7 - {DESTRUCTIVE FAMILY}

Hiburan buat Senin, yes. Jangan lupa vote biar jempol nggak kram waktu scroll.

***

Aku terhentak bangun dari tidur dengan wajah basah oleh air mata. Di tengah kepanikan, tanganku meraba-raba tempat tidur untuk mencari ponsel. Aku baru saja bermimpi tentang ayahku. Beliau meninggal dunia setelah memanggil namaku tanpa henti. Aku ingin menghubungi rumah, memastikan kalau ayahku baik-baik saja.

Saat ponsel berada di genggaman, baru aku sadar kalau ayahku sudah meninggal beberapa waktu lalu. Kenyataan itu membuat hatiku sakit lagi. Kupeluk lutut erat-erat sambil menyembunyikan wajahku yang tak henti berurai air mata.

Rasanya masih segar di ingatan. Mengapa aku mengira ayahku masih hidup?

Selama ini aku meyakini segalanya baik-baik saja dengan mengabaikan fakta kalau ada sebagian diriku yang rusak di dalam. Kerusakan itu kelihatannya sulit untuk diperbaiki. Yang perlu kulakukan hanya menambalnya sehingga aku nampak baik-baik saja di luar.

Malam yang buruk berlanjut sampai esok paginya. Kepalaku sakit mendengar seruan Bu Manda yang mengomel tiada henti saat menyuruh Kaif berhenti berkeliaran dengan celana dalam. Bocah itu selalu bangun pagi, tapi benci mandi, dan sering membuat seisi rumah berantakan. Mainan berserakan di lantai. Nggak sekali-dua kali kakiku menginjak tentara jadi-jadian sampai telapakku nyeri.

Di meja makan sudah terhidang tempe goreng, telur ceplok, dan secobek sambal terasi. Baunya harum. Sayangnya aku nggak biasa sarapan. Kalau kupaksa makan, bisa-bisa aku terlambat gara-gara harus ke toilet dulu.

Bu Manda muncul dengan separuh bagian daster basah dan handuk di atas bahu. Rambutnya awut-awutan. "Ran, acara syukuran rumah sama pembukaan toko dijadiin satu aja, ya? Saya udah ngundang anak-anak dari panti asuhan dekat kompleks, rekomendasinya Bu Aga. Jumlahnya sekitar lima puluhan. Rencananya mau makan-makan aja atau sama ngasih uang jajan buat mereka?"

"Atur aja, Bu." Tatapanku masih nggak lepas dari meja makan.

"Maaf saya nggak sempet masak sayur. Kesiangan gara-gara ngurusin Kaif. Ayo, makan dulu!"

Aku menggeleng. "Lain kali bikin sarapan buat Kaif aja. Saya nggak biasa makan pagi."

Bu Manda kelihatan agak kecewa. Untuk menghindari situasi canggung, aku buru-buru berpamitan.

Tujuan utamaku hari ini adalah mengubah seluruh uang peninggalan ayah menjadi investasi. Aku susah tidur gara-gara kepikiran memiliki uang ratusan juga di rekening. Untungnya rencana investasiku berjalan mulus. Sebagian deposito berjangka yang kubuka bisa diambil tahun depan saat Kaif butuh uang untuk masuk sekolah, sedangkan sisanya kujadikan emas batangan. Sesuai saran Ko Barra.

Ketika aku kembali ke rumah sore harinya, pemandangan Kaif berjongkok membetulkan ban sepedanya yang penyok membuatku heran. Di sebelah Kaif, terparkir sebuah GranMax silver. Aku tahu siapa pemiliknya.

"Sepedamu kenapa?" Raut yang kuharapkan nggak muncul di wajah Kaif. Kukira dia akan menangis karena takut ketahuan habis merusak sepeda. Bukannya kabur, dia malah mengusap air mata sambil menunjuk rumah kami. Aku segera memarkirkan motor dan melepas helm. Suara Bude Harti dan Pakde Sugeng cukup kencang terdengar sampai depan. "Kamu main di luar aja," pesanku pada Kaif sebelum bergegas masuk.

"Kamu itu nggak ada bedanya sama pencuri!" tunjuk Bude Harti di depan wajah Bu Manda.

