18 - {HE TRULY CARES}

Semingguan ini hubunganku dengan Ko Barra kurang mengenakkan. Selain karena kami sama-sama sibuk melakukan persiapan tender Inti Karya, dia juga terkesan sedang menghindariku. Ko Barra jadi nggak seramah biasanya. Nggak ada lagi sapaan 'Pagi, Ran!'. Dia datang dan pergi tanpa pamit. Bicara juga seadanya. Mamet bilang, itulah perangai Ko Barra sehari-hari sebelum dia resign dari sini dan bergabung dengan firma Edgar. Bad mood all the time.

Jika Ko Barra begini, maka berbeda dengan Bu Manda. Sejak malam itu, Bu Manda menjadi super perhatian padaku. Obat-obatanku yang expired sudah dibuang entah ke mana, dan aku nggak mengungkitnya karena mungkin sudah saatnya aku melanjutkan hidup tanpa melihat obat-obatan itu lagi. Bu Manda sering menanyakan kondisiku. Apakah aku merasa nggak enak badan? Apakah aku merasa mual? Apakah suasana hatiku sedang buruk?

Seolah dia bisa menjadi pelipurku saat perasaan-perasaan negatif itu kembali menyerang.

Ya, aku memang sangat bersyukur memiliki Bu Manda di sisiku sekarang. Dia orang baik. Kehadiran Kaif di rumah juga menambah warna dalam kehidupanku yang baru. Namun, sesuatu masih mengganjal. Aku selalu takut bahwa semua warna ini bersifat semu.

"Semua persyaratan udah kamu upload ke web procurement-nya Inti Karya?" tanya Mamet memecah lamunanku.

"Udah, Met. Nggak ada yang kurang." Selama seminggu aku belajar dan bekerja ekstra keras untuk memenuhi apa saja yang diminta oleh tim procurement Inti Karya agar kami bisa terdaftar sebagai peserta tender. Aku baru tahu jika selain mendapat undangan, pihak vendor biasanya harus memenuhi kualifikasi supaya terdaftar ikut lelang pekerjaan. Segala macam legalitas mulai dari akta pendirian sampai perizinan usaha konstruksi perusahaan kupelajari dengan serius sampai aku mengerti perbedaannya.

"Surat Keterangan Terdaftar sebagai rekanan udah keluar?"

Aku mengernyit. Aku belum tahu yang ini. Tanganku langsung mengarahkan kursor ke email undangan tender supaya aku bisa membacanya sekali lagi. Nah, mereka menyebutkan surat keterangan terdaftar sebagai SKT Rekanan.

"Cara terbitnya gimana, Met?" tanyaku bingung.

"Masuk ke website-nya. Di bagian registrasi biasanya otomatis muncul kalau semua persyaratan udah diverifikasi sama Inti Karya."

Segera saja kulakukan sesuai instruksi Mamet.

"Alhamdulillah, ternyata ada. Tinggal diunduh aja." Aku tersenyum lega.

"Kamu simpan di komputer sesuai nama proyek kita biar gampang nyarinya." Mamet menepuk pundakku, kelihatan bangga. "SKT ini nggak bisa diperbarui, Ran. Soalnya Inti Karya agak strict sama vendor-vendor yang bergabung. Jadi setiap ada proyek baru masuk proc, vendor yang diundang harus daftar dari awal meskipun nama mereka udah tercatat di sistemnya Inti Karya. Upaya pencegahan KKN."

"Bukannya mereka perusahaan swasta, Met?" Aku sempat mempelajari tentang Inti Karya di website perusahaan mereka. Inti Karya merupakan perusahaan swasta hasil kerja sama dengan Jepang. "Kukira yang ketat-ketat begini cuma perusahaan BUMN aja."

"Nggak selalu, Ran. Rata-rata perusahaan Jepang memang strict banget sampai staf-staf di perusahaan itu nggak punya celah buat nerima suap. Kalau perusahaan BUMN sih belum semua yang make sistem proc begini."

"Tapi kita dapat BQ lebih awal dari Jing-Jing."

