33 | Oread

Dua tahun berlalu.

Banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya. Baik sebagai Calypso Akagami ataupun Calypso Figarland, bahkan sebagai Calypso Saja.

Dia berlatih dengan Mihawk, berlatih dengan kakeknya yang memasukkannya ke akademi bersama para calon-calon kesatria suci di Marijoise, hingga latihan dengan Ayah dan krunya. Haki observasinya dikit demi sedikit membaik, cukup bisa diandalkan meski terkadang sering kali bentrok dengan kemampuan nature sense-nya yang lagi-lagi (jika parah) akan membuatnya berakhir mimisan. Selama dua tahun ini, dia hanya diperbolehkan fokus menggunakan kemampuan fisik dan Haki-nya. Dia dilarang sering-sering menggunakan kemampuan magisnya. Shanks khawatir tubuhnya benar-benar belum pulih. Ditambah tidak ada tanda-tanda sayapnya yang akan kembali tumbuh.

Selain fokus berlatih bertarung, Calypso juga tak lupa dengan hobi melukisnya. Dia akhir-akhir ini lagi senang melukis potret seseorang atau kejadian yang terlihat ambigu namun memiliki makna yang begitu mendalam. Contohnya, dia melukis seorang pria yang tenggelam oleh amukan badai api dengan tangan yang direntangkan ke atas, di mana seorang malaikat hitam (perwujudan dari kematian) tengah mencoba menariknya. Atau lukisan yang menggambarkan seorang gadis kecil telanjang yang di mana mulutnya dibekap oleh tangan, dan tubuhnya ditutupi oleh banyak tangan-lukisan itu adalah menifestasi dari kenangan buruknya saat dia mengalami pelecehan.

Sebenarnya lukisannya masih banyak. Entah sudah berapa juta berry dia habiskan untuk membeli cat dan Kanvas. Beberapa lukisannya pun tidak semua ditaruh di Red Force. Beberapa ditaruh di art galery yang berada di pulau kekuasaan Akagami. Sisanya berada di ruangan Garling yang berada di kastel Pangaea.

Tapi dari semua lukisannya yang dinilai begitu indah dan hidup. Dia memajang satu lukisan di kamar ayahnya. Itu adalah lukisan yang menurutnya tidak akan ada harganya, tidak ada sembarang orang yang boleh mengambilnya. Lukisan itu benar-benar begitu indah dan akan sangat berarti baginya maupun ayahnya. Lukisan berupa potret samping ayahnya yang tengah menggendong dirinya berusia 3 tahun di depan bibir pantai. Pria berambut merah itu dilukis sedang mencium kening putrinya. Tak lupa, Calypso kecil dilukis tengah tertawa lepas seraya memegang erat bahu lebar ayahnya. Yang membuat itu semakin spesial adalah gambar punggung seorang wanita berambut hitam yang berdiri di samping Shanks.

Jika saja ibunya masih hidup, mungkin kejadian di lukisan itu bisa menjadi nyata. Mereka berdua pasti bisa merasakan bagaimana dekapan wanita itu secara langsung.

Lamunan Calypso buyar saat dia hampir terpeleset akibat genangan air di tanah akibat hujan kemarin malam. Rompi besi yang melilit tubuhnya sangat berat, belum lagi penutup kepala yang bukannya membuatnya aman, justru malah membuatnya semakin pusing. Gadis itu menendang kasar ranting pohon yang ada di depan kakinya. Lalu mendengkus dan menyumpah serapahi Dominic, selaku mentornya yang menyuruhnya untuk berpencar dan berpatroli di sekitar hutan untuk mengantisipasi kemunculan penyusup yang hendak masuk ke kawasan Marijoise, mengingat di kastel Pangaea sekarang akan mengadakan acara Reverie. Acara sakral yang dihadiri oleh 20 kerajaan yang berada di bawah naungan pemerintah dunia.

Tapi dibandingkan itu semua, dia ingin sekali marah-marah dan protes pada kakeknya yang tanpa persetujuannya malah memasukkannya ke akademi para kesatria suci. Bukannya dihormati sebagai cucu kandung dari keluarga Figarland, dia malah direndahkan karena hanya bisa berlindung di balik nama besar kakeknya. Mereka seakan-akan meremehkan dirinya yang memang siapapun melihat, orang akan berpikir Calypso lebih cocok menjadi tuan putri yang hanya bisa duduk cantik. Tubuhnya terlalu kecil untuk dikatakan seorang petarung. Wajahnya terlalu indah untuk ganasnya pertempuran, dan dia terlalu manja untuk memiliki jiwa kesatria.

Terserahlah, dia tidak peduli apa kata mereka. Dia hanya ingin ayahnya cepat-cepat datang dan menjemputnya. Bukan berarti dia tidak suka dengan kakeknya, tapi dia hanya ingin pulang dan bertemu dengan kucingnya Minky.

Calypso tersentak, kala dia merasakan kehadiran seseorang. Haki observasinya sudah aktif sedari tadi, dan dia yakin orang ini bukanlah bagian dari kesatria suci. Tanpa menunggu lama lagi, Calypso menarik pedangnya. Gadis itu kembali fokus dan menatap tajam pada pohon pinus yang memiliki batang cukup besar dan lebar tersebut. “Keluar! Aku tahu kau ada di sana!”

Merasa tidak ada respon apapun, Calypso secara impulsif menebas pohon tersebut. Tepat saat itu juga, seorang melesat dengan cepat, berhadap-hadapan langsung dengannya seraya melayangkan tangannya yang kokoh dengan Haki senjata. Belum sempat gadis itu hendak melawan, pria itu lebih dulu menepis tangannya dengan keras hingga membuat pedang Gudytha-nya jatuh dan pergelangan tangannya pun terkilir. Merasa dirinya terancam, Calypso buru-buru mengepalkan tangannya dan mengaktifkan Haki senjatanya. Tapi sepertinya, lawannya ini sangat cerdik, dia dengan cepat meninju gadis itu tanpa sempat ada perlawanan.

Calypso tersungkur. Tapi dia tidak langsung menyerah. Dia kembali bangkit dan menatap tajam pria tersebut yang memiliki penampilan rambut pirang, mengenakan topi slash hitam serta terdapat luka bakar di mata kirinya. Pedang Gudytha-nya terlalu jauh dari posisinya. Dia harus memukul mundur lawannya dan mengambil pedangnya kembali agar bisa mengalahkannya dengan sekali serang. “Kau terlihat kecil dibandingkan kesatria lainnya. Apa kau anak magang?” tanya pria itu.

Gadis itu mengepalkan tangannya. Lihat, bahkan sekelas orang asing pun akan meremehkan dirinya yang mengenakan pakaian aneh ini. Calypso mengaktifkan Haki senjatanya lagi dan menyerang pria itu. Mereka bertarung dengan tangan kosong, gerakan tangkis dan menyerang terus menerus dilayangkan. Tadinya gadis itu hendak memberikan tinjunya yang sudah dia baluri dengan Haki penakluk tepat ke wajah lawannya. Namun hal tak terduga pun terjadi, pria itu lebih dulu melayangkan sebuah tinju api yang membuatnya terdorong beberapa meter.

Bukannya meringis kesakitan, Calypso malah terkejut. Jantungnya berdegup dengan kencang saat melihat pria itu dikelilingi oleh kobaran api yang sangat familiar. Kepalanya yang sudah pening, semakin pening, alhasil dia melepas penutup kepalanya. Rambut merah panjangnya langsung tergerai, menampilkan paras wajahnya pada lawannya tersebut.

Pria berambut pirang itu sedikit terkejut, dia tidak mengira lawannya ini adalah seorang perempuan. Pakaian besi yang dia kenakan menyembunyikan lekuk tubuhnya. Dia pernah berkali-kali berhadapan dengan lawan wanita, tapi entah kenapa instingnya menyuruhnya diam kala mata cokelat terang itu menatapnya seakan-akan sedang melihat mayat hidup.

Calypso masih menatap pria itu yang perlahan menyurutkan api di sekitar tubuhnya. Kini mereka hanya diam saling menatap tanpa melakukan apa-apa. Aksi pria itu barusan membuatnya teringat dengan sebuah lukisan yang pernah dia buat untuk mengenang seorang sahabat. Tinju api tersebut adalah milik sahabatnya, bagaimana bisa kekuatan itu ada pada dirinya?!

“Marmut! Kau di mana?!”

Samar-samar, terdengar seseorang memanggilnya. Sial, itu Dominic. Calypso cepat-cepat berlari mengambil pedangnya, lalu menerjang pria pirang tersebut seraya mengaktifkan kekuatan elemen tanah sehingga mereka masuk dan bersembunyi di bawah tanah. Titik-titik cahaya mulai muncul menerangi ruang sempit dan pengap tersebut. Sebelum pria itu menyadari apa yang barusan terjadi, Calypso lebih dulu mengikat tubuhnya dengan sulur akar.

“Hey! Apa yang kau—”

Kalimat pria itu langsung dipotong, kala Calypso menodongkan pedang Gudytha-nya tepat di leher. “Siapa kau?!” tanyanya. “Bagaimana kekuatan Mera-Mera milik Ace ada bersamamu?!”

Pria itu terkejut. “Kau ... Kau mengenal Ace?!”

“Jawab aku, atau aku akan membunuhmu!” teriaknya, semakin mendekatkan pedangnya.

“A—aku Sabo! Aku adalah saudara-nya Ace!” jawabnya. Dia menatap gadis itu lekat-lekat.

“Jangan berbohong padaku! Ace bilang Sabo sudah meninggal sejak dia kecil!!” ikatan sulur akar di tubuhnya semakin mengencang.

Sabo mengerang kesakitan, tapi di sisi lain dia tidak ingin menggunakan kekuatannya, karena dia masih terkejut dengan ucapan gadis itu. “Aku tidak mati. Aku diselamatkan oleh seseorang dan ingatanku menghilang!”

“Apa maksudmu?!”

“Saat itu aku tidak mengingat Ace ataupun Luffy. Tapi selama bertahun-tahun melanjutkan hidup baruku, ingatanku mulai kembali, dan tepat saat munculnya berita kematian Ace ... Aku ...”

Sabo tidak melanjutkan kalimatnya. Calypso menjatuhkan pedangnya, tubuhnya refleks terduduk bersamaan dengan sulur akar tersebut yang menghilang kembali ke dalam tanah. Gadis itu memeluk erat lututnya, entah bagaimana tiba-tiba merasa sedikit sentimental. Dia kembali mengingat Ace, mengingat sahabatnya dan kejadian di mana detik-detik pria itu merenggang nyawa.

“Kau baik-baik saja?” tanya Sabo.

Calypso tidak menjawab. Dia sibuk tenggelam oleh pikirannya. Selama ini dia berhasil melupakan tentang kepergian Ace, namun entah bagaimana orang asing ini muncul dan mengaku sebagai saudara sahabatnya yang selama ini belum meninggal. Pertahanan yang dia buat begitu kokoh hancur kala melihatnya dengan api tersebut. Bagaimana dia memberitahu Ace jika Sabo selama ini selamat dan hidup?

“Ace selalu menceritakan tentangmu saat semasa hidupnya.”

Sabo termenung. Dia memperhatikan gadis itu yang perlahan menangis dalam diam. Ingatannya langsung bergerak saat mengenang masa kecilnya bersama dua saudaranya di pulau Dawn. “Apakah kau gadis yang bernama Calypso?” tanyanya.

Gadis itu mendongak. Iris cokelat terangnya berlinang air mata. Entah kenapa hal tersebut mendorong Sabo untuk mengeluarkan sapu tangannya dan memberikannya padanya. Calypso menatap obsidian tersebut lekat-lekat. Dia tidak kenal dengan pria di hadapannya ini. Tapi entah kenapa, menatapnya lamat-lamat justru membuatnya semakin merindukan sosok sahabatnya.

* * *

Calypso bingung harus bereaksi seperti apa. Pikirannya sibuk melayang entah kemana. Bahkan saat dia berjalan di taman kastel seraya membawa tas selempangnya, dia lagi-lagi tidak fokus pada langkahnya dan berakhir menabrak punggung seseorang. Gadis itu meringis, dan mundur dua langkah hanya untuk kembali tersadar jika dia tengah berjalan di tengah keramaian.

Acara Reverie sebentar lagi dimulai, dia kabur dari Dominic setelah membiarkan penyusup masuk ke dalam kastel Pangaea yang dia yakin sebentar lagi kekacauan akan terjadi. Orang yang bernama Sabo itu adalah bagian dari kelompok revolusi, Calypso tidak tahu apa tujuan mereka datang ke Marijoise. Memikirkan Sabo yang ternyata masih hidup saja sudah membuatnya kacau. Dia tidak bisa membayangkan betapa bahagianya Luffy saat tahu saudaranya yang lain masih hidup.

“Kau?!”

Calypso mendongak, mendapati seorang pria bertubuh tinggi tegap mengenakan topi berlogo Marine serta jubah besar yang tersampir di punggung yang menjadi ciri khas bagi seorang Angkatan Laut. Gadis itu tersentak, melihat wajah pria itu membuat ingatan kelam dua tahun yang lalu di Marineford kembali menghantuinya. Rasa sakit saat sayapnya dicabut membuat tubuhnya tergetar, terlebih saat kepalanya tiba-tiba mengingat bagaimana pria itu menghunus kepal tinjunya di dada Ace.

“Berani sekali kau menginjakkan kaki di tempat ini?!” katanya sekali lagi.

Gadis itu mundur. Dia takut. Bahkan saking ketakutannya, dia nyaris mundur perlahan hingga sebuah tangan memegang bahunya dari belakang. Calypso tersentak, cepat-cepat menoleh dan mendapati kakeknya. “Ka—Kakek.” Karena rasa takutnya yang sudah membuncah, tanpa berpikir panjang dia memeluk pria tua itu. Tangisnya lepas, membuat Garling menatap Fleet Admiral terbaru itu dengan tajam.

“Apa yang telah kau lakukan terhadap cucuku?” tanya Garling.

Jelas Akainu terkejut. Dia tidak pernah mengira jika informasi rahasia itu benar adanya. Gadis yang muncul di perang Marineford 2 tahun yang lalu adalah benar-benar anak kandung Shanks Akagami sekaligus keturunan Figarland. Sekarang melihat bagaimana gadis itu memeluk Saint Garling dan bagaimana pria tua itu melindunginya, Akainu seketika tidak bisa berkutik. “Jika bukan karena permintaan anakku, aku sudah membunuh 3 laksamana sekaligus sejak dulu!”

Garling pun pergi, menuntun Calypso menjauhi taman. Dia di bawa ke ruangannya dan membiarkan gadis itu duduk di sofa untuk menenangkan dirinya. Garling menuangkan segelas air dan memberikannya pada cucunya. Dengan tangan yang bergetar, Calypso menerimanya. Dia meneguknya perlahan untuk menyegarkan sejenak tenggorokannya. Setelahnya dia terdiam, menatap gelas tersebut.

“Aku ingin pulang.” Gadis itu akhirnya berbicara, hal tersebut sukses membuat Garling tersenyum pahit. Sejak kecil, cucunya itu tidak pernah bisa terbiasa untuk betah tinggal di Marijoise.

“Maafkan aku, Calypso. Aku memang kakek yang buruk.” Pria tua itu mengambil duduk di sampingnya dan membawa gadis itu ke dalam dekapannya.

“Kau tidak salah. Aku benci semua orang yang ada di sini. Satu-satunya hal yang aku sukai di sini hanya Kakek.” Calypso membalas pelukan kakeknya. “Kakek adalah satu-satunya keluarga yang aku punya selain Ayah.”

Perlahan senyum pahit di wajah Garling berubah menjadi senyum simpul. Calypso juga merupakan satu-satunya hal tersisa yang dia miliki. Terserah dunia mau menganggapnya adalah keturunan terlarang sebab terdapat darah bajak laut di nadinya atau darah makhluk mitologi di dalam dirinya, Garling tidak peduli. Selama cucunya masih hidup dia akan menyayanginya.

“Ayahmu sudah sampai di kastel Pangaea. Dia sedang ada urusan dengan Gorosei.”

“Apakah akan lama?” tanya Calypso.

“Entahlah. Yang pasti acara Reverie tidak akan dimulai jika Gorosei belum datang. Tunggulah di sini, nanti ayahmu akan jemput.”

Calypso mengangguk kecil. Perlahan matanya terasa berat. Tak lama kemudian dia pun tertidur di pelukan kakeknya.

* * *

Terakhir yang dia ingat, dia tertidur di pelukan kakeknya akibat merasa kelelahan setelah apa yang dia alami hari ini.

Tapi di dalam tidurnya, dia justru didatangi oleh seorang wanita yang memiliki penampilan serba hitam. Mulai dari rambut, bola mata, warna bibir, pakaian hingga sayap besar yang hitam kelam layaknya tinta cat, terlihat sangat kontras dengan kulit putih pucatnya. Saat melihat sayap dan daun telinganya yang runcing, membuat Calypso langsung menilai jika wanita itu adalah Nymph.

“Tak kusangka pria itu mampu merawat dan membesarkanmu.” Itu adalah kalimat pertama yang dia sampaikan padanya.

“Kau ... Siapa?” tanya Calypso. Meski wanita itu memiliki penampilan yang menarik, namun entah kenapa terasa menakutkan dalam waktu yang bersamaan.

“Bisa dibilang ini sudah sangat lama. Kita bertemu saat kau masih berusia 5 tahun. Itu sudah sangat lama sekali, kuharap kau masih mengingatku.” Wanita menyeringai, membuat bulu kuduknya berdiri. “Aku Oread.”

Deg.

Calypso ingat. Dia mengingatnya. Wanita itu yang muncul di mimpinya berupa suara tanpa wujud, memberitahunya tentang batu kehidupan dan juga mengatakan jika ibunya serta penghuni pulau Veela masih bisa diselamatkan. Tapi ... Kenapa dia tiba-tiba muncul bahkan disertai dengan wujud yang jelas?

“Kutebak kau mengingatku,” ucapnya. Namun Calypso masih belum bisa bereaksi apa-apa. “Aku cukup iba atas apa yang terjadi denganmu dan ayahmu. Aku tidak menyangka seorang penyihir melakukan hal keji tersebut pada kalian. Beruntung kekuatan ibumu yang tertanam di tubuh ayahmu bisa menyelamatkan kalian.”

“Ibu ... Bagaimana kabar ibuku?!” bukannya merespon, Calypso malah bertanya tentang Karina.

Oread mendecih. “Ayah dan anak sama saja!” ledeknya, mata hitam kelamnya menatap gadis itu lekat-lekat. “Sekarang kau terlihat seperti perpaduan antara Karina dan pria itu. Pasti tidak nyaman memiliki warna rambut jelek seperti itu.”

“Jangan meledek warna rambut ayahku! Aku menyukainya!” katanya tidak terima. Sebab dengan warna merah ini, orang-orang mulai percaya jika dia adalah anak ayahnya. Putri kandungnya.

Oread tertawa kecil. “Baiklah, tidak usah marah-marah seperti itu. Sekarang sudah cukup basa-basinya. Ada hal penting yang harus aku sampaikan padamu.”

Hal penting? Hal apa?

“Kau sudah mengumpulkan 4 batu kehidupan. Air, tumbuhan, api dan angin. Tersisa satu batu lagi, elemen tanah. Kali ini tidak akan semudah seperti sebelumnya. Lokasinya berada di tempat tersembunyi dilindungi oleh monster bawah laut yang telah tertidur selama 800 tahun lamanya. Monster itu telah menjaga salah satu dari tiga senjata mematikan di dunia.”

Apa? Maksudnya? Pluton? Atau Uranus?

Yang benar saja!

“Aku tidak akan menjelaskan tentang senjata itu. Itu bukan urusan makhluk sepertiku. Tapi yang jelas, batu elemen tanah berada tak jauh dari lokasi senjata tersebut berada, jadi lebih baik kau berhati-hati.” Oread mendekat, tangannya terangkat untuk menyentuh kepalanya. “Aku akan memberi tahu lokasinya. Aku yakin ini akan sulit, tapi melihatmu tumbuh menjadi seorang gadis yang kuat, aku yakin tekad dan kemampuan ayahmu telah diwariskan padamu. Ditambah, kau memiliki kekuatan elemental seperti kami. Kau pasti bisa menemukannya.”

Tepat saat tangan itu menyentuhnya, Calypso tersentak. Visualisasi yang diberikan wanita itu adalah sebuah tempat seperti kota yang terletak di bawah air. Atau mungkin terendam oleh air sebab banyak sekumpulan ikan yang berenang melewati rumah-rumah yang masih memiliki bentuk utuh seakan-akan tidak termakan oleh genangan air. Tak lama, visualisasinya berubah, menjadi sebuah tempat air terjun di tengah lautan yang terlihat sangat familiar baginya. Tunggu, jangan bilang kalau tempat batu itu berada ada di negeri terisolasi tersebut?

“Kurasa kau sudah tahu di mana tempatnya. Waktuku sudah habis, aku harus segera pergi.”

Tanpa menunggu persetujuannya, wanita yang mengatakan dirinya adalah Oread itu menghilang. Tak lama Calypso terbangun. Dia sedikit mengernyit saat mendapati dirinya bukan lagi berada di sofa atau di ruangan kakeknya. Dia berada di gendongan seseorang.

“Sudah bangun, bayi besar?” Suara Shanks terdengar. Ini bahu ayahnya. Calypso tidak menanggapi, justru malah melingkarkan tangannya di leher pria itu untuk memeluknya. “Melihat responmu seperti ini, kau pasti merindukanku.”

“Kau lama sekali menjemputku, pria tua!”

Shanks tertawa. Dia menoleh untuk mengecup pipi gadis itu sekilas. “Maaf. Ayah datang terlambat karena ada beberapa masalah di pulau Blossom. Tapi kau senang kan, menjadi kesatria magang di sana?”

Calypso cemberut. “Aku lebih senang bermain dengan Minky!” Jawaban Calypso membuat pria itu kembali tertawa. Shanks kembali mengecup pipinya yang langsung disambut protes oleh putrinya. “Berhenti menciumiku! Itu menjijikkan, Ayah!” ucapnya. Tapi tidak merenggangkan pelukannya pada ayahnya.

“Baiklah, Ayah minta maaf.” Shanks tersenyum. Mereka terus berjalan (dengan posisi Calypso yang masih digendong oleh Shanks) meninggalkan Marijoise, hingga saat mereka sampai di Red Force, Calypso tiba-tiba berkata.

“Ayah. Aku harus pergi ke Wano.”

* * *

A/N:

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top