20 - {HER, ABOUT ME}

Vote kalau suka, komen kalau gregetan ...

***

Sebuah buket berisi dua puluh lima tangkai bunga mawar oranye dikirim ke kantor pagi ini.

Mamet dan Ci Pan langsung mendekati mejaku ketika Ijonk mengantar buket itu padaku. Mereka terkagum-kagum sambil menggodaku karena mendapat kiriman bunga dari seseorang yang istimewa.

"Mawar oranye menandakan antusiasme dan gairah!" Mamet memutar layar ponselnya ke arahku agar aku bisa membaca hasil penelusurannya.

Ci Pan senang dengan keharuman yang dibawa buket ini ke kubikel kami. "Dari siapa sih, Ran? Pacar? Eh, kamu udah punya pacar?"

Jangankan Ci Pan, aku pun penasaran. Kubalik kartu ucapan yang menyertai buket itu dan membacanya sekilas.

You caught my eyes. Luckily, I'm eager to play the long game with you.

With love,
E.

Alisku terangkat tinggi.

"E? Pacarmu kenapa ngasih inisial segala?" Mamet ikut mengintip. "Wuidih, pesannya bikin merinding. Romantis sekaligus misterius begini."

Aku menggaruk dahi. Ini sih nggak salah lagi.

"Bukan pacar, Met." Aku merasa nggak nyaman dengan dugaan-dugaan itu.

"Gebetan?" Ci Pan menimpali.

Kuputuskan untuk jujur saja. "Ko Edgar."

Saking nggak wajarnya keheningan setelah aku menyebut nama pengirim buket ini, aku sampai menoleh ke belakang. Kulihat wajah mereka kompak blank.

"Ko Edgar?" ulang Mamet. "Ko Edgar-Edgar?"

Aku mengangguk. "Kemarin abis ketemu dia di clubhouse." Dengkusan kecil nggak bisa kutahan karena mengingat obrolanku dengan Edgar semalam. Setelah menceritakan kasus Vina dan Samuel, Edgar berniat membantu. Entah apa motifnya. Dia hanya bilang kalau apa yang diyakini oleh papanya berbanding terbalik dengan apa yang diajarkan padanya selama ini. Dia punya kenalan pengacara dan bersedia menanggung semua biaya untuk membantu Vina mendapat keadilan.

Aneh, bukan?

Saat menawarkan bantuan, Edgar nggak mengonfirmasi kebenaran ceritaku sama sekali. Dia hanya bilang akan mengontakku secepatnya begitu dia berhasil mendapatkan pengacara. Akhirnya aku bersedia memberi dia nomor ponselku.

Seakan tahu kalau dia sedang dipikirkan, namanya muncul di layar ponselku.

From: Ko Edgar
Have a good day at work, Ran 🤓

Aku hanya membacanya lewat pop-up notification supaya nggak harus membalas cepat-cepat.

"Kamu ada hubungan apa sama Edgar, Ran?" Kecurigaan di nada Ci Pan begitu kental. Sikapnya mendadak berubah.

Aku menggeleng cepat supaya dia nggak salah paham. "Sama sekali nggak ada apa-apa. Tiba-tiba dia ngirim bunga. Motifnya apa juga nggak tahu."

"Masa ngegebet Rani, Ci?" Mamet menyilangkan lengan di depan dada. Dia menebak-nebak dengan gaya detektif.

"Pagi!" Ko Barra mampir ke kubikelku karena melihat kami berkumpul. Satu tangannya diletakkan di atas pembatas kubikel dengan tatapan mengarah ke buket bunga yang kupeluk. Dia mengangkat sebelah alis. "Dari siapa buat siapa?"

"Buat Rani dari-"

Mamet mengaduh kesakitan akibat sikutan keras Ci Pan di perutnya.

"Dari pacarnya Rani," jawab Ci Pan cepat.

Ko Barra mengamati bunga di tanganku agak terlalu lama. "Pacar?" ulangnya terdengar nggak yakin. Kubikelku dipenuhi kecanggungan selama beberapa detik. Rasanya mau bernapas saja salah. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Ko Barra masuk ke ruangannya sendiri. Tengkukku merinding akibat hawa dingin yang dibawa Ko Barra.

Ci Pan mengembuskan napas lega. "Kalau Nigel tahu Edgar narget Rani buat pindah ke firmanya, dia bisa ngamuk. Jangan sembarangan kalau ngomong, Met!" tegurnya setengah melotot pada Mamet yang masih kesakitan. "Kamu, Ran." Kini dia beralih padaku. "Jangan sembarangan juga nerima tawaran dari Edgar. Kalau sampai kamu pindah ke firma dia terus dipecat kayak Mamet, kamu ndak akan kuterima di sini lagi."

