak tahu kenapa tuh kayak punya karisma yang bikin cewek cuma bisa kagum gitu loh, dan ... kayak susah banget buat dideketin."
"Masa sih ada cowok yang kayak gitu."
"Aku nggak bohong." Sahnaz mengacungkan dua jarinya.
"Oke. Terus?"
"Pokoknya Sid sama Juno itu akrab banget. Sampai suatu ketika semester genap deh kayaknya. Sejak itu mereka berdua nggak pernah kelihatan bareng lagi. Aku nggak ngerti kenapa. Nggak pernah nyari tahu penyebabnya juga sih. Tapi perasaan aku tuh mereka kayak nggak ada masalah. Sidnya oke, Juno juga kelihatan oke. Cuman mereka berdua tuh anehnya kayak nggak pernah saling lihat."
"Kok gitu?"
Sahnaz mengangkat kedua bahunya. "Mungkin urusan cowok kali ya. Dan sejak saat itu Sid kayak berubah jadi pendiem."
"Itu pas kamu udah nolak dia?"
"Ya, pas itu dia udah sempet nembak aku, tapi aku tolak karena dia masih terlalu apa ya, berlebihan buat aku."
"Terus kamu jadi mulai naksir dia ketika sikapnya mulai berubah itu?"
Sahnaz seolah berpikir sebentar. Lalu, "Kamu pasti tahu kan rasanya nolak cowok itu gimana?"
"Tentu. Selusin cowok pernah gue tolak," jawab gue sok.
Nggak! Gue nggak tahu. Gue tuh nggak pernah pacaran, oh ma Gad! Gue juga nggak pernah naksir cowok. Dan nggak pernah ditaksir juga. I guess. Hidup yang gue punya nggak akan pernah sama kayak kebanyakan cewek. Nggak ada kisah romantis. Hidup gue penuh dengan ketegangan dan kekerasan. Lo nggak tahu aja, Naz, kalau gue udah pernah bunuh orang. Orang jahat. Dan itu nggak cuma satu atau dua.
"Nah, pasti ngerasa bersalah juga kan sebenernya pas nolak tuh," aku Sahnaz.
Gue mengangguk aja seolah setuju.
"Sid tuh baik banget sebenernya. Cuman ya itu aja sih yang waktu itu bikin aku kurang suka sama dia. Pernah kepikiran mau nerima dia pas itu, dengan syarat dia harus berubah jadi agak kaleman dikit. Tapi aku nggak mau punya hubungan bersyarat. Itu sama aja aku nuntut. Jadi aku tolak aja deh."
Gimana sih maksudnya?
"Sikapnya makin kelihatan berubah secara signifikan ketika ditambah adiknya meninggal. Namanya Karolin."
Oh, here we go.
"Ditolak cinta, adiknya meninggal, persahabatannya renggang, dan yang aku tahu dia juga kecewa berat sama ayahnya yang sekarang udah punya keluarga baru. Lex, aku cerita semua ini ke kamu nggak lain karena aku berharap kamu bisa jadi teman yang ngerti sama situasi Sid. Mungkin nanti kamu bakal lihat dia yang moody dan kayak yang nggak bisa diajak ngomong. Percaya sama aku, jangan diusik. Itu cuma pertanda kalau dia lagi keingat sama hal-hal yang bikin dia kecewa dan merasa kehilangan."
Gue tertegun mendengar semuanya.
"Akhirnya ketika udah agak lama sekitar mendekati kenaikan kelas, aku ngontak dia duluan. Pertama, aku merasa bersalah dan kepikiran terus menerus ... kayak, ya, mungkin aku juga yang jadi penyebab dia terluka. Aku mikir juga sih, maksudnya, nggak adil gitu buat dia ketika cintanya ditolak hanya karena aku nggak bisa menyukai kelebihannya yang harusnya jadi sesuatu yang positif. Maksudku, he's not that bad. And also he's cute tho," Sahnaz terkekeh di akhir kalimatnya. Tulus.
Tanpa sadar gue ikut tersenyum menyimak kisah ini.
"Dan kalian jadian?" tanya gue penasaran. Wait, what?
"Aku ngajak dia ketemuan di sebuah kedai teh. Aku minta maaf untuk apa pun yang mungkin udah bikin dia terluka. Serius aku nggak enakan sih orangnya, Lex."
