who are you?

Senja kali ini harus dihabiskan pemuda itu dengan buku-buku yang tebalnya tak terkira. Batal sudah janji kencan dengan gadis incarannya. Ia, Oikawa Tooru, seorang pangeran kampus yang menjadi incaran para gadis. Tentunya, ia akan meladeni dengan senang hati. Brengsek memang. Kesalahan besar Tuhan memberinya tampang rupawan, hal itu justru diselewengkan untuk perbuatan biadabnya.

Bibirnya menggerutu, sibuk mengutuk dosen berkepala botak licin dan bertubuh gempal. Diam-diam dalam rutukkannya, ia masih sempat berpikir narsis. Apa dosen itu iri dengan tampang rupawannya hingga membebaninya banyak tugas? Tch, lalu, semua mahasiswa yang diberi tugas olehnya juga rupawan, begitu?

Pena itu dilempar ke atas buku, lalu ia menelungkupkan wajah ke tangannya yang disilangkan di atas meja. Akhirnya, rangkuman sepuluh lembar double folio ditulis tangan itu telah rampung diselesaikannya. Walau terkenal sebagai seorang cassanova, pemuda itu tak melupakan tugasnya sebagai seorang mahasiswa teladan. Bukan telat datang pulang duluan, tapi teladan dalam arti sebenarnya.

Sialnya, pemuda itu punya imej yang bagus di mata dosen sebagai mahasiswa berprestasi. Ya, mereka tidak tahu keburukannya. Dan para dosen tak mau repot mengurusi hal itu.

Ia segera beranjak dari tempatnya setelah membereskan meja. Tak lupa, tugas yang telah dibuatnya dengan susah payah pun ia masukkan ke dalam map agar tidak lecek atau terlipat, paling parah terkoyak. Terkadang, ia berharap jika copy paste bisa diterapkan di dunia nyata, bukan sekedar di dalam gadget elektronik saja.

Yang dipikirkannya hanya empuknya ranjang hangat dengan bantal guling dan selimut sebagai pelengkap. Oikawa butuh istirahat. Sedari tadi ia mengabaikan ponselnya yang terus bergetar akibat notifikasi dari aplikasi chat. Mayoritas yang memenuhi notif adalah para gadis yang berusaha mendekatinya. Entah dengan malu-malu seperti menanyakan tugas atau agresif dengan terang-terangan mengutarakan niatnya.

Tak peduli, pemuda itu menghapus semua pesan yang dianggapnya tidak penting tanpa membaca isinya sama sekali. Toh, tidak ada yang menarik dari mereka. Menyusahkan, merepotkan, dan menjengkelkan. Melebihi tugas dari dosen tercinta. Ia lebih memilih memutar lagu dengan earphone yang menyumpal telinganya.

Cukup aneh memang jika mendapati seorang Oikawa Tooru baru saja melangkahkan kakinya keluar dari tempat penuh buku bernama perpustakaan. Oikawa tak menanggapinya, ia berjalan santai di koridor kampus. Lagi pula, sinyal wi-fi di sini kencang. Sangat nyaman digunakan dan tidak akan menjadi lemot walau sudah dipakai banyak orang. Terkadang, jika ia mengerjakan tugasnya di kafe, tugas itu malah tidak selesai.

Pemuda itu melirik angka di arlojinya. Pukul lima sore, tepat sekali dengan warna langit yang menjingga. Ia kian tak sabar untuk segera bercumbu dengan kasur.

Sayang sekali, niat itu pupus begitu senja yang cerah tiba-tiba menghilang diganti oleh langit mendung dan tetesan air hujan. Sialnya, Oikawa tidak membawa payung. Dengan tergesa, ia mempercepat langkah kaki menuju halte bus terdekat. Ia berteduh selagi menunggu bus datang. Matanya melihat kesana kemari. Hujan tak cukup deras, namun terjamin membuat diri basah jika tetap di bawahnya.

Melihat ada sebuah mini market di seberang jalan, akhirnya ia nekat menerobos hujan yang berangsur mereda untuk membeli payung. Payung lamanya rusak, tidak sengaja tertiup angin sampai terbalik dan patah saat dipakai Bokuto. Pendingin ruangan menyambut, pakaiannya yang agak basah pun turut membuatnya agak kedinginan. Pemuda itu langsung menuju ke rak payung dan membeli sekaleng minuman hangat. Jangan lupakan kebiasaannya.

Hei, ia teringat sesuatu. Mini market ini berada dekat dengan kafe tempatnya mengerjakan tugas tempo lalu. Di mana matanya bersiobok dengan obsidian kosong seorang gadis yang sengaja membasahi diri. Oikawa membuka payungnya, tepat di seberang sana, ia kembali melihatnya.

Sejak kapan ia berada di situ?

Sudah penasaran dicampur rasa kasihan, Oikawa pun berjalan mendekat. Ia menyebrangi jalan dengan hati-hati. Ia tak mau mati konyol tertabrak mobil karena teledor saat menyebrang jalan.

