26 - {5% TOLERANSI KESALAHAN}

Aku menoleh karena mendengar isakan kecil dari meja sebelah. Dahiku langsung berkerut dalam. Mamet meniup hidungnya yang penuh ingus dengan tisu di tangan. Matanya merah, jelas-jelas sedang menangis. Otomatis aku menarik kursi untuk mendekatinya. Mamet merupakan satu-satunya teman dekatku di kantor yang sering membantuku saat kesulitan. Aku nggak tega melihatnya susah sendirian.

"Met, kenapa?" Kuletakkan tanganku di atas bahunya yang berguncang kecil.

"Setan zaman sekarang, Ran, pasti minder sama kelakuan manusia." Dia menunjuk layar monitor yang sedang membuka sebuah laman berita langganannya. "Bisa-bisanya hukum di negara kita dinego pake kenalan orang dalem sama duit? Sampe bikin anak orang bunuh diri, Ran. Ya Allah, nggak habis pikir!" Mamet geleng-geleng kepala.

Vina Anggraini bukan tewas bunuh diri. Harapan untuk mendapat keadilan lah yang membunuhnya. Lalu apa gunanya hukum di negara ini?

Artikel berita itu sudah dibagikan sebanyak ratusan ribu kali dalam kurun waktu satu malam sejak dirilis.

"Aku udah tanda tangan petisi, Ran. Kamu juga, dong. Ini petisi buat menaikkan lagi kasusnya supaya ada persidangan ulang atau banding atau apa lah istilahnya. Aku nggak ikhlas pelakunya bebas. Kalau ada lagi yang kayak Vina gimana? Coba, deh. Ini kamu baca dulu beritanya!" Mamet menggeser layar monitor ke arahku.

"Aku udah baca, Met." Kumundurkan lagi kursi yang kududuki agar bisa kembali ke meja. Bukan hanya tahu kasusnya, aku juga lah yang melaporkan kronologi kasus Vina sampai dia meninggal bunuh diri ke jurnalis. Kasus itu kini menjadi perbincangan di media sosial dan TV. Aku sempat menontonnya tadi pagi sebelum berangkat bekerja.

Ponselku bergetar tanda pesan masuk. Harapanku membuncah. Pasalnya, aku sudah menunggu pesan ini selama satu minggu.

To: Vivi
Vi, kpn ad wktu? Kak Rani pngn ketemu.

From: Vivi
Maaf baru bisa balas, Kak. Maaf jg Vivi blm bisa ketemu Kk krna Vivi masih perlu waktu.

Aku mendesah kecewa. Pesan lain datang beberapa detik berikutnya.

From: Vivi
Vivi tau Kk yg speak up tntng Vina. Klo kondisi keluarga Vivi uda mendingan, Vivi bersedia ketemu Kk. Makasih krna Kk ga putus asa ...

Aku menutup mulut demi menahan senyumku nggak terlalu lebar. Pesan Vivi membuatku terharu. Dia memaafkanku. Nggak sia-sia aku menunggu pesanku dibalas selama berhari-hari dan bertindak tanpa persetujuan keluarga besarnya. Yang kulakukan tergolong tindakan lancang dan nekat karena membawa nama dua pihak keluarga besar. Namun hutangku terhadap Vina harus segera kulunasi apapun risikonya. Jurnalis telah bersedia merahasiakan identitasku sebagai narasumber supaya aku nggak dilaporkan pakai pasal pencemaran nama baik.

"Ran, Ran!"

Kulihat Ko Barra keluar dari ruangannya menuju kubikelku.

"Kita ada budget seratus lima puluh juta minggu ini. Kamu atur supaya hutang-hutang kita ke supplier bisa kecicil rata. Utamakan supplier yang paling sering jadi langganan kita, biar nggak kapok ngirim barang lagi." Dia menyandarkan lengannya di atas kubikel sambil mengamati Mamet yang masih bermata sembap. "Kenapa, Met? Abis diputusin cewekmu?"

Aku mengulum senyum mendengarnya.

"Abis baca berita yang nyayat hati, Ko. Bikin mood saya nggak karu-karuan."

Ko Barra melihatku. "Ngomong apa sih dia?"