"Iya, aku bisa ngerti."
"Terus ... um, aku yang minta kesempatan sama dia."
"Maksudnya?"
"Semacam aku ngajak dia buat ... ya, kamu tahu lah."
"Kamu ngajak jadian balik?"
Sahnaz mengangkat kedua alisnya. Sementara itu mulut gue melongo dengan kedua alis yang menyudut.
"Really?" gue memastikan sampai nyaris tertawa.
"Sssh!" Sahnaz ngasih peringatan supaya gue nggak keras-keras reaksinya. Lalu kami berdua terkekeh lirih bareng-bareng.
Jadi gini ya rasanya punya temen ngonbrol yang seumuran.
"Dan dia nolak aku dong!" lanjut Sahnaz dengan mata sedikit membelalak.
"Whaaat! Ih tolol."
"Ya, kan? Kesel banget tahu nggak, ih." Ekspresi wajah Sahnaz justru kayak yang pengin menertawai peristiwa itu. Pertanda dia juga udah berdamai dengan masa lalu sih.
"Oke, oke, oke. Girl! Gue masih penasaran kenapa akhirnya kamu sama bos gue bisa jadian."
Lalu Sahnaz berusaha mengendalikan dirinya dari tertawa. "Ini karena Juno," ujarnya.
Seberpengaruh itu cowok yang bernama Juno buat mereka?
"Aku tahu dia udah nggak ngobrol lagi sama Sid waktu itu. Tapi entah bagaimana caranya Juno itu kayak tahu situasi aku sama Sid gitu loh. Juno kirim pesan WhatsApp ke aku. Kaget lah ya aku tiba-tiba di-chat senior idola semua cewek yang ternyata punya nomorku. Dia bilang kalau ... sebenarnya Sid itu masih punya perasaan yang sama dan nggak pernah berubah. Sid cuma lagi punya masa-masa yang cukup sulit, makanya dia jadi terpaksa nolak aku, Lex. Lalu Juno ngasih saran ke aku untuk bisa memperbaiki situasi," Sahnaz jeda untuk minum, "Juno ngasih saran pancingan yang menurut aku nggak bakal berhasil. Tahu lagu yang judulnya Tak Terima? Donne Maula featuring Sheila Dara?"
Gue menggeleng. Kasihan sama diri sendiri. Gue bahkan nggak ngerti tren lagu.
"Intinya lagu itu lah ya. Juno minta supaya aku kirim lagu itu ke Sid lewat WhatsApp."
"Berhasil?"
Sahnaz mengingat-ingat. "Umm. Waktu itu dia balas gini, lagunya bagus, aku kesindir."
"Pffft!" gue nyaris nyembur nahan ketawa. Untung udah abis baksonya. "Terus?" Ya Tuhan, gue excited. Kenapa ngegosip ternyata seseru ini?
"Ini cuma mungkin sih ya. Kayaknya setelah dia nolak aku balik, itu dia mikir juga. Ya sama kayak aku waktu nolak dia duluan itu loh, Lex."
"Iya, iya."
"Aku nggak bales."
"Lah."
"Aku malu lah."
"Terus gimana?"
"Dia kayak nyadar gitu loh. Minta maaf ke aku. Terus telepon. Untuk pertama kalinya aku deg-degan kenceng banget waktu ditelepon sama dia. Asli."
"Teruuus?" gue sampai menyentuh lutut Sahnaz saking ... sumpah ya gue nggak tahu, penasaran aja.
"Ya sampai sekarang. Aku sama dia."
"Jadian?"
"Ya apa lagi?" Sahnaz tersenyum lebar.
Aneh, tiba-tiba gue menutup mulut dengan kedua tangan. Nahan teriak. "Naaaz, ih."
Sahnaz terkekeh dengan suara lirih. Kami berdua terpingkal-pingkal.
"Itu sweet, asli," komentar gue dengan ekspresi ikut seneng. "Menurut aku kalian emang cocok banget sih."
Sahnaz memegang tangan gue. "Makasiiih!" ucapnya lirih.
