1 - {DUNIA RUNTUH}

Sampai detik ini, hidup belum memperlakukanku secara adil.

Baru kemarin ayahku meninggal dunia, sekarang sahabatku malah tiba-tiba mengakui dosanya karena sedang mengandung anak dari tunanganku. Biar kuulangi. Gandhi –kekasihku selama delapan tahun terakhir, telah menghamili Alana –sahabatku.

Saking menyakitkannya kabar ini, mulutku sampai terkunci rapat.

Kelopak-kelopak bunga tabebuya yang bermekaran di penghujung musim ini menjadi saksi bagaimana kejamnya dunia menertawakanku. Aku bingung mana yang harus kutangisi lebih dulu. Rasa sesalku karena nggak sempat memohon ampun pada ayahku, atau kebodohanku lantaran gagal mencium gelagat perselingkuhan Gandhi dan Alana di belakangku.

Aku pengen banget diberi kesempatan buat berduka barang sebentar. Tapi Alana terus-terusan menangis sambil mengemis maafku.

"Aku bersalah, Ran," ujarnya parau. Aku bisa membaca kepiluan dari matanya yang sembap. Dan yang kulakukan cuma menatap gunungan kelopak bunga tabebuya merah muda di bawah kakiku. Cantik sekali warnanya. Mirip bunga sakura di Jepang. Ah, sudah sial begini, masih sempat-sempatnya mengagumi bunga.

"Rani, please ... katakan sesuatu,"

Aku menghela napas berat, menahan air mata supaya nggak jatuh di depannya.

"Aku resign, ya, Lan?" Bangga sekali rasanya bisa mengendalikan suaraku tetap tegas begini. "Aku... mau pulang kampung. Ayahku baru aja meninggal," lanjutku seraya tersenyum getir. Kemarin aku pergi terburu-buru dari kantor begitu dapat kabar kalau ayah meninggal dunia. Setelah urusan pemakaman selesai, aku langsung kembali ke Surabaya untuk melanjutkan hidup. Kuabaikan permintaan keluarga besar yang menyuruhku tinggal lebih lama. Kata mereka, sikapku sudah seperti anak durhaka. Sumpah serapah mereka menjadi pengiring kepergianku kembali ke kota ini.

Alana nampak terkejut. Matanya berkaca-kaca lagi. "Aku... turut berduka cita."

Aku mengangguk. Tatapanku masih belum lepas dari ribuan kelopak tabebuya yang terbang tertiup angin di sekeliling kami. Aku mulai jemu dengan banyaknya jumlah bunga-bunga ini. Aneh. Sebelumnya, aku masih mengagumi suasana sore dan bunga-bunga yang indah meski nasibku sedang sial. Sekarang aku merasa kesialanku berkali-lipat karena menganggap bunga-bunga ini menari sambil menertawakan kemalanganku.

Kugenggam tas jinjing erat-erat sampai buku jariku memutih, lalu bangkit berdiri dengan harga diri yang tersisa.

"Rani," panggil Alana.

Akhirnya aku mampu memandangi wajah sedihnya yang masih begitu cantik walau kelunturan maskara. Penyesalan menyergapi hatiku. Kalau saja aku pandai berdandan sepertinya, mungkin Gandhi nggak akan berselingkuh dariku.

"Ada yang mau kamu sampaikan lagi?" tanyaku lirih.

"Kamu... nggak penasaran tentang hubungan kami?"

Hampir saja aku mendengkuskan tawa ironi. Kutahan rapat-rapat ekspresiku agar Alana nggak mengasihani. "Enggak, Lan." Kugigiti bagian dalam pipiku supaya air mata batal tumpah. Tapi aku sudah mencapai batasku sendiri. Secepatnya perlu waktu sendirian untuk mencerna ini semua. "Kamu sudah punya anak darinya. Apa lagi yang mau kamu luruskan?"

"Tapi, gimana dengan pernikahan kalian?"

Ya, bagaimana dengan nasib pernikahanku?