"BQ beda, Ran. Biasanya tim proc Inti Karya ada yang bagi-bagi BQ ke calon rekanan yang mau diundang supaya lebih pasti aja siapa yang mau gabung ke lelang. Kebetulan kita ada kenalan Ci Jing-Jing yang pernah jadi konsultan Inti Karya dan pernah kerja bareng kita di Inti Karya dulu. Jadi bukan jalur ilegal."

Aku manggut-manggut mengerti. "Aku jadi tambah pinter sejak kenal kamu, Met."

"Otak kamu juga encer. Cepet tanggepnya. Pak Guru bangga, Nak." Dia meletakkan tangan di depan dada dengan ekspresi lebay hingga membuatku tertawa.

"Met," Ko Barra baru keluar dari ruangannya sambil menenteng blazer dan tas. "Besok dateng Aanwijzing Inti Karya bareng saya. Kamu list pertanyaan-pertanyaan seputar BQ kayak yang kita bahas kemarin."

"Siap, Ko!" Mamet melihat jam tangannya sekilas. "Masih jam dua, Ko. Mau ke mana?"

"Gebukin samsak," jawabnya singkat sebelum menuruni tangga.

Mamet geleng-geleng kepala. "Ko Nigel udah berapa hari ini bad mood."

Aku merasa penyebab buruknya suasana hati Ko Barra adalah aku. Sejak obrolan kami malam itu, sikapnya jadi lebih galak. Masalahnya, dia melampiaskannya bukan hanya padaku, melainkan pada semua orang di kantor. Suasana tempat kerja kami sempat menegangkan kemarin karena Ko Barra terlibat adu mulut dengan Pak Sofyan di ruang rapat. Keduanya sampai menggebrak meja karena sama-sama tersulut emosi. Itu kali pertamaku melihat Ko Barra murka. Aku dan Mamet nggak bisa konsentrasi bekerja hingga harus mendatangkan Ci Pan ke kantor. Padahal saat itu Ci Pan sedang di rumah sakit untuk mengantarkan Olly kontrol ke pediatri.

Masalahnya cukup serius, sih. Material di site dicuri, dan hal ini sudah berlangsung selama beberapa minggu. Pak Sofyan mengira bisa mengatasinya sendiri tanpa campur tangan Ko Barra, namun hal itu justru membuat Ko Barra kesulitan karena klien alias pemilik pekerjaan langsung meminta pertanggung jawaban padanya.

Kalau bukan karena Ci Pan yang datang melerai, perdebatan hari itu akan berlangsung sampai malam tanpa solusi.

"Tolong siapin SKT buat Aanwijzing besok, Ran. Biasanya diminta buat verifikasi undangan," ujar Mamet memecah lamunanku lagi.

"Oh, iya, Met. Aanwijzing itu apa?"

"Pertemuan antara pemilik tender sama peserta lelang pekerjaan yang lolos kualifikasi. Di sana kita bahas BQ, time schedule, garansi, dan hal-hal yang terkait sama pekerjaan di lapangan nantinya. Hasil dari Aanwijzing bisa kita jadikan patokan harga yang mau dimasukkan ke penawaran."

"Terus yang penawarannya nanti nggak menang gimana?"

"Ya pulang, Ran. Kita lagi berkompetisi sama belasan perusahaan lain termasuk firmanya Ko Edgar. Yang menang, jalan buat kerja. Yang kalah, pulang atur strategi biar bisa dipake di tender lain."

Aku manggut-manggut lagi. Pekerjaan adalah kompetisi. Aku belum pernah merasakan adrenalinku terpacu karena kompetisi dengan perusahaan yang menginginkan pekerjaan yang sama, mungkin karena selama ini aku hanya tahu rasanya adrenalin saat berusaha menjebloskan penjahat ke penjara.

***

Nggak kusangka kalau aku akan menemukan keseruan saat menonton dua orang adu tonjok di atas ring. Apakah lantaran Ko Barra yang berada di sana?

