22 - {HARI TAK BIASA}
Anggap 2 bab yang diupload lebih awal ini jadi hadiah Valentine-ku buat kalian, ya ...
Vote kalau suka, ramaikan komentarnya biar aku semangat nyelesein project ini. Tolong tandai kalau ada typo.
Semoga kalian suka ...
***
Buket bunga mawar kembali dikirim pada hari berikutnya. Masih dari seseorang berinisial E. Sialnya, Ko Barra lah yang menerima pagi itu karena aku terlambat turun dari lantai dua. Saat aku tiba di meja resepsionis, Ko Barra sedang membaca pesan yang datang bersama bunga. Sekilas memang nggak sopan, tapi pesan itu amat mencolok. Tanpa disentuh pun, siapa saja dapat membacanya dengan mudah.
"You really have a boyfriend?" tanya Ko Barra tanpa tedeng aling-aling. "Someone I know?"
Aku berjalan mendekatinya untuk memastikan kalau inisial yang tertera sama seperti yang dikatakan Ijonk di telepon saat mengabariku tadi.
"Ko Edgar," jawabku. Aku nggak ingin membuatnya kecewa karena mengira aku akan pergi dari perusahaan ini mentang-mentang dirayu Edgar.
"Bunga yang kemarin juga dari dia?"
Aku mengangguk.
Dia mengusap kepalanya sekilas. "Kamu mau saya bicara dengannya?" tawarnya ragu. "Kalau kamu merasa nggak nyaman atau semacamnya."
Aku meraih pesan di tangan Ko Barra untuk kubaca sendiri. Di sana tertulis: For Your Brave Heart and Kind Soul. Jujur saja, aku terkesan. Edgar menilaiku setinggi ini. Mungkin karena dia sedang berusaha membuatku terpesona.
"Koko nggak penasaran sama hubungan kami?" tanyaku tanpa mengangkat kepala dari pesan yang kubaca berulang-ulang. Sebenarnya aku lebih mempertanyakan kepercayaan dirinya tentang aku yang merasa nggak nyaman dengan perlakuan Edgar, meski itu benar.
Ko Barra mendengkus. "Dia bukan tipemu," jawabnya santai.
Akhirnya aku mendongak.
Dia balik menatapku. "Atau dia tipemu?" tanyanya dengan alis bertaut.
"He's just being kind." Aku mengambil buket bunga di atas meja resepsionis supaya bisa kubawa ke atas.
"Kamu ingat kata-kata saya yang waktu itu, 'kan?" Dia menyusulku menaiki tangga.
"Ingat. Ko Edgar nggak bisa diajak berteman dengan tulus."
Ko Barra memanjat dua anak tangga sekaligus agar bisa beriringan denganku. "Jadi teman saja nggak tulus, apalagi jadi pacar!"
"Ko, ini di kantor, lho. Masa mau bahas urusan pribadi?" Aku kesulitan mengulum senyum. Dia terdengar seperti orang yang sedang cemburu. Kecurigaan itu kusimpan rapat-rapat dalam hati karena aku nggak mau merasa terlalu percaya diri. Ko Barra hanya sedang mencemaskanku. Setelah rahasia yang kami bagi bersama waktu itu, aku nggak berani mendambakan cinta dari orang lain. Apalagi dari lelaki sebaik Ko Barra. Aku pun belum siap memulai hubungan dengan siapa-siapa. Mengurus masalah mentalku sendiri saja sudah kewalahan.
"Rani," Dia menahan lenganku sehingga kami sama-sama berdiri di tengah anak tangga. "Edgar nggak nawarin kamu jadi mata-mata perusahaan saya, 'kan?"
Aku menggeleng. Senyumku membuatnya makin curiga. Yah, mau gimana lagi? Sulit sekali mengatur otot wajahku supaya berekspresi datar-datar saja hari ini. Suasana hatiku sedang baik.
Dia kembali memandangi buket bunga mawar oranye dalam pelukanku.
"Jadi kamu suka bunga yang dia kasih?"
Kali ini aku mengangguk. "Baunya nyegerin kubikel saya."
"Memangnya pengharum ruangan lagi macet? Kayaknya Ijonk udah saya suruh buat rutin ngisi ulang, deh."
