Epilog
Ini masih jam delapan pagi. Terlalu dini baginya untuk menenggak alkohol dan menggadai kesadarannya demi menunggu mangsanya datang ke perangkapnya. Tapi tidak. Dia tidak mabuk. Terima kasih kepada gen ayahnya yang kuat terhadap minuman alkohol tersebut.
Meskipun masih pagi, bar tempatnya kini berada sudah cukup ramai. Mata cokelat terangnya sedari tadi menatap seorang wanita berambut pirang yang berjalan masuk ke dalam bar layaknya predator. Dia meneguk lagi birnya dengan tatapan yang masih memperhatikan setiap gerak-geriknya. Wanita itu mengenakan bandana dan gaun ala wanita peternak domba. Lucunya, dia membawa dua botol susu berukuran besar dan menjualnya pada pria bartender di ujung sana. Setelahnya, wanita itu pergi dari tempat tersebut.
Calypso merapihkan sejenak jaket kulitnya, sebelum akhirnya berdiri dan menghampiri meja bartender. Pria dengan bulu dada yang lebat itu menatapnya curiga. Mungkin karena penampilannya yang tidak terlihat seperti penduduk sekitar. “Ada yang bisa kubantu, nona manis?” tanyanya.
Gadis itu berdehem. “Kau tahu di mana wanita itu tinggal? Wanita yang tadi membawakanmu susu.”
“Maksudmu Astrid? Dia tinggal di hutan bersama para domba dan ayam-ayamnya,” jawab pria itu. Dia mengusap dagunya seraya menatap Calypso yang terlihat menarik baginya. “Ada urusan apa kau menemuinya?” tanyanya.
Calypso berdehem. Dia menggeleng seraya mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar sebotol bir yang barusan dia minum. “Kurasa dia temanku.”
“Aku tidak menyangka Astrid berteman dengan seorang bajak laut.”
Gadis itu terdiam, lantas menatap pria itu dengan tatapan bingung. “Apa aku terlihat seperti bajak laut?” tanyanya.
“Entahlah, Nona. Pedang di balik punggungmu cukup menjelaskan. Mungkin kau pemburu bayaran, atau mungkin kau hanya seorang pelancong.”
Dia tidak menanggapinya, lebih baik dia segera membayar birnya dan pergi dari bar tersebut. Kaki yang terbalut sepatu boot hitam itu kini melangkah di jalan utama kota kecil tersebut. Dia meneliti ke sekeliling, tersadar jika kini dia cukup menarik perhatian orang-orang. Dia menyesal tidak mendengar saran ibunya untuk berpakaian seperti seorang gadis sopan pada umumnya saja. Bukan menggunakan celana jeans pendek dengan kaus crop-top dibalut jaket kulit yang dibaliknya berisi pistol dan pisau lipat. Tapi persetan! Wajah dan namanya tidak ada di daftar buronan Angkatan Laut dan pemerintah.
Dia sudah tidak lagi berlayar bersama Ayah dan krunya. Dia juga menolak menjadi penerus keluarga Figarland, dan dia terlalu aktif untuk berdiam diri tinggal di pulau Veela (secara harfiah sekarang tempat itu adalah rumah keluarga kecilnya). Mimpinya sekarang pun bukan lagi menjadi seorang pelukis, melainkan mencari sisa-sisa penyihir yang masih berkeliaran di dunia. Kaum mereka percaya jika jantung Nymph adalah persembahan yang tepat untuk melakukan ritual keabadian. Sayangnya, ibarat selisih alam, mereka seperti ditolak untuk mendekati pulau Veela. Maka dari itu, kelahiran Calypso beberapa tahun yang lalu telah ditunggu-tunggu oleh mereka.
Jadi bisa dikatakan. Musuh terbesarnya bukanlah Pemerintah Dunia ataupun Angkatan Laut, melainkan para penyihir yang sekarang sedang mengatur rencana bagaimana untuk bisa mendapatkan jantungnya maupun jantung Nymph lainnya. Ayah tidak bisa bergerak fleksibel untuk melindungi ibu beserta kaumnya. Yang bisa diandalkan hanya dirinya. Maka dari itu, di usianya yang sekarang 18 tahun, dia telah mengelilingi dunia seorang diri. Mencari penyihir yang berpotensi membahayakan keberlangsungan bangsa Veela.
