14 - {MEMBUKA HATI}
Baaa ... surprise. Senin sore jgn pada murung, melipir bentar baca Ko Botak.
Enjoy ....
***
Perang dingin yang terjadi antara aku dan Bu Manda masih berlangsung sampai hari ini. Itupun jika bisa disebut perang dingin. Kami bukannya nggak bicara sama sekali. Bu Manda masih mengurus rumah dengan baik dan meminta izinku jika ingin merubah atau menambah sesuatu. Nah, di situlah masalahnya. Bu Manda membutuhkan persetujuanku seolah ada hirarki yang menciptakan jurang pemisah di antara kami. Rasanya nggak nyaman, jadi kupikir keadaan canggung ini akan cepat berakhir jika aku bicara dengannya. Aku mendambakan situasi ideal di mana Bu Manda bukan hanya minta persetujuanku, tapi juga pendapatku. Aku memang terbiasa hidup sendiri. Namun bukan berarti aku nggak butuh teman mengobrol.
Ah, kenapa aku mengeluh?
Bukankah aku yang membuat Bu Manda bersikap begini?
Aku lah yang terlanjur dikuasai gelombang emosional tempo hari karena teringat ibu dan masa kecilku, padahal Bu Manda hanya bersikap baik.
Orang yang kucari nggak terlihat di manapun. Toko kami dibiarkan buka meski nggak ada yang menjaga, begitu pun dengan rumah yang nggak dikunci padahal ditinggal penghuninya keluar.
Aku menghela napas berat. Sudah berapa kali kutegur Bu Manda agar kebiasaan di kampung nggak dibawa ke sini. Meninggalkan rumah dan toko tanpa penjaga sama saja mengundang maling masuk ke rumah. Ya, aku tahu kompleks ini cenderung aman karena dijaga 24 jam oleh satpam, tapi bagaimana dengan penduduknya sendiri?
Astaga, pikiran-pikiran negatif itu segera kuenyahkan secepat datangnya.
Karena nggak menemukan siapapun di rumah, akhirnya kuputuskan untuk menunggu di teras. Aku yakin mereka akan pulang sebentar lagi, dan dugaanku terbukti.
Tangisan Kaif terdengar lebih dulu sebelum sosoknya muncul. Aku sampai harus mengucek mataku dua kali supaya nggak salah lihat. Aku hafal suara tangisan Kaif, tapi yang datang bukan dia. Sesosok anak kecil berlumur cairan kehitaman dari kepala sampai kaki berjalan masuk ke halaman. Baunya menyengat. Ketika melihatku, tangisannya makin kencang. Dia nggak berani melangkah lebih jauh.
Aku tergesa menghampirinya begitu menyadari kalau sosok yang baru keluar dari selokan itu memang adik sambungku.
"Ya ampun!" desahku pelan di antara tangisannya yang memekakkan telinga. "Kamu habis nyebur di mana, If?"
Seolah masih mungkin, jeritan Kaif makin kencang. Nggak kurang akal, aku segera mengambil selang dan menyalakan kran. Kusuruh Kaif berdiri di dekat penutup gorong-gorong, lalu aku menyemprotnya.
"Jangan gerak, di situ aja! Kamu bau!"
Kini Kaif sesenggukan. Bocah itu pasrah menerima semprotan air dari selang yang kupegang. Kedua tangannya tetap di sisi tubuh sedangkan lehernya mendongak setiap kali air menyemprot kepalanya. Matanya terpejam kuat-kuat. Aku mengulum senyum karena wajahnya nampak menggemaskan.
"Mana Ibu?" tanyaku.
"Nggak ... tau," jawabnya menahan isakan.
"Habis nyebur di mana?"
"Di depan, Kak." Ia menggosok hidungnya yang kemasukan air. Kini aku bisa melihat warna bajunya lebih jelas. Kotoran yang melumuri tubuhnya luntur mengaliri ke gorong-gorong. "Sepeda Kaif nyangkut di sana."
"Kenapa bisa masuk got?"
Dia sesenggukkan tanpa berani melihatku. Bibirnya menekuk ke bawah, dan tangannya menarik-narik ujung kaos. Aku kasihan sekaligus ingin tertawa.
"Tadi main sama siapa?" tanyaku lagi.
"Sendirian."
"Udah tahu magrib-magrib gini bukannya pulang malah keluyuran. Masih untung nggak dibawa nying-nying."
"Apa nying-nying, Kak?"
"Hantu. Keluarnya waktu magrib doang, suka nyulik anak kecil terus dijadiin patung lilin," sahutku asal. Aku sedang berniat menakut-nakutinya supaya ingat kalau waktu bermain ada batasnya.
Dari rautnya, aku tahu Kaif percaya kata-kataku barusan.
"Mau dibawa nying-nying?"
Dia menggeleng dengan wajah polos.
"Janji nggak keluar magrib-magrib lagi?"
Kali ini kepalanya mengangguk.
"Sini!" ujarku setelah mematikan kran air. "Copot bajumu! Mandi di dalem."
"Malu, Kak. Kata Ibu nggak boleh copot baju di luar."
Aku berdecak. "Biasanya kamu lari-lari pake celana dalem doang. Buruan, If! Nanti masuk angin. Atau mau kupanggilin nying-nying?"
Kaif buru-buru melepas kaos dan celananya lalu ngacir masuk ke rumah. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Saat hendak memungut baju Kaif, kudengar Ko Barra mengklakson dari seberang. Ford Rangernya nggak langsung masuk ke garasi melainkan diparkir di depan rumah. Dia turun dari kursi pengemudi.
"Kaif mana, Ran?"
"Mandi, Ko. Abis nyebur got," jawabku singkat.
"Oh, pantesan. Berarti sepedanya emang punya dia." Lelaki itu menurunkan sepeda milik Kaif dari bak belakang. Setirnya bengkok dan ban depannya berlumuran kotoran hitam. Baunya mirip dengan Kaif ketika bocah itu pulang ke rumah.
Ko Barra menenteng sepeda itu dengan satu tangan untuk diletakkan di halamanku.
"Saya temuin di dekat gerbang masuk. Nyangkut separuh. Dia pasti kesusahan ngambilnya."
"Pulang-pulang item semua. Nangis kenceng banget," ujarku. "Makasih, Ko."
Ko Barra hanya mengangguk. "Anak-anak yang baru pulang dari masjid bilang kalau Kaif jatuh sendiri. Mungkin belum terlalu mahir naik sepeda, makanya dia nyemplung ke sana."
"Koko jeli banget ngeliat sepeda Kaif."
"Bukannya jeli. Emang sepeda adik kamu posisinya narik perhatian. Saya angkut aja sekalian." Dia melihat sekeliling. "Toko rame?"
"Ada aja yang beli. Koko mau beli telur lagi?"
"Boleh, deh. Sama kecap."
"Yang kemarin udah abis?" Alisku terangkat.
"Buat dibawa ke kantor. Yang kemarin buat di rumah."
Dia mengikutiku masuk ke toko. "Koko nggak pernah keluar ruangan pas jam makan siang. Bawa bekal?"
"Iya, dong. Mama saya suka ngomel kalau bekal di tas saya nggak abis. Sekalian ngirit."
"Bener juga." Aku menimbang telur satu kilo. "Sekali makan porsinya Koko banyak bener. Bisa bangkrut kalau tiap hari makan di luar. Jajan aja sampe ngabisin duit kas kantor."
Ko Barra berdeham pelan. "Ran, saya dengar."
Aku meliriknya canggung. Kukira tadi aku hanya bergumam saja. Ternyata suaraku kencang, toh.
Kedatangan Bu Manda dan Bu Agatha naik becak motor membuat kami kompak menghampiri mereka. Bu Agatha turun lebih dulu, kemudian membantu Bu Manda yang agak kepayahan. Wajah ibu sambungku nampak pucat. Sepasang koyo menempel di pelipisnya.
"Bu Manda kenapa, Ma?" Ko Barra mengambil alih pegangan Bu Manda pada Bu Agatha yang sudah lanjut usia. Aku memapah di sisi satunya setelah membayar ongkos becak motor.
"Kurang istirahat kalau kata dokter. Mama habis nganter ke klinik depan kompleks," sahut Bu Agatha. "Tadi hampir pingsan di toko waktu ngobrol sama Mama."
Aku bisa membayangkan situasinya. Mereka pasti langsung buru-buru ke klinik sampai nggak sempat mengunci rumah dan toko. Mendadak aku merasa bersalah. Aku kurang memperhatikan keadaan Bu Manda selama ini. Rumah dan toko diurusnya sendirian.
"Saya nggak pa-pa. Dibuat tidur-tiduran juga sembuh." Bu Manda akhirnya bersuara setelah dia dibawa ke ruang tamu. Kaif berdiri basah kuyup di ambang pintu kamar mandi. Dia kelihatan ragu mau mendekat atau tidak karena belum mengelap tubuhnya dengan handuk.
"Saya bikinin teh panas, ya?"
Tanpa menunggu persetujuan Bu Manda, aku buru-buru ke belakang untuk merebus air sekaligus mengurus Kaif. Busa sampo masih menggumpal di bagian belakang kepalanya. Aku memandikan bocah itu sekali lagi.
"Ibu kenapa, Kak?" tanyanya ketika aku membalut tubuhnya dengan handuk.
"Lagi sakit. Kamu nggak boleh berisik dan jangan nakal biar ibumu cepat sembuh."
"Sakit apa?"
"Sakit capek."
Usai menggosok perut dan punggungnya dengan minyak telon, aku menaburkan bedak seperti yang biasa dilakukan Bu Manda. Meski hasilnya lebih mirip topeng, setidaknya Kaif kelihatan segar habis mandi.
Saat aku menghidangkan tiga cangkir teh untuk tamu dan Bu Manda, Ko Barra sudah pergi. Teh untuk Ko Barra kuberikan pada Kaif yang ikut-ikutan nimbrung di sebelah kami.
"Ibu sakit, ya?" tanya Kaif sambil memijat lengan Bu Manda.
"Iya. Mandi sendiri?"
Kaif mengangguk. "Tadi Kaif masuk got, Bu. Sepedanya lupa direm."
Bu Agatha mengangkat Kaif ke pangkuannya. Cukup mengejutkan melihat beliau masih sekuat itu. "Terus?"
"Dimarahin Kak Rani," jawabnya lirih.
Bu Manda melirikku sambil tersenyum. "Masih bagus dimarahin. Kalau Ibu yang tahu pasti udah Ibu jewer. Keluyuran sampai sore."
Kukira Bu Manda akan memarahiku balik karena mengomeli anaknya. Namun nyatanya enggak. Obrolan Bu Manda, Bu Agatha, dan Kaif mengalir secara natural. Aku nggak menemukan kesempatan untuk ikut nimbrung atau bertanya macam-macam. Ketika ada kesempatan pun, mulutku sulit bergerak. Aku menyerah. Ketika aku beranjak dari sana, nggak seorang pun yang menyadarinya.
***
"Koko belum pulang?"
Atasanku itu menoleh. Aku menuruni undakan teras untuk menghampirinya. Sepeda Kaif yang tadinya kotor kini sudah kinclong. Setirnya juga sudah lurus. Aku menghela napas pelan lantaran lagi-lagi didahului oleh Ko Barra. Seharusnya ini menjadi kewajibanku.
"Nanggung, Ran. Biar sepedanya bisa dipakai Kaif lagi besok." Ko Barra mundur selangkah untuk memperhatikan hasil kerjanya. "Have you found him? Identitas si pengirim paket misterius?"
Aku menelan ludah sebelum menjawab lirih, "belum."
Dia berdecak pelan sebelum membuka ponsel untuk menunjukkan sesuatu di sana. "Kenal?"
Di layar ponsel Ko Barra terpampang foto jarak jauh seseorang yang agak blur. Wajahnya nggak kelihatan sama sekali. Seragamnya menunjukkan kalau dia merupakan kurir salah satu perusahaan ekspedisi.
"Saya disuruh lihat apa, Ko?" Aku mendongak ragu.
"Ini. Kurir. Saya dapat foto ini dari CCTV gerbang depan."
"Ya, lalu?"
"Kita bisa ngelacak pengirimnya dari kurir ini."
Aku masih mengerjap. Seandainya bisa pun, bagaimana caranya kami tahu siapa identitas kurir itu?
"Kemarin saya ngobrol-ngobrol sama satpam di depan," imbuh Ko Barra seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. "Kurir yang ngirim paket itu sering ngirim barang di sekitar sini. Kalau ketemu lagi, saya minta satpam ngabarin saya."
"Oh, gitu." Kepalaku mengangguk sekilas. "Tapi, Ko ... kalau pas dia dateng tapi Koko di kantor gimana?"
"Saya suruh tahan sampai saya dateng."
Aku mengernyit. "Kalau dia betulan kurir, gimana? Nahan dia sama aja ngehambat kerjaan pengiriman yang jadi tugas dia hari itu. Setahu saya kerjaan kurir itu ditarget, lho."
Ko Barra berdecak lagi. "Kamu ini. Malah mikirin kerjaan kurir. Kalau dia nggak salah, rejeki dia nggak akan tertukar sama yang lain."
"Gimana dengan orang-orang yang nungguin paket dari dia? Saya pernah belanja online, Ko. Tracking resi itu jadi kegiatan yang paling exciting buat saya. Apalagi kalau paket yang saya tungguin itu saya butuhin banget."
"Ran," panggilnya.
"Iya, Ko?"
"Kamu habis makan apa hari ini? Kok tumben ceriwis sekali." Dia menatapku geli.
Pipiku mendadak terasa panas, jadi aku memalingkan muka ke arah lain.
"Terus mau kamu gimana? Semua-semua salah, sedangkan kamu sendiri belum menemukan pelakunya." Ko Barra kembali ke mode serius. "Coba, deh. Saya ingin dengar rencana kamu gimana caranya menangkap pelaku itu? Dia nggak mungkin iseng. Anak anjing, lho itu, Ran."
Ketika aku nggak kunjung menjawab, Ko Barra justru menegakkan kepalanya seraya melipat kedua tangan di depan dada. Untuk mengintimidasiku barangkali. Tato singa mengaum tepat berada di dekat kepalaku. Aku menelan ludah susah payah.
"Kamu mencurigai seseorang. Iya, 'kan?" tanyanya lagi.
Akhirnya aku mengembuskan napas berat. Kurasa aku memang butuh bantuannya.
"Awalnya iya."
Ko Barra menaikkan sebelah alis. "Dan?"
"Saya masih nggak yakin." Aku memandangnya sesekali demi mengumpulkan keyakinan untuk membicarakan ini. "Saya pernah menyelamatkan seorang remaja yang disekap sama pacarnya selama lima bulan. Dia diculik, diperkosa berkali-kali sampai hamil, lalu keguguran. Pacarnya ini ... agak gila. Sebelum ditahan polisi, dia sempat kabur dan meneror saya. Dia datang ke kosan saya untuk nganter paket yang isinya bangkai kucing. Sewaktu kejadian, saya lagi di kampung untuk mengurus pemakaman ayah. Sampai sekarang kasusnya masih bergulir, meski dia sudah ditahan."
"Damn," umpat Ko Barra pelan.
"Saya langsung teringat sama dia, makanya kemarin saya ngajak ketemu saudara kembar korban yang pernah bantu saya nyari kakaknya. Dia ngasih tahu saya tentang perkembangan kasus itu."
"It isn't going well, is it?"
Aku mengangguk. "Keluarga tersangka melakukan mediasi dengan keluarga korban. Mereka ingin bertanggung jawab dengan cara menikahkan tersangka dan korban. Keluarga tersangka yakin kalau anak-anak itu saling mencintai."
"Sinting!" Lagi-lagi Ko Barra mengutuk. "Bagaimana keadaan korban?"
"Masih di rumah sakit jiwa, tapi kondisinya stabil."
Ko Barra geleng-geleng kepala. "Kenapa masih ada orang yang tega melakukan itu pada anak gadis orang lain?" gumamnya gusar.
"Percaya atau enggak, setiap hari selalu ada pengaduan yang masuk ke LBH. Rata-rata kekerasan seksual pada anak di bawah umur."
Ko Barra mendesah pelan sembari mengusap dadanya tak habis pikir. "Ternyata masih banyak orang gila." Dia menatapku. "Kamu berurusan dengan orang-orang mengerikan itu selama ini?"
"Iya. Kurang lebih."
"Saya bertindak benar sudah mengajakmu bergabung ke perusahaan saya."
Aku tertawa kecil. "Saya sudah resign sebelum diajak Koko bergabung."
"Yang penting kamu sudah berhenti dari sana. Saya nggak bisa membayangkan manusia-manusia macam apa yang kamu hadapi selama di LBH. Biasanya orang bekerja untuk dapat uang dan stress, bukannya teror. Itu nggak sepaket."
Lagi-lagi aku tertawa. Perasaanku jadi ringan sejak bicara dengannya. Dia masih bosku yang suka mengeluh seperti bayi besar di kantor, namun ketika kami sedang nggak dalam kondisi yang menuntut profesionalitas, dia menjelma jadi teman bicara yang menyenangkan. Kuharap aku punya satu teman sepertinya. Apalagi ekspresinya saat ini membuatku sulit menghentikan tawa.
"There, there. Glad to see you're entertained," cibirnya.
Kuhapus sebulir air mata di ujung mataku. Sudah lama aku nggak merasa selepas ini.
"Kalau Koko udah dapat kabar dari satpam, jangan lupa ngasih tahu saya, ya, Ko?"
"Cepat juga kamu berubah pikiran."
"Soalnya saya nggak punya jalan keluar yang lebih baik dari rencana Koko."
"Sure." Dia manggut-manggut. "Gimana keadaan ibu sambungmu?"
Aku menoleh ke belakang seraya menggaruk pelipis yang nggak gatal. "Saya belum bicara dengannya."
"Saya sempat dengar dari Mama kalau belakangan ini hubungan kalian kurang baik."
"Begitulah," sahutku. "Nothing's new."
"Bu Manda kelihatan tulus peduli sama kamu. Bukannya saya ingin mencampuri urusan kalian. Saya cuma ngasih tahu saja, seandainya kamu kurang peka."
Aku mengangguk. "Saya tahu, kok. Saya hanya butuh waktu untuk terbiasa. Selama ini kami nggak pernah tinggal serumah."
"Open your heart wider, then. Menerima kehadiran seseorang nggak cukup hanya dengan membuka pintu rumah. Hati pemiliknya juga harus terbuka agar orang itu bisa masuk."
Senyumku luntur seiring kenyataan yang baru kusadari dari kata-katanya. Mungkin Ko Barra benar. Aku lah yang menawarkan tempat tinggal dan kehidupan baru pada Bu Manda. Tapi apakah aku sudah siap untuk menerima dia seutuhnya sebagai keluarga?
Hal itu membuatku bertanya-tanya sekarang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top