"Biar makin seger, Ko. Wanginya natural."
Ko Barra mempelajari ekspresiku sembari melipat tangan di dada. Otot lengannya menyembul semua. Aku khawatir setelannya robek.
"Kamu susah dibaca lagi." Dia geleng-geleng kepala sebelum meninggalkanku lebih dulu. Ko Barra terus mengusap kepalanya yang plontos itu selama menaiki anak tangga sampai puncak. Aku tertawa kecil tanpa sadar.
***
"YES!" Seruan Mamet mengagetkanku dan Ci Pan. "Kita menang tender Inti Karya!"
Ci Pan mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi sambil tersenyum lega. "Tak kira onok opo! (Kukira ada apa!)" Kemudian dia menggerutu.
"Proyek revitalisasi gedung?" Aku bangkit dari kursiku untuk melihat layar komputer Mamet di mana dia sedang membuka laman khusus pengumuman tender. Nama perusahaan kami tercetak tebal di sana, mengalahkan belasan peserta lain termasuk perusahaan milik Edgar.
"Monolife jalan, Inti Karya jalan, kita kembali ke jalur yang benar!" Mamet mengepalkan tangannya ke atas bak sedang berorasi.
"Pengumuman!" Ko Barra berseru begitu keluar dari ruangannya. "Kita menang tender!" Rautnya secerah matahari di luar ketika mendatangi kubikel kami. Nggak ada yang berkomentar tentang pengumuman Ko Barra yang sedikit terlambat.
"Hore! Traktiran, Ko?" tanya Mamet bersemangat.
Ekspresi Ko Barra berubah dalam sekejap. "Kerja aja belum, traktar-traktir!" ujarnya galak.
"Biar makin semangat kerjanya, Ko! Boosting energy!"
"Bener, Gel!" Ci Pan menyahut. "Udah lama anak-anak nggak diajak makan bareng. Sekalian syukuran menang tender."
Karena Ci Pan yang berucap, Ko Barra mulai mempertimbangkannya. Dia melipat tangan di dada sambil mengusap janggut kembar yang dikepang dua hari ini. Diam-diam Mamet memberi jempol pada Ci Pan.
"Oke, deh. Saya siapin budgetnya. Kapan rencana?" putus Ko Barra.
Mamet bertepuk tangan kegirangan. "Hari ini atau besok aja, Ko. Biar abis itu kita bisa fokus kerja."
"Oke, kamu atur. Pastikan semua pengawas lapangan datang, biar kita bisa sekalian meeting persiapan."
Mamet mengangguk penuh semangat.
Kemudian Ko Barra memandangku. "Ran, makasih supportnya selama ini. Nggak ada kamu, belum tentu kita bisa menang."
Apa hanya aku yang menyadari nadanya lebih lembut saat bicara padaku?
Pipiku menghangat, tersipu mendengar apresiasinya. Nggak sia-sia aku memaksa otakku bekerja keras sampai sering sakit kepala dan menangis diam-diam di toilet.
Kurasakan bahuku disenggol pelan oleh Mamet. "Murid kesayangan saya ini, Ko. Otaknya encer. Ko Nigel nggak salah rekrut karyawan." Dia menaik-turunkan alisnya ke arah kami bergantian.
Alih-alih tertawa, Ko Barra malah mendengkus sebelum berbalik untuk kembali ke ruangannya. Lagi-lagi kurasakan hawa dingin menyelimuti kubikel ketika bos kami pergi.
"Aku salah ngomong, Ran?" Rupanya Mamet juga merasakan hawa yang sama. Ketika dia mencari jawaban pada Ci Pan, senior kami itu justru mengedikkan bahu sama nggak tahunya.
***
Pada kesempatan terakhir, Mbak Elsa menyarankanku untuk kembali memulai morning work out. Jalan-jalan pagi keliling kompleks atau olahraga ringan di rumah. Kuputuskan untuk jalan-jalan pagi saja usai sholat subuh karena penasaran suasana kompleks saat pagi buta begini.
Udara yang kuhirup begitu segar. Cukup mengejutkan karena kukira udara kota nggak akan pernah sesegar ini. Embun pagi menetes-netes dari ujung dedaunan dan rumput. Hujan sisa semalam meninggalkan aspal yang lembab di bawah kakiku.