"Artikelnya udah dirilis, Ko. Beritanya juga ada di TV." Aku lupa memberitahunya tadi pagi saat perjalanan ke kantor karena dia sibuk membahas situasi lapangan dengan Sanu di telepon.

"Serius kamu?" Matanya berbinar.

Dia orang pertama yang kuberitahu tentang rencana dan keinginanku untuk membuat gaduh kasus Vina. Aku pernah melakukannya meski dalam skala kecil dan langsung diredam oleh LBH. Saat itu mereka khawatir identitas Vina terbongkar dan jadi santapan publik. Dulu aku percaya bahwa sorotan berlebihan terhadap korban dapat berakibat buruk bagi kondisi mental serta nama baik keluarga. Dulu aku sangat naif lantaran nggak pernah bertanya tentang apa yang Vina inginkan.

Keadilan. Dia sudah pernah mengatakannya. Aku saja yang dungu karena terlalu menganggap enteng. Seharusnya kupastikan dulu kasusnya selesai sebelum aku resign dari LBH.

Cih, semudah itu aku bicara, padahal hidupku saat itu sedang hancur juga.

"Ran, kamu serius?" Ko Barra menyentuh lenganku karena aku sempat termenung sesaat.

"Iya, Ko." Aku mengangguk.

Ko Barra mengantarku bertemu dengan jurnalis senior yang mempublikasikan artikel itu. Dia membantuku mencari kontak sang jurnalis setelah aku bercerita tentang laman berita yang sering dibaca oleh Mamet. Kubilang laman itu punya subscriber sangat banyak sehingga memudahkan berita yang dimuat jadi viral di media sosial.

Dan beberapa hari kemudian, artikel itu resmi dirilis lengkap dengan identitas pelaku, korban, kronologi kasus, serta rekaman pengadilan terakhir. Edgar turut membantuku mendapatkan rekamannya. Dia sangat merasa bersalah sehingga bersedia melakukan apapun untuk membayar kesalahannya. Bukan semata-mata demi Vina yang sudah meninggal, melainkan demi ketenangan hatinya sendiri. Atas ketulusannya itu, aku berinisiatif menutupi identitas Edgar agar keluarganya nggak terpengaruh oleh kegaduhan ini.

Sekarang kami tinggal menunggu respon masyarakat serta tanda tangan petisi terpenuhi. Jika Samuel tetap lolos dari hukum meski petisi telah menyentuh target, maka setidaknya dia sulit kabur dari sanksi sosial. Identitasnya disebarluaskan di internet dan TV. Begitu pun dengan hakim, pengacara, dan LBH yang terlibat. Aku hanya berharap kerusakan yang kutimbulkan terlalu besar hingga menyulitkan Pak Nugraha dan rekan-rekannya untuk menutupi kasus ini seperti yang sudah-sudah.

"Menurut Koko, apa saya licik?" tanyaku tiba-tiba.

Dia justru tersenyum. "Kamu gigih," jawabnya sambil mengusap kepalaku.

Itu bukan pujian baru. Aku pun menyadari kalau aku orang yang gigih. Namun ketika kata itu terucap dari bibir Ko Barra, jantungku malah berdegup kencang. Perasaan hangat menjalari dadaku, menyebar ke setiap pori-pori. Mendengar apresiasi darinya selalu terasa istimewa dan membanggakan.

"Apa ini?"

Kami kompak menoleh ke arah Mamet yang sedang menyandarkan kepalanya di atas satu tangan. Dia balik memerhatikan kami bergantian, terutama pada lokasi di mana tangan Ko Barra berada.

"Sejak kapan kontak fisik antar lawan jenis yang berstatus-" Kami ditunjuk bergiliran. "-bos dan karyawan jadi hal normal di kantor ini? Ko Nigel nggak pernah lho elus-elus kepala saya. Ci Pan apalagi. Apa ini bentuk modus baru?" Dia menegakkan tubuh dengan raut serius. Kursiku tahu-tahu ditariknya mendekat, meninggalkan tangan Ko Barra yang terkepal di udara.

Kini Mamet berdiri di antara kami.

"Jangan Rani, Ko. Please, dia perempuan baik-baik!"

Jika aku nggak salah melihat, Ko Barra hampiiiir saja memukul Mamet dengan tinjunya. Tapi nggak jadi. Alih-alih menjelaskan, dia justru mengambil langkah lebar untuk kembali ke ruangannya sendiri. Plus, membanting pintu, tentu saja.

Kusilangkan kaki sambil melipat tangan di depan dada.

"Met, kamu begini karena kebawa perasaan abis baca kasus Vina?" tanyaku.

Dia menoleh sembari menyandarkan pinggulnya di pinggir mejaku. "Kata mamaku, aku ini mudah berempati sama bersimpati ke orang. Nggak sekali-dua kali aku kena tipu gara-gara modus kasihan." Rekanku itu mengamatiku lamat-lamat. "Kamu nggak diapa-apain Ko Nigel, 'kan, Ran?"

Kepalaku sontak menggeleng. "Yang kuizinin buat ngelus kepalaku cuma dia. Jadi jangan khawatir."

Dia mengangguk mengerti, tapi kemudian melihatku lagi. "Kenapa gitu?"

Aku mengedikkan bahu. "Udah biasa aja."

"Udah biasa, katamu?" Dia hampir memekik dengan mata melotot. "Ran, aku ketinggalan apa? Kukira kamu deket sama Ko Edgar aja, ternyata sama Ko Nigel juga? Sejak kapan? Kenapa aku nggak merhatiin? Dua-duanya mau kamu embat? Atau kamu jadi taruhan, ya? Mereka berdua mirip kucing sama anjing kalau udah berebut proyek. Jangan-jangan kamu dijadiin obyek rebutan?"

Rentetan pertanyaan dari mulut Mamet membuatku menutup telinga. Serius, risi banget ditanya bertubi-tubi begitu. Terkadang aku lupa kalau Mamet ini juga butuh hiburan selama di kantor. Bayangin aja, di sini cuma ada berapa orang, sih?

Ko Barra, bosnya. Ci Pan, tangan kanan bos. Mustahil mereka diajak ngerumpi, padahal kegiatan itu udah jadi kebutuhan primer kacung seperti kami sebagai bentuk sosialisasi. Lalu ada Ijonk, tapi obrolan kami sering nggak nyambung. Para pengawas lapangan nggak termasuk karena mereka lebih banyak di luar ketimbang di kantor. Jadi hanya tinggal aku dan Mamet saja. Sebisa mungkin kebutuhan primer kacung harus terpenuhi meski cuma berdua.

"Sejujurnya aku juga nggak tahu kami ini sebenarnya apa," ujarku memulai.

Ekspresi Mamet makin dramatis. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Persis aktris sinetron yang baru tahu kalau suaminya selingkuh sama pembantu mereka.

"Kami maksudmu itu, kamu sama Ko Nigel atau Ko Edgar?"

"Sama Ko Edgar murni berteman aja."

"Astaga!" Mamet menggapai kursinya sendiri lalu duduk dekat denganku agar bisa bisik-bisik. "Kalau ini gara-gara kamu baper sama candaan para pengawas yang suka jodohin kalian-"

Aku buru-buru menggeleng. "Semuanya kayak natural aja, Met."

"Dia belum nembak?"

Pipiku memanas, tapi aku masih sanggup menggeleng. Dadaku berdebar nggak karuan membayangkannya.

"Seandainya dia nembak, kamu terima?"

Lagi-lagi aku menggeleng.

"Lah, kenapa?" Bahu Mamet merosot. "Tega kamu bikin sedih Ko Nigel? Meski badannya udah kayak tukang pukul begitu, hatinya soft, Ran. Aku pernah lho liat dia nangis gara-gara nguburin mayat kucing korban tabrak lari. Dibelain, Ran, melipir buat ngebungkus mayatnya pake blazer. Mana itu blazer bukan sembarang blazer. Gajiku sebulan ada kali. Ini out of topic, sih." Mamet nyerocos panjang lebar. "Tapi biar kamu tahu Ko Barra itu hatinya selembut apa. Alus banget aslinya. Jadi kamu jangan PHP, dong. Kenapa tuh kamu mau dielus-elus kepalanya tapi nggak mau nerima cintanya seandainya dia nembak?"

Aku mengedikkan bahu. "Nggak tahu, Met. Mungkin aku yang kepedean atau salah nafsirin sikap baiknya selama ini."