Undangan sudah disebar. Uang muka gedung sudah dilunasi sejak lama. Katering, baju pengantin, keluarga... ah, restu ayah yang sulit didapat menjadi salah satu faktor alasan aku dan Gandhi baru bisa menikah tahun ini. Di antara semua keluarga besarku, hanya ayah yang secara blak-blakan menentang hubungan kami berdua. Sedangkan yang lain welcome saja. Mereka pasti kecewa, lalu ribut, lalu menyalahkanku, lalu menyuruhku memperjuangkan pernikahanku daripada dipermalukan.

Kutepis pikiran itu jauh-jauh.

Nggak, nggak! Aku nggak bisa berdiri di antara Alana, Gandhi, dan anak mereka demi menuruti ego semata.

Apa ini karma karena nggak berbakti pada ayah? Apa ayah sedang tersenyum di atas sana?

"Sepulang dari sini akan kubatalkan semua," jawabku akhirnya. Tabungan delapan tahun yang kusisihkan untuk biaya pernikahan serta rumah masa depan sudah habis nggak bersisa. Sebelum pergi, kusempatkan diri untuk mengatakan ini padanya, "surat pengunduran diriku menyusul. Makasih udah mau jujur sebelum terlambat. Mulai sekarang, kuserahkan Mas Gandhi padamu."

Harga diri memang berhasil kupertahankan. Aku hanya gagal memungut kembali serpihan hati yang terlanjur bertebaran di antara kelopak bunga tabebuya di bawah kakiku.

***

Orang-orang bisa nyicil dua unit mobil selama delapan tahun. Atau, kalau ngeliat gajiku selama delapan tahun terakhir di lembaga papanya Alana, bisa dapat dua atau tiga unit motor keluaran terbaru.

Sedangkan aku, justru milih nyicil kegagalan.

Gagal berbakti.

Gagal menikah.

Dari kepala sampai kaki, tubuhku ini penuh cap kegagalan.

Keluargaku yang sedang berduka pasti dipermalukan besok. Atau minimal, jadi gunjingan sekampung. Topik yang akan diungkit di masa depan jika orang tua sedang menasihati anak-anak mereka supaya nggak berakhir sepertiku. Pacaran udah kayak nyicil KPR, ujung-ujungnya kandas sebelum sampai pelaminan. Mencoreng nama keluarga.

Lalu kemudian aku berpikir, kenapa sok-sok an mengajukan resign?

Cicilan bank dan kebutuhan hidupku nggak akan sanggup ditambal oleh gengsi.

Air mata sudah jatuh berlinang tanpa aba-aba. Rasanya seperti ada simpul yang mengikat dadaku, meremukkan segalanya. Kutahan isakan yang mendesak ingin keluar. Indekosku masih jauh. Aku sengaja nggak langsung pesan ojol karena ingin jalan-jalan sambil menetralkan sakit kepala.

Di antara rasa kecewa yang menggerogoti hatiku, penyesalan menjadi yang paling dominan. Seandainya ... seandainya aku percaya ayah. Seandainya aku menghentikan perasaan cintaku ke Gandhi ketika ayah melarang. Seandainya aku sempat menebus kesalahanku karena telah menjadi pemberontak. Seandainya ayah menungguku.

Dalam hitungan jam, duniaku runtuh secara tiba-tiba. Gandhi, merkusuarku selama ini, berpaling dariku. Sahabatku mengkhianatiku. Lalu ayahku ... ayahku pergi meninggalkanku selamanya. Kenyataan itu membuat dadaku bagai dihantam gada berat.

Bunyi derit ban terlambat kusadari. Tahu-tahu tubuhku terdorong sampai aku tersungkur di atas aspal karena ditabrak dari samping. Lututku perih.

Seseorang turun dari mobil dan membantuku berdiri.

"Mbak nggak pa-pa?"

Sikuku berdarah karena tergores aspal. Seharusnya perih juga, tapi aku belum merasakannya. Klakson terdengar bersahut-sahutan. Seseorang berbaik hati untuk mengatur lalu lintas agar kendaraan yang menumpuk akibat insidenku barusan bisa kembali melanjutkan perjalanan dengan memutari kami.