Ibu-ibu kompleks banyak yang sudah keluar rumah untuk berbelanja ke tukang sayur. Aku baru tahu kalau area depan kompleks menjelma menjadi pasar pagi di hari-hari tertentu. Sayang sekali aku nggak bawa uang untuk jajan. Padahal aku ingin mencicipi kue rangin dan camilan lainnya.
Dari kejauhan kulihat sosok mencolok di antara pengunjung pasar pagi. Posturnya yang tinggi besar dan botak menarik perhatian di manapun dia berada. Dia terlihat santai dengan celana pendek, sandal jepit, dan singlet hitam.
"Ko," panggilku sembari menggertakkan gigi karena udara dingin pagi hari.
Dia menoleh dan menungguku mendekat. Sebuah kresek berisi tiga bungkus nasi ditentengnya di satu tangan.
"Tumben pagi-pagi?" tanyanya. Kami berjalan bersisian menuju rumah.
"Psikolog saya bilang harus jaga kesehatan demi kestabilan mental," jawabku ringan sambil menghalau dingin yang menusuk tulang. "Saya nggak biasa keluar subuh-subuh gini. Koko nggak kedinginan?"
Dia melakukan pemanasan ringan dengan mendorong kedua tangannya ke depan dan ke belakang. "Segar begini, dingin dari mana?" Lelaki itu malah menyeringai kecil.
Aku ikut terkekeh. "Koko beli apa?"
Ko Barra menunjukkan bungkusannya padaku. "Ketoprak, mau?"
Aku menggeleng. "Nanti jatah Koko kurang."
"Nggak pa-pa. Nih, kalau mau. Udah ada sendoknya."
"Bercanda doang, Ko." Aku tertawa kecil. "Saya nggak biasa makan pagi. Biasanya dibikinin Ibu susu anget buat sarapan."
"Ada peningkatan, nih!"
"Apanya?" Aku mengernyit.
"Manggil Bu Manda nggak pake embel-embel nama."
Aku memalingkan muka supaya dia nggak melihat pipiku yang memerah.
"Kalian udah ngobrol dari hati ke hati?" Dia masih saja bertanya. Entah untuk membuatku kesal atau hanya murni penasaran.
"Enggak. Natural aja karena terbiasa serumah."
Dia mengangguk-angguk. "Glad to hear."
Kami sama-sama nggak menemukan topik untuk dibicarakan sampai perjalanan kami berakhir. Matahari sudah naik, maka hari sibuk kami resmi dimulai.
"Saya masuk duluan, Ran." Ko Barra berpamitan sebelum pergi.
Aku sengaja nggak langsung masuk seperti dia lantaran ingin berlama-lama di depan rumah. Sinar matahari jam segini baik bagi kesehatan. Jadi kuputuskan untuk berjemur sebentar sebelum sinarnya makin panas. Pandanganku terpaku pada pohon tabebuya kami. Pohon tabebuya yang kemarin masih gundul, kini mulai ditumbuhi daun-daun muda. Pertumbuhannya lumayan cepat. Tapi jika dibandingkan dengan pohon milik Bu Agatha, masih nggak ada apa-apanya.
Pohon ini jelek di mataku. Ketika dia berbunga nanti pun, akan tetap jelek. Awal kemunculannya selalu menjadi pertanda buruk bagi hidupku. Tahun-tahun sebelumnya begitu, entah tahun ini. Aku akan sangat bersyukur jika nggak ada yang terjadi. Aku bergegas masuk ketika matahari terasa makin menyengat.
"Ran, ayo sarapan dulu!" Bu Manda menyambut dan menarikku ke dapur.
Di meja makan sudah terhidang dua gelas susu. Satu untukku, satunya untuk Kaif. Tapi bocah itu nggak terlihat di manapun. Biasanya dia bangun pagi.
"Kaif mana, Bu?"
Bu Manda menyuruhku segera duduk lalu menghilang ke kamar. Tingkahnya membuatku heran. Ketika susu hampir kuseruput, kudengar pintu kamar Bu Manda dibuka.
"Slamat ulang tahun, slamat ulang tahun, slamat ulang tahun, Kak Ran, slamat ulang tahun!"