"Alaaah! Jangan naif, deh! Perempuan itu punya intuisi. Pasti ada kecurigaan lah mana cowok yang naksir, mana yang cuma sekedar tebar pesona."

Kalau sudah terlanjur basah begini, mulut Mamet susah dikontrol. Aku mulai merasa sesak oleh pertanyaan-pertanyaannya yang menyudutkan. Kami beringsut ke tempat masing-masing setelah Ko Barra keluar dari ruangannya. Siang ini dia ada jadwal visit ke lokasi proyek Sanu.

"Saya balik agak sore," ujarnya padaku. Aku mengangguk. Artinya, dia ingin aku menunggu supaya kami bisa pulang bersama. "Met, ikut saya! Biar nggak internetan terus aja kerjanya di kantor!" lanjut Ko Barra sebelum menuruni tangga.

Mamet menggerutu saat membereskan barang-barangnya.

"Saya tunggu di parkiran, Met!"

Seruan Ko Barra terdengar lantang sampai lantai dua.

***

Ci Pan datang ke kantor beberapa jam setelah Ko Barra dan Mamet pergi. Dia membawa Olly turut serta. Beberapa bulan tak bertemu membuatku pangling dengan bayi gembul dalam gendongan Ci Pan.

"Babysitterku baru resign, kayaknya mulai hari ini aku sering bawa Olly ke kantor. Nggak ada yang jaga di rumah." Ci Pan berujar murung. "Kira-kira Nigel masalah nggak ya, Ran?"

"Mana saya tahu, Ci?" Aku mengambil alih Olly dari gendongan Ci Pan. Kuciumi pipinya yang mirip kue mochi dan berbau wangi. "Bikin ruangan khusus buat Olly aja, Ci. Banyak kubikel kosong, 'kan?"

Ci Pan melihat sekeliling.

Sambil menimang-nimang Olly, aku meneruskan. "Ko Barra suka anak kecil, kok. Kayaknya dia justru kesenengan kalau ada Olly di kantor." Aku merasa yakin karena sering melihat interaksi Ko Barra dengan Kaif. Dia orang yang amat penyabar, terutama pada anak kecil yang menangis. Lelaki itu selalu punya cara untuk menghibur anak-anak.

"Kamu tahu dia suka anak kecil?"

Aku mengangguk. "Kami tetanggaan. Ko Barra sering main sama adik saya, si Kaif. Malah dia lebih lengket sama Ko Barra ketimbang sama saya." Lagi-lagi aku menciumi Olly karena gemas. Bayi itu tertawa lucu. Kalau sudah begini, aku jadi ingin punya bayi juga. "Biar Olly tiap hari di sini aja, Ci. Kalau saya lagi longgar, pasti saya bantu jagain. Buat sementara. Nyari babysitter yang cocok sama Cici 'kan butuh waktu nggak sebentar. Gimana?"

"Coba nanti aku tak diskusi sek sama Nigel, sama papanya Olly juga. Di mana nih cocoknya ruangan buat Olly?"

Selama sisa hari itu kami gunakan untuk merencanakan ruang bermain untuk Olly di kubikel kosong. Saat Ko Barra kembali, Ci Pan segera mengajaknya berdiskusi sebentar di ruang rapat, sedangkan Mamet langsung pamit pulang karena sudah kesorean. Dia harus menjemput pacarnya pulang kerja.

Rasanya baru sebentar aku dan Olly bersama, karena ketika Ci Pan meminta kembali putranya, ada perasaan tak rela yang menyelimuti hatiku.

"Besok ketemu Ci Rani lagi, ya!" Ci Pan menirukan suara Olly yang terus menggenggam jari kelingkingku. Kode itu kuartikan sebagai persetujuan Ko Barra menerima Olly di kantor selama Ci Pan mencari babysitter baru.

"Dadah, Olly! Besok kita main lagi!" Sekali lagi kuciumi pipinya yang montok sembari melepas jariku darinya. Lambaianku mengantar kepergian mereka.

"Besok dia ke sini lagi, nggak usah sedih." Ko Barra sudah berdiri di belakangku sepeninggal Ci Pan dan Olly.