Seseorang baru saja menabrakku. Bemper mobilnya hampir menewaskanku tadi. Amarah tiba-tiba menggelegak, namun tertahan karena aku baru menyadari kalau ini sepenuhnya salahku. Aku lupa nggak menekan tombol untuk menyeberang. Jelas-jelas ini pelican crossing. Mobil dan motor nggak akan berhenti kecuali lampu hijau berubah merah.

Aku harus menengadahkan kepala supaya bisa memandang si Pelaku penabrakan tepat di mata. Omelan di ujung lidah mendadak kutelan kembali. Pemilik mobil ini tingginya hampir dua meter. Badannya besar, mirip atlit gulat. Kaus tanpa lengan yang dikenakannya seolah sengaja dipilih karena nggak ada lagi baju yang muat. Tato kepala singa mengaum di lengannya seperti hendak keluar untuk menerkamku.

"Pusing, Mbak?" Telapak tangannya yang mampu meremukkan batok kelapa itu diletakkan di pundakku. Otomatis bahuku merosot sebelah, terlalu berat!

"Ng... anu-"

Sosoknya mengingatkanku pada Genghis Khan, penguasa kekaisaran Mongolia yang pipinya bersemu sedikit. Di balik brewok lebat itu, bibir penuh kemerahannya mengintip.

Jangan-jangan betulan jelmaan Genghis Khan.

Pandanganku agak mengabur. Tanganku reflek menarik apa saja yang ada di dekatku untuk menahanku supaya nggak jatuh. Sialnya, aku menarik janggut si Genghis Khan. Lengan kokoh mencegah badanku jatuh ke aspal untuk ke dua kalinya. Aku tahu dia menahan sakit karena jenggotnya ditarik. Ekspresinya cukup menjelaskan.

"Maaf," sesalku sebelum melepaskan pegangan pada janggut itu. Ia kembali membantuku berdiri tegak. Pahaku sakit. Mungkin memar akibat ditabrak. Selebihnya aku baik-baik saja.

"Saya antar ke klinik terdekat, ya, Mbak? Atau rumah sakit?" Selain tubuh raksasa, laki-laki ini punya suara rendah dan serak. Cocok dengan penampilan. Kombinasi itu makin membuat nyaliku ciut, nggak berani memarahinya karena sudah mencelakaiku. Apalagi dia kelihatan tulus saat mencemaskanku.

Pandanganku kembali mengabur. Jantungku berdegup lebih kencang. Sepertinya ada yang salah dengan kepalaku. Mungkin akibat kecelakaan barusan. Trauma, barangkali.

Antara sadar nggak sadar, tubuhku diangkat olehnya menuju mobil. Badanku sungguh lemas. Kepalaku pening dan perutku tiba-tiba mual. Dia mendudukkanku di kursi depan sebelah pengemudi.

"Pak, saya mau dibawa ke mana?" Kucoba membuka pintu mobil walau tahu sia-sia. Si Genghis Khan sudah membawa mobilnya melaju. Semua pintu terkunci otomatis. Ketakutan menyergapku. Jika dia bermaksud membuangku ke rel supaya kereta melindasku demi melenyapkan korban tabrakan sekaligus barang bukti, maka riwayatku tamat.

Genghis Khan diam saja. Ia konsentrasi mengebut.

"Saya nggak akan lapor polisi, Pak. Tolong turunin saya," rengekku pelan. Sekujur tubuhku merinding. Keringat dingin membanjiri. "Pak," panggilku sekali lagi. Kali ini lebih memelas.

Dia mengabaikanku.

Dering telepon menginterupsi usahaku minta dilepaskan. Genghis Khan memasang airpod ke salah satu telinga. Kalau dibayangkan, kelihatan ganjil.

"Koko lagi di jalan." Nadanya lembut, begitu kontras dengan suara rendah dan serak yang ia miliki, atau saat dia mengajakku bicara tadi.