Aku menghela napas berat. "Ci, saya betah di sini. Lagian saya lebih suka kerja sama Ko Barra daripada Ko Edgar."

"Emang kamu udah pernah ngerasain kerja bareng Edgar?" Mata Ci Pan menyipit.

Kugelengkan kepalaku. "Dari cerita Mamet selama ini. Nular banget emosinya."

***

"Rani!"

Kiara melambai dari meja paling besar di sudut. Alunan musik jazz dari pemutar suara memberi kesan eksklusif sekaligus membuatku minder. Restoran yang menyajikan menu Indonesia nggak kukira akan semewah ini. Pantas saja banyak mobil berjejer di depan restoran.

"Nggak nyasar, 'kan?" Mirna ikut berdiri untuk menyambut kedatanganku.

Aku menggeleng sambil memaksakan sebuah senyum. Teman-teman sekelasku yang tiba lebih dulu melambai ke arahku. Beberapa dari mereka mengamatiku secara terang-terangan. Aku bingung harus langsung duduk atau tetap berdiri dan menyalami mereka satu persatu untuk basa-basi.

"Duduk sini aja, Ran!" Kiara menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya.

Kuletakkan tas tote berisi puluhan botol sambal berbagai varian hasil olahanku dan Bu Manda semalam.

"Bawa apa, nih?" Mirna meminta izin untuk membuka tas yang kubawa dan aku mengangguk.

"Sambal homemade, sengaja kubawa buat tester kalian."

"Nggak pernah ikut reuni, sekalinya datang malah jualan!" celetuk seseorang yang duduk di ujung. Aku nggak ingat siapa namanya.

"Huuu, bilang aja sirik!" Kiara melempar gumpalan tisu ke arahnya. "Rani bilang buat tester!" Dia menjulurkan lidah dan disambut tawa kecil orang yang diajaknya bicara.

"Sandra emang mulutnya begitu, Ran!" Mirna ikut mencebik.

Ah, sekarang aku ingat Sandra. Dia juga teman sekelasku yang paling dikenal punya mulut ceplas-ceplos. Orang lain sering mengartikannya buruk, tapi sebenarnya dia hanya jujur. Kini aku ikut tersenyum. Kuputuskan buat nggak tersinggung karena celetukannya tadi. Toh, yang dia katakan memang benar. Kedatanganku ke reuni bukan karena keinginan murni menyambung silaturahmi dengan teman-teman semasa SMA, melainkan untuk mencari pasar. Jika mereka suka sambal buatanku, maka pesananku jadi banyak pula.

"Khusus Sandra nggak dapat jatah, ya!" Mirna mewanti-wanti.

"Yaaah, padahal aku suka pedes!" Giliran Sandra yang merajuk. Ternyata dia belum berubah. Masih ceplas-ceplos jujur tanpa berniat jelek.

Kuberikan dua botol varian terpedas untuknya. "Aku tungguin pesenan kamu, San!" ujarku setengah bercanda.

"Dicoba dulu lah! Kalau nggak pedes aku nggak mau pesan!" Dia menjulurkan lidah meniru Kiara.

"Ran, kok kamu nggak nanya sih kenapa kita milih restoran ini buat reuni?" tanya Mirna setengah berbisik ke arahku.

Aku menggeleng. Kiara yang mengirimiku lokasi via pesan. Aku hanya tahu ini restoran besar yang menyajikan masakan tradisional, tapi belum pernah berkunjung apalagi makan makanannya. Dari luar saja kelihatan mewah, apalagi harga per menunya. Untungnya reuni kali ini kami dapat sumbangan dari salah satu teman yang jadi istri pejabat publik daerah. Dia berhalangan hadir, jadi menyumbang dana untuk reuni sebagai gantinya.

"Pacar kamu bilang mau ngasih kita diskon kalau kita reservasi tempat di sini."

Hah, pacar? Aku mengernyit. Sejak kapan aku punya pacar baru yang nggak kuketahui asal usulnya?

Mirna sepertinya paham raut bingungku. "Kamu nggak tahu kalau calon kakak ipar kamu yang punya restoran ini?"

Kiara menepuk punggung tangan Mirna di atas meja. "Kata Edgar, mereka masih tahap pendekatan, Mir! Jangan dispoiler, dong!" Tegurannya disambut tawa Mirna.

"Kalian dapat kontak Edgar dari mana?" Serius, aku bingung sekali. Dan sejak kapan aku pacaran dengan mantan rekan bisnis bosku?