Lawan duelnya memiliki otot yang kalah besar dari Ko Barra. Kulitnya jauh lebih gelap. Tapi dia sangat gesit. Nggak sekali-dua kali Ko Barra terhuyung karena pukulannya. Hanya sesaat, Ko Barra kembali melayangkan pukulan demi pukulan untuk menggantikan kekalahannya tadi. Dia nampak bersemangat hari ini.

Aku sengaja datang kemari untuk membawakannya sebotol minuman elektrolit untuk mere-hidrasi tubuhnya usai olahraga berat. Minuman ini kubuat sendiri dengan perasan jeruk, potongan lemon, air kelapa, dan madu. Minumannya masih dingin di dalam termos es botolan.

Tadinya aku sempat khawatir petugas di luar nggak akan membiarkanku masuk ke Sasana karena belum membuat janji dengan Ko Barra. Untungnya si Penjaga mengenaliku. Jadi dia langsung menyilakanku masuk sendiri karena ia sedang sibuk melayani calon member baru di meja resepsionis.

Dan di sinilah aku, duduk menunggu di dekat pintu masuk ruang latihan tanpa tahu Ko Barra menyadari kehadiranku atau enggak. Staminanya sungguh luar biasa. Sudah setengah jam aku memperhatikan dia berduel, tapi dia nggak kelihatan lelah sedikit pun. Rasanya seperti sedang menonton pertandingan betulan. Aku ikut tegang ketika Ko Barra menerima pukulan, dan ikut bersemangat setiap Ko Barra membalas serangan.

Sekarang aku mengerti mengapa Ko Barra begitu menyukai olahraga ini. Memukuli lawan dalam permainan yang fair memberi kepuasan tersendiri. Ditambah, olahraga ini bisa dijadikan salah satu aktivitas untuk melampiaskan amarah.

Amarah?

Aku menelan ludah. Tentu saja Ko Barra sangat bersemangat untuk menjatuhkan lawannya. Dia sedang kesal. Karena samsak nggak bisa balas memukul, jadi dia melakukan duel dengan seseorang yang sepadan dengannya. Ini hanya dugaanku, sih. Tapi ... membayangkan orang yang dipukulnya adalah aku karena telah menjadi penyebab kekesalannya terasa agak ... menakutkan.

Jantungku berdegup keras ketika duel di ring akhirnya berakhir. Kedua lawan berpelukan singkat sebelum turun dari sana. Akhirnya Ko Barra melihatku. Dia langsung menghampiri setelah melepas sarung tangan, pelindung gigi, dan mengambil handuk di bangku pelatih.

"Ada apa ke sini?" tanyanya seraya mengelap wajah dan lengan dengan handuk yang di bawanya. Pelipisnya terluka sedikit. Kalau nggak jeli melihat, pasti sulit menemukannya.

Langsung saja kuulurkan botol termos padanya. "Mau ... mau ngasih ini, Ko."

"Makasih." Dia membuka termos, mengendus sebentar, lalu minum dengan rakus sampai sedikit cairan tumpah membasahi janggut kembar dan lehernya. Dia mendesah lega setelah puas minum. "Kamu bikin sendiri?"

Aku mengangguk agak canggung.

"Jauh-jauh ke sini cuma buat ngasih minuman?"

Aku menggigiti bagian dalam pipiku sebelum menjawab. "Sa -saya mau bahas obrolan kita terakhir. Yang waktu itu." Kuberanikan diri untuk mendongak, tapi malah berakhir memperhatikan ring kosong di belakang Ko Barra. "Itupun kalau Koko nggak keberatan," imbuhku cepat.

"Naik motor ke sini?"

Aku menggeleng. "Motor saya dipake Bu Manda belanja tadi. Saya naik ojek."

Ko Barra memandangku agak lama tanpa berkedip sambil menimbang-nimbang botol termos di tangannya. Dia minum lagi tanpa mengalihkan pandangan dariku.

"Tunggu saya di sini sepuluh menit. Saya antar pulang sekalian."

"Koko mau ke mana?"

"Mandi. Kamu betah dekat-dekat saya yang keringetan begini?" tanyanya seraya menaikkan sebelah alis.

"Oh, oke. Selamat mandi, Ko." Aku langsung menyesali kalimatku yang terdengar aneh itu.