"Mas Handoko suami saya, hutang piutang dan warisan yang dia tinggalkan untuk Kaif, saya yang kelola! Kalau kalian nggak terima, silakan! Nyatanya Mas Handoko memang menitipkan Rani juga ke saya!" Aku cukup kagum melihat Bu Manda membalas.

"Nggak tahu diri! Masih sempat kamu berlagak?" Pakde Sugeng ikut-ikutan berdiri namun ditahan oleh seorang tetangga dari kampung yang ikut kunjungan dadakan ini. "Mana uang kontrakan rumah Handoko? Berani-beraninya kamu ambil keputusan sendiri!"

"Pernikahanmu nggak sah di mata hukum! Jadi kamu nggak punya hak buat mengelola warisan Handoko!" timpal Bude Harti berapi-api. Kuperhatikan wajah semua orang merah padam. Keributan ini sudah terjadi sejak tadi rupanya.

"Sebaiknya ngaku aja, Mbak. Mana uang asuransi itu?" Tante Hana menghampiri Bu Manda agar bisa membujuknya. "Kami bukannya mau merampas, tapi mengingat masih ada ibu dan saudara-saudara almarhum, uang itu harus dibagi."

Kelihatannya mereka belum juga menyadari kedatanganku.

"Assalamualaikum," ucapku agak kencang. Mereka terkejut melihatku. "Ban sepeda Kaif penyok, ada yang tahu kenapa?" Aku mengamati Pakde Sugeng yang membuang muka sambil mendengkus marah. Dia orang temperamental. Sifat buruknya itu terkenal sepenjuru kampung. Pernah suatu waktu Pakde Sugeng hampir membacok petani bawang yang kedapatan mengusir ayam-ayamnya dari ladang. Kalau tidak dilerai tetangga, mungkin petani itu sudah masuk rumah sakit.

"Kok kamu di sini, Ran?" tanya Tante Hana.

"Ini rumah Rani juga. Kalian dapat alamat ini dari mana?"

"Saya yang ngundang mereka kemari untuk syukuran rumah dan toko baru besok," sahut Bu Manda datar.

Aku mendesah pelan. Bu Manda ini benar-benar naif atau bagaimana, sih?

"Jadi duit Handoko kalian habiskan semua untuk beli rumah ini?" tanya Bude Harti. Ia tersenyum sinis. "Dihabiskan semua sebelum kami tahu. Hebat sekali! Kalau ayahmu tahu kamu berbuat begini pada kami, dia pasti marah, Rani!"

"Kenapa kalian nggak berdiskusi dulu dengan keluarga mengenai rumah di kampung, Ran?" imbuh Tante Hana.

"Inget pulang waktu bapaknya sakit aja enggak, Han. Mana mungkin Rani peduli sama etika, sopan santun, apalagi minta izin ke yang lebih tua sebelum ngontrakkin rumah itu!" Bagai menyiram bensin di atas bara api, Pakde Sugeng menambahi. "Sudah bikin malu keluarga di kampung karena tiba-tiba batal kawin, sekarang giliran warisan, maju yang terdepan merasa paling berhak. Perempuan goblok, memang!"

Mulutku terkunci rapat. Bukan karena aku ingin, melainkan amarah yang berkobar di dalam dada dan kepalaku rasanya terlalu membutakan. Aku benci diriku yang selalu terdiam seperti patung. Nggak bisa mendebat atau berbuat apa-apa.

"Jangan sembarangan kalau bicara!" bentak Bu Manda. "Setelah suami saya meninggal, baru kalian ngaku-ngaku sebagai keluarga. Sebelumnya pada ke mana? Ketika Mas Handoko sakit, kalian cuma datang sekali untuk menengok! Kalau bukan karena asuransi, Mas Handoko tidak akan dapat perawatan di rumah sakit! Saya tanya, ke mana saja kalian waktu itu!" raungnya.

"Memangnya yang kesulitan cuma kamu, hah?" Pakde Sugeng membalas. "Kamu kira di dunia ini yang punya masalah cuma kamu?"

"Hentikan," bisikku lemah.

"Nggak berempati, tapi masih punya muka buat menuntut harta yang bukan milik kalian! Memalukan!" sahut Bu Manda.

