17 - {PAST STILL HAUNTS}
Belakangan ini aku sering banget ngulur-ngulur kerjaan. Kewajibanku makin numpuk, tapi aku malas ngerjainnya. Sebagai gantinya, aku nulis. Jangan ditiru, ya. Ujung-ujungnya ntar ribet di belakang. Do your shit, and get it done fast!
Anw, part yg ini lebih panjang dari yg lain. Soalnya aku suka nantangin kewajibanku yang terus-terusan bikin kepikiran. Aneh, ya?
Yaudah deh, enjoy ...
***
"Ceritakan lebih banyak tentang orang-orang di kantor barumu ini."
Permintaan Mbak Elsa kupikirkan dengan sungguh-sungguh di pertemuan berikutnya. Sejak aku menyebutkan telah diterima bekerja di perusahaan baru yang bidangnya nggak relevan dengan pekerjaanku selama ini, Mbak Elsa nampak tertarik. Dia terus menanyakan hubunganku dengan rekan-rekan kerjaku yang lain.
"Saya belum terlalu dekat dengan Ci Pan. Selain karena jam kerjanya paling fleksibel di antara yang lain, saya nggak punya banyak kesempatan untuk terlibat secara langsung dengan dia," ujarku memulai. "Lalu Mamet, hmm ..." Di kepalaku langsung terbayang reaksi Mamet ketika tahu aku dan Ko Barra nggak menjalin hubungan seperti yang dia kira. "Mamet adalah rekan kerja terbaik yang pernah saya miliki. Bisa diandalkan dan setia kawan. Kesan itu yang paling melekat kuat sejauh ini. Kemudian ada Ko Barra ..." Senyumku terbit begitu saja.
"Dia bosmu, 'kan?"
Aku menganggukkan kepala. "Bagi saya, dia penyelamat. Ko Barra memberi saya kesempatan untuk hidup sekali lagi. Cara dia memperlakukan saya membuat saya merasa seolah-olah ... saya istimewa. Bukan hanya sebagai wanita, tapi juga sebagai manusia. Saya belum pernah bertemu orang seperti dia."
"Ketika kamu bilang istimewa, apa tepatnya yang dia lakukan?"
"Di minggu pertama saya bekerja, dia memberi saya tugas yang mustahil dilakukan anak baru tanpa bimbingan. Mamet menjelaskan sedikit-sedikit lalu sisanya saya pelajari sendiri. Saya sempat tertekan dan menangis di toilet gara-gara tugas itu, tapi anehnya ... nggak sekalipun saya menyalahkan Ko Barra. Saya bekerja amat keras hari itu demi membantunya. Dia udah cukup kesulitan mengurus perusahaan sendirian sebelum saya bergabung."
"Cara kamu memandang situasi cukup menarik, Ran." Mbak Elsa ikut tersenyum setelah mendengar penjelasanku yang panjang lebar. "Apa ada hal istimewa lain yang dilakukan Ko Barra?"
"Dia perhatian sama keluarga saya." Sulit mengabaikan perasaan lega yang melingkupi hatiku saat menyebut mereka sebagai keluarga.
"Kaif dan Bu Manda?"
"Iya. Ko Barra sering membantu keluarga saya tanpa diminta. Ibunya adalah mantan wali kelas saya waktu SMA, dan sekarang kami bertetangga," jawabku.
Mbak Elsa mencatat sesuatu di bukunya.
"Bagaimana hubunganmu dengan Bu Manda dan Kaif belakangan ini?"
Ini pertanyaan yang sudah kuantisipasi sebelumnya. "Kemarin Kaif masuk selokan dekat rumah. Dia pulang dalam keadaan kotor dan bau banget. Mukanya lucu waktu nangis." Tawaku otomatis keluar saat mengingat ekspresi Kaif yang belepotan kotoran hitam. "Saya ngomel sedikit terus mandiin dia. Ketika Bu Manda tahu saya memarahi Kaif, dia nggak balik marah ke saya. Esoknya kami sepakat untuk melupakan kejadian yang sudah lalu dan fokus untuk masa depan aja."