***

Aku terus-terusan mendapat pesan singkat dari Kiara, teman semasa SMA yang kembali kutemui di resepsi. Dia memasukkanku ke grup alumnus dan terus memintaku agar datang ke reuni sebentar lagi. Gara-gara itu, sekarang teman-teman yang lain jadi tahu nomorku dan berusaha menanyakan kabarku berbekal kontak di grup. Aku sengaja mengabaikan pesan-pesan itu karena aku nggak berniat datang dan malas reconnecting dengan mereka.

Aku mendesah pelan.

"Kamu udah makan?" Ko Barra kembali nggak sampai sepuluh menit kemudian. Dia sudah bersih dan wangi. Pakaian yang dikenakannya adalah setelan terakhir yang kulihat di kantor. Tangannya menenteng blazer dan tas yang sama.

"Saya makan di rumah," jawabku cepat. Sepulang dari kantor, aku hanya sempat mandi dan membuat minuman untuknya karena khawatir kami berselisih jalan.

"Saya lapar, Ran. Temani saya makan saja."

Belum sempat aku merespon, dia sudah berjalan mendahuluiku.

Kami terjebak keheningan yang aneh selama perjalanan di mobil. Ko Barra nggak menyalakan musik, jadi aku harus berpuas hati mendengar suara mesin dan kendaraan di luar. Aku gugup. Hujan rintik-rintik yang dihapus oleh wiper membuatku makin merasa nggak nyaman.

Stupid mental issue, umpatku dalam hati.

"Apa, Ran?" Pertanyaan Ko Barra membuatku menoleh.

Aku mengerjap karena nggak mengerti. "Apanya yang apa?"

"Kamu bilang sesuatu tadi."

Sudah berapa kali Ko Barra berhasil mendengar gerutuanku?

"Bukan apa-apa, Ko. Saya biasa ngobrol sama diri sendiri." Bukan hanya Ko Barra, aku pun mengernyit mendengar jawabanku. Terdengar sinting. "Tapi bukan berarti saya gila, Ko." Aduh, rasanya aku ingin menghilang saja.

"No, it's okay. Saya juga sering bicara sendiri waktu mengerjakan sesuatu. Membantu saya fokus." Dia mengedikkan sebelah bahu maklum. "Jadi, kamu mau makan di mana?"

"Saya nggak lapar, Ko."

"Ah, benar juga. Yang kepengen makan 'kan saya." Dia setengah bergumam. "Saya mau makan di warung pinggir jalan. Kamu nggak apa?"

"Bicaranya kapan, Ko?" Aku balas bertanya.

"Sekarang saja. Perjalanannya agak jauh, macet juga." Dia menghentikan mobilnya di antrian lampu merah yang kukenali punya waktu terlama untuk berubah hijau. "Kamu mau bilang apa?" Kali ini dia menoleh dan entah kenapa jantungku serasa ditarik ke luar.

Sebentar, sebentar. Aku agak sesak napas. Kuturunkan kaca di sebelahku agar keheningan mobil ini nggak membuatku makin gugup. Trik yang lumayan manjur. Suara kendaraan dan klakson membantuku mengembalikan ritme jantung.

"Feel better?" tanya Ko Barra setelah menyalakan radio dalam volume rendah. "Tutup jendelanya, Ran. Bising."

Aku mengangguk dan melakukan apa yang dia suruh. Demi mengurangi kegugupanku sendiri, aku membetulkan poni dan menarik napas dalam-dalam. Astaga, ini lebih sulit dari yang kukira. Di antara malam-malam kurang tidur, aku membayangkan situasi di mana aku memberitahu seseorang tentang masalahku. Nggak kusangka kalau orang itu adalah bosku sendiri.

"Ko Barra yakin mau dengerin ... saya?" tanyaku ragu.

"Kamu di mobil saya, jadi saya nggak ada pilihan selain mendengar kamu bicara." Jawaban yang keluar dari mulutnya terdengar seperti menyindir.