"Memangnya harta itu punyamu?" Bude Harti maju selangkah. "Kamu cuma perempuan sok suci yang menikahi Handoko demi warisan! Nggak usah berpura-pura lagi! Seisi kampung sudah pada tahu kalau kamu yang ngasih guna-guna ke Handoko!"

"Astaghfirullah, Mbak Harti ... itu fitnah!" Suara Bu Manda bergetar menahan emosi yang hampir tak terbendung.

Aku menyeberangi ruang tamu menuju kabinet TV. Perdebatan masih berlangsung. Bisa dibilang makin panas. Semua orang di sana nggak ada yang bertingkah selayaknya orang dewasa. Dari laci bawah TV, kukeluarkan sebuah amplop tebal berisi uang dari Gandhi. Amplop itu kuberikan pada Bude Harti.

"Uang asuransi ayah. Masih utuh," ujarku. Ketika Bude Harti tak juga menerima, kuselipkan uang itu ke dalam tas jinjingnya. "Rani bekerja keras sejak umur belasan demi bisa membeli rumah ini. Tolong jangan ganggu hidup kami lagi," lanjutku.

"Kami mengganggu hidup kalian?" ulang Bude Harti tak percaya.

"Uang itu hasil kerja keras ayah semasa hidup, kalian bisa bagi dengan adil di kampung. Silakan pergi. Kalian nggak diterima di rumah ini. Anggap kita nggak punya hubungan darah, jadi jangan pernah datang kemari lagi." Kupertahankan nada suaraku yang tenang agar mereka lekas mengerti.

"Kamu memang durhaka, Rani. Pantas saja ayahmu stress sampai mati gara-gara mikirin tingkahmu yang kurang ajar!" tunjuk Pakde Sugeng di depan wajahku.

Bu Manda beringsut maju untuk berdiri di antara kami. "Sekali lagi ngomong sembarangan, saya lapor polisi! Pergi dari sini!"

Kutelan isakanku supaya nggak lolos. "Kalian bisa ambil semua uang itu, tapi ingat satu hal ..." ujarku. "-kalian nggak pernah berhak karena masih ada Rani sebagai anak tertua ayah, dan Kaif sebagai anak kandung laki-laki ayah. Kalian merampas hak anak yatim."

"Sok tahu!"

"Rani pernah bekerja di lembaga bantuan hukum dan mantan tunangan Rani adalah seorang pengacara. Hak waris adalah ilmu paling dasar yang saya pelajari dari mereka. Kalau kalian masih meributkan warisan ayah lagi, jangan kaget semisal Rani menuntut kalian atas dasar perbuatan tidak menyenangkan dan pengancaman sesuai KUHP pasal 335 plus 369 ayat 1. Itu pasal berlapis."

Ucapanku membuat semua orang terdiam. Aku baru saja mengancam mereka karena cemas mereka mengancamku lebih dulu.

"Rumah yang kami kontrakkan di kampung menjadi harta bersama ayah dan Bu Manda. Mereka membangun rumah itu di tanah warisan dari almarhum eyang. Terserah Bu Manda rumah itu mau diapakan," imbuhku. "Kayaknya Rani nggak perlu bahas masalah hutang bank karena minggu lalu Rani sama Bu Manda udah melunasinya sendiri. Tambak Pakde Sugeng aman. Apa ada lagi yang belum clear?" Kutatap para tamu satu per-satu.

Mereka hanya saling pandang, namun tak satu kata pun keluar. Pakde Sugeng juga mendadak bisu.

"Kalau sudah selesai, kalian bisa segera pulang. Pintunya di sana," tunjukku pada pintu yag terbuka lebar. Menit-menit penuh ketegangan berakhir setelah mereka perlahan pergi. Tanpa berpamitan pula. Aku dan Bu Manda sama-sama menanti suara mesin mobil menjauh sebelum menarik napas lega.

Buru-buru kuhapus sebulir air mata yang baru saja meluncur turun ke pipi. Bu Manda nggak sempat melihatnya.

"Mereka benar-benar kelewatan," gumam Bu Manda gusar.

"Jangan khawatir, mereka nggak akan berani ke sini lagi."

Bu Manda akhirnya memandangku. "Kamu serius mau mempidanakan keluargamu sendiri?"

