11 - {THE BIG GUY}

Olly masih di rumah sakit, jadi Ci Pan turut menemaninya sampai hari ini. Akibatnya Ko Barra mengomel pada Mamet sebagai bentuk protes lantaran Ci Pan dianggap PHP. Kerjaan di kantor sedang carut marut. Ko Barra baru menyadarinya saat aku dan Mamet mulai bekerja. Kemudian Ci Pan datang bagai malaikat penyelamat hanya untuk menghilang esoknya. Ko Barra bukannya kesal Olly sakit. Dia bilang turut bersedih karena kabar buruk itu. Harapan yang dibawa Ci Pan lah yang membuat Ko Barra uring-uringan.

"Saya kira bisa pulang tepat waktu karena Pandora memutuskan masuk sebelum masa cutinya berakhir. Tapi lihat, saya terlanjur senang dan menganggap enteng semua kerjaan, Pandora malah susah dihubungi," gerutu Ko Barra seperti bayi besar.

Mamet dan aku pasrah mendengarkan keluhannya.

"Coba, Ran, kamu kirim karangan bunga ke rumah sakit Olly," cetusnya tiba-tiba.

Mamet menyenggol kakiku sambil menggeleng.

"Ko, tadi pagi Ci Pan ngabarin saya kalau Olly udah lewat masa kritis. Karangan bunga biasanya dikirim sebagai tanda duka cita atau perayaan. Olly nggak dalam situasi dua-duanya," sahutku.

"Ya ditulis aja Semoga Lekas Sembuh, Olly. Kan nggak harus bermakna sedih, Ran."

Kukeluarkan kartu debit dari dalam laci mejaku. "Uang kas yang ada di sini tinggal dua setengah juta. Buat keperluan kantor yang mendesak. Selama saya kerja di sini, Ko Barra udah ngabisin sejuta buat camilan meeting doang. Padahal belum seminggu, lho."

Ko Barra terdiam, tapi rautnya ingin protes. "Karangan bunga berapaan, sih?"

Astaga, dia masih ngotot rupanya.

"Daripada beli karangan bunga, mendingan Koko jenguk ke rumah sakit."

Lelaki itu berpikir cukup lama sebelum menggeleng. "Nggak, deh. Saya pusing sama bau rumah sakit." Dia berjalan mondar-mandir di depan kubikel kami.

Mamet menggaruk bagian belakang kepalanya sambil menonton Ko Barra hilir mudik mirip setrikaan. Aku juga bingung bagaimana menghadapinya. Kerjaanku masih banyak, tapi suasana di sekitar kubikel sangat nggak nyaman gara-gara dia. Aku ingin Ko Barra masuk ke ruangannya dan mengomel di sana tanpa melibatkan kami.

Keinginanku terkabul. Setelah uring-uringan di depan kubikel, akhirnya Ko Barra kembali ke ruangannya. Hanya beberapa saat saja sampai dia keluar lagi. Kali ini sambil membawa tas dan menenteng blazer.

"Ran," panggilnya.

Aku buru-buru bangkit menyusul. Sulit menyamai langkahnya yang lebar. Aku hampir ngos-ngosan.

"Kamu hubungi pihak asuransi supaya bank garansi buat proyek Monolife segera terbit. History-nya bisa kamu akses di email outlook. Pastikan jangka waktunya satu bulan dari hari ini." Ucapan Ko Barra kusalin di catatan kecil yang kubawa. "Siapin dokumen legalitas buat diupload ke website procurement Inti Karya. Kamu tek-tokan sama Pandora tentang kapan tender dibuka dan detail lainnya. Oh, terutama tentang BQ-nya. Cari informasi sebanyak mungkin tentang tender itu. Kalau ada supplier yang nelepon atau datang kemari, sebisa mungkin kamu handle mereka. Saya belum bisa bayar, jadi kamu harus nego. Klien yang ngehubungin kantor langsung kamu forward ke Mamet atau Pandora."

Kucatat semua tanpa terkecuali.