"Dikunci aja. Koko bawa kunci cadangan, kok." Selama penelepon bicara di seberang, dahi Genghis Khan berkerut. Ekspresinya nampak serius. "Iya, Koko ngerti. Nggak usah khawatir. Koko tutup dulu telponnya, lagi nyetir."

Panggilan mereka selesai beberapa saat kemudian. Aku tahu karena dia melepaskan airpod dari telinga seraya menghela napas berat.

Kepalaku terasa ringan. Tiba-tiba perutku bergemuruh. Suaranya lirih. Genghis Khan nggak mungkin bisa dengar.

Pantas saja badanku jadi lemas begini. Kukira jantungku berdegup lebih kencang karena aku sedang sakit atau trauma habis ditabrak, ternyata cuma lapar. Makanan terakhir yang masuk ke perutku hanya sepiring soto ayam semalam. Kabar buruk bertubi-tubi membuat aku lupa rasanya lapar.

"Kliniknya dekat sini." Genghis Khan bersuara.

Pasti tengsin berat kalau dokter mendiagnosaku lemas akibat belum makan seharian. "Tolong turunin saya di sini aja, Pak."

"Kamu nggak mau saya bawa ke klinik atau rumah sakit karena cemas niat bunuh dirimu batal?"

Hah? Siapa yang bunuh diri?

Tatapan Genghis Khan seram saat menoleh ke arahku. Dengan satu tangan, tubuhku bisa diremukkannya dengan mudah.

"Kamu jalan petantang-petenteng di tengah. Kayak nantangin buat ditabrak. Beruntung saya injak rem tepat waktu," lanjutnya datar.

"Petantang-petenteng ..." Aku mendengkus kasar sambil memejamkan mata. Bisa-bisanya dia menuduhku sengaja melakukan percobaan bunuh diri. "Asal tau aja, Pak, kalau pun saya mau bunuh diri, nggak akan ngrepotin siapa-siapa!"

Dia nggak membalasku. Memandangku pun enggak.

Tak lama setelah tuduhannya selesai kuklarifikasi, ia menghentikan mobil di depan sebuah klinik yang masih buka. Buru-buru aku turun, lalu berjalan memutar dengan agak pincang. Berniat mencegahnya turun juga.

"Sampai di sini aja, Pak. Saya nggak nuntut pertanggung jawaban apa-apa. Silakan pergi," ujarku.

Genghis Khan hanya mengernyit sewaktu memandangku dari balik kaca jendela yang diturunkan. "Awas, saya mau turun." Ketika ia membuka pintu, aku mendorongnya lagi sampai tertutup. Lelaki itu mendesah pelan. "Kalau saya pergi, nanti dibilang nggak bertanggung jawab."

Aku menggeleng. Rencanaku malam ini adalah segera mengisi perut lalu pergi ke stasiun. Keretaku berangkat pukul sembilan. Masih ada waktu untuk membuat surat pengunduran diri sambil menata hati. Aku ingin kembali ke kampung dalam keadaan stabil.

"Saya cuma kaget tadi. Makasih niat baiknya." Kupaksakan seulas senyum untuknya.

Genghis Khan nampak berpikir. Ujung telunjuknya diketukkan ke atas kemudi. Ia memandangku lagi. "Serius kamu nggak pa-pa? Nggak akan nuntut saya?" tanyanya memastikan.

Aku menggelengkan kepala.

"Saya tinggal, nih?"

Kuanggukkan kepalaku supaya dia percaya.

Mesinnya sudah kembali dinyalakan, tapi kemudian dimatikan lagi. "Saya merasa nggak enak." Ia mengulurkan sebuah kartu nama yang langsung kuterima. "Hubungi saya kalau kamu mau minta ganti rugi biaya pengobatan. Nomor pribadi sama kantor saya ada di situ."

Ternyata bukan Genghis Khan. Namanya Adibarra Nigel. Seorang co-founder perusahaan arsitektur dan konstruksi. Kartu nama di tanganku punya kesan manly karena berwarna hitam mengilap. Cukup mewakili si Genghis Khan secara keseluruhan.