Aku menggeleng pelan. "Buang-buang waktu, tenaga, dan uang. Rani cuma menggertak." Mental orang kampung seperti mereka pasti langsung ciut jika sudah dikaitkan dengan hukum. Beruntung aku punya pengalaman bekerja di bidang yang sama selama bertahun-tahun.

"Uang itu ...," gantung Bu Manda ragu-ragu.

"Nggak apa-apa. Uang dari Mas Gandhi sebenarnya uang yang pernah Rani kasih untuk biaya pernikahan kami. Karena batal, jadi dikembalikan."

"Tapi itu uangmu."

"Lebih baik Rani ngasih uang itu daripada uang ayah." Aku tersenyum pahit.

Bu Manda menghela napas berat. "Maafin saya karena gegabah ngasih mereka alamat rumah ini sebelum diskusi sama kamu. Saya akui saya salah dan ceroboh."

Aku menggeleng. "Ada baiknya mereka kemari. Sekalian nuntasin masalah warisan. Rani yakin selama ini mereka susah tidur gara-gara mikirin itu."

"Kaif mana?" Bu Manda memandang sekeliling.

Ia mengikutiku pergi ke depan untuk mencari bocah itu. Pemandangan di luar membuatku terperangah. Entah karena urusan apa Ko Barra pulang awal hari ini. Dia baru saja selesai mengganti ban sepeda Kaif. Mereka berdua nampak sedang mencoba ban yang baru dipasang itu. Ban penyok dibiarkan tergeletak di sebelah kaki Ko Barra. Kapan dia membelinya?

"Udah oke?" tanya Ko Barra selagi Kaif mengayuh sepedanya di depan garasi.

Anak itu mengangkat satu jempol ke atas.

Ketika melihat kami mendekat, Ko Barra tersenyum ramah. "Tadi dia nangis gara-gara sepedanya nggak bisa dipake."

"Habis diinjak pakdemu." Bu Manda berbisik padaku sebelum menghampiri Kaif dan membawanya masuk.

Aku dan Ko Barra ditinggalkan berdiri berhadapan. Keheningan di antara kami terdengar memekakkan telinga. Ko Barra hanya memainkan obeng di tangannya sambil menatap pohon gundul di halaman.

"Ko Barra dengar?" tanyaku akhirnya.

Dia melirikku sekilas. "Bagian yang nyaring-nyaring aja. Selebihnya saya fokus masang ban." Lelaki itu menunjuk sepeda Kaif yang parkir di dekat kami. "Ijonk pernah ngebetulin sepeda anaknya di rumah saya. Ada ban serep yang kebetulan satu tipe sama punya adikmu," lanjutnya memberi penjelasan.

"Keluarga bikin hidup saya hancur berantakan." Aku nggak bermaksud mengatakannya, tapi kalimat itu meluncur keluar begitu saja dari mulutku.

"Setiap keluarga pasti punya masalah, apalagi menyangkut warisan. Hubungan darah bisa rusak dalam sekejap cuma gara-gara uang."

Aku tersenyum kecil. Ko Barra mendengar semua bagian terburuk.

"Anyway, makasih udah ngebetulin sepeda Kaif."

"No problem. Saya juga lagi nganggur tadi."

Kulihat mobil bak terbukanya masih parkir di depan pagar. Dia pasti baru datang sewaktu melihat Kaif menangis.

"Saya kira Koko selalu pulang larut."

"Hari ini saya mager."

"Mager? Seorang bos bisa mager?"

"Apa salahnya?" Ko Barra balas bertanya. "Namanya juga lagi nggak mood kerja." Dia terkesan agak defensif. Padahal aku cuma nanya, lho.

"Nigeeeeel!" Panggilan Bu Agatha melengking dari seberang. Sosoknya baru muncul beberapa saat kemudian sambil memandangi mobil sang putra. "Ini kenapa mobilmu ditaruh sini? Ngehalangin orang keluar-masuk! Ayo, diminggirin dulu!"

Ko Barra menggaruk pangkal hidungnya. "Ibu Negara manggil." Ia menunjuk mamanya agak canggung.

"Mama kira kamu itu udah mandi dari tadi, Gel! Jadi nganterin Mama nggak, sih? Keburu malem lho ini!" Bu Agatha mengomel saat melihat kami. "Rani baru pulang, ya?" Nada suaranya mendadak berubah saat bicara padaku.