"Kau bisa sakit jika terus berada di sini," katanya sambil menyodorkan payung menutupi kepala gadis itu.

Gadis itu sontak menoleh, menatapnya heran meski masih tampak sorot kosong. "Aku memang sudah sakit," balasnya pelan.

Oikawa tak mengerti, kenapa gadis ini gemar sekali menyiksa diri? Lihat saja, kulitnya sudah nampak pucat dan bibirnya sedikit membiru kedinginan.

"Ada banyak tempat untuk berteduh," tukas Oikawa lalu menarik tangan gadis itu tanpa permisi, ia membawanya sampai ke halte. Setidaknya, di sini mereka tidak akan basah. Gadis itu hanya pasrah tanpa perlawanan saat Oikawa menarik tangannya.

Oikawa duduk di bangku, tapi gadis misterius itu masih setia berdiri. Lantas, pemuda itu menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya—mengisyaratkan pada gadis itu supaya duduk di sebelahnya. Gemas karena gadis itu tak kunjung merespon, ia pun membuka suara. "Duduk, apa kau tidak lelah berdiri terus? Tenang saja, aku tidak akan macam-macam."

Gadis itu melihatnya sejenak, lalu dengan pelan melangkah dan mendudukkan bokongnya tepat di sebelah Oikawa. Bisa pemuda itu lihat, sekujur badan gadis itu basah kuyup. Beruntung, ia memakai pakaian berwarna gelap, tidak transparan. Hei, apa yang ada dipikiranmu?

"Jadi, apa kau ada masalah?"

Gadis itu diam tak menjawab. Oikawa mengusap tengkuknya, ia rasa ia salah bicara.

"Ah, maaf. Aku lancang," katanya kemudian.

"Tidak. Kau benar. Hidupku memang selalu diliputi masalah." Oikawa terperangah. Ia rasa ia sudah salah bertanya. Baru berinteraksi namun sudah lancang bertanya tentang hal yang sensitif. Tapi sepertinya gadis ini tidak peduli akan hal itu. Nada bicaranya terkesan santai walau dengan intonasi datar.

"Maaf, aku tak bermaksud. Ah iya, siapa namamu? Namaku Oikawa Tooru," kata Oikawa mengulurkan tangannya. Cara perkenalan yang klise.

Tak disangka, gadis itu menyambut uluran tangannya. Dingin, sedikit berkerut karena terlalu lama berdiri di bawah hujan. "Namaku [name], mungkin," jawabnya pelan seperti berbisik.

Oikawa mengerutkan dahinya bingung. Tapi ia tak mengambil pusing. Setidaknya, ia sudah mengetahui nama gadis di sebelahnya. [name], nama yang cantik. Ia tak bertanya lebih lanjut tentang marga atau yang lain. Setidaknya, ini sudah cukup.

"Kenapa kau berdiri di bawah hujan?" Oikawa pun mengutuk dirinya karena terlalu banyak bertanya.

"Tidak tahu. Aku hanya menyukai hujan," katanya sambil menatap ke langit kelabu dengan datar.

Alasan yang diucapkannya tidak masuk akal. Sebesar itu kah rasa sukanya pada hujan hingga menyiksa diri seperti itu?

"Ooh, begitu," balas Oikawa terkekeh canggung. Gadis ini aneh. Terlihat tidak tertarik dengan apa pun selain hujan. Bahkan, ia tak peduli dengan Oikawa yang sudah diam dalam kecanggungan.

Tak lama kemudian, bus yang Oikawa tunggu datang. Pemuda itu segera berdiri, ia lalu menoleh menatap [name] yang belum beranjak dari tempatnya. "Aku pergi dulu, kau juga segeralah pulang. Orang tuamu pasti khawatir. Senang berkenalan denganmu, [name]-chan," katanya.

"Aku akan tetap di sini, sampai hujan reda," jawab gadis itu.

"Kuharap kita bisa bertemu lagi," kata Oikawa, pintu bus dibuka lalu ia segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam bus. Ia kembali menoleh ke arah sang gadis sebelum pintu ditutup.

"Aku selalu di sini, saat hujan tiba."

Samar, tapi Oikawa yakin, ia tadi melihat ada seulas senyum tipis di bibir sang gadis. Tanpa mempedulikan jawaban yang terasa ganjil itu pun ia melambaikan tangannya sampai pintu benar-benar tertutup.

Gadis itu masih termangu di tempatnya, ia mengangkat tangan kanannya dan memandanginya. Entah kenapa, sentuhan tadi masih terasa hangat. Gadis itu bingung, siapa sebenarnya pemuda itu. Kenapa ia bisa melihat, bahkan menyentuhnya?[]

TBC

Chapternya gabakalan banyak, ganyampe 10 keknya. Sama lah kayak if i die tomorrow, gabakal sepanjang hide and seek 😗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top