24 - {BESTFRIEND RIVALRY}
Ada yang rindu, tak?
***
Aku menerima undangan makan siang Edgar di restoran yang sama dengan tempat reuniku kemarin. Waktunya serba nanggung karena dia baru bebas kegiatan pukul tiga sore. Berhubung aku ingin berterima kasih padanya, jadi kuturuti saja.
Pelayan restoran menyiapkan sebuah meja khusus di sebuah gazebo yang memiliki pemandangan outdoor terbaik di sana. Ketika aku tiba, Edgar menyambutku dengan sebuket bunga mawar. Lelaki itu benar-benar berusaha untuk mengesankanku.
"Gimana makanannya?" tanya Edgar setelah aku menyeka ujung bibir dengan serbet.
"Semuanya enak," pujiku tulus. "Ingin saya habiskan, tapi perut saya udah nggak muat." Kuamati sisa makanan di piring-piring di hadapan kami. Sayang sekali jika makanan sebanyak ini dibuang. Kalau ada Ko Barra, pasti semuanya tandas nggak bersisa.
Edgar terkekeh. "Nanti saya bungkusin, deh."
"Makasih, Ko. Berkat undangan Ko Edgar, saya jadi bisa nyoba menu di sini. Saya cuma sempat minum jus jeruk waktu reuni kemarin."
"Padahal tujuan saya rekomendasiin tempat ini ke temen-temenmu supaya kamu nyoba makanannya." Dia pura-pura cemberut.
"Rugi dong udah ngasih diskon?"
Kali ini dia tergelak. "Mau gimana lagi, sudah terlanjur! Untung kakak saya baik, jadi nggak diomelin waktu ngasih diskon tanpa konfirmasi."
Aku merasakan keakraban yang familier dengan Edgar. Nggak seperti peringatan-peringatan yang pernah dikatakan oleh Mamet, Ci Pan, dan Ko Barra, aku melihat Edgar sebagai seseorang yang penuh persahabatan. Dia membantu Vina atas inisiatifnya sendiri. Dia juga memperlakukanku dengan baik meski tahu masa laluku dengan Gandhi dan Alana yang notabene adalah kenalannya.
"Ko Edgar kenal Alana dari Pak Nugraha, kalau Mas Gandhi bagaimana?" Kutanyakan hal yang paling membuatku penasaran sejak aku bertemu dengannya di resepsi.
"Gandhi ..." Edgar nampak sedang mengingat-ingat. "-dia advokat di firma hukum milik teman papa saya. Kami pernah ketemu beberapa kali karena saya diharuskan Papa bergaul dengan orang-orang seperti mereka. Ada benefitnya. Saya kenal banyak advokat yang akhirnya jadi rekan bisnis. Mereka beli properti lewat saya." Lelaki itu menuangkan segelas air untukku. "What's your story?"
"Tentang apa?"
"Anything. Oh, especially about Vina. Bagaimana kamu menyelamatkannya?"
Kuulur waktuku untuk menjawab dengan menghabiskan segelas air yang baru dituangkan olehnya. "Vivi menghubungi saya lewat media sosial," ujarku memulai. "Dia minta bantuan untuk mencari kakak kembarnya yang nggak pulang berhari-hari. Vivi curiga kalau kakaknya sedang bersama pacarnya. Singkatnya, saya bersedia dan mulai penyelidikan mandiri. Vina kami temukan di rumah pacarnya dalam keadaan-" Aku menelan ludah. Mengenang kondisi saat Vina ditemukan nggak pernah terasa mudah bagiku.
"Gimana caramu menemukan dia, sedangkan keluarganya saja nggak bisa?"
"Saya orang yang gigih, Ko." Aku mengedikkan sebelah bahu. Menemukan Vina lebih sulit dari yang coba kusampaikan. Aku harus bertanya ke semua orang lalu berakhir diusir, mendatangi banyak tempat, serta menguntit teman-teman Samuel dan keluarganya. Karena terganggu dengan kemunculanku yang konsisten hampir tiap hari, orang tua Samuel murka padaku. Pada akhirnya mereka lah yang malu dan ujung-ujungnya amat membenciku.
"Saya bisa lihat kalau kamu memang seorang yang gigih." Edgar tersenyum. "Apa kamu akan datang ke sidang besok?"
Aku menggeleng. "Lebih baik saya nggak datang. LBH sudah mewakili saya."