"Saya minta maaf karena nggak sengaja nabrak kamu." Ucapannya terdengar tulus meski dikatakan dengan nada lelah. Kelihatannya dia memang kelelahan. Sebaiknya dia segera pulang, toh aku juga nggak ingin memperpanjang masalah. Masalahku sendiri sudah banyak.

Usai berpamitan, Genghis- maksudku, Pak Adibarra melajukan mobilnya perlahan keluar dari area klinik.

Sepertinya tadi aku sempat melihat semacam angkringan di sebelah klinik ini. Kulangkahkan kakiku yang berat menuju ke sana demi mengisi perut.

***

Gandhi menghubungiku tanpa henti. Selama sepuluh menit aku duduk lesehan di samping gerobak angkringan, sudah ada dua puluh panggilan tak terjawab darinya. Belasan pesan bermunculan. Aku hanya membacanya dari notifikasi pop-up. Nggak biasanya dia mengetik pesan secepat itu.

From: ♥G♥
Dmn??
Angkat tlponnya!
Ran ... please
Km dmna?
Kita perlu bicara.

Akal sehatku bilang, aku harus mendengar penjelasan darinya sebelum memutuskan hal besar seorang diri. Ngebatalin pernikahan secara sepihak itu bukan perkara main-main. Nama dua keluarga besar dipertaruhkan. Masa aku gegabah?

Siapa tahu Alana berbohong, siapa tahu janin dalam kandungannya bukan anak Gandhi, siapa tahu ... siapa tahu ...

Memangnya sudah berapa lama aku kenal Alana?

"Kopi arangnya, Mbak." Mas-mas angkringan membawakan pesananku. Segelas kopi mengepul dengan arang panas mengapung di atasnya. Sepiring nasi bakar menyusul. Baunya harum, tapi gagal menerbitkan nafsu makanku.

Aku hanya menggumamkan terima kasih pada si Mas.

Belum sempat sendok berisi nasi dan ikan teri masuk ke mulut, aku sudah dikejutkan oleh kedatangan Pak Adibarra Nigel. Xpander-nya sudah terparkir rapi di seberang angkringan.

Tahu-tahu dia membawa piring dan gelas kopiku ke meja lain.

"Lho, punya saya, Pak!" Aduh, aku lagi nggak bertenaga ribut-ribut dengannya.

"Pindah ke kursi, saya nggak bisa duduk lesehan." Ia menarik bangku kayu panjang yang lokasinya tepat di bawah pohon. Makananku diletakkan di meja supaya aku segera duduk di sana.

Aku percaya dia nggak bisa duduk lesehan. Mana ada raksasa bisa lesehan? Tapi kalau pengen duduk di kursi ngapain ngajak-ngajak, sih?

"Masa mau pura-pura nggak kenal?" Alis tebalnya terangkat satu. Dia bisa baca ekspresi jengkelku rupanya.

"Kenapa balik lagi?" tanyaku mengalihkan topik.

"Saya abis dari ATM. Sejak di klinik tadi udah pengen mampir ke sini buat makan. Malah ketemu kamu. Gimana tadi? Apa kata dokter?"

Aku mengambil sendok dan mulai makan. Bisa pingsan kalau perutku nggak segera diisi.

"Saya tahu kamu nggak ke dokter. Habis ini mau coba bunuh diri ke mana lagi?"

Makanan yang belum selesai kukunyah otomatis menyembur ke wajahnya. Dia segera mengambil tisu untuk membersihkan diri. Buru-buru aku meraih kopi untuk diminum tapi malah memuntahkannya kembali ke gelas karena kepanasan. Lidahku melepuh, sialan.

Genghis Khan mengambil sebotol air dari gerobak angkringan, lalu membuka segelnya sebelum diserahkan padaku. Sikapnya mengingatkanku pada kebiasaan Gandhi setiap kali kami makan bersama di luar. Dia juga sering membuka tutup botol untukku tanpa diminta.

Air mataku merebak lagi.