"Waktu kita survey lokasi buat reuni, kita ketemu Edgar di sini. Ngobrol-ngobrol, deh. Yang punya resto ini ternyata kakak dia. Kita sempat dikenalin. Dia bilang mau ngasih diskon kalau kita reservasi buat reuni." Mirna menjelaskan panjang lebar selagi Kiara membagikan sambal botolanku ke teman-teman yang lain.

Belum sempat aku mengklarifikasi dugaan keliru mereka tentang hubunganku dan Edgar, seseorang sudah memanggil namaku. Kepalaku reflek menoleh.

"Ran, gabung ke sini juga, dong! Masa dimonopoli sama Mirna doang?" Namanya Leonardo. Dia salah satu idola angkatan saat kami masih bersekolah dulu. Pacarnya banyak. Putus satu, gebetan yang menunggu ada puluhan. "Sibuk apa sekarang? Udah nikah?"

Kugelengkan kepalaku seraya tersenyum. Rata-rata teman perempuan seumuranku sudah menikah dan punya anak. Sepertinya hanya aku satu-satunya yang belum. "Aku kerja di perusahaan kontraktor."

"Sebelumnya kamu di LBH sama Alana, 'kan?"

Aku hanya mengangguk sekilas. Setiap nama Alana muncul, perasaanku selalu mendadak nggak nyaman.

"Kok bisa sih nggak nyambung gitu? Emang di kontraktor, kamu bagian apa?"

"Serabutan aja. Apa yang bisa dikerjain ya dikerjain."

Suasana tiba-tiba jadi canggung, setidaknya bagiku. Teman-temanku masih mengobrol seperti biasa. Terkadang topiknya meloncat-loncat. Mereka banyak bercanda saat mengulang cerita masa SMA. Leonardo mengirimiku pesan yang berisi pemberitahuan kalau kontakku sudah dia simpan di ponselnya. Oh, selain mengajak ngopi lain waktu kalau kami sama-sama senggang. Aku hanya membaca pesannya dari notifikasi pop-up dan pura-pura terlibat obrolan serius dengan Mirna dan Kiara.

"Eh, Ran. Nanya, dong! Waktu itu kamu pindah sekolah, 'kan? Pertengahan semester? Pindah ke mana?" Kiara pandai ber-multitasking. Dia mengobrol sekaligus membantu waitress menurunkan pesanan ke meja dan membagikannya ke yang lain. "Alana nggak pernah jawab tiap kita nanya. Dia bilang kamu nggak bersedia ikut reuni karena sibuk. Sering dapet tugas ke luar kota."

Aku nggak ingat pernah diberi undangan untuk reuni. Alana juga nggak pernah membahasnya denganku. Lagipula memang benar kalau aku terlalu sibuk selama ini. Sibuk di LBH dan Gandhi. Kalau pun dapat undangan, aku ragu Gandhi akan membiarkanku datang ke reuni meski aku ingin.

Pertanyaan Kiara nggak sempat kujawab karena detik berikutnya, meja kami menyambut Alana yang baru datang. Mereka langsung heboh begitu Alana menyapa.

"Pengantin baru auranya beda banget, nih!" ujar Sandra setengah berseru.

Alana memegangi pipinya yang bersemu kemerahan, membuatnya makin cantik dalam balutan gaun rose gold selutut yang feminin. Kugosok telapak tanganku yang basah ke permukaan celana. Kegugupanku ini bukan didasari kekesalan karena melihatnya. Aku juga bingung mengapa aku justru merasa rindu dan ingin bisa memeluknya seperti dahulu. Berbulan-bulan tanpa Alana rasanya hampa. Aku benci mengakuinya, tapi memang itulah yang kurasakan. Kepedulian itu akan selalu ada untuknya.

Mirna melirikku tak nyaman, sambil berbisik keras ke arah Kiara. "Kukira Lana nggak jadi dateng. Makanya aku ngundang Rani. Gimana, nih?"

Kiara menyunggingkan senyum penyesalan ke arahku.

"Aku mampir bentar nggak pa-pa, ya? Soalnya mau USG," ujar Alana. Dia belum melihat ke arah sini, jadi kupalingkan wajahku sambil minum segelas jus jeruk yang terhidang di meja.

"Alhamdulillah!" Teman-temanku kompak bersorak. "Tokcer bener sih ini! Baru nikah udah isi!" Alana ikut tertawa bersama mereka. Suasana jadi meriah sejak dia tiba, dan aku sedikit iri karenanya.