"Seenggaknya kehadiranmu bisa memberi keluarga Vina dukungan moral."
"Mereka lebih butuh keadilan daripada dukungan saya." Aku tersenyum getir.
Edgar meraih tanganku yang berada di atas meja lalu menggenggamnya. "Kita doakan saja pengacara saya mampu memenangkan kasus ini."
Meski aku mengangguk, aku tetap menarik tanganku perlahan darinya. Sentuhan fisik kami terasa begitu ganjil dan membuatku nggak nyaman. Tangannya nggak sehangat Ko Barra. Aku tahu mereka berbeda, tapi entah mengapa hal itu malah membuatku rindu dengan kedekatan fisik kami.
"Saya lihat kamu betah kerja di kantor Nigel," ujarnya mengalihkan topik. "Saya lupa mengucapkan selamat karena kalian menang tender Inti Karya kemarin."
"Ko Edgar nggak kelihatan kecewa."
Dia mengibaskan tangan sekilas. "Saya nggak terlalu minat sama tender sipil. Itu keahliannya Nigel. Saya berencana menang di tender verdant garden."
Aku mengangguk karena sudah menduganya.
"Kamu serius nggak tertarik dengan tawaran saya yang waktu itu?"
"Yang mana?" Dahiku berkerut.
"Saya menawarkan kamu kerja di perusahaan saya."
"Tanpa tahu latar belakang saya?" Aku tersenyum. "Tawaran itu nggak pernah saya pikirkan karena saya mengira Ko Edgar melakukan itu untuk membuat Ko Barra kesal."
Dia tertawa kecil. "Awalnya memang iya. It's fun watching him sulking. Tapi sekarang saya serius. Saya butuh orang yang gigih seperti kamu."
"Banyak yang lebih gigih dari saya di luar sana. Lagipula, saya gigih karena ada alasannya. Gigih satu-satunya kemampuan yang saya punya. Saya nggak punya pengalaman di bidang ini karena saya cuma lulusan SMP. Kerja di LBH kemarin pun atas rekomendasi Alana." Aku memainkan sendok di piring. Ketika mengakui itu, muncul rasa rendah diri dalam hatiku.
"Saya mengerti," ucap Edgar akhirnya. Dia nampak memikirkan sesuatu. "Apa ini artinya kamu juga ingin saya berhenti mengirim bunga untukmu ke kantor?"
"Saya sangat berterima kasih atas bunga-bunga yang pernah Ko Edgar kasih. Pagi saya biasanya nggak semenyenangkan waktu saya dapat bunga," ujarku terus terang.
"Lalu kenapa kamu mau saya berhenti?"
"Saya nggak mau ngasih harapan. Tapi saya janji akan tetap membalas budi atas bantuan Ko Edgar meminjamkan Vina pengacara."
Lelaki itu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kamu nggak perlu merasa berhutang budi. Ini penebusan saya, remember?" Kulihat rautnya agak sedih. Entah karena penolakanku yang blak-blakan atau karena aku mengungkit masalah penebusan dosanya.
"I really like you," ungkapnya sambil menghela napas berat. "Asal kamu tahu, saya orangnya nggak gampang jatuh hati sama orang baru. But something about you ..." Dia geleng-geleng kepala seolah sedang menyayangkan sesuatu. "Nggak usah dipikirkan, Ran." Kali ini dia menyunggingkan senyum kecil untuk menutupi kekecewaannya. "Kita masih bisa berteman, 'kan?"
Aku mengangguk tanpa ragu.
***
Ko Barra selalu mencuci mobil sendiri setiap hari Minggu. Aku hafal kebiasaannya, jadi nggak mengejutkan bertemu dengannya di jam-jam ini. Dia tentu mengenali mobil Edgar. Buktinya, lelaki itu langsung menegakkan punggung saat kami berhenti di depan rumahku. Ketika melihatku turun dari mobil sambil memeluk buket bunga mawar oranye pemberian Edgar, mata Ko Barra yang monolid itu makin menyipit. Edgar turun menyusulku. Mungkin untuk mencari gara-gara.
Ko Barra mengarahkan selang airnya ke arahku. Awalnya kukira begitu. Sampai kudengar Edgar memekik di belakangku. Ketika aku menoleh, bagian depan tubuhnya sudah basah kuyup karena ulah Ko Barra.