"Sa -saya bukannya ng-ngak mau cerita," ujarku terbata-bata. Setelah menelan ludah sekali lagi, aku melanjutkan, "karena Koko baik sama saya dan keluarga, saya melihat Koko sebagai orang yang tulus. Ka -kalau masalah saya nggak berpengaruh sama pekerjaan, bukannya lebih baik ng -nggak usah diungkit?"

"Ya, saya setuju."

Keningku berkerut. Aku mengusap leherku tak nyaman. Serius, aku benar-benar bingung mengartikan ucapan Ko Barrra dan suasana hatinya. Tujuanku repot-repot menemuinya di Sasana adalah demi mengembalikan hubungan kami seperti sedia kala.

"Itu saja?" tanyanya kemudian.

"Nggak tahu, Ko. Saya kok jadi bingung?"

Ko Barra menghela napas berat. "It won't work this way." Dia melanjutkan perjalanan setelah lampu berubah hijau. Kami berkendara beberapa menit sebelum dia menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Ketika melihat sekeliling, aku nggak menemukan satu pun tenda makanan.

"Saya kira Koko mau makan?" Keherananku makin bertambah setelah menyadari Ko Barra nggak melepas sabuk pengaman ataupun mematikan mesin.

"Kita bicara di sini saja. Saya sulit konsentrasi kalau sambil jalan, apalagi makan." Dia tetap meletakkan kedua tangannya di atas kemudi meski sudah menarik rem tangan. "Padahal tadi saya sempat beranggapan kalau kamu akan mulai terbuka karena kamu percaya sama saya."

"Saya udah bilang ini bukan karena saya nggak percaya Koko," sanggahku.

"Kamu bicara dengan psikolog karena kamu percaya dia akan memvalidasi perasaanmu dan memberimu solusi. Sampai hari ini, apakah ada yang berubah?"

Aku terdiam bukan lantaran sulit menjawab, melainkan karena masih bingung.

"Saya yakin nggak ada yang berubah karena kamu melaluinya sendirian," lanjutnya. "Sudah saya bilang kalau saya peduli. Sama kamu, sama Bu Manda, sama Kaif. Apa kamu nggak melihat gimana sulitnya mereka menyesuaikan diri dengan sikapmu selama ini?"

Kepalaku tertunduk lesu. Memangnya aku nggak tahu itu semua?

"Serangan panikmu waktu itu, kalau saya bisa menyebutnya begitu ... jelas-jelas bukan masalah sepele. Jika kamu nggak ingin saya atau yang lain ikut campur, setidaknya jangan tunjukkan wajah sedih setiap waktu. Kamu mampu tersenyum. Tunjukkan saja wajah tersenyum itu supaya saya nggak terganggu dan kepikiran."

Aku nggak ingin menangis meski kalimat yang kudengar begitu menyakitkan hati. Kukira dia suka melihatku tersenyum, ternyata dia hanya terganggu melihat ekspresiku sehari-hari. Ekspresi yang kubuat bukan karena sengaja. Memang beginilah rautku sejak dilahirkan. Masa aku harus pura-pura tersenyum sepanjang waktu?

"Yang saya katakan, benar atau tidak?"

Aku menggeleng secara otomatis.

"Kalau begitu, katakan yang sebenarnya supaya saya nggak salah paham."

"Saya malu, Ko." Tanganku terkepal. "Koko melihat hal-hal terburuk tentang saya dan keluarga, padahal seharusnya nggak perlu begitu. Saya ingin kita berhubungan baik di tempat kerja tanpa menunjukkan kehidupan pribadi. Saya malu Koko harus melihatnya."

"Mana bisa begitu, Ran? Rumah kita berhadapan. Apa saya harus pura-pura nggak tahu? Saya nggak bisa begitu."

"Apa ... apa saya harus pindah rumah, Ko?"

Ko Barra mengusap wajahnya frustasi. "God, this woman!" gumamnya. "Saya kurang tidur karena kamu. Mama saya sering mengomeli saya gara-gara kamu. Suasana hati saya buruk di kantor karena melihatmu. So tell me, what should I do about it?"