"Waduh," celetuk Genghis- astaga, aku harus berhenti menyebutnya begitu. Namanya 'kan Adibarra Nigel. "Saya nggak bermaksud bikin kamu nangis, lho." Ia menggaruk kepalanya yang botak.

Aku menahan isakan sekuat tenaga sampai ingusku terancam keluar. Beruntung dia segera mengulurkan tisu padaku.

"Saya ... nggak pengen bunuh diri. Tapi, tiba-tiba saya jadi kepikiran. Kayaknya bunuh diri lebih baik daripada ... daripada ..." Aku malah tergugu begini.

Isakanku sepertinya mengundang perhatian pengunjung lain. Mereka mulai memperhatikan.

"Bunuh diri bukan penyelesaian, Mbak. Mengakhiri hidup nggak pernah jadi solusi. Yang ada justru ngerepotin yang hidup. Tanah kuburan mahal, menjamu pelayat juga butuh biaya. Belum lagi-"

Aku mengibaskan tangan menyuruhnya diam. Seandainya dia tahu aku baru saja kehilangan ayah, mungkin dia akan menyesali perkataannya barusan.

"Saya nggak mood bercanda, Pak!"

"Mbak bisa panggil saya Barra aja. Atau Nigel. Enak yang mana, terserah."

Aku mengernyit. Siapa juga yang nanya?

"Saya bisa panggil Mbak apa?" tanyanya kemudian.

"Rani," jawabku singkat. "Kenapa Pak Barra sok akrab sama saya?" Lidahku ternyata sudah memilih nama panggilan untuknya.

Pak Barra kelihatan ragu sebelum menyahut, "Mbak kelihatan sedih. Saking sedihnya, saya sampai kepikiran Mbak mau bunuh diri terus. Makanya waktu liat Mbak di sini, saya nggak ragu buat nepi. Sekalian jajan." Ia menunjuk pesanannya yang baru tiba.

Segelas besar teh jahe panas, lima tumpuk nasi bakar yang disusun di atas piring seng, tiga puluh tusuk aneka sate, astaga ... ini yang disebut jajan?

"Kalau mau nangis, silakan. Saya temenin sambil makan. Nggak akan ganggu atau nanya-nanya soalnya laper." Dia membuka bungkus nasi bakar pertama. Sembari berusaha menenangkan diriku sendiri, kuamati orang asing itu makan lahap tanpa sekali pun memandangku.

Pada akhirnya, Pak Barra menawarkan diri untuk mengantarku sampai stasiun. Dia beralasan kalau rumahnya dekat stasiun jadi nggak merasa direpotkan sama sekali. Di perjalanan, dia nggak menggunakan kesempatannya untuk bertanya macam-macam.

Orang yang aneh. Penampilannya seram, tapi hatinya baik. Jarang banget menemukan orang sejenis Pak Barra di kota ini, atau di manapun.

"Rani ..."

Aku menoleh. Namaku meluncur begitu lembut dari mulutnya.

"Boleh saya minta kartu nama saya kembali?"

Kuberikan apa yang dimintanya tanpa protes.

"Kalau suatu hari kita ketemu di jalan, jangan ragu buat nyuekin saya, ya, Pak," ujarku parau karena kebanyakan nangis.

Pak Barra mengangguk. Insiden hari ini cukup terjadi sekali saja. Cara Pak Barra memperlakukanku menjadi bukti kalau dia orang yang bertanggung jawab. Wajar kalau dia ingin kartu namanya dikembalikan supaya aku nggak menghubunginya lagi.

"Saya nggak tahu seberat apa masalahmu, tapi saya harap segalanya lekas membaik." Entah kenapa kalimatnya barusan mengingatkanku pada ayah. Beliau selalu keras kepadaku semasa hidup, tapi aku bisa mengandalkannya di situasi tersulit. "Live well, Rani," lanjutnya.

"Makasih. Pak Barra juga," sahutku sebelum turun dari mobil.

Kuhabiskan waktuku selama di kereta untuk merenung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top