"Nigel!" Bu Agatha ikut memekik dari belakang Ko Barra. Beliau menghampiri kami setelah menarik salah satu janggut kembar putranya. "Kenapa nyiram Edgar, sih? Kayak anak kecil aja!"
"Ayi!"
Di luar dugaan, Edgar langsung merengek pada Bu Agatha. Aku sampai mematung di tempat. Sangat mengejutkan melihat interaksi mereka ternyata lebih akrab dari yang kubayangkan. Bu Agatha menggunakan lengan dasternya untuk mengeringkan wajah Edgar yang basah.
"Ayo, ganti di dalam! Kamu juga basah, Ran?" tanya Bu Agatha padaku.
Aku menggeleng. Bidikan Ko Barra cukup akurat hanya mengenai Edgar saja.
Bu Agatha langsung menggiring Edgar masuk ke rumah setelah sekali lagi memberi pelajaran pada Ko Barra lewat cubitan di pinggang hingga bosku mengaduh. Aku sempat melihat senyum licik Edgar di balik tubuh Bu Agatha. Tawaku pecah seketika.
"Jadi seharian kamu sama Madagaskar?" tanya Ko Barra sepeninggal tamu dan mamanya. Dia masih mengusap-usap bekas cubitan Bu Agatha.
Aku mengangguk tanpa menutupi senyumku. "Makan siang bareng, terus dia nawarin buat nganter saya pulang."
"Kamu benar-benar suka orang seperti dia?"
"He's nice." Aku menikmati rautnya yang masam sejak melihat kami datang. "As a friend," imbuhku. "Koko ingat tentang orang yang saya curigai jadi pengirim paket bangkai binatang yang waktu itu?"
Dia mengangguk.
"Ko Edgar meminjamkan pengacara untuk kami. Sidangnya besok lusa."
"Apa hubungan Edgar dengan kasus itu?" Dia mengernyit.
"Ceritanya panjang. Kami membicarakan perkembangan kasusnya sambil makan siang. Jadi Koko jangan khawatir, Ko Edgar nggak berniat macam-macam sama saya."
Dari ekspresinya, aku tahu kalau dia nggak menerima jawabanku barusan.
"Dia udah janji nggak akan mengirim bunga untuk saya lagi." Kutunjukkan bunga yang kubawa padanya. "Ini yang terakhir."
"Bukan urusan saya juga," gerutunya.
Aku pura-pura nggak dengar. Kuberikan bungkusan makanan yang sengaja kupesan untuk untuknya sebagai oleh-oleh. "Waktu makan saya ingat Koko. Buat icip-icip sama Bu Aga, ya, Ko?"
"Lagi makan sama laki-laki lain, kenapa malah ingat saya?" Ko Barra menerima bungkusan itu dan mengintipnya. "Tapi, makasih."
"Rasanya enak tapi saya nggak bawa banyak. Jangan dihabisin sendiri! Dibagi sama Bu Aga, lho!" pesanku.
Dia mendengkus. "Memangnya saya serakus itu?" Lagi-lagi dia menggerutu.
"Koko nggak masuk?"
"Malas. Ada dia di rumah saya. Paling juga lagi ngadu sama Mama. Kebiasaan dari dulu nggak hilang-hilang, suka nganggep mama saya punya dia juga."
Aku memainkan kerikil di bawah kakiku. Seharusnya aku langsung pulang, namun tubuhku enggan bergerak. "Saya rasa Ko Edgar menyimpan penyesalan tersendiri. Tentang Koko sama Ci Pan."
"Edgar?" tanyanya memastikan. "Menyesal?" ulangnya tak percaya.
"Dia nggak seburuk yang Koko pikir."
"Oh, Rani. Jangan naif dulu. Kamu baru kenal dia berapa lama? Saya dan Pandora mengenalnya hampir seumur hidup kami. Dia nggak pernah tulus."
Aku mengangguk. "Ya, mungkin saya yang naif." Kuamati kelopak bunga dalam buket yang kupeluk. "Sewaktu dia menawarkan diri untuk meminjamkan pengacara, awalnya saya sempat curiga. Terbersit juga pikiran untuk menolak mentah-mentah tawarannya karena saya ingat apa yang Koko katakan tentang dia. Sampai dia menceritakan alasannya." Kata demi kata yang diucapkan Edgar tentang masa lalu dengan mantan pacarnya terulang kembali di benakku. "Kalau Ko Edgar sengaja mengarang cerita demi mendapat simpati saya, maka dia keterlaluan," lanjutku setengah bergumam.