Gue menghela napas dengan senyum. Nggak tahu apakah sebelumnya gue pernah mengalami perasaan senang kayak gini atau nggak .... Kayaknya nggak. Sahnaz baik banget. Energi yang terpancar dari wajahnya berwarna ungu muda yang sangat lembut. Getarannya halus. Representasi dari rasa tulus. Dan mungkin karena memang ini kali pertama gue berinteraksi seru dengan cewek yang seumuran sama gue.
"Aku juga seneng sekarang dia ada temen kerja di Remember Me. Makasih ya, Lex, kamu udah ke sini," Sahnaz mengatakan itu dengan tulus yang kentara.
Gue tersenyum. Mengangguk. "Gue butuh duit, Naz. Makanya gue dateng. Dan gue bakal tanggung jawab sama kerjaan di sini."
Lagi-lagi Sahnaz ngasih gue senyum kepercayaan. "Tahu nggak, Lex. Kita bisa jadi teman."
Seketika saja gue tertegun setelah mendengar kalimat itu dari mulut Sahnaz.
"Kamu asik. Ngingetin aku sama Sid waktu belum jadi kayak sekarang. Maksud aku, why not?"
Gue masih tertegun. Sampai perlahan gue merasakan sesuatu yang lain. Perasaan gue melunak.
"Lex?" Sahnaz membuyarkan. "Kenapa?"
"Nggak apa-apa," jawab gue, "Gue cuma .... Belum pernah punya teman cewek yang seumuran."
Alis Sahnaz mengendur. Seperti memiliki banyak pertanyaan atas pernyataan gue tadi. Tetapi dia memilih untuk tersenyum dengan pengertian yang tersirat.
"Ini kali pertama ada orang yang mau jadi teman gue," itu pengakuan yang jujur.
"So?"
Gue mengangkat kedua bahu. "I have no idea, Naz."
Sahnaz memutar bola mata lalu berdecap. "Lex. Kamu itu temen pacar aku. Dan aku pengin dekat sama semua temen pacar aku tanpa terkecuali."
Kali ini gue terharu dan nggak bohongan. Tapi gue nggak nangis, ya, anti.
"Oke, oke. Teman."
Kita lalu tertawa berdua.
Timing-nya tepat banget. Begitu gue sama Sahnaz selesai ngobrol, terdengar langkah kaki mendekat.
"Lex," panggil Sid begitu dia muncul. "Itu mau bayar."
"Oh. Siap, Bos." Gue langsung berdiri dan bergegas ke meja kasir. Meninggalkan Sid yang pasti mau ngobrol sama Sahnaz.
Perasaan gue mendingan. Kayak ada beban yang terangkat setelah ngobrol panjang sama Sahnaz. Bukan cuma soal kami berdua yang udah komit mau temenan. Tapi gue juga punya beberapa informasi baru tentang Sidney dan beberapa premis penting soal latar belakangnya. He's a survivor of disappointment. Yang paling penting dari semuanya adalah, Sidney punya pacar yang baik banget.
Kembali ke kerjaan. Kali ini gue harus menghitung uang sebanyak tujuh juta yang diterima atas penjualan sebuah cincin dengan hiasan batu mulia berwarna biru laut jernih.
I'm not gonna lie. Sid kaya raya. Tiga hari di sini gue udah mencatat transaksi yang nilainya nyaris mendekati seratus juta. Entah itu jual atau pun beli. Ini toko barang antik. Nggak ada pemasok besar. Yang ada cuma orang yang datang untuk menjual sesuatu dan atau mau beli sesuatu. Tapi Sid bilang dia juga sesekali pergi ke sebuah pameran barang antik atau tempat pelelangan untuk mencari barang yang bernilai. What a business!
Setelah pelanggan itu pergi. Sid nitip Remember Me ke gue karena dia mau antar Sahnaz pulang. Ketika Sid sudah di luar mempersiapkan motornya, Sahnaz mengampiri gue.
"Lex, aku lupa. Minta kontak kamu, dong," ujarnya sambil bawa helm. Sudah berjaket pula.
"Kontak apaan?"
"WhatsApp. Atau mungkin medsos kamu?"
Gue terkekeh. "Gue nggak pakai ponsel. Lebih tepatnya gue nggak punya."
"Serius, Lex," ujar Sahnaz mengira gue bercanda.
"Gue nggak bohong. Tanya aja sama Sid."
Sahnaz lalu menghela napas. Dia nggak tanya lagi. "Oh, ya udah. Aku balik dulu, ya. Besok aku main lagi. Pertemanan kita harus serius!" serunya sambil berlalu pergi. Tangannya melambai.