Aku menghela napas panjang. Baru semenit ditinggal, aku sudah rindu pada Olly. Seandainya Kaif lebih muda dari usianya sekarang, aku bisa menimang-nimangnya seperti tadi.

"Ayo, pulang!" Ko Barra membawakan tasku dari meja.

"Ko, apa saya minta adik lagi aja ya ke Bu Manda?"

Ko Barra tertawa rendah. "Kenapa nggak kamu aja yang ngasih keponakan buat Kaif?"

Pipiku memanas. Mengapa aku menanyakan hal absurd? Jelas-jelas Bu Manda baru saja kehilangan ayah, masa aku berandai-andai punya adik baru darinya?

"Maaf, saya kesorean. Banyak yang perlu dibahas dengan Sanu." Kami berjalan beriringan menuruni tangga. "Gimana sama supplier?"

"Udah beres, Ko. Beberapa masih pending gara-gara kena jam limit transaksi. Besok pasti masuk."

Kami bertemu Ijonk yang sedang mengepel lobi.

"Duluan, ya, Jonk!" Ko Barra melambai, kemudian meletakkan tangannya di belakang punggungku. "Hati-hati, lantainya basah," ujarnya lirih sehingga cuma aku yang mendengar.

Aku mengangguk tanpa berani mendongak karena aku sadar betul seberapa dekat Ko Barra berjalan di belakang. Bau parfumnya membelai hidungku. Padahal seharian dia berada di luar, kenapa wanginya awet sekali?

"Hati-hati di jalan, Pak Barra, Mbak Rani!" seruan Ijonk terdengar ketika kami keluar dari kantor. Dia sering melihat kami datang dan pulang bersama, namun nggak pernah menanyakan apa-apa. Baginya, kebersamaanku dan Ko Barra merupakan hal normal saja.

Bau Olly masih tertinggal di bajuku bahkan saat kami sudah di perjalanan. Aku mengendus-endus diriku sendiri lalu tersenyum karena mengingatnya.

"You seem happy."

"Habis ketemu Olly," jawabku jujur. "Dia lucu, Ko. Mata sama hidungnya kecil, tapi pipinya ke mana-mana." Aku membuka gallery di ponsel untuk menunjukkan beberapa foto yang kuambil bersama Olly.

"Kirim aja, Ran. Biar saya bisa lihat sekecil apa hidung sama matanya."

Aku melakukannya dengan senang hati. Sepuluh -ah, tidak, maksudku lima belas fotoku dengan Olly kukirim ke kontak Ko Barra. Bunyi notifikasinya terdengar. Dia memeriksa begitu kami berhenti di lampu merah.

"Ran," panggilnya saat mobil kembali berjalan.

"Hmm?" Tanganku masih sibuk menggulir foto di gallery.

"Menurut kamu laki-laki yang ideal itu seperti apa?"

Aku mengunci layar dan meletakkan ponsel di atas pangkuan untuk fokus pada pertanyaannya. "Ideal sebagai apa, Ko?"

"Pasangan hidup."

Aku memikirkan jawabannya sesaat. "Yang ... mau menerima saya apa adanya?"

Dia mengernyit. "Itu saja?"

"Terdengar simpel memang. Tapi saya udah nggak mau lagi diintimidasi, mengalami kekerasan verbal, apalagi fisik hanya karena nilai diri saya kurang di mata laki-laki yang menyukai saya." Aku tersenyum getir. "Hal yang sederhana bagi orang lain bisa saja sangat istimewa bagi saya yang belum pernah mendapatkannya."

"Saya nggak mengerti kenapa kamu menilai diri kamu sesederhana itu." Dia menoleh sekilas.

Aku ingat dia pernah menyebutku sebagai permata berkilau. Tentu saja kami nggak sepakat mengenai itu. Pantas jika dia belum mengerti apa yang kumaksud.

"Oke, pertanyaannya saya ganti. Jika ada laki-laki yang tulus menyukai kamu saat ini, apa yang kamu nilai darinya sehingga kamu bisa memutuskan kalau dia ideal untuk jadi pasangan hidup kamu?" Ko Barra kembali bertanya.