Kemudian aku menatap Ko Barra. "Meski menurut Koko dia orang yang manipulatif, saya yakin dia orang yang jujur. Mungkin ada sebabnya dia memutuskan berpisah dengan Koko dan Ci Pan."
"Of course, dia terlalu ambisius," sahut Ko Barra setengah mendengkus.
"Atau dia merasa dibayang-bayangi oleh Koko?" gantungku.
Kali ini Ko Barra balik memandangku.
"Cuma dugaan. Sekali lagi, mungkin saya yang terlalu naif," sambungku seraya mengulum senyum. "Saya masuk duluan, Ko. Jangan lupa, makanannya dibagi sama Bu Aga."
Ketika aku hendak berbalik, Ko Barra memanggil namaku.
"You look pretty today," pujinya sambil memalingkan muka dan menggosok ujung hidungnya sekilas.
"Thank you." Aku melihat penampilanku sendiri dari atas. "Ini baju baru. Dibelikan sama Ibu dan Kaif kemarin," tunjukku pada gaun selutut motif bunga-bunga berbahan katun yang kukenakan.
"Bukan cuma bajunya. Kamu juga."
Aku nggak bisa menutupi senyumku hari ini. Ko Barra selalu tahu cara mengembalikan rasa percaya diriku. "Apa boleh make baju yang kayak gini ke kantor?"
"Senyamanmu saja. Kenapa memangnya?"
"Biar bisa dengar Koko muji saya tiap hari," jawabku sebelum berbalik dan kembali ke rumah. Sebenarnya aku hanya bercanda waktu menanyakan itu. Aku masih bisa membedakan mana pakaian yang pantas dikenakan untuk bekerja dan mana yang enggak.
***
Telapak tanganku berkeringat sejak pagi.
Ini hari persidangan. Mataku nggak berhenti mengecek jam dinding setiap beberapa menit sekali. Jantungku serasa naik ke kerongkongan dan aku nggak bisa duduk tenang. Notifikasi pesan yang kutunggu-tunggu nggak juga datang.
Apa sidangnya belum selesai?
"Ran?" Dinding kubikelku diketuk oleh seseorang. Ketika aku menoleh, ternyata Sanu. Beberapa minggu belakangan dia bertugas di kantor karena ditunjuk sebagai person in charge proyek Inti Karya.
"Iya, Pak?" Usia Sanu ternyata nggak jauh berbeda denganku, namun aku tetap memanggilnya Pak agar hubungan profesional kami di tempat kerja tetap terjaga. Lagipula aku belum seakrab itu dengannya jika ingin memanggil nama seperti aku dengan Mamet.
"Pengajuan saya ditolak sama Nigel." Dia memberiku selembar form yang berisi pengajuan dana operasional. "Tolong bilangin ke dia kalau saya ngambil pekerja lepas baru, jadi harus ada penyesuaian biaya operasional."
Kulihat form itu belum ada coretan apapun. Biasanya Ko Barra akan menulis sesuatu di sana jika memang ditolak. "Alasannya ditolak apa, Pak?"
Sanu terkekeh. "Sebenarnya belum saya ajukan. Kamu aja, deh. Sama saya pasti ditolak. Dia paling sensitif kalau tentang tambahan-tambahan biaya gitu."
"Oke, nanti saya sampaikan. Pak Sanu mau langsung ke site?"
Dia mengangguk. "Ada kiriman material, nggak ada yang ngecek di lapangan. Harus saya sendiri." Sanu memasang helm proyek di kepalanya. "Duluan, ya. Nanti kabari saya perihal pengajuannya," pesannya sebelum pergi.
Ding.
Itu notifikasi pesan masuk. Aku buru-buru membukanya sampai membuat Mamet yang sejak tadi memperhatikanku keheranan.
From: Unknown
Hei, Ran. Ini Leo. Ada wktu Sabtu bsk?
Aku mendesah kecewa. Itu bukan kabar yang kutunggu.
"Nungguin telepon dari Ko Edgar?" Mamet mengangkat sebelah alis.
Aku mengangguk. "Lagi nunggu kabar, Met."