"Daaah!" balas gue.
Mereka pergi.
Gue lalu membereskan mangkuk kotor di meja untuk dibawa ke dapur. Remember Me sepi. Yang terdengar hanya suara keran selagi gue mencuci mangkok, kipas angin di langit-langit, dan deru kendaraan.
Namun tiba-tiba lengan kanan gue merinding.
Seketika gue menghentikan aktivitas mencuci dan mematikan keran. Sekilas saat gue menoleh ke belakang, seperti ada sosok bayangan itu. Namun menghilang begitu saja tanpa sempat gue amati dengan jelas. Gue diam. Sosok itu seolah sedang mengejek gue yang sudah lama mengikutinya. Oke, dia belum berhasil masuk ke tubuh Sid.
Getaran energi yang gue rasakan kali ini memiliki pesan yang lain. Sebuah tantangan tangkap aku kalau kau bisa. Dia menghilang entah ke mana. Tentu saja dia tidak kuat menahan terlalu lama upaya netralisir dari Remember Me. Gue pun kalau sudah di luar toko ini rasanya seperti kembali ngawur. Tapi kalau sedang di dalamnya, rasanya tenang.
Karena dia tidak menampakkan pertanda apa pun lagi, gue lantas melanjutkan mencuci. Setelah selesai gue pergi ke meja kasir. Buka komputer, masuk ke YouTube, putar musik. Satu jam lagi tutup.
Beberapa menit kemudian pintu diketuk. Seorang pemuda berusia awal tiga puluhan sedang berdiri di depan pintu. Gue bergegas menghampirinya.
"Iya, Mas?" tanya gue.
"Mau ngukur kaca buat benerin pintu depan. Tadi Mas Sidney telepon," jawabnya. Energinya jujur.
"Oh, iya, silakan."
Dia cuma mau ngukur kaca pintu yang bekas pecah itu. Pasang yang barunya sih paling besok. Toh setelah selesai ngukur mas-mas itu langsung pamit.
Mendekati pukul empat sore Sidney kembali. Gue sedang persiapan bikin rekap buat penjurnalan kas hari ini.
"Ada pelanggan?" tanya Sid melepas jaketnya untuk ditaruh di sofa.
"Nggak ada. Cuma tadi ada orang ngukur kaca pintu. Katanya ditelepon lo?"
"Oh. "
Sid berjalan mendekati meja kasir, merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan sesuatu. Dia kemudian menaruhnya di meja. Itu sebuah ponsel.
"Dari Sahnaz. Suruh dipakai sama lo."
"Hah?"
"Terima aja. Dia punya android lama yang udah nggak kepake karena punya iPhone sejak dua bulan yang lalu. Masih lumayan bagus. Di situ ada nomor gue sama Sahnaz. Katanya lo harus hubungi dia kalau sudah diterima ponselnya."
Gue bingung.
"Lo ambil uang seratus ribu dari kas hari ini. Catat aja. Beli kartu paket."
Gue semakin bingung.
"Kalau udah beli, balik lagi ke sini. Tutup toko."
Sid melangkah masuk ke kamar mandi dapur.
Gue masih terheran-heran sama dua orang ini.
Lalu, kenapa Antonim itu masih tetap mengincar?
Ini urusan serius. Nggak adil buat mereka berdua kalau sampai Antonim itu berhasil merasuk ke tubuh Sid. Semuanya bisa jadi tak akan pernah sama lagi.
********
********
Apa komentar kamu untuk bab ini?
Semoga saya berhasil membuat percakapan Lexi dan Sahnaz terasa hidup.
Setuju nggak sama judul bab ini? Hehehe
Ingat baik-baik, bab ini akan terasa lain ketika dibaca ulang kalau ceritanya sudah tamat.
Bab-bab setelah ini akan sulit untuk diterima dan menantang untuk diselami terus menerus.
Bantu saya bagikan cerita ini.
Terimakasih 🌹
Btw, guys. Udah nyobain Wattpad dark mode? Saya nyobain. Enak di mata. Siapa tahu ada yang belum tahu. Cari saja di pengaturan.
Sampai jumpa di bab berikutnya.
Instagram @sahlil.ge
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top