Kaif dan Bu Manda membawa sepotong kue dengan lilin di atasnya. Mereka meletakkan kue itu di meja makan sembari terus menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga!" Mereka berkoor selagi Kaif berusaha memanjat kursi di sebelahku sambil sesekali bertepuk tangan.
Kutiup lilin ber-angka 29 sampai semua apinya padam.
Mataku berkaca-kaca.
"Kita punya hadiah buat Kakak!" Kaif menunjuk Bu Manda. Sejurus kemudian, wanita itu mengeluarkan sebuah kotak dari balik punggungnya. "Ayo, ayo, buka!"
Aku tersenyum melihat Kaif yang bersemangat meski rambutnya masih awut-awutan habis bangun tidur. Demi menyenangkan hatinya, aku membuka kado itu cepat-cepat. Sebuah catokan rambut. Aku mengernyit.
"Saya lihat kamu nggak pernah gerai rambut padahal kamu cantik sekali kalau rambutnya digerai." Bu Manda menyentuh untaian rambut yang keluar dari cepolan di atas kepala. "Harganya nggak mahal, kok. Kemarin saya diajarin Bu Aga belanja online pas promoan," tambahnya.
Aku menggaruk pangkal hidungku sambil menimbang-nimbang catokan baru itu.
"Saya nggak biasa pake ini," ujarku terus terang. Alat catokan lamaku sangat berat. Terakhir kali menggunakannya, tanganku pegal luar biasa. Benda itu sudah kubuang bersama gaun mahal yang kena muntahanku sepulang dari resepsi Gandhi. Sekalian buang sial.
"Nanti saya ajarin! Saya pernah kerja di salon waktu masih perawan dulu!" Bu Manda mengiris kue dan membaginya pada kami. "Sarapan, ya? Sekali-sekali soalnya ini hari istimewamu."
Aku mengangguk tanpa ragu. Didorong oleh keisengan yang muncul entah dari mana, aku mencolek hidung Kaif dengan jari yang dipenuhi krim kue. Bocah itu memekik setengah tertawa. Dia memandang ibunya sekilas sebelum mendapat persetujuan untuk membalas perbuatanku. Kaif sampai berdiri di kursi agar bisa mengotori wajahku dengan krim. Bu Manda juga ikut-ikutan. Rumah kami langsung ribut karena acara kejar-kejaran. Dan hatiku menghangat karenanya.
***
"Serius amat, Met?" Aku menarik kursiku ke meja Mamet supaya bisa mengintip apa yang sedang asyik dibacanya. Kukira dia sedang sibuk menggambar sejak tadi. Setelah kulihat dia tertawa dan misuh sendiri, aku jadi penasaran.
Layar komputernya menunjukkan sebuah laman berita.
"Ko Nigel nggak mau langganan koran. Disuruh baca online aja biar internet ada gunanya," jawab Mamet setengah menggerutu. "Ini salah satu website langgananku buat baca artikel berita. Jurnalisnya keren-keren waktu ngolah kalimat, jadi kita kayak lagi ada di lokasi kejadian. Nggak kaku-kaku amat."
"Emangnya nggak kecampur sama opini pribadi jurnalisnya?"
"Itulah, Ran. Cara mereka memberitakan sesuatu tuh aktual banget! Nggak ada kalimat persuasif atau yang kayak menggiring opini. Semua sesuai fakta, ada buktinya, dan dengan penyampaian yang sederhana. Portal berita yang ini paling banyak langganannya. Semua informasi yang dimau tersedia lengkap sesuai kategori. Mulai dari berita kriminal sampai gaya hidup. Berita di TV aja kalah cepet sama mereka."
Aku mengangguk-angguk. Tampilan dan cara Mamet berpromosi lumayan menarik.
"Mereka juga punya podcast, tapi aku jarang dengerin di kantor soalnya takut dimarahin Ko Nigel. Dipanggil-panggil nggak nyaut gara-gara denger podcast berita. Malah dipecat nanti," imbuh Mamet setengah curhat.
"Ini kamu lagi baca apa?" Aku penasaran artikel apa yang dibaca Mamet sampai membuatnya sempat tergelak.
"Sekarang lagi baca tentang investasi."
Aku terkagum-kagum. "Kamu paham, Met?"