Dia geleng-geleng kepala. "Ran, kamu nggak pengen pikir-pikir ulang? Daripada Ko Edgar, apa nggak mending cari cowok lain?"
Aku menatapnya bingung. "Cuma dia yang bisa bantu, Met."
"Di dunia ini cowok nggak cuma satu kali, Ran. Kecuali aku, ya. Jangan jatuh cinta sama aku soalnya udah taken."
Bahuku merosot lantaran baru mengerti maksud pertanyaan Mamet sejak tadi. "Kamu kira aku nungguin kabar Ko Edgar gara-gara itu?"
Mamet mengangguk. "Seharian kuperhatikan kamu kayak orang linglung. Sering lihat jam. Waktu pulang masih tujuh puluh menit lagi." Rautnya berubah jutek.
"Met, ini nggak kayak yang kamu pikir!"
Ponselku berdering. Nama Edgar tertera di layar. Aku buru-buru meraih ponsel di meja dan mengangkat panggilan darinya.
"Hallo? Gimana, Ko? Udah selesai?"
Hening di seberang.
"Ko Edgar?" Aku harus mengecek sinyal demi memastikan kalau sambungan kami nggak terputus. "Bisa dengar saya, Ko?"
"Rani," Ia menghela napas berat ketika menyebut namaku. "I'm so sorry."
Kusandarkan punggungku ke kursi karena degup jantungku meningkat menyakitkan. "Kita ... kalah?"
"Maafin saya, Rani."
Kupaksakan sebuah tawa yang malah terdengar pahit bahkan oleh telingaku sendiri. "Dia nggak mungkin bebas dari segala tuntutan, 'kan?" Satu-satunya kalimat yang kudengar dari Edgar hanyalah permintaan maaf. Aneh. Untuk apa dia minta maaf padahal keputusan hakim di luar wewenangnya?
Kuakhiri panggilan karena aku nggak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Aku ingin menghubungi Vivi atau ayah mereka, namun jemariku membeku tiap kali aku hampir menekan tombol panggil. Kuletakkan kembali ponselku di meja.
Bagaimana bisa Samuel dibebaskan setelah apa yang dia perbuat pada Vina?
"Nggak adil," gumamku.
Mamet yang mengerti perubahan suasana hatiku cukup tahu diri untuk nggak bertanya macam-macam.
***
"Ini Vina, Kak."
Nomor yang menghubungiku merupakan nomor telepon rumah sakit tempat dia dirawat. Aku nggak terkejut dia menghubungiku. Sejujurnya, aku justru takut. Aku cemas dia terlalu kecewa karena putusan pengadilan hari ini sehingga aku menunda untuk meneleponnya lebih dulu.
"Kak Rani sibuk?" tanyanya ketika aku membisu.
Kuatur suaraku supaya nggak terdengar terlalu parau. "Nggak sama sekali."
"Vina kira Kakak sibuk. Maaf mengganggu malam-malam. Vina cuma pengen ngobrol. Seharian Vina mikirin Kak Rani, jadi sengaja nunggu agak malam biar nggak ganggu kerjaan Kakak."
Air mataku jauh ke pipi. Gadis ini. Dia terdengar amat tegar di saat hatiku hancur berkeping-keping untuknya. Suaraku tertahan di tenggorokan. Aku khawatir dia mendengar isakanku.
"Kakak nggak pa-pa?"
"Seharusnya Kak Rani yang nanya begitu, Vin." Kuusap kasar kelopak mataku yang basah. "Are you okay?"
"Vina baik-baik aja, kok, Kak." Ada jeda sebelum dia melanjutkan. "Kakak udah dengar putusan hari ini?"
"Iya. Kita masih bisa mengajukan banding, Vin. Kamu jangan patah semangat, ya!"
"Vina nggak sedih," sahutnya. "Apa Kakak sedih?"
"Kak Rani kecewa, Vin. Kecewa sama keadaan yang nggak berpihak sama kita." Kami sama-sama terdiam. Kudengarkan embusan napasnya yang teratur di seberang.
"Menurut Kakak, apa Samuel pernah merasakan penyesalan?"
Pertanyaannya membuatku terhenyak. Kupejamkan mata erat-erat supaya bisa membayangkan bagaimana jika Samuel benar-benar mengakui perbuatannya dan keluarganya nggak mati-matian membela.
"Itu harapan yang terlalu muluk, Kak. Maksud Vina, membayangkan Samuel mengakui kalau dia salah. Selama kami pacaran, nggak pernah sekali pun dia mengalah apalagi minta maaf. Jadi Vina ragu kebiasaannya itu berubah hanya karena kasus ini. Vina tahu dia akan dibebaskan cepat atau lambat."
"Pasti ada jalan, Vin. Kamu harus yakin."
"Ayah dan ibu pasti sudah capek, Kak. Vina kasihan melihat mereka tiap kali datang ke rumah sakit buat jengukkin Vina. Kerjaan ayah yang berantakan, ibu yang jadi gunjingan tetangga, Vivi yang pura-pura kuat padahal dia juga sama capeknya."
"Vina,"
"Mungkin memang seperti ini lah akhirnya. Harus ada salah satu dari kami yang mengalah. Keadilan buat Vina ..." Dia menghela napas berat. "-itu hal yang mustahil. Keluarga Vina sudah terlanjur hancur."
Kuusap dadaku yang ikut sakit mendengar curahan hatinya.
"Vina dengar ibu dan ayah mau bercerai," lanjut Vina lirih. "Terkadang Vina mikir, apa itu salah Vina juga?"
"Keputusan orang tuamu untuk berpisah nggak ada hubungannya dengan kamu, Vin." Sudah lama aku mencurigai retaknya hubungan orang tua si Kembar sejak kulihat mereka jarang datang ke rumah sakit bersama-sama.
"Seandainya mereka hanya punya Vivi, mungkin saat ini keluarga kami akan hidup bahagia. Vina cuma jadi beban bagi keluarga, ngerepotin semua orang, termasuk Kak Rani."
Aku nggak tahu bagaimana cara untuk menghiburnya. Jam besuk sudah berakhir. Kalau pun aku ke rumah sakit sekarang, petugas nggak akan membiarkanku masuk untuk menemui Vina. Aku ingin memeluknya dan mengatakan semua baik-baik saja. Bukan lewat telepon begini, karena aku tahu kata-kata penghiburanku akan terdengar kosong di telinga kami berdua.
"Kak Rani juga sering merasa begitu sewaktu ayahnya Kak Rani masih ada," timpalku. "Seseorang yang Kak Rani kenal pernah bilang kalau itu adalah fase hidup yang harus kita lewati. Pengalaman itulah yang akan membentuk karakter kita. Kamu kuat, Vina. Kak Rani kagum sama kamu karena kamu kuat menjalani fase ini dengan dagu terangkat. Di saat kamu sendiri sedang hancur, kamu masih mampu memikirkan orang lain. Ayah kamu, ibu kamu, dan Vivi."
"Karena hanya mereka yang Vina punya, Kak," sahutnya. Kudengar dia menghela napas berat lagi di seberang. "Makasih, ya, Kak, udah dengerin cerita Vina. I feel better now."
"Kak Rani yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih Kak Rani untuk dengerin kamu malam ini." Meski dia nggak melihatku, tetap kupaksakan sebuah senyum kecil. "Jangan putus asa, oke?"
"Vina seneng dengar suara Kak Rani. Bikin hati Vina tenang."
"Istirahat, ya, Vin. Pulang kerja besok, Kak Rani mampir. Kamu mau dibawain apa?"
"Vina lagi nggak pengen apa-apa, sih."
"Mau dibawain buku atau majalah?"
"Hmm, boleh, deh. Terserah Kakak."
"Oke, besok Kak Rani bawain majalah kesukaan kamu." Kudengar dia menguap di seberang. "Udah malem, kamu pasti capek. Tidur, gih!"
"Kakak juga istirahat, ya?"
"Oke."
"Sekali lagi, makasih udah dengerin Vina. Selamat istirahat, Kak Ran. Assalamualaikum."
Itu adalah kali terakhir aku mendengar suara Vina karena esoknya Vivi mengabariku kalau kakak kembarnya telah meninggal dunia.
***
.
.
.
Not a happy chapter, I know. Tapi seperti yang Ko Barra bilang, ini fase yang harus dilewati.
Anyway, tetap jaga kesehatan ya kalian. Lagi musim batuk pilek demam. Kasus DBD juga meningkat barengan dengan kasus omicron. Semoga musim penyakit ini cepat selesai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top