"Saya anggap itu sebuah kemajuan." Senyum masih nggak lepas dari wajah Mbak Elsa. "Bagaimana perasaanmu tentang itu?"
Aku mengedikkan sebelah bahu. "Lega, merasa bersalah karena nggak melakukan itu lebih awal, senang karena akhirnya hubungan kami membaik, entahlah ..."
"Itu langkah besar yang kamu ambil secara sadar, Rani. Langkah menuju penerimaan diri."
Aku tertegun mendengarnya. "Benarkah?"
Mbak Elsa meletakkan pena lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Dia mengangkat satu tangannya yang terkepal di tengah-tengah kami. "Hal-hal yang kamu alami dan rasakan di masa lalu membentuk gumpalan emosi negatif yang nggak pernah kamu salurkan." Dia menunjuk tangannya yang terkepal. "Gumpalan emosi negatif ini sudah membusuk selama bertahun-tahun, menggerogotimu dari dalam, dan menelan perasaan-perasaan positif yang seharusnya kamu rasakan. Saat kebahagiaan datang, naluri kamu menolak untuk menikmatinya. Bukan hanya itu," Psikologku itu membuat gestur kecil mengelilingi tangannya yang terkepal. "-alam bawah sadarmu menciptakan benteng untuk melindungi emosi negatif ini supaya nggak keluar. Dindingnya makin tebal dan tinggi kian hari, sehingga membuat kondisi mentalmu memburuk."
Kini Mbak Elsa menegakkan tubuhnya kembali.
"Sejak kamu meninggalkan pekerjaan, orang-orang, dan lingkungan lamamu, benteng itu mulai rentan karena dia belum beradaptasi dengan baik," Wanita itu melanjutkan, "-kehidupan yang kamu jalani sekarang dan orang-orang baru yang menyertainya sudah membuat retakan di benteng kokoh itu. Apa kamu menyadarinya?"
Aku terdiam cukup lama untuk benar-benar mencerna apa yang dikatakan oleh Mbak Elsa.
"Saya yakin retakan itu akan menghancurkan benteng di dalammu suatu hari. Just keep doing this, Rani. You've done well so far. Jauh lebih baik dari yang pernah saya amati bertahun-tahun lalu," imbuhnya.
"Jika benteng itu hancur dan menunjukkan hal yang tersembunyi di baliknya ... apa yang akan terjadi pada saya, Mbak?"
"Mau tidak mau, kamu harus menghadapinya. Kamu bisa menggunakan sesuatu sebagai perisai sekaligus tombakmu untuk jaga-jaga kalau kamu membutuhkannya."
"Sesuatu? Apa contohnya?"
"Seperti yang saya bilang tempo hari. Kenangan bahagia atau pikiran positif yang cukup kuat untuk membuatmu bertahan. Sebenarnya nggak harus sesuatu, seseorang juga bisa. Seseorang yang membantumu melihat pantulan diri kamu yang paling buruk dan rusak sampai kamu ingin menghapusnya dari masa lalu. Seseorang yang kamu yakini nggak akan lari saat melihat dirimu yang paling rentan. Seseorang yang cukup kuat untuk menjadi pelindung bagi kalian berdua."
Bahuku merosot perlahan. "Saya nggak punya seseorang semacam itu."
"Yes, you do. Kamu hanya belum menyadarinya karena terlalu sibuk menambal retakan di benteng kokoh yang kamu buat sendiri. Rani, kamu jauh lebih kuat daripada yang kamu yakini. Bukalah hatimu pelan-pelan. Orang-orang yang sungguh peduli sama kamu sudah menunggu untuk dipersilakan masuk."
Aneh sekali. Ko Barra juga mengatakan hal yang sama tempo hari. Semudah itukah diriku terbaca olehnya?
"My support system," ujarku. "Orang yang bisa membantu saya ini, siapa dia?"
Mbak Elsa menyunggingkan senyum misterius. "Oh, I won't tell. Kalau saya beritahu, alam bawah sadarmu akan menciptakan benteng khusus untuknya. Itu bisa makin menyulitkan. Sementara ini, terimalah segala bentuk dukungan yang datang. Kamu akan tahu bedanya cepat atau lambat."