Kuanggukkan kepala sembari tersenyum. "Iya, Bu."

"Nigel bilang kamu bersedia kerja di kantornya. Makasih, lho, Ran. Nigel itu orangnya gengsian. Padahal lagi butuh orang, tapi sungkan mau nawarin kamu awalnya."

"Mama ..." Ko Barra nampak nggak nyaman tapi Bu Agatha justru mengibaskan tangan.

"Kamu nggak usah khawatir sama acara selametan besok. Biar saya sama Manda yang urus. Kamu fokus aja kerja sama Nigel, ya?" Sebelum Bu Agatha menyeberang kemari, Ko Barra sudah lebih dulu menuntunnya kembali ke rumah.

***

Stress menjadi salah satu cara diet paling alami. Buktinya berat badanku menurun drastis. Nggak tanggung-tanggung, bobotku berkurang tujuh kilo dalam satu bulan. Pantas saja pipiku makin tirus begini. Kupalingkan wajahku sedikit di depan cermin demi memastikan make up-ku nggak terlalu menor.

Aku pasti udah gila.

Eye shadow-ku terlalu berkilau. Lipstick fuchsia keunguan ini terlalu mencolok. Rambutku yang hampir nggak pernah kuurai, malam ini kucatok hingga tergerai lembut di satu bahu. Dan gaun ini, astaga ... degup jantungku kian cepat.

Ini pertama kalinya aku mengenakan gaun panjang yang menunjukkan bahu dan belahan dada. Gaun ini kubeli empat tahun lalu setelah aku bertengkar hebat dengan Gandhi. Demi menyalurkan amarah terhadapnya, kulakukan hal-hal yang paling dia benci. Sebelum aku bisa memamerkan gaun ini ke mana-mana, aku keburu menyesal dan minta maaf. Alhasil, gaun ini hanya jadi pajangan dalam lemari, terbungkus plastik tebal dan nggak pernah kusentuh.

"Cantik," puji Bu Manda ketika membuka pintu kamarku lebih lebar.

"Saya rasa ini berlebihan." Tatapanku nggak lepas dari pantulan sosok orang asing bergaun rose gold di cermin. Seperti bukan diriku. Aku merasa amat rentan mengenakan riasan seglamor ini. "Saya hanya akan jadi badut di sana. Kenapa repot-repot berdandan?" Sebelum aku sempat meraih botol make up remover, lenganku lebih dulu ditahan oleh Bu Manda.

Perlahan namun pasti, Bu Manda memutar tubuhku kembali menghadap cermin.

"Jujur ke dirimu sendiri, apa kamu merasa cantik?"

Aku menggeleng. Meski dengan anting panjang setara gajiku dua bulan di LBH, pantulan yang kulihat tetap membuatku muak.

Bu Manda berdecak pelan. "Putrinya Pak Handoko ayu begini kok malah dibilang nggak cantik, sih?"

Dengkusanku terdengar cukup kencang. Aku menangkap bayangan Kaif yang mengintip dari pintu.

"Kaif, coba lihat kakakmu, sini!" Bu Manda memanggil anak itu mendekat. Ragu-ragu Kaif masuk ke kamarku untuk menghampiri kami. "Kak Rani cantik, nggak?"

Kaif menempel di kaki ibunya sambil tersenyum malu-malu, tak mau memandangku. Tingkah polosnya membuatku ikut tersenyum.

"Dijawab, dong ... Kak Rani cantik, nggak?"

Kaif mendongak memandang wajah ibunya lalu mengangguk.

"Nah, Ran. Dua orang lho yang nggak sepakat sama kamu."

"Tapi belahannya ..." Aku meringis menatap dadaku sendiri. Nggak terlalu rendah, sih. Tapi tetap saja kelihatan.

Bu Manda ikut-ikutan menilai. "Hm, kalau kamu makenya di kampung pasti digunjing sekelurahan." Dia manggut-manggut. "Belahannya juga masih sopan. Di TV, artis-artis malah make yang lebih rendah daripada ini. Ngomong-ngomong ini nikahannya siapa? Teman kerjamu?"

Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya lewat mulut. "Lebih tepatnya mantan temen kerja."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top