Ko Barra berhenti secara tiba-tiba, mengakibatkanku menubruk punggungnya. Aku hampir terpental, untung keseimbanganku bagus. Kayaknya dia nggak merasakan apa-apa. Kepalanya menoleh ke belakang tanpa memedulikanku sama sekali.

"Met, revisi desainnya Monolife kelar sebelum jam tiga bisa, ya?"

Jempol Mamet teracung di atas kubikel. Setelah puas mendapat respon yang dia mau, Ko Barra kembali melihatku. "Kalau ada yang kamu nggak ngerti, langsung kontak saya."

Belum sempat aku buka mulut, Ko Barra sudah pergi.

Kubaca sekali lagi tugas-tugas yang harus kulakukan sepanjang sisa hari itu. Aku megap-megap karena nggak mengerti satu pun yang kutulis. Bank Garansi, outlook, jangka waktu, website procurement, tender, BQ. Apa maksudnya semua ini?

***

Padahal aku sudah berusaha buat nggak menarik perhatian, tapi Mamet tetap tahu ada yang aneh dengan tingkahku. Dia memperhatikan gelagatku yang suka menunduk sambil mengurai rambut ke depan wajah ketika berjalan cepat menuju kubikel kami.

Dia mendorong kursinya sampai hampir menubruk kursiku sendiri.

"Kamu ngilang satu jam, balik-balik matamu bengkak. Abis nangis?" tanyanya penuh selidik.

Aku menggeleng. Segera kusambar mouse untuk membuka file-file yang berhubungan dengan tugasku hari ini. Mamet nggak mendesakku lagi. Dia masih menghargai personal space-ku sebagai rekan kerja. Lelaki jangkung itu kembali ke mejanya sendiri.

"Kalau Ko Nigel ngasih kamu kesulitan, bilang ya, Ran?" Sesekali dia menoleh ke arahku.

Sisa-sisa sesenggukkanku sesekali keluar. Dugaan Mamet memang benar. Aku habis bersembunyi di toilet selama satu jam untuk menangis. Tugas dari Ko Barra cukup menekanku hingga air mata sulit kukendalikan. Apalagi ditambah bunyi telepon yang berdering tanpa henti di meja resepsionis. Biasanya Ijonk yang angkat. Selain office boy dan security, belakangan Ijonk bertugas sebagai resepsionis. Begitu Ijonk kembali, air mataku mendadak menggenang tanpa bisa kucegah. Nggak ada pilihan selain bersembunyi di toilet supaya nggak ketahuan kalau aku perempuan bodoh yang cengeng.

"Get your shit together, Ran!" bisikku menyemangati diri sendiri.

"Bilang apa, Ran?" Mamet kembali bertanya.

Aku membuka catatanku untuk ditunjukkan padanya. "Bisa bantu aku, Met? Tolong jelasin apa maksudnya ini semua. Penjelasan singkat aja."

Mamet menarik kursinya lagi agar mendekat ke arahku. Dia membaca sekilas apa yang kutulis di sana. "Bank garansi, ya?"

Buru-buru kuambil kertas kosong dan sebuah pena, siap mencatat lagi.

"Sambil buka email PIC pendahulumu," ujarnya.

"PIC?"

"Person In Charge. Orang yang bertanggung jawab sama proyek. Mulai dari tender sampai gedung jadi. Berhubung saat ini kita nggak punya PIC, kamu dilimpahin tugas untuk ngurus bank garansi tender yang mau kita menangin."

"Tender itu apa?"

"Kamu tahu lelang, 'kan?" Mamet malah balik bertanya. "Istilah lelang dipakai untuk menjual barang aset, biasanya dipilih harga tertinggi. Nah, kalau tender khusus buat pengadaan barang dan jasa. Selain masuk kualifikasi sebagai vendor, biasanya mereka milih kita karena harga penawaran paling murah. Penawarannya berupa BQ atau Bill of Quantity. Orang kita nyebutnya RAB, Rencana Anggaran Biaya. Sampe sini paham?"

Aku mengangguk. Tanganku sigap menulis informasi baru yang terlontar dari mulut Mamet supaya lebih mudah diingat.

"Pemilik tender biasanya ngasih syarat bank garansi. Entah buat penawaran, uang muka, sampai masa pemeliharaan. Jenisnya banyak, tergantung kebutuhan. Biasanya kita ngurus lewat perusahaan asuransi yang kerja sama bank. Terbitnya berupa surat perjanjian yang bisa dijadikan jaminan vendor ke pemilik tender sebagai komitmen." Mamet mengambil alih mouse-ku untuk membuka sebuah program di komputer. Tampilannya mirip email, hanya lebih ringkas saja. "Ini namanya Outlook. Program bawaan Microsoft buat kirim-kirim email. Pengaturannya sinkron sama akun gmail."

Mulutku membentuk o kecil. Kompleks sekali rupanya.

Mamet mengarahkan kursor ke kolom pencarian. Di sana ia mengetik bank garansi. Tak sampai sedetik, semua korespondensi yang berhubungan dengan kata pencarian langsung keluar. Mamet meng-klik email paling atas.

"Nah, kamu pelajari history-nya dari sini." Ia mengembalikan mouse padaku. "Dari balasannya, kita diminta untuk melakukan final check. Lampirannya bisa diunduh. Kalau udah cocok semua, kamu kontak perusahaan asuransi sama bank terkait untuk konfirmasi terbit. Sebelum itu, pastikan semua sesuai sama maunya Ko Nigel."

Lagi-lagi aku mengangguk. Mamet menjelaskannya secara rinci dan mudah dicerna. Aku mulai mengerti dari mana aku harus mulai.

"Met, kalau udah gajian, nanti aku traktir makan enak, ya?" tanyaku serius.

Mamet pura-pura berpikir. "Hmm, gimana, ya?"

"Tawaranku cuma sekali, Met. Nggak tiap hari aku murah hati."

Rekan baruku itu berdecak sebal. Kurasa dia udah batal sok jual mahal.

***

Kupastikan sekali lagi alamat yang dibagikan oleh Ko Barra lewat pesan dengan lokasi tempatku berada. Gedung tiga lantai ini bernama Escot. Hasil browsing-ku di internet menjelaskan bahwa Escot merupakan Sasana khusus olahraga tinju dan jiujitsu. Peralatan olahraganya termasuk yang paling lengkap. Biaya tahunan member-nya cukup membuat rahangku jatuh sampai lantai parkiran. Ko Barra menginventasikan banyak waktu, uang, dan tenaganya di sini daripada di perusahaan.

Bukankah dia bilang ingin perusahaannya kembali berjaya?

Aku geleng-geleng kepala. Alasan kedua yang membuat Ko Barra dianggap nggak becus memimpin sudah kucatat dalam hati.

Sambil menunggu panggilanku diangkat, aku melepas kain pantai yang kujadikan penutup tubuh bagian bawahku saat berkendara. Rok pensil ini lumayan merepotkan, tapi aku sudah terbiasa mengenakannya sejak di LBH karena peraturan. Alih-alih mengenakan high heels, aku bertekad untuk bersepatu saja mulai besok supaya lebih nyaman.

"Hallo, Ko. Saya udah nyampe." Ko Barra mengangkat panggilan dariku setelah dering ke lima.

"Masuk aja ke lobi, Ran. Di meja reception kamu bilang kalau kamu tamu saya. Konfirmasi ID pake KTP. Bawa, 'kan?"

"Ada, Ko."

"Good. Nanti diantar."

Kulakukan sesuai petunjuk sampai petugas mengantarku ke area latihan Ko Barra. Orang yang kucari sedang berduel di salah satu ring tinju. Kaos tanpa lengan yang dia kenakan sudah basah kuyup. Kulit di baliknya mengilap karena keringat. Saat itulah aku tahu kalau orang yang punya postur tubuh Genghis Khan bukan hanya Ko Barra. Sejauh mata memandang, yang kulihat hanya sosok-sosok binaragawan. Hanya saja mereka nggak lagi berpose. Tonjok sana, tonjok sini. Kalau nggak menonjok ya bergulat di matras. Yang nggak dapat rekan duel juga nggak nganggur. Mereka memukuli samsak yang digantung di langit-langit. Kalau diturunkan, samsak itu mungkin setinggi tubuhku.

Aku menelan ludah. Perutku mendadak mulas karena membayangkan aku jadi samsak tinju orang itu.

"Pak Nigel di sana, Mbak." Petugas yang mengantarku menunjuk ring yang tadi kulihat. Seseorang berdiri di pinggir ring, memperhatikan sambil menyerukan ini-itu pada lawan Ko Barra yang sudah ngos-ngosan.

Bosku itu dianugerahi tubuh amat tinggi. Meskipun orang-orang di sini berotot semua, mereka tetap kalah mencolok dari Ko Barra. Mungkin dia memang jelmaan raksasa di masa lampau. Raksasa secara harfiah, bukan kiasan lagi. Ditambah, hanya dia yang berkepala plontos. Beberapa orang yang kulihat punya potongan cepak khas tentara. Damn, aku terlalu banyak mengamati.

Usai menumbangkan lawannya, Ko Barra melambai padaku. Dia nggak turun dari ring, jadi kupikir aku lah yang harus menghampirinya.

"Mau dibaca dulu atau langsung tanda tangan?" tanyaku, sengaja nggak naik ke ring karena aku nggak tahu caranya. Lagipula aku merasa nggak perlu naik karena Ko Barra sudah berdiri di pinggir.

Ko Barra melepas sarung tinjunya. Dia agak terengah. Lawannya bangkit duduk dan sedang menghadapi omelan pelatih. Jika kuamati, nampaknya Ko Barra menjadi relawan latihan atlit tinju di sini.

"Saya baca dulu." Tangannya yang terbebas dari sarung tangan masih dibalut oleh kain panjang berwarna hitam. Dia kelihatan gagah dan ... seksi?

"Ran?"

Aku mengerjap beberapa kali. Kepalaku menunduk malu. Gila! Aku baru berpikiran aneh-aneh tentang bosku sendiri. Tergesa kubongkar tas dan mengeluarkan dokumen approval sebagai syarat penerbitan bank garansi untuk diserahkan pada Ko Barra. Dia membaca isinya secara menyeluruh.

"Terakhir saya baca ada kesalahan ketik di bagian Obligee sama nilai yang dijaminkan."

Aku mengangguk. "Udah saya betulin semua." Obligee yang dimaksud adalah nama pemilik pekerjaan yang membuka tender. Ko Barra tersenyum mendengar jawabanku. Dia mendongak dari dokumen di tangannya.

"Dan kamu bilang nggak punya keahlian sama sekali?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.

Pipiku terasa panas, jadi aku menunduk lagi. Dia masih mengingat ucapanku sebelum direkrut dulu. "Mamet banyak bantu saya, Ko."

Dia hanya manggut-manggut, tapi ekspresinya menunjukkan kalau dia nggak percaya. Well, sayang sekali ekspektasinya ketinggian. Kalau nggak ada Mamet, aku nggak akan berada di sini. Hariku pasti berakhir buruk karena penuh air mata.

Kuserahkan pena yang sempat kuambil dari ruangan Ko Barra agar bosku itu bisa segera tanda tangan.

"Done," ujarnya seraya mengembalikan dokumen dan pena padaku. "Langsung pulang?"

Aku menggeleng. "Balik kantor dulu, mau scan semua dokumen approval buat dikirim ke bank sama asuransi." Aku melihat jam digital di layar ponsel. "Kesorean. Nggak keburu ke sana. Jadi saya berinisiatif buat ngirim semua softcopy, sedangkan dokumen aslinya dikirim besok. Udah kordinasi juga kok sama mereka."

Ko Barra menatapku cukup lama sambil meletakkan kedua tangannya di penyangga ring.

"Good job today, Ran. Thank you."

Dadaku membuncah senang karena mendengar apresiasinya.

***

https://youtu.be/c7YfWffIW0A

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top