Benar juga, pikirku. Kurasa sekarang aku mulai bisa memahami apa yang terjadi pada diriku. Lingkungan baru memang telah membawa dampak positif. Rasanya cukup melegakan setelah tahu kalau ternyata aku punya support system yang nggak kusadari. Ketika aku mengenalinya nanti, aku janji akan memperlakukan siapapun dia lebih baik lagi.
***
Kedatangan tamu yang nggak kuharapkan mengganggu aktivitas memasakku malam itu. Sejak mendengar saran Ko Barra agar aku menambah pemasukan dengan menjual sambal buatanku lewat pesanan, aku sudah merencanakan kapan dan bagaimana aku harus mulai. Sekarang tamu nggak diundang itu akan merusak suasana hatiku yang bisa mempengaruhi cita rasa sambalku besok.
"Mau apa malam-malam ke sini?" tanyaku datar pada sosok di depan pintu. Aku sengaja nggak membuka pintu lebar-lebar supaya dia tahu kalau dia nggak diharapkan. Mau sememelas apapun raut Gandhi, aku nggak akan goyah.
"Can we talk, Ran? Sebentar aja."
"Sudah malam. Apa hal penting yang mau kamu bicarakan nggak bisa ditunda sampai ..." Aku pura-pura berpikir. "-selamanya?"
Gandhi menghela napas. Kali ini dia kelihatan lebih siap untuk menghadapi kekeras kepalaanku. "Aku benar-benar butuh bicara denganmu."
"Siapa tamunya, Ran?" Bu Manda setengah berseru dari dapur.
"Bukan siapa-siapa!" balasku setengah berseru pula. Sebelum aku dapat membanting pintu tepat di muka Gandhi, lelaki itu menahanku.
"Please?" Dia terdengar putus asa.
Setelah pertimbangan singkat, akhirnya aku menjawab, "Lima menit." Aku keluar dan menutup pintu di belakangku. Karena aku bukan orang baik, jadi aku nggak mempersilakan dia duduk di teras. Aku mengajaknya bicara di ujung carport, tepat di antara tempat sampah dan mobilnya diparkir.
"Gimana kabarmu, Ran?" tanya Gandhi.
"Well, seperti yang kamu lihat, Mas. Jadi, ada apa?" Kutahan desakan dalam suaraku. Kehadirannya di sini saja sudah mampu memporak porandakan hatiku.
Gandhi nampak ragu. Beberapa kali dia kedapatan menjilat bibir, sebuah gestur yang menunjukkan kalau dia sedang gelisah.
"Kamu dan Alana baik-baik aja, 'kan?" Bukan berarti aku peduli. Ingin sekali kudengar kabar rumah tangga mereka nggak seindah seharusnya. Tapi jika itu membuat Gandhi harus datang kemari mengharap dukunganku, maka sebaiknya keinginan itu kubatalkan saja.
"Not really, Ran."
Nah, 'kan. Apa kubilang?
"Dia ... bukan kamu," lanjutnya lirih sembari menundukkan kepala. "Miskomunikasi menjadi kebiasaan kami setelah menikah."
"Terus kamu datang malam-malam begini buat curhat masalah rumah tanggamu?"
"Aku mau minta maaf. Apa yang kulakukan sudah menyakitimu selama ini. I'm truly sorry." Dia mendongak karena nggak kunjung mendengar responku. "Say something, Ran."
"Like what?" tanyaku. "Aku nggak punya kewajiban buat menghiburmu, 'kan?"
"Setidaknya katakan sesuatu."
Aku menggeleng pelan. "Nggak ada yang perlu kukatakan. Maaf kalau kesannya aku nggak bersimpati dengan masalah rumah tangga kalian, tapi sejujurnya aku justru senang melihat kalian begini. Pernikahan yang didasari pengkhianatan nggak seharusnya berakhir indah."
"Itu sebabnya aku datang ke sini, Ran. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita memulai dari awal lagi."
"Aku ingin," ulangku. "Setiap kalimat yang kamu ucapkan selama ini selalu diawali dengan dirimu. Baru sekarang aku menyadari betapa egoisnya kamu." Aku geleng-geleng kepala. "Aku benar-benar nggak mau lagi terlibat dengan kalian. Tolong biarkan aku melanjutkan hidup dengan tenang, Mas." Kemudian aku tertawa getir. "Aku nggak percaya baru saja memohon pada seseorang untuk dibiarkan hidup tenang," gumamku.
"Apa kamu masih menyimpan cincin pertunangan kita? Barang-barang yang pernah kuberikan dulu selama kita pacaran?"
Aku ingin berteriak di depan wajah Gandhi kalau semua barang dan cincin darinya sudah kubuang ke tempat pembuangan akhir. Amarah dan kekecewaan membuatku berpikir pendek. Seharusnya barang-barang itu kukembalikan saja. Aku nggak ingin berhutang pada Gandhi seandainya dia berniat memonetisasi semua barang yang pernah dia berikan untukku.
"Nggak kusimpan," semburku kemudian.
"Jujurlah ke dirimu sendiri, Ran. Apa yang kita miliki selama delapan tahun seharusnya layak buat diperjuangkan."
"Apa sih yang kamu mau, Mas? Memintaku jadi selingkuhan? Istri kedua? Kamu berniat poligami atau apa?" Aku mulai habis kesabaran. Lima menit yang kuberikan sudah terlewat sejak tadi, dan aku sangat ingin mengusirnya. Sebelum lelaki itu sempat menjawab, aku memberinya isyarat agar tutup mulut. "Jangan katakan apapun lagi. Jangan bikin aku makin muak."
"Aku nggak pernah melihat kamu membenci orang sebesar rasa bencimu ke aku, Ran."
"Ini bukan kebencian. Aku melakukan ini demi diriku sendiri."
"Lalu apa? Kamu ingin balas dendam?"
"Balas dendam?" Aku tersenyum getir. "Kalian nggak berhutang apa-apa padaku. Aku nggak akan menghabiskan waktuku untuk balas menyakiti kalian. Nggak sebanding dengan pengorbanan yang kubuat."
"Rani, ayolah!" Gandhi mencekal pergelangan tanganku dan rasanya ... duniaku langsung terbalik. Darahku serasa dipaksa turun dari kepala. Setiap jengkal pori-poriku mulai mengeluarkan keringat dingin.
Oh, jangan lagi ... please, ini bukan waktunya.
"Siapa lagi yang akan menerimamu selain aku, Ran?" Pertanyaan Gandhi berdengung di telingaku. Aku nggak benar-benar fokus padanya. Mengendalikan diri saja aku sudah kesulitan. Tanganku meraih-raih udara agar bisa berpegangan pada sesuatu ... atau apa saja!
Pandanganku mulai mengabur. Aku harus pergi dan bersembunyi. Namun cekalan tangan Gandhi sangat kuat, sedangkan pemberontakanku nggak sebanding. Aku merasa hampir nggak berdaya. Jika terus berada di sini, aku cemas akan ambruk dan mempermalukan diriku sendiri di depannya.
"Tolong lepas," bisikku lirih. Aku menatap lokasi di mana tangannya berada.
"Siapa yang akan menerima perempuan bekas?"
Tatapanku beralih pada ekspresi jahatnya yang menyudutkanku. "Aku bukan sampah." Kalimat itu terus kuulang dalam kepalaku. "Bukan ..." Namun yang keluar dari mulutku hanya sebatas gumaman. Cekalan di tanganku terasa menyakitkan. Tulangku hampir remuk dibuatnya.
Mengapa aku nggak bisa menguasai diri di saat-saat begini?
"Laki-laki mana yang mau menerima perempuan bekas kayak kamu? Yang bersedia membuka kakinya secara sukarela? Yang masa lalunya suram?"
Dengungan itu hampir membuatku tuli.
"Jawab, Ran! Laki-laki mana!" hardiknya.
"Rani?"
Bayangan buram seseorang berjalan mendekat. Panca inderaku perlahan kembali sejak aku mendengar suaranya.
"Anda siapa?"
Lututku lemas. Aku hampir jatuh berlutut kalau bukan karena lengan kokoh seseorang yang menahanku. Kepalaku otomatis jatuh bersandar ke arahnya. Kuharap dia nggak keberatan.
"Tolong lepas tangan anda selagi saya masih bicara baik-baik!"
"Saya tanya anda siapa!" ulang Gandhi setengah membentak.
Aku terombang-ambing di antara batas kesadaran. Samar-samar kulihat dia meletakkan tangannya yang besar di atas pundak Gandhi, membuat mantan kekasihku itu merintih kesakitan dan melepaskan pegangannya terhadapku.
"Saya tahu anda pengacara dan ingin mengancam saya dengan pasal-pasal bullshit. Nggak akan mempan. Sebaiknya anda cepat pergi sebelum anda menyesalinya."
"Rani? Ran, kamu kenapa? Ya Allah, ada apa ini, Ko?"
Suara Bu Manda lah yang menarik kesadaranku kembali. Kupaksa kaki-kakiku berdiri menopang tubuh, namun lengan besar yang memelukku nggak membiarkanku melakukannya.
"Ko Barra," bisikku. Kini aku bisa melihat seberapa kuat pengendalian dirinya agar nggak meremukkan bahu Gandhi dalam genggaman. Detik-detik menegangkan baru berakhir setelah Ko Barra melepaskan pundak Gandhi. Lelaki itu masih meringis kesakitan sambil memegangi bahu ketika ia buru-buru masuk ke Picanto merah miliknya lalu menghilang dari pandangan kami.
Bu Manda bantu memegangiku. "Rani, kamu nggak pa-pa?" Rautnya nampak khawatir.
Aku menggeleng pelan. Kurasakan pelukan Ko Barra nggak mengendur sedikitpun. Sorot matanya nggak lepas dari arah mobil Gandhi berbelok. Ketenangan yang terpancar darinya malah terasa berbahaya.
Usai mengantarku masuk rumah, Ko Barra nggak langsung pergi. Dia duduk di sebelah Bu Manda di ruang tamu, berhadapan denganku. Tatapannya menunjukkan kalau dia bertekad nggak akan pergi sebelum aku menjelaskan hal yang ingin didengarnya.
"Saya tahu kamu nggak mau membahas ini dengan kami." Bu Manda membuka pembicaraan. "Tapi, Ran ... saya udah nggak tahan lagi. Saya sempat melihat apa yang terjadi di luar. Kamu pernah hampir pingsan kayak tadi sewaktu melihat jenazah ayahmu. Kami mengira kamu hanya syok waktu itu." Dia meraih tanganku yang sedingin es di atas pangkuan. "Apa kamu sakit, Ran?"
Mulutku terkunci rapat. Yang bisa kulakukan hanya memandangi vas bunga di samping Ko Barra. Aku perlu waktu agar bisa kembali normal seperti sedia kala. Setelah itu, mungkin akan kupertimbangkan untuk bicara atau enggak. Kebimbanganku ini beralasan. Menceritakan masalahku ke orang-orang yang bukan psikolog atau psikiater hanya akan menambah masalah baru.
Berlebihan. Iman yang tipis. Kurang beribadah. Komentar-komentar semacam itu sudah pasti akan kudengar jika aku mulai membuka diri. Seakan, apa yang kualami ini hanya bagian dari sifatku yang haus perhatian.
Selama periode hening itu, Ko Barra mengajak Bu Manda bicara sebentar di dekat dapur. Aku nggak mendengar apa yang mereka bicarakan. Beberapa saat kemudian, hanya Ko Barra yang kembali ke ruang tamu. Kali ini dia mengambil tempat duduk tepat di sampingku.
"Koko dengar?" Aku pernah menanyakan ini sebelumnya. Tepatnya setelah keluarga ayah datang ke sini untuk menuntut jatah warisan dan Ko Barra berada di halaman untuk memperbaiki ban sepeda Kaif. Kuberanikan diri untuk menatap matanya. "Koko dengar semua yang dikatakan Gandhi?" ulangku lirih. Kuusap kasar air mata yang hampir jatuh ke pipi. Aku gusar, malu, tertekan, dan takut. Dia pasti jijik padaku. Dia pasti menyesal telah menerima perempuan murahan sepertiku bekerja di perusahaannya. Di matanya, aku pasti lebih rendah dari sampah.
Ko Barra menghela napas berat. Dia nggak menjawab pertanyaanku. "Bu Manda menemukan obat-obatan expired di kamarmu. Saya tahu itu obat apa."
Mau berapa kali pun kuamati, tatapan Ko Barra bukanlah jenis yang menghakimi. Dia hanya sedang menilaiku secara hati-hati. Aku merasa seperti kelinci terluka yang ketakutan ketika bertemu pemburu. Dia lah sang pemburunya, dan aku nggak tahu apakah dia ingin menjadikanku sebagai santapan atau peliharaan.
"Saya udah nggak mengonsumsi obat lagi," jawabku setelah lama terdiam.
"Lalu kenapa masih kamu simpan?"
Aku menggeleng tak yakin. "Bisa jadi jimat saya."
"Dan apa gunanya jimat itu, Ran?"
Pertanyaan Ko Barra membuat kepalaku makin menunduk. Buku jariku memutih di atas pangkuan. "Maaf, Ko," cicitku.
Kukira aku bisa pulih tanpa seorang pun tahu. Kukira aku nggak akan perlu melalui percakapan semacam ini. Kukira hanya para ahli lah yang tahu masalah-masalahku.
"Sepulang dari resepsi waktu itu, saya mencari tahu apa nama penyakit yang disertai gejala-gejala seperti yang kamu alami. Zaman sekarang kita bisa nanya ke dokter lewat aplikasi. Sayangnya saya nggak dapat jawaban pasti karena gejala-gejala yang saya lihat mengindikasikan jenis penyakit beragam." Ia meletakkan telapak tangannya yang besar di atas tanganku yang terkepal. "Bu Manda mencemaskan keadaanmu. Saya juga. Ada apa denganmu, Ran?"
"Saya ... belum siap bicara, Ko. Nggak tahu harus mulai dari mana." Sebulir air mataku menetes di atas tangannya. "Koko sama Bu Manda nggak perlu khawatir." Kupaksakan kepalaku mendongak setelah yakin kondisiku lebih baik. "Saya melakukan konseling dengan psikolog secara rutin."
Raut Ko Barra melembut. Nggak kusangka dia bisa menunjukkan ekspresi selain yang dia perlihatkan sehari-hari di kantor.
"Bukan berarti saya nggak percaya sama Koko atau Bu Manda," lanjutku cepat.
"Ya, saya mengerti." Dia menarik tangannya lagi. Sekilas, aku merasa hampa karena sentuhannya berakhir. "Laki-laki yang tadi," Dia terdengar ragu. "-dia pengantin yang waktu itu, 'kan?"
Aku mengangguk.
"Ada hubungan apa denganmu?"
"Seharusnya hari itu jadi hari pernikahan kami." Lidahku bergerak sendiri.
Sesuai dugaanku, Ko Barra termangu mendengarnya. Tak lama kemudian, dia kembali bertanya, "kenapa dia datang lagi mencarimu?"
"Saya nggak tahu." Itulah kebenarannya. Selama menjadi kekasih Gandhi, aku nggak pernah memahami cara berpikirnya. Bisa saja dia datang karena dia merasa bersalah lalu pembicaraan kami berakhir buruk, atau sebaliknya ... dia memang ingin datang karena penasaran bagaimana aku melanjutkan hidup. "Kesannya dia ingin minta kesempatan ke dua," lanjutku.
"Laki-laki semacam dia nggak pantas buat kamu."
"Saya lah yang nggak pantas buat dia. I'm the ugly one, inside and out."
Kelopak mata Ko Barra yang sudah monolid itu makin menyipit. "Kamu meyakini itu selama ini? Merendahkan dirimu sendiri di bawah orang seperti dia?"
Pandanganku kembali menunduk. Kalimat Ko Barra pedas sekali. "Terkadang saya ingin menunjukkan kalau saya sudah move on dengan memiliki pasangan baru yang bisa dipamerkan, tapi dia selalu muncul di waktu-waktu yang nggak terduga." Pertanyaan Gandhi kembali terulang di kepala. Memangnya ada laki-laki yang mau menerima perempuan murahan sepertiku?
Aku selalu merasa tertampar setiap kali Gandhi mengatakan hal itu. Pernah tidur dengan kekasih yang dicintai semestinya menjadi pengalaman indah. Mengapa dengan Gandhi berbeda? Aku kesulitan mengikhlaskan kesucianku padanya. Kali pertama terasa bagai neraka. Dia bilang dia mencintaiku dan akan melakukannya sehati-hati mungkin. Aku langsung teringat pada ayah. Waktu itu aku yakin bisa bertahan menghadapi amarah ayah, namun tidak dengan kekecewaannya.
Karena bayangan wajah kecewa ayah, aku berani menolak Gandhi. Tapi dia tetap memaksaku. Dia nggak peduli pada air mata dan permohonanku minta dilepaskan. Tujuannya cuma satu. Menuntaskan hasratnya sendiri. Ketika mimpi buruk itu berakhir, dia berlutut memohon maafku, dan aku memaafkannya. Semudah itulah. Dan kali berikutnya sama saja.
Selama bertahun-tahun kuanggap diriku ini menjijikkan. Di satu sisi, aku sangat mencintai Gandhi sampai takut kehilangan karena hanya dia yang selalu ada untukku. Namun di sisi lain, saat kulihat raut Gandhi ketika menginginkanku ... aku kembali jatuh ke lubang hitam sama. Setiap kali kami melakukannya, ragaku seperti tak bernyawa. Aku lebih menyukai kenyataan bahwa jiwaku pergi berkeliling selagi ragaku dipakai untuk memuaskannya. Dan jika dia sudah selesai, jiwaku akan kembali ke rumah agar bisa kembali melakukan tugasku untuk mencintainya.
Aku amat menyedihkan, bukan?
"Move on nggak melulu harus punya pasangan baru, Ran. Ikhlas melepas masa lalu dan memaafkan diri sendiri juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses move on. Kalau kamu melanjutkan hidup dengan terus membawa beban masa lalu, artinya move on yang kamu jalani itu sudah gagal total."
Aku memejamkan mata. Kata demi kata yang terucap dari bibir Ko Barra mengingatkanku pada para psikiater dan perawat di rumah sakit. Lukaku perlahan terbuka kembali. Rasanya amat menyakitkan sampai aku merasa ingin mati saat itu juga. "Selama ini ... saya sudah berusaha mati-matian, Ko." Aku kembali memandangnya dengan harga diri yang tersisa. "Saya nggak sekuat orang lain yang mampu menatap masa lalu dengan dagu terangkat. Saya pernah berusaha, tapi selalu gagal."
"Rani, saya nggak bermaksud-"
"Saya tahu maksud Koko." Aku bangkit berdiri. "Koko nggak ada bedanya dengan orang-orang itu. Kenapa saya harus memberitahu Koko masalah saya kalau ujung-ujungnya bakal dihakimi juga?"
"Menghakimi kamu adalah hal terakhir yang saya pikirkan, Rani. Saat ini, kamu lah yang menjadi concern saya. The whole you. Saya mencemaskan kesehatanmu. Saya ingin tahu apa yang kamu sembunyikan di balik topeng itu. Saya ingin tahu apa yang sebenarnya kamu pikirkan di saat keluargamu peduli sama kamu tapi kamu-" Dia menghentikan kalimatnya lalu menghela napas. "You've been through shit, I can see that clearly. Karena itulah, Ran ... untuk sekali saja, bagi rasa sakitmu itu dengan seseorang."
"Nobody deserves my pain, Ko."
"Jadi kamu lebih suka memeluk rasa sakitmu sampai mati?" Rahangnya mengeras, begitupun dengan sorot matanya.
"Mungkin," gumamku. "Lebih baik begitu daripada membuat orang lain kecewa sama saya." Kali ini aku mengucapkannya lebih keras.
"Saya sudah kecewa." Usai mengatakan itu, Ko Barra bangkit dan pergi.
***
.
.
.
Gimana menurut kalian tentang project-ku yang ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top