Pandangan kami akhirnya bertemu secara nggak sengaja. Mau membuang muka pun sudah terlambat. Senyum Alana belum luntur, tapi perubahan ekspresinya dapat kulihat dari sorot mata. Dia berjalan mendekat ke arahku tanpa ragu.

"Ran, ngobrol bentar, yuk?"

Aku mengekorinya tanpa ragu pula. Ada harapan yang diam-diam kupendam untuk kembali akur dengannya seperti dulu.

Alana mengajakku bicara di depan pintu kaca yang memisahkan ruang VIP dengan meja-meja biasa. Saat ini bukan jam-jam ramai pengunjung, jadi sejak tadi hanya ada segelintir orang yang datang kemari termasuk rombongan kami.

"Apa kabarmu, Ran?"

Aku mendesah pelan. Lagi-lagi pertanyaan basa-basi. "Mau membicarakan apa, Lan?" tanyaku balik.

"Kamu belum jawab pertanyaanku. Gimana kabarmu setelah mempermalukan diri di resepsiku kemarin?" Reseptorku menerima sinyal sarkasme darinya.

"Not bad," jawabku. "Beberapa hari lalu aku ketemu papamu. Apa beliau sudah sampaikan salamku?"

Alis Alana menyatu. "Papa?"

Aku mengangguk. Kebingungannya menunjukkan kalau Pak Nugraha nggak memberitahu putrinya tentang pertemuan kami di clubhouse.

"Mau apa kamu ketemu papaku?" tanyanya lagi.

"Kasus Vina." Kulihat perubahan minor pada ekspresinya. Kali ini aku begitu yakin dapat mengetahui apa saja yang tersembunyi di balik wajah mantan sahabatku itu. Yang kubutuhkan hanyalah mengamati lebih jeli. "Kudengar kamu menyarankan keluarga Vina buat nerima kesepakatan damai."

"Yeah, I did. Cuma itu caranya menyelamatkan LBH Papa."

"Bukankah tugas LBH adalah menyelamatkan orang-orang seperti Vina?"

Alana memalingkan muka. "Aku ngajak kamu ke sini bukan buat ngobrolin masalah kasus LBH. Kamu udah resign, remember?"

Aku menghela napas dalam-dalam demi mengembalikan ketenangan dalam suaraku. Mendesak Alana sekarang nggak akan berpengaruh apa-apa pada Vina. Aku mengenal Alana cukup baik. Dia mirip besi yang sulit dibengkokkan. Bukan begini cara mengubah pikirannya, apalagi menumbuhkan empatinya.

"Jadi untuk apa, Lan?"

"Mas Gandhi." Kini dia menatapku tanpa segan. "Kalian bertemu belakangan ini?"

Pertanyaan Alana berarti satu hal. Gandhi nggak memberitahu istrinya ke mana dia pergi di malam dia datang ke rumahku. Wah, Pak Nugraha dan Gandhi benar-benar kompak rupanya.

"Iya," jawabku terus terang. "Dia datang ke rumah dua atau tiga minggu lalu."

Alana nampak gusar. "Apa yang dia katakan?"

"Bukan hal penting."

"Rani, tolong jangan bohong, dia bilang apa?" desaknya makin gusar.

Dia mengharapkan jawaban yang bagaimana memangnya? Gandhi mengajakku memulai hubungan dari awal lagi? Aku nggak sanggup bilang begitu ke Alana yang sedang hamil muda. Bisa-bisa malah dia mengiraku ingin merebut Gandhi darinya. Aku nggak sudi bertengkar dengan Alana hanya gara-gara lelaki yang nggak pantas menerima cinta kami berdua.

"Dia cuma datang sebentar lalu pergi. Nggak ada hal khusus yang kami bahas selain masalah barang-barang yang pernah dia kasih. Udah kubuang semua, jadi kuanggap kami nggak punya hutang-piutang lagi."

Raut Alana masih gusar. "Dia nggak pulang ke rumah."

"Sejak kapan?"

"Dua minggu ini. Aku nggak tahu dia di mana. Nomorku diblok."

Aku mengernyit. "Keluarganya?"

Dia mendengkus sinis. "Apa kata mereka kalau tahu suamiku nggak pulang berminggu-minggu padahal kami masih pengantin baru?"

Hatiku kebas mendengarnya. Aku nggak merasakan sedikit pun empati. Aku memang rindu Alana, tapi aku nggak peduli dengan masalah rumah tangganya.

"Aku nggak bisa bikin dia cinta aku seperti dia cinta kamu," lanjut Alana. "Dia sering memimpikan kamu dan menyebut namamu. Aku bisa dengar dengan jelas." Tangannya terkepal di sisi tubuh. "Kukira aku sudah memiliki dia."