"Laki-laki yang sudah melihat bagian terburuk dalam diri saya tapi masih memutuskan untuk tetap tinggal tanpa dipaksa. Bagi saya, dia sempurna," jawabku setelah cukup lama menimbang-nimbang untuk mengatakannya. "Definisi lain dari menerima saya apa adanya."

"Sudah ada yang masuk kriteriamu?"

"Sudah." Kulihat dia mengetukkan telunjuk beberapa kali di atas kemudi, pertanda kalau dia sedang memikirkan sesuatu. "Kenapa Koko menanyakan ini?"

"Saya ingin tahu apakah saya masuk kriteriamu atau tidak."

Pandanganku kembali fokus ke jalan. Aku agak kesulitan menelan ludah karena perasaanku saat ini agak meletup-letup. Memangnya aku bisa berharap? Perempuan sepertiku ini diperbolehkan berharap?

Seperti kata Mamet, intuisi perempuan kadang kuat. Aku termasuk yang demikian karena dulu sempat bertanya-tanya tentang bentuk perasaan Ko Barra terhadapku. Diam-diam aku mengamatinya, tapi nggak kunjung mendapat kesimpulan. Aku hanya menyadari bahwa dia menarik dan menjadi standar terbaik jika aku ingin membandingkannya dengan laki-laki lain.

"Koko nggak penasaran siapa orang yang saya maksud?" tanyaku hati-hati.

"Saya takut orang itu Edgar. Jadi saya menahan diri untuk bertanya."

"Memangnya kenapa?"

"Setelah dia mengambil semua karyawan dan klien perusahaan, masa saya harus berkompetisi lagi dengan dia?" Dia balik bertanya setengah mendengkus.

"Dan kalau bukan?"

Dia kembali mengetukkan telunjuk di atas kemudi. "Berapa persen kemungkinan buat saya, Ran?"

Kali ini aku sengaja mengulur waktu untuk menjawabnya.

"Rani?" Ternyata dia mulai nggak sabar.

"95%," jawabku singkat.

Keheningan dalam mobil agak menyesakkan. Kurasa hanya aku yang merasakannya.

"Ke mana 5%-nya?"

Kupertahankan pandanganku tetap lurus pada jalan, seperti dia. "Kata Mamet, itu batas toleransi kesalahan di dunia teknik sipil. Saya cuma ingin hati-hati, makanya saya jadikan patokan sebelum mengambil keputusan."

Setelah lama terdiam, akhirnya Ko Barra kembali bersuara. "Saya bingung harus memukul Mamet atau berterima kasih sama dia besok pagi."

Jantungku melompat-lompat ketika dia meraih tanganku dan mengecupnya.

"I think we should have a proper date. (Kayaknya kita perlu kencan yang layak)" Ide itu tercetus begitu saja dari mulutnya.

Dan semudah itulah aku jatuh cinta.

***

.

.

.

Hari jadiannya terhitung sejak kapan nih, Ko?

So, seperti yang kubilang jauh-jauh hari. Cerita yang ini kisah cintanya nggak meledak-meledak. Termasuk slow burn kayaknya. Si Female Lead bahkan nggak nyadar sejak kapan mereka pacaran. Oh, iya. Ini otewe menuju adegan di Prolog, yak. 

Cowoknya selaw, ceweknya kalem. Definisi 'jalani aja dulu'. I personally hate it kalau itu terjadi di aku sendiri. Siapa sih yg suka digantung? Maunya dapat kejelasan hubungan as soon as possible. Ujung-ujungnya kayak hubungan tanpa status nggak, sih? Ntar seenak udelnya pergi kalau udah ngerasa ga cocok. Pake alasan, kan kita nggak pernah pacaran. Hilih kintil. Buaya jadi-jadian. Buaya juga aslinya ga rela kalau disamain.

Terus kalian nanya deh, kenapa dong authornya bikin konsep adegan begini di part ini?

Ya nggak tau. Otakku nyuruh nulis begitu. Bagiku sih manis aja meski nggak meledak-ledak confessionnya. Lagipula Ko Barra kugambarkan sebagai sosok malaikat berkepala botak. Rani sukanya cowok yang kayak gitu. Peningkatan selera sejak terjerat cinta mantan asu.

Astaga, kayaknya aku kudu ngurang-ngurangin ngedumel, dah. Bikin keriput aja.

See ya next week, folks!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top