32 | Swordman
Calypso pernah bilang sebelumnya, jika dia harus meminta maaf secara langsung kepada Mihawk. Gadis itu merasa bersalah karena orang-orang menyalahkan dirinya atas kejadian buruk yang Calypso alami di Marineford. Setelah melakukan perundingan sedemikian rupa dengan ayahnya, dia akhirnya mendapatkan izin untuk mendatangi pulau Kuraigana selama beberapa hari. Dia diantar oleh bajak laut Akagami dan diturunkan di lepas pantai. Ayah dan krunya akan menunggu di Water 7, sekalian bertemu dengan teman lamanya setelah puluhan tahun tidak bertemu.
Gadis itu merapihkan sejenak tali sepatunya yang terlepas. Niatnya datang ke sini bukan hanya sekedar mengunjungi pamannya, tapi dia juga ingin berlatih teknik berpedangnya dengan pedang pemberian kakeknya. Dia beri nama pedang itu Gudytha memiliki arti; petualangan yang gembira dan bebas. Calypso ingin pedang itu menemani petualangannya kelak saat sudah waktunya dia diperbolehkan untuk pergi seorang diri, tanpa ada embel-embel Akagami di belakang punggungnya. Meski gadis itu tidak yakin akan pergi ke mana dan menjadi apa. Terlebih dia tidak pernah berpikiran untuk menjadi seorang bajak laut ataupun aparat pemerintah.
Suara grasak-grusuk dari semak-semak dan pepohonan mulai terdengar. Dia bisa merasakan keberadaan Humandrills yang berdatangan memperhatikan dirinya dari balik pepohonan di sisi jalan setapak. Calypso terus berjalan, bahkan ketika segerombolan baboon itu melompat ke arahnya, gadis itu lebih dulu memancarkan Haki rajanya hingga berhasil meringkus hewan-hewan yang bertingkah layaknya prajurit hingga terjatuh tak sadarkan diri, memberikannya jalan hingga menuju tengah hutan.
Rupanya, Haki rajanya cukup terasa oleh pemilik kastel raksasa tersebut. Mihawk saat itu tengah duduk menatap muridnya yang sedang berlatih beberapa teknik menggunakan Haki senjata. Ditemani oleh seorang gadis berambut merah muda yang melayang di sampingnya. Pria bermata emas itu mendongak, samar-samar melihat siluet seorang perempuan yang mendekat ke arah mereka.
“Ada seseorang yang datang!” Zoro seketika memasang sikap siaga. Pria berambut hijau itu secara impulsif berlari dengan dua pedang di tangannya. Mihawk hanya terdiam melihat tingkah pria itu yang begitu impulsif, namun sebisa mungkin dia tetap tenang sebab orang yang dimaksud itu pasti bisa menanganinya.
Di sisi lain, Calypso memicingkan matanya saat yang datang mendekat bukanlah Mihawk melainkan pria asing berambut hijau, tengah berlari memberikan ancang-ancang untuk menyerangnya dengan dua pedang sekaligus. Itu mengingatkannya dengan gaya bertarung Snake. Gadis itu menjatuhkan tas duffelnya dan menarik pedangnya. Sebelum pria itu semakin mendekat, Calypso lebih dulu mengaktifkan Haki senjata disertai aliran Haki rajanya pada Gudytha. Hingga ketika pria itu mulai menyerang, gadis itu lebih dulu menebas pedangnya hingga dentuman keras pun terjadi.
Zoro terbelalak, tidak menyangka gadis itu berhasil menahan serangannya. Lalu tak lama Mihawk muncul dan menarik bahu pria berambut hijau tersebut hingga mundur beberapa meter. Calypso menegakkan tubuhnya dan menancapkan pedangnya di tanah. “Halo, Paman!”
Mihawk menatapnya lekat-lekat. Pria itu berjalan mendekat, dan tak lama kemudian memeluk gadis itu erat-erat. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, kemudian melepas pelukannya dan memegang kedua bahunya. Mata emasnya meneliti penampilannya dari ujung kaki sampai ujung kepala, mencