13 - {UNSETTLED CASE}
"Ada yang ngirim paket buat kamu. Ditaruh di depan pintu tadi pagi." Bu Manda menunjuk paket yang dimaksud. Ukurannya sebesar kotak sepatu. Ketika kuperiksa, nggak ada nama atau alamat pengirimnya.
"Saya berencana ngajuin permohonan pengesahan pernikahan Bu Manda sama ayah ke Pengadilan Agama hari ini," ujarku sambil menimbang paket di tangan karena penasaran apa isinya. "Saya punya kenalan lawyer yang bisa bantuin ngurus di sana. Tahun depan Kaif masuk TK. Surat-suratnya harus lengkap."
"Kamu atur aja, Ran," sahutnya sambil mengelap meja makan.
Rasanya déjà vu. Beberapa hari lalu aku juga mengatakan hal yang sama saat Bu Manda bercerita tentang rencana syukuran rumah dan toko baru. Acara itu berlangsung lancar tanpa melibatkanku sama sekali. Kemudian pagi ini Bu Manda jadi agak cuek. Meja makan kosong, padahal dia bangun subuh seperti biasa. Apa ini gara-gara dia tersinggung aku menolak sarapan buatannya tempo hari? Atau gara-gara aku nggak membantu di acara syukuran?
Hari sudah beranjak siang. Aku nggak ingin terlambat bekerja karena urusan paket dari pengirim misterius. Begitu kotaknya dibuka, bau busuk menguar seketika. Aku mundur beberapa langkah untuk menutup hidungku rapat-rapat.
"Belanja apa?" Bu Manda yang mengira paket itu berisi belanjaan online-ku sontak memekik. "Bau apa ini? Itu apa, Ran?"
Kami sama-sama mendekati kotak yang teronggok di atas meja. Isinya bangkai anak anjing.
"Astaghfirullahaladzim!" Kemudian Bu Manda berlari ke toilet untuk muntah-muntah.
Sambil menutup hidungku dengan lengan, kuperiksa kembali alamat penerima dan pengirim di permukaan kotak. Hanya ada alamat rumah dan namaku yang dicetak tebal. Nggak ada petunjuk tentang pengirimnya.
"Buang, Ran!" Bu Manda kembali dengan wajah ditutup handuk.
"Bu Manda tahu siapa yang ngirim?" Suaraku teredam di balik lengan.
"Nggak tahu! Waktu saya buka pintu udah ada paket itu di teras. Saya bawa masuk karena ada namamu di situ."
Kututup kembali kotak itu agar bisa kubawa keluar. Kelamaan berada di sini hanya akan membuat rumah kami ikut berbau busuk. Saat melewati Bu Manda, aku mengambil handuk dari tangannya.
"Mau dibawa ke mana?" tanya Bu Manda.
"Dikuburin. Sebelum jadi begini, dia juga makhluk hidup," ujarku dengan jantung berdebar.
Memiliki sebuah halaman kecil di depan teras kuanggap sebagai suatu keberuntungan. Selain rumput dan pohon tabebuya, tanah itu nggak ditanami yang lain. Perutku mual. Entah sudah berapa hari bangkai ini tersimpan dalam kotak. Asam lambungku terancam naik ke tenggorokan. Kuletakkan kotak itu di tanah agar bisa menjauh beberapa saat. Aku perlu udara segar.
"Kenapa, Ran?" Ko Barra yang kebetulan sedang memanaskan mobilnya menatapku heran.
Aku mengibaskan tangan sambil berusaha mengatur napas. Tingkahku pasti membuatnya bingung. Kutelan ludah beberapa kali supaya nggak muntah.
"Sakit?" Lelaki itu justru mendekat. Langkahnya mendadak terhenti sebelum menyeberangi jalan. Dia mengendus udara. "Where this foul smell comes from?"
Begitu asam lambungku kembali netral, baru lah aku bisa bicara. "Bangkai binatang."
Tatapan Ko Barra langsung mengarah pada kotak yang kuletakkan di atas rumput. Tanpa ragu dia mendekat ke sana untuk memeriksa.
"Ko," panggilku.
Langkahnya masih lebar melewatiku menuju halaman. Aku tergopoh menyusulnya.
"Who the fuck sent you this?" Setelah memeriksa isinya, Ko Barra mencari-cari nama dan alamat pengirim di permukaan kotak.
"Itu ... udah biasa," jawabku sambil menelan ludah.
Kepalanya yang berkilau di bawah cahaya matahari pagi itu menoleh ke arahku. Sorotnya menyeramkan. "Udah biasa?" ulangnya datar. "Memangnya musuhmu berapa banyak sampai kamu menormalisasi tindakan semacam ini?"
"Risiko kerjaan, Ko. Saya pernah kerja di LBH. Teror kayak gini sering saya alami." Aku berkata terus terang. Sebelum pindah kemari, aku sering gonta-ganti alamat dan nomor ponsel karena suami salah satu klienku pernah melempar indekosku dengan batu sampai kaca-kacanya pecah. Aku heran dari mana mereka tahu alamat rumahku yang baru padahal aku udah nggak bekerja lagi di LBH.
Ko Barra mengusap kepalanya sambil memandangku agak lama.
"Kamu tahu ini berbahaya, 'kan?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Saya udah biasa-"
"Stop. Menormalisasi. Tindakan. Gila," potongnya setengah menggeram. Aku sampai terperanjat. "Biar saya yang lapor polisi." Sebelum dia menekan tombol panggil di layar ponsel, aku lebih dulu menahannya.
"Ko, saya bisa selesaikan ini."
"Oh, ya? What are you gonna do about this?"
Aku menggertakkan gigi. Pagiku sudah cukup buruk gara-gara bangkai itu, sekarang Ko Barra malah menggores egoku. "I don't know. But I will do something about it," desisku. Aku hanya nggak ingin disalahkan lalu diminta pergi dari kompleks cuma gara-gara penduduk di sini merasa terancam.
Ko Barra menghela napas. Ponselnya kembali dimasukkan ke saku celana. "Saya hanya cemas karena ini terjadi di lingkungan kita. Mama saya udah tua. Nggak ada laki-laki dewasa di rumahmu. Bagaimana jika teror ini cuma permulaan?"
"Saya janji ini nggak akan terjadi lagi, Ko."
"Rani ..." Raut Ko Barra berubah lebih lembut. "-jangan buat janji semudah itu untuk masalah seserius-"
"Saya udah terbiasa menghadapi teror kayak gini. Lagipula, kompleks kita tergolong aman. Si Pengirim pasti nyuruh kurir buat ngirim paket itu ke sini karena dia nggak berani datang sendiri. Makanya satpam di gerbang depan ngebiarin dia masuk."
"Let me help. I'm worried about my family."
Aku mengangguk. "Saya akan kabarin Koko kalau saya butuh bantuan." Sebelum hari berakhir, aku pasti berhasil menemukan siapa si pengirim paket. Aku pernah melakukannya saat masih bekerja di LBH.
"Tolong ambilkan sekop," ujar Ko Barra tiba-tiba. Ketika melihatku belum beranjak dari tempatku berdiri, dia meneruskan, "-saya nggak menoleransi keterlambatan. Kalau saya yang terlambat sih nggak masalah karena saya bosnya."
Setelah mendengar itu, aku langsung berbalik untuk mengambil sekop di garasi. Bu Manda punya kebiasaan menanam rempah-rempah di halaman rumah. Selain untuk menghemat pengeluaran bumbu dapur, bisa sekalian membuat pemandangan hijau di rumah baru. Sekop menjadi benda yang wajib dimiliki. Sayangnya benda itu masih nganggur sampai hari ini karena Bu Manda sibuk mengurus toko.
"Jadi dikubur di mana, Ran?" Orang yang baru saja kupikirkan keluar dari pintu depan sambil memperhatikanku dan Ko Barra yang sedang menggali halaman. "Aduh, Koko sampai ke sini segala." Ternyata bukan hanya aku, Bu Manda juga sungkan lantaran menganggap Ko Barra sering kami repotkan.
"Nggak pa-pa. Biar cepat."
Aku hanya berdiri di samping Ko Barra tanpa tahu harus melakukan apa.
"Sebaiknya kamu cepat berangkat ke kantor, Ran," ujar Ko Barra tiba-tiba.
Nah, benar juga. Ngapain aku nganggur di sini?
"Oh, iya." Ko Barra berdiri tegak sambil menumpukan tangannya di atas gagang sekop. "Kamu pakai baju yang nyaman untuk bekerja. Saya nggak mengharuskan perempuan yang kerja sama saya pake rok tiap waktu. Celana lebih bagus, demi efisiensi." Dia memperhatikan penampilanku dari kepala sampai kaki.
"Saya ... cuma punya ini, Ko. Nanti deh saya beli."
Ko Barra mengusap kepala. Rautnya nampak berpikir. "Ya, terserah kalau begitu." Dia berkata lirih.
***
Jam di layar ponsel menunjukkan waktu tengah hari. Aku punya waktu lima belas menit sebelum kembali ke kantor. Aku telah membuat janji dengan seseorang. Dia bilang ada waktu saat makan siang, jadi aku memilih sebuah Pujasera sebagai tempat pertemuan. Demi mengisi perut, aku memesan sepiring gado-gado dan teh panas. Makananku sudah habis sejak tadi, tapi orang yang kutunggu nggak datang juga.
Kuhubungi nomornya sekali lagi.
"Hallo?"
"Kak Ran, aku udah nyampe lokasi. Kakak di mana?"
Aku mengembuskan napas lega. Kukira dia nggak jadi datang. "Di depan stan rujak sama gado-gado. Aku pake baju coklat." Begitu melihat sosoknya celingukkan di pintu masuk, aku melambaikan tangan seraya mematikan panggilan. Gadis yang kutunggu berjalan cepat ke mejaku.
"Kak, maaf aku telat. Dosen aku nambah tugas di menit-menit terakhir." Dia melepas tas dan menyeka peluh di dahi dengan tisu.
"Minum dulu. Udah aku pesenin es jeruk." Kudorong gelas berembun ke arahnya.
Nama gadis ini Vivi. Dia adalah pelapor yang pernah membantuku menyelamatkan kakak kembarnya yang diculik. Kasusnya menjadi yang terakhir kukerjakan sebelum resign dari LBH.
Vivi mendesah lega setelah isi gelasnya tandas. Aku memesan segelas lagi untuknya.
"Kuliah lancar?" tanyaku.
"Beda jauh sama yang kuharapkan dulu. Kukira kuliah itu waktu mainnya banyak soalnya make baju bebas tiap hari. Ternyata lebih enak SMA." Bahunya merosot lesu. "Kak Rani udah resign dari LBH? Kenapa?"
"Udah lama mengabdi di sana. Nemu titik jenuhnya," jawabku seraya memainkan sedotan dalam gelasku sendiri.
Vivi mengernyit. "Titik jenuh? Kayak gimana, tuh?"
"Ngerasa jenuh sama rutinitas yang kita sukai, sampai kita nggak mau melakukannya lagi."
"Wah, kalo gitu aku juga udah nemu titik jenuhnya kuliah!"
"Hey, kamu baru semester satu!" Kulempar segumpal tisu bekas ke arahnya. "Kamu harus bersyukur punya kesempatan belajar di Universitas. Nggak semua orang seberuntung kamu. Pendidikan tinggi itu peluang untuk memperbaiki masa depan, lho."
"Memperbaiki?" Vivi mendengkus. "Dijalani aja belum, masa udah tahu mana yang perlu diperbaiki?"
"Terus kamu mau nunggu sampai menyesal dulu? Kalau pengen nyesal, tinggal bikin kesalahan aja. Bolos, malas ngerjain tugas, ntar didrop out, susah dapat kerja, hidup serba kekurangan, nggak bisa makan, kelaparan, terus ... mati, deh."
Vivi menegakkan punggungnya sambil mengibaskan tangan. "Iya, iya, Kak! Aku udah paham sekarang! Lagi capek, nih, masa diceramahin?" Bibirnya mencebik lucu.
Tingkahnya mengundang senyumku terbit.
"Ngomong-ngomong, Kak Rani ngajak Vivi ke sini mau bahas apa?"
"Pengen ngobrol aja. Udah lama banget kita nggak ketemu. Keadaan Vina gimana?"
"Alhamdulillah membaik, Kak. Pihak rumah sakit telaten banget. Vina udah bisa ngenalin kami, tapi masih takut sama orang-orang di luar keluarga, terutama laki-laki. Berkat Kak Rani, Vina punya kesempatan untuk dapat keadilan. Cuma masalahnya," gantung Vivi.
"Masalahnya apa?"
Vivi menghela napas sebelum melanjutkan. "Keluarga mantannya Vina dateng ke rumah untuk ngajuin kesepakatan damai. Mereka berharap kami merestui pernikahan Vina sama Samuel sebagai bentuk tanggung jawab."
Tanganku otomatis mengepal di atas meja. "Menikahi penculik, pemerkosa, sekaligus pembunuh?" Aku hampir memekik.
"Mereka bilang Vina keguguran akibat malnutrisi. Selama penyekapan itu Vina nggak mau makan, padahal Sam merasa udah berusaha nyukupin kebutuhan dia. Penuntut juga menghilangkan tuduhan pembunuhan itu karena nggak ada bukti."
Bahuku ikut lunglai mendengarnya. Menyuruh korban menikahi si Pemerkosa sama saja dengan membunuh korban perlahan. Mengapa logika seperti ini masih bertahan? Lalu bagaimana dengan hak asasi untuk hidup bebas tanpa ketakutan?
"Terus keputusan keluargamu gimana, Vi?"
Vivi mengangkat bahu. "Keluarga besar cenderung menyalahkan dan berharap supaya kami berhenti bikin gaduh. Masalah Vina dilihat sebagai beban dan aib bagi keluarga besar. Mereka menyarankan Vina tetap tinggal di RSJ atau berdamai dengan keluarga Samuel. Cuma itu pilihannya."
Minuman yang kupesan untuk Vivi tiba. Dia menunggu pramusaji meletakkan gelas lalu pergi sebelum melanjutkan lagi. "Ibu dan bapak hanya mau Vina sembuh. Menerima kesepakatan damai dari keluarga Samuel sama dengan menyakiti Vina. Meskipun nggak ada dukungan dari pihak keluarga besar, kami tetap ingin keadilan. Vina layak mendapatkannya setelah apa yang dia lalui."
"Orang-orang di LBH masih mendampingi kalian, 'kan? Komnas?"
"Kami udah beberapa kali ganti pengacara. Bahkan Kak Alana sendiri terkesan ingin menyarankan kami untuk menerima kesepakatan damai. Hanya Komnas yang menentang habis-habisan. Sampai sekarang kasusnya masih bergulir. Vivi kurang ngikutin lagi karena sibuk sama tugas kuliah."
Rahangku mengeras. Emosiku tiba-tiba memuncak karena mendengar pilihan Alana yang menurutku sangat absurd. Kuraih kedua tangan Vivi di atas meja, berusaha menyalurkan semangat dan kekuatan.
"Tetap kuat buat Vina. Keputusan orang tuamu udah tepat buat dilakukan."
Vivi membalas genggamanku. "Vivi cuma takut ibu sama bapak putus asa karena nggak didampingi Kak Rani lagi. Kami udah capek, Kak. Mental dan fisik."
"Orang tua mana yang rela anaknya diperlakukan seperti itu, Vi? Perasaan mereka pasti lebih hancur dari yang coba mereka perlihatkan ke kalian. Ibu dan bapakmu nggak akan semudah itu luluh," ujarku yakin.
Aku pernah melihatnya sendiri dulu. Saat Vina ditemukan dalam keadaan mengenaskan dan dibawa ke rumah sakit, ibu mereka menangis meraung-raung di koridor rumah sakit. Sedangkan bapak mereka duduk termenung di depan ruang operasi. Selama karirku di LBH, pemandangan itu menjadi satu-satunya hal yang menikam jantungku telak. Aku nggak sanggup menghibur mereka. Yang bisa kulakukan hanya menonton dan menunggu.
Kondisi Vina sudah jauh lebih baik sekarang. Sewaktu terakhir aku melihatnya, dia bisa diajak mengobrol meski tatapannya kerap kosong. Trauma mendalam karena tindakan yang dilatarbelakangi obsesi Samuel menjadikan Vina seperti cangkang tanpa jiwa. Mentalnya nggak stabil dan dinyatakan nggak bisa punya anak setelah rahimnya diangkat akibat keguguran. Di usia semuda itu, Vina mengalami kemalangan yang bertubi-tubi. Seandainya nggak ada support system kokoh seperti orang tua dan saudari kembarnya, mungkin sejak lama Vina sudah menuntaskan niatnya untuk mengakhiri hidup.
Dan sekarang keluarga Samuel mengajukan diri untuk bertanggung jawab dengan cara menikahi Vina?
Aku geram mendengarnya. Bajingan seperti Samuel harusnya membusuk di penjara sampai akhir hayat. Tapi aku nggak sanggup menjanjikan itu di depan Vivi. Aku sudah nggak bekerja di LBH. Keluarga Samuel juga punya koneksi di mana-mana. Membela keadilan Vina nggak cukup jika hanya bermodal keyakinan.
"Kak Rani nggak pengen balik ke LBH lagi?" tanya Vivi tiba-tiba. "Sejak Kak Rani pergi, Vivi merasa keluarga kami jadi rentan, nggak berdaya di bawah pengaruh orang-orang di sekeliling kami."
Rahangku mengeras. "Jangan takut, Vi! Kasus Vina pernah disorot media. Kita bisa dapatkan lagi dukungan masyarakat seperti dulu. Meskipun udah nggak kerja di LBH, kalian masih dapat dukunganku. Aku yakin pasti ada jalan."
Vivi mengangguk. Rautnya lebih tenang sekarang. Entah apa yang kupikirkan, berjanji semacam itu pada keluarga Vivi. Padahal aku saja sedang kesulitan menata hidupku lagi. Aku cemas lebih dulu goyah daripada mereka.
***
Obrolanku dengan Vivi selalu berputar di kepala sampai aku kembali ke kantor. Sebelum bertemu dengan Vivi, aku mencurigai Samuel sebagai orang yang mengirim paket misterius ke rumahku. Modus semacam itu pernah dia lakukan sebelumnya. Jadi Samuel kuanggap sebagai tersangka utama.
Tapi mengapa dia mengincarku lagi setelah aku keluar dari LBH? Bukankah dia masih mendekam di penjara? Atau jangan-jangan dia menyuruh keluarganya untuk-
Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. Kebiasaan berpikir yang tidak-tidak ini harus segera kuhentikan. Nggak ada bukti yang menunjukkan kalau pihak Samuel memiliki andil dalam pengiriman paket misterius itu. Lalu aku teringat janjiku pada Ko Barra. Aku sesumbar mengatakan kejadian yang sama nggak akan terulang lagi. Bagaimana jika besok aku menerima paket yang sama? Kalau Ko Barra melihatnya, dia pasti kecewa padaku.
Dering ponsel di meja mengagetkanku. Nama pengacara yang mengurus pengesahan pernikahan Bu Manda dan ayah tertera di layar. Buru-buru kuangkat panggilan itu sebelum deringnya berakhir.
"Hallo, Pak?"
"Ya, Rani. Saya udah nerima dokumen persyaratannya, bisa secepatnya saya urus."
"Baik, Pak. Mengenai biaya ..."
"Sudah, sudah. Anggap ini balas budi saya, ya. Kamu banyak membantu saya selama di LBH. Kalau nggak ada kamu, klien saya nggak akan mau bicara dengan saya."
Aku mengulum senyumku supaya nggak terlalu lebar. "Bener, Pak? Saya jadi merasa nggak enak lho ini."
"Nanti kamu kirimin sambal kecombrang aja beberapa botol buat istri saya. Dia ketagihan sama sambal buatanmu itu. Nggak kepengen jualan aja, Ran? Pasti laku keras, tuh."
"Wah, seandainya saya punya waktu, Pak. Kalau buat dikonsumsi sendiri sih nggak masalah, tapi kalau buat dijual, saya nggak mampu, deh."
"Ya, ya, ya. Kalau jualan memang harus konsisten, Ran."
"Ngomong-ngomong, persyaratannya udah nggak ada yang kurang lagi, Pak?"
"Ada foto pernikahan, tidak? Waktu ijab mungkin. Saya perlu data pendukung."
"Coba saya tanyakan dulu sama ibu sambung. Sepertinya ada."
"Nah, bagus itu. Saya tunggu fotonya, ya. Segera kalau bisa."
Setelah basa-basi singkat berikutnya, kami sama-sama memutus panggilan. Kuhela napas dalam-dalam dengan senyum tersungging di bibir. Masalahku kini berkurang satu.
Kepalaku otomatis mendongak ketika Ko Barra meletakkan sebuah cup tinggi berisi minuman. Logo di sekelilingnya kukenali sebagai milik coffee house ternama yang harganya terkenal mahal.
"Diminum kopinya biar makin manis kalau senyum," ujar Ko Barra sebelum menghilang ke ruangannya.
Pipiku menghangat. Kalimat Ko Barra sukses membuatku tersipu. Apa itu artinya aku nampak manis ketika tersenyum? Bukankah orang-orang bilang aku selalu nampak sedih? Apa itu tadi pujian? Ko Barra memujiku lagi?
Kubuka tutup cup dan mengendus isinya. Warna kopi yang dibelikan Ko Barra nggak hitam. Kayaknya ini varian kopi paling manis yang bisa dipilihnya.
"Kenapa senyum-senyum?" Mamet menghempaskan tubuhnya ke kursi sambil menyedot cup kopi yang hampir serupa dengan milikku. Bedanya, milik dia diberi campuran es dan berwarna merah muda. Ada semacam whipped cream atau frappe di atasnya. "Kamu dikasih kopi apa?" Dia mengambil alih gelas kopiku dan memerhatikan permukaan cupnya. "Widih, pake kata-kata segala. Smile more often." Dia mengembalikan kopi itu padaku.
Demi membuktikan ucapannya, aku memutar sisi cup agar bisa membaca sendiri. "Memangnya punya kamu nggak ada?"
"Punyaku cuma ditulis Red Velvet. Baristanya iseng kali. Muka Ko Nigel 'kan serem. Jadi disuruh rajin senyum," sahut Mamet seraya mengedikkan bahu.
***
.
.
.
Cerita Under The Trumpet ini rencananya nggak akan lebih dari 30 Bab.
Meski baru memasuki bab pertengahan dan menuju konflik utama, apa karakter tokoh-tokoh yang ada di sini udah menarik perhatian kalian?
Ko Barra?
Rani?
Please tell me more sebagai retribusi udah upload 3x seminggu sejak awal Januari kemarin hahaa..
See you next week, Folks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top