"Saya berbuat apa sampai Koko merasa begini?" Ya ampun, aku merasa bersalah. Tapi aku belum menemukan apa tepatnya kesalahanku selain being existed. "Saya juga ingin menghilang, Ko. Tapi nggak tahu caranya kecuali mati-"

"Rani!" bentaknya sampai aku terperanjat. "Bukan itu maksud saya! Saya hanya ingin tahu apa yang terjadi sama kamu, bagaimana kamu melaluinya, dan apa yang bisa saya bantu supaya kamu pulih atau ceria lagi."

"Maaf, Ko-"

"Saya nggak butuh permintaan maafmu. Saya hanya butuh penjelasan demi kewarasan saya sendiri," potongnya.

"Tapi saya bingung harus mulai dari mana." Air mataku mulai merebak dan buru-buru kuhapus. Kenapa sih air mataku ini sering tumpah tanpa disuruh?

Dia melepas sabuk pengaman, lalu memposisikan tubuhnya agar bisa berhadapan denganku.

"Mama saya sedih melihatmu hampir pingsan sepulang dari resepsi. Bu Manda merasa bersalah setiap kali melihatmu. Mereka nggak tahu bagaimana cara mengajakmu bicara. Memang terkesan ikut campur, tapi niat mereka sebenarnya baik. Mereka nggak mengharapkan apa-apa selain melihat kamu sehat dan bahagia."

"Bu Aga ngomel sama Koko gara-gara itu?" Isakanku hampir nggak bisa kutahan.

"Maafkan saya karena mengatakan ini, Rani. Tapi uang yang kamu habiskan untuk konseling ke psikolog akan sia-sia jika kamu menolak berdamai dengan lingkungan di sekelilingmu. Kamu membangun dinding yang mustahil ditembus siapapun, termasuk keluargamu sendiri," imbuh Ko Barra.

"Saya mengidap depresi, Ko." Aku mendongak untuk menatapnya. "Sudah saya alami bertahun-tahun. Obat-obatan yang pernah ditemukan Bu Manda membantu saya mengurangi efek dari serangan panik dan gangguan kecemasan."

Ko Barra menungguku untuk melanjutkan.

"Saya berpacaran dengan Gandhi selama delapan tahun sebelum dia menghamili sahabat saya dan menikahinya kemarin. Oh, sebelum itu terjadi, ayah saya meninggal karena stroke dan membuat saya menyesal setengah mati karena nggak sempat minta maaf."

Buku jariku memutih sampai kurasakan kuku-kuku tanganku menekan permukaan kulit di baliknya.

"Sepertinya saya pernah diperkosa oleh mantan tunangan saya sendiri, tapi saya baru menyadarinya setelah kami putus. Ironis, bukan?" Aku tertawa getir. "Saya pernah membantu para wanita dan anak-anak yang mengalami kekerasan seksual, tapi gagal mencegahnya terjadi pada diri saya. Bodohnya lagi, saya tetap mencintai dia. Sampai sekarang pun masih." Kugigit bibirku kuat-kuat demi menahan ledakan emosi. Kulihat rahangnya ikut mengeras.

"Kamu nggak melaporkan bajingan itu?"

"Atas dasar apa? Sudah berlalu lama sekali. Saya nggak punya bukti apa-apa karena terlambat menyadarinya."

"Rani," Dia nampak kehabisan kata-kata.

"Saya ingin sembuh. Saya ingin meninggalkan beban berat yang hampir membunuh saya ini. Saya ingin hidup normal seperti yang lain."

Dia meraih tanganku yang terkepal erat.

"Ko Barra mau dengar kebusukan apa lagi tentang saya?" Semua sudah terlanjur tumpah.

"Bukan salahmu."

"Memang bukan," desisku. "Tapi saya harus menyalahkan siapa selain diri saya sendiri? Saya yang membiarkan semuanya terjadi. Saya kotor, menjijikkan, dan nggak pantas mati karena saya malu bertemu orang tua saya di akhirat. Saya takut melihat mereka kecewa karena hidup saya berakhir seperti ini." Aku berusaha menahan getar dalam suaraku.

Aku menyerah. Air mataku berderai lagi tanpa bisa kucegah. Kali ini, aku membiarkannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top