"Dia nggak berselingkuh denganku," ujarku tegas.

"Tapi kamu masih ada di hatinya!"

"Memangnya itu salahku?"

"Seharusnya kamu menetap di kampung, Ran! Kenapa malah pindah ke rumah itu? Ya, aku sudah dengar kalau kamu memutuskan tinggal di rumah yang seharusnya jadi rumah masa depan kalian!" Alana menggertakkan gigi. "Aku sengaja mampir ke sini supaya bisa bicara dengan kamu."

"You're complaining about your husband who doesn't love you. What about me? You stole my future, Lan. (Kamu mengeluh tentang suamimu yang nggak cinta kamu. Terus bagaimana denganku? Kamu mencuri masa depanku, Lan.)"

"Future?" Dia tertawa sinis. "You were nothing but aimless! (Kamu nggak punya tujuan hidup!)"

"Alana!" Aku nggak mengerti alasan dia semarah ini padaku. Dan tiba-tiba semuanya jadi jelas sekarang. Kecemburuannya, kegusarannya, sikapnya saat di resepsi. Mengapa aku nggak menyadarinya?

"Kamu menyukai Mas Gandhi sejak lama," gumamku.

"Lebih dari sekedar suka, Ran."

"Sejak kapan?"

"Long before you met each other. (Jauh sebelum kalian bertemu.)"

Bibirku setengah membuka. Ini lebih mengejutkanku daripada mendengar Gandhi sering memimpikanku dan membuat Alana cemburu. Jadi selama ini aku lah yang pencurinya?

"Dia cinta pertamaku. Dia ciuman pertamaku. Dia segalanya bagiku, dan tiba-tiba kamu datang merebut perhatiannya! Bertahun-tahun aku memendam rasa sendirian. Melihat kalian begitu dimabuk cinta! Memuakkan!"

Aku masih sulit berkata-kata.

"Ya, aku lah yang membuat Mas Gandhi mabuk dan berpura-pura jadi kamu malam itu! Lalu kenapa? Itu hari ulang tahunku. Aku berhak mendapat apa yang kumau!" desisnya. "Sekarang dia milikku, baik di mata agama maupun hukum! Tapi kenapa kamu masih ada di antara kami?"

"Enough, Lan! Menyalahkanku nggak akan menyelesaikan masalahmu!"

Bahu Alana merosot. Kata-kataku berhasil menyadarkannya. "I just ... can't!" Dia memegangi pelipisnya. Wajahnya jadi agak pucat.

"Dia akan kembali," ujarku. "Dia orang yang bertanggung jawab. Seburuk apapun dia sekarang di mataku, lari dari tanggung jawab bukan kebiasaannya. Jadi aku yakin dia pasti kembali."

"I'm so sick of you," bisik Alana seraya memejamkan mata. "Gimana caranya kamu masih punya kepercayaan diri setelah aku menghancurkan impianmu, Ran? Apa sebenarnya kamu diam-diam mengatur rencana balas dendam? Apa kamu sebenarnya tertawa dalam hati karena melihatku sengsara begini?"

"Lalu kamu mengharapkan aku yang bagaimana? Depresi dan menghabiskan sepanjang hidupku buat mengasihani diri sendiri?" Aku tersenyum getir.

"I don't know, Ran." Alana menggeleng. Tangannya terangkat untuk mengusap perutnya yang mulai kelihatan buncit di balik gaun. "Semua ini nggak masuk akal buatku. Kamu, Mas Gandhi, semuanya. Apa aku harus berlutut di depanmu supaya kamu pergi dari hidup Mas Gandhi?" Dia hampir menjatuhkan tubuhnya di depanku, namun lebih dulu ditahan oleh lengan Edgar. Sosoknya tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Kamu pucat, Lan. Aku antar ke mobil." Edgar memberiku sinyal untuk menyuruhku menunggu di tempat.

Ketika aku berbalik, semua orang di meja reuni kedapatan sedang menguping sekaligus mengintip. Mereka langsung pura-pura sibuk supaya nggak kelihatan canggung. Kiara dan Mirna beberapa kali curi pandang ke arahku.

Aku menghela napas berat. Ujung-ujungnya jadi tontonan juga.

Tanpa berpamitan, aku keluar lewat pintu belakang yang disediakan khusus untuk karyawan.

***

.

.

Suami minggat, yang disalahin malah mantannya.
Siapa tahu lagi ke tukang urut gegara bahunya keseleo kena remasan Ko Barra.
Huh, Rani diem disalahin juga. Dikiranya doi nggak cukup stress selama ini?

Lah, napa gw yg sebel?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top