Hampir 20 menit dia berjalan melipir dari pusat kota. Memasuki kawasan hutan belantara yang digosipkan jika ada anak kecil bermain di sana hingga malam, maka niscaya tidak akan pernah kembali lagi hidup-hidup. Tapi Calypso bukan lagi anak kecil. Dia bukan lagi bocah berusia 3 tahun yang dipaksa dikurung di kabin karena memiliki darah Nymph dan bajak laut. Bukan lagi remaja tanggung yang cintanya mati dengan begitu tragis di hadapannya. Calypso juga bukan lagi anak manja yang masih berlindung di pelukan Ayah, Kakek dan juga para pamannya.
Dia sudah dewasa. Mampu berdiri sendiri tanpa bantuan keluarganya.
Calypso membuka pintu rumah kayu tersebut. Suara domba di halaman belakang terdengar saling bersahutan. Namun sayangnya pintu itu terkunci. Membuat bibirnya berdecak dan selang beberapa detik dia menendang pintu itu dengan dramatis hingga terjerembab masuk ke dalam. Gadis itu memasuki rumah, matanya awas menatap ke sekeliling. Melihat banyak benda-benda aneh yang mengingatkannya dengan gambar-gambar yang tertera dalam buku mengenai penyihir. Seorang wanita berambut pirang terkejut akan kedatangannya.
“Kau siapa? Apa maksud kedatanganmu?!” tanyanya. Mungkin kaget tiba-tiba pintu rumahnya didobrak oleh orang asing.
Calypso meringis. Lebih tepatnya kesal mendengar suara manis itu yang dia yakin akan berubah menjadi suara jelek yang terkikik-kikik layaknya tercekik. Mata cokelat terangnya menatap sesuatu di meja. Sebuah lembaran berisi mantra dan beberapa simbol magis milik kaum Veela yang pernah diajarkan oleh ibunya. “Rileks. Aku hanya ingin membunuhmu ... Penyihir?”
Mata biru milik wanita itu terbelalak. Tapi tidak sampai 10 detik, wujudnya tiba-tiba berubah. Kulitnya begitu kering hingga terlihat banyak retakan di sekujur tubuhnya. Bibir itu menyeringai menyeramkan. “Kebetulan macam apa ini?”
“Kebetulan? Sayang sekali aku tidak menganggap ini kebetulan.” Calypso merilekskan persendian di jari-jemarinya. Hingga sebelum wanita penyihir itu bergerak, dia lebih dulu menyambar petir dari tangannya mengenai dada lawannya. Sepersekian detik dia bergerak begitu cepat, memblokade langkah wanita itu dengan menendang kepalanya telak hingga terbentur aquarium di sudut ruangan.
Calypso meraih sebuah tongkat sihir yang terbuat dari kayu jati dipoles sedemikan rupa. Beberapa detik benda tersebut berada di tangannya tiba-tiba berubah menjadi abu. Gadis berambut merah itu mendongak, menatap lawannya yang sedang susah payah untuk kembali berdiri. Beberapa pecahan kaca menancap di kepala dan wajahnya. Dengan bringas dia mencabut serpihan tersebut dari pipi kirinya dan berteriak layaknya hewan.
“KUBUNUH KAU, ANAK CAMPURAN!” ujarnya, lalu melompat ke arahnya. Kuku tajamnya mencoba untuk melukainya, namun ini terlalu mudah bagi Calypso untuk menghindar menggunakan Haki observasinya.
Hingga kemudian, Calypso mengaktifkan Haki senjata dan menghentikan pergerakannya dalam sekali serang dengan mencengkram kepalanya erat-erat. “Ada kata-kata terakhir?”
“Ja—jalang! Kami—kami akan selalu memburumu!”
CRASH!
Calypso mengeluarkan api hitamnya bersamaan dengannya yang meremukkan kepala penyihir tersebut hingga terdengar suara patahan tulang dan lolongan kesakitan yang menggema ke seisi hutan. Api itu melahap dan memisahkan kepala wanita itu dari tubuhnya begitu mudah. Gadis itu berdecak, dan melempar kepala gosong tersebut sembarang arah, kemudian meraih kain di meja dan mengelap tangannya dengan kasar.
Sejenak dia menatap ruangan tersebut. Suasananya hangat seperti rumah pada umumnya, bahkan mengingatkannya dengan rumahnya di pulau Veela yang menyatu dan terhubung dengan pohon beringin besar di pinggir sungai. Ini sudah berbulan-bulan dia tidak pulang, atau mengunjungi ayah dan kakeknya. Banyak yang telah berubah dalam kurun waktu setahun ini. Haruskah dia mengunjungi mereka sebentar? Hanya memastikan jika ibunya baik-baik saja, kakeknya tidak memusuhinya perkara menolak tawarannya, serta ayahnya masih mencintai minuman alkohol seperti kebutuhan primer baginya.
Gadis itu mengambil tong sampah, membuang semua barang-barang di meja yang berhubungan dengan aktivitas sihir. Setelahnya dia keluar, membakar sampah tersebut hingga habis menjadi abu.
Calypso menghela napas sejenak, mengeluarkan sebatang rokok di saku jaketnya. Gadis itu menyulut ujungnya dengan api yang muncul di ujung jari, sebelum akhirnya menikmati benda adiktif tersebut selama beberapa menit. Merilekskan sedikit pikirannya seraya menatap kobaran api yang melahap isi tong sampah di hadapannya.
Setelah merasa urusannya sudah selesai, dia akhirnya memutuskan untuk berjalan semakin masuk ke dalam hutan. Bersamaan dengan langkahnya, mulutnya tak berhenti menghisap lintingan rokok tersebut. Hingga 10 menit kemudian, dia memutuskan berhenti dan membuang rokok tersebut ke tanah, lalu menginjaknya agar padam.
“Baiklah ... Sepertinya aku harus pulang sebentar.”
Sayap kaca berukuran setengah tubuhnya itu muncul dari balik punggung. Jaket kulitnya telah didesain sedemikian rupa hingga tidak menghalangi tiap kali anggota tubuhnya itu muncul. Dia terbang dengan cepat, melesat dan bersembunyi di atas awan. Tujuannya kali ini adalah rumah. Tempat di mana keluarga kecilnya berpulang. Entah apakah ayahnya ada di sana atau tidak. Namun setidaknya dia masih bisa disambut oleh Ibu.
* * *
Dia teringat percakapan kecil dengan ayahnya yang mengatakan jika pulau terindah yang pernah pria itu kunjungi adalah pulau Veela. Sekarang Calypso harus mengakui, dia setuju dengan pendapat ayahnya.
Matahari sudah terbit sejak beberapa jam yang lalu. Pintu kamarnya sudah diketuk oleh ibunya yang menyuruhnya keluar dan sarapan bersama di ruang makan. Meski sudah setahun berlalu, Calypso sedikit merasa aneh saat yang menyambutnya di pagi hari bukanlah pria bajak laut berpenampilan bengis, melainkan seorang wanita cantik yang memiliki tatapan teduh seperti pepohonan rindang yang mengelilingi rumah mereka. Gadis berambut merah itu menyibak selimut dan turun dari ranjang. Kucing putih yang tadi berbaring di kakinya ikut terbangun, melakukan sedikit peregangan sebelum akhirnya mengeong menyapanya di pagi hari.
Calypso membuka gorden kamar, melihat pemandangan sungai yang mengalir begitu tenang di bawah sana. Serta pohon-pohon tropis yang entah bagaimana terasa sangat pas di posisinya. Gadis itu meraih buku sketsanya, dan turun dari kamarnya menuju dapur. Dia dibuat terkejut saat mendapati seorang pria sedang duduk di meja makan seraya menyesap tehnya.
“Sejak kapan Ayah datang?” tanyanya. Dia memberikan Minky (kucingnya) makan, lalu bergabung duduk di samping ayahnya.
Shanks berdeham. “Semalam. Kau sudah tertidur, ibumu tidak tega membangunkanmu,” jawabnya, pria yang memiliki warna rambut sama sepertinya itu tersenyum. “Ada apa? Kau merindukanku? Sudah setahun kau tidak lagi berlayar bersama bajak laut Akagami. Kau tahu, semua kru merindukanmu.”
“Aku juga merindukan mereka. Tapi tidak denganmu.”
Pria itu merengut. “Padahal Ayah merindukanmu loh, Calypso.”
Tak lama kemudian, Karina datang. Dia membawa 3 mangkuk berisi bubur jagung hangat yang mengeluarkan sedikit kepulan asap. “Sudah, sudah. Makanlah,” ucapnya melerai. Shanks pun mengelus pinggang wanita itu. Merasa paham apa yang diinginkan olehnya, Karina pun membungkuk dan menerima kecupan manis di bibirnya.
Calypso bergidik geli. Mengaduk buburnya dan berkomentar, “Ewh! Kalian menjijikkan! Aku tidak mau memiliki adik, ya!”
Mereka tersentak, menatap canggung satu sama lain sebelum akhirnya menatap putri mereka dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Calypso memicingkan mata. Mulutnya sibuk mengunyah namun kepalanya terus berputar seraya menatap ibunya lekat-lekat. “Ibu, itu tidak benar kan?” tanyanya. Namun Karina hanya berdehem dan mulai menyantap sarapannya.
Gadis itu menoleh cepat ke arah ayahnya. Matanya menatap tajam penuh tuntunan. “Ayah tidak bercanda, kan?!”
Shanks meringis. Dia menggaruk kepalanya. “Jadi Calypso ... Maaf. Ayah kebablasan.”
Rasanya Calypso ingin sekali menumpahkan isi mangkuknya ke kepala ayahnya detik itu juga. Namun ibunya lebih dulu memegang tangannya, memintanya untuk tenang. Alhasil, gadis itu menginjak kaki Shanks kuat-kuat sampai empunya mengaduh kesakitan. Yang benar saja?! Dia memiliki adik di usianya yang 18 tahun? Itu ide yang sangat buruk!
“Itu tidak terlalu buruk, bukan? Kau akan memiliki adik—”
“Itu buruk!” potong gadis itu kesal, seraya masih menatap tajam pria yang sudah berkepala 4 itu. Seumur hidupnya, yang selalu dia bayangkan hanya hidup bertiga bersama ayah dan ibunya. Dia akan menjadi putri mereka satu-satunya yang mereka sayangi. Tidak pernah ada pikiran untuk memiliki seorang adik yang mungkin ... Yang mungkin bisa saja ... Bisa menggeser posisinya.
Calypso tersentak saat sebuah tangan mengelus kepalanya lembut. Shanks melakukannya seraya menatapnya dengan tatapan teduhnya. “Kau masih dan akan selalu menjadi putri kesayangan kami, Calypso.”
“Tch, memangnya Ayah kira aku sedang memikirkan apa?!” elaknya. Dia kembali menyantap buburnya yang sebenarnya sudah tidak terlalu menarik baginya. Berita kehamilan ibunya cukup membuatnya syok.
“Adikmu ini sepenuhnya manusia.” Karina berucap, membuat Calypso terdiam dan menatap wanita itu dengan tanda tanya. “Itu sebabnya kau tidak merasakan detak jantungnya. Dia tidak memiliki pohon inang ... Dan dia laki-laki,” lanjut wanita itu.
Shanks menyengir lebar. “Kuharap dia mirip denganku. Tidak adil jika dia juga mirip denganmu, Sayang—Argh!”
Calypso menginjak kaki ayahnya lagi. Tidak tahu kenapa dia kesal sekali pada pria tua berambut merah itu. “Sejak kapan kehamilannya? Apakah Oread tahu soal ini?” tanyanya.
Karina mengangguk. “Kandungannya sudah sekitar 2 bulan lebih. Jangan khawatir, Oread serta beberapa Nymph dan peri sudah tahu.”
“Dan aku tidak diberi tahu?! Padahal aku sudah ada di sini beberapa hari yang lalu!” protes Calypso tidak terima. Dia merasa tidak dipentingkan di sini.
“Kami ingin memberitahumu langsung di waktu yang tepat,” jawab ibunya. Calypso melemaskan punggungnya. Dia sudah tidak minat sarapan. Alhasil bangkit dan membawa piringnya untuk dibawa ke dapur.
“Kau mau ke mana?” tanya Shanks.
“Mencari udara!” Calypso menjawabnya dengan ketus.
“Buburnya jangan dibuang. Buat Ayah saja!” pinta Shank. Gadis itu pun batal ke dapur dan menaruh kembali mangkuknya di meja. Namun belum sempat Calypso menjauh, pria itu lebih dulu menahan tangannya. Membuatnya kembali menatap mata cokelat gelap milik ayahnya tersebut. “Calypso, kau tetap putri kesayangan Ayah. Tidak ada yang bisa menggantikanmu. Kau harus ingat itu.”
“...”
Shanks berdiri. Pria itu membetulkan rambut putrinya yang menghalangi wajahnya. “Selamanya kau akan selalu menjadi semestaku,” ucapnya. Lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Calypso terbawa suasana. Dia cemberut (sebenarnya sedang berusaha menahan tangis) seraya membalas pelukan ayahnya. Karina yang melihatnya tersenyum manis menatap mereka berdua.
“Masih ingin sarapan?” tanya Karina.
Calypso menggeleng. “Aku ingin membuat beberapa sketsa,” ucapnya lalu melepas pelukan ayahnya. Dia meraih buku sketsa di meja dan bergegas ke pintu belakang.
“Pulanglah sebelum makan siang!” perintah Karina.
Gadis itu tidak menjawab apa-apa. Dia terus berjalan mengikuti hulu air. Peri-peri jamur dan semak menatap kehadirannya dengan penasaran. Mungkin bagi mereka, kehadiran keluarga Akagami di pulau Vella masih belum bisa diterima sepenuhnya oleh mereka, terlebih kehancuran pulau tersebut belasan tahun yang lalu disebabkan oleh kehadiran manusia. Namun beruntung, para Oread memberikan mereka kesempatan sekali lagi (mengingat seperti apa usaha dia dan ayahnya yang mencoba untuk membangkitkan pulau dan bangsanya) dengan memberikan izin bagi mereka untuk membangun tempat tinggal. Meskipun dia dan ayahnya akan jarang sekali berada di rumah karena kesibukannya di luar sana. Ayah sebagai kaisar laut. Sedangkan Calypso mencari keberadaan penyihir sampai ke ujung dunia.
Calypso berhenti sejenak, menatap air sungai tersebut yang memantulkan refleksi dirinya. Dia berjongkok, meraup air segenggam dan membasuh wajahnya sejenak. Riak air terjadi, membuat pantulan dirinya buyar, lalu tak lama muncul seorang wanita yang berdiri di belakangnya. Gadis itu sedikit tersentak dan refleks menoleh.
“Kau tahu, dari semua jenis Nymph yang pernah kutemui, penampilanmu yang paling seram, Oread.” Gadis itu berdiri dan kini berhadap-hadapan dengan wanita yang merupakan salah satu tetua di pulau ini. Wanita yang pernah muncul di mimpinya dan membimbingnya dalam pencarian batu kehidupan.
“Setelah bertemu beberapa kali denganmu, kau lebih mirip ayahmu. Aku sedikit kecewa.”
Calypso mendengkus. Dia tidak paham ada dendam apa Oread ini dengan ayahnya dulu. “Memang kenapa jika aku mirip ayahku? Lagi pula berhentilah membencinya. Tanpa dia aku tidak akan pernah berhasil menemukan batu kehidupan.”
Oread tetap memasang wajah datar. “Karina bilang kau sekarang adalah seorang pengembara. Apa tujuan utamamu?” tanyanya.
Gadis berambut merah itu tersenyum miring. “Kau tahu, Ibu sering cerita jika awal kedatang Ayah benar-benar ditolak oleh para Oread, termasuk kau. Kalian menganggap manusia adalah ancaman. Tapi ternyata selama ini kalian salah.”
“...”
Calypso mendekat. Kini mata cokelat terangnya menatap tajam iris hitam legam milik Oread. “Seharusnya kau sudah tahu ini, jika kaum kita diburu oleh penyihir. Batas pelindung di luar sana tidak efektif untuk melindungi pulau Veela dengan aman. Siapapun bisa masuk secara sengaja ataupun tidak sengaja.”
“...”
“Aku sedang mencari cara untuk memperkuat batas pelindung. Hingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk.” Calypso menyugar rambutnya sejenak. “Dan dari hasil meditasi yang kudapat di kuil kuno kaum Elbaf, aku butuh 1000 nyawa penyihir untuk membentuk benteng kokoh di lepas pantai pulau Veela.”
“Itu mustahil untuk dilakukan!” Oread terbelalak. Wanita itu menatap gadis itu tidak percaya. “Penyihir memang musuh kaum kami, tapi mereka akan selalu ditolak oleh alam untuk menginjakkan kaki di sini!”
Gadis itu tertawa sarkas. “Mereka memang tidak akan pernah bisa datang ke pulau ini, tapi mereka bisa menjadikan manusia yang tidak bersalah menjadi umpan. Aku tidak ingin ada kejadian yang menimpa keluargaku terulang kembali.”
“Tapi membunuh 1000 penyihir itu musta—”
Kalimat Oread terpotong kala Calypso lebih dulu mengangkat tangan kanannya. Memperlihatkan sebuah gelang dengan bandul hitam yang mengeluarkan energi pekat. “Tidak ada yang mustahil. Aku sudah mengumpulkan setengahnya.” Senyum di bibir Calypso semakin lebar. “Kau benar. Aku lebih mirip—tidak, aku sangat mirip dengan ayahku. Aku sudah hidup bersamanya selama 17 tahun, aku mewarisi tekadnya untuk melindungi orang-orang yang kami sayangi.”
“...”
“Jadi, jangan remehkan aku.” Calypso mengeluarkan sayapnya. Gadis itu seketika terbang, melesat melewati dahan-dahan pohon meninggalkan Oread.
* * *
END
A/N:
Ada catatan yang pengen aku sampaikan pada kalian para pembaca. Silahkan di-scroll.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top