Dia menggeleng. "Dibaca bolak-balik nggak ada yang masuk ke otak."
"Ah, pantesan kamu misuh-misuh dari tadi?"
Rekanku itu terkekeh. "Lebih seru baca cerita bersambung. Nih, ada kategori cerpen juga. Udah kayak koran, 'kan?" Dia menunjuk bermacam menu di halaman utama. "Coba deh kamu baca nanti. Bagus buat nambah wawasan bagi yang nggak ada waktu nonton berita di TV."
Aku mengangguk sebelum mendorong kursi yang kududuki kembali ke mejaku sendiri.
"Kulihat-lihat, ada yang beda hari ini, Ran." Mamet mengamatiku dengan dahi berkerut. Dia memandangi penampilanku dari atas sampai bawah. "Apa, ya?"
Aku menyentuh rambutku yang sedikit bergelombang. "Gaya rambut baru, Met. Biasanya diikat."
Mulut Mamet membentuk huruf o. "Pantesan! Nah, bagus begini! Lebih seger, lebih anggun!"
Aku tertawa kecil mendengar pujiannya yang berlebihan. "Pacar kamu pasti bahagia ya punya pacar yang sering nyenengin hati orang begini."
Mamet tersenyum pongah. "Salah satu pesonanya Mahmed Wijatmiko anaknya Pak Mahmud Wijatmiko!"
"Nama ayah kamu kok mirip kamu, sih?" Aku masih terpingkal.
"Ayahku bilang nanti kalau punya cucu, mau dikasih nama Mahmad Wijatmiko."
"Kalau cewek?"
"Mahmudah Wijatmiko."
Perutku sampai kram karena geli melihat ekspresinya saat bicara.
"Ngerumpi terus!" Ci Pan mendatangi kubikel kami yang ramai karena suara tawaku. "Bahas apa, sih?" Kukira dia akan marah, ternyata malah penasaran.
"Mamet, Ci." Aku menyeka sebulir air mata di ujung mata. Efek terlalu banyak tertawa. "Masa nama anak-anaknya nanti mirip sama nama dia? Dari Mahmed, jadi Mahmad kalau cowok, terus Mahmudah kalau cewek. Nama belakangnya sama-sama Wijatmiko."
Ci Pan ikut tertawa. "Awas nanti di KK namanya ketuker-tuker."
Suasana hatiku benar-benar sedang baik. Padahal seharusnya aku bersedih karena sisa umurku berkurang setahun karena ini hari ulang tahunku.
"Selamat siang!"
Kami semua kompak berdiri dan menjawab sapaan dari Bu Agatha.
"Ayi!" Ci Pan bergegas menyambut. Bahkan Ko Barra juga keluar dari ruangannya.
"Tadi naik apa, Ma? Kalau tahu mau ke sini, pasti Koko jemput." Ko Barra mengambil alih bungkusan yang dibawa oleh mamanya.
Kaif melambai malu-malu dari balik tubuh Bu Agatha. Tangannya digandeng oleh Bu Manda. Mengapa mereka kemari?
"Jauh, Ko. Zaman canggih begini, taksi online juga banyak!" Bu Agatha menepuk pelan lengan putranya. "Kenalin, ini ibunya Rani. Bu Manda, namanya. Kalau yang kecil ini Kaif." Bu Agatha mengenalkan keluargaku pada Ci Pan dan Mamet.
Aku sulit menemukan kata-kata. Bu Agatha, Bu Manda, dan Kaif datang membawa lusinan nasi kotak, minuman, serta jajanan pasar. Harumnya menguar memenuhi lantai dua. Ko Barra menyuruh Ijonk yang turut hadir mengantar mereka untuk segera menyiapkan makanan di ruang rapat.
"Nigel udah cerita kalau kalian menang tender besar. Selamat, ya? Saya selalu berdoa semoga perusahaan ini bisa bangkit seperti dulu!" ujar Bu Agatha. "Nah, daripada buang-buang uang nyewa restoran, mending makan bareng di sini sekalian syukuran ulang tahunnya Rani," sambung Bu Agatha.
Ci Pan dan Mamet lantas menyelamatiku yang masih diliputi keheranan. Ketika beradu pandang dengan Ko Barra, dia hanya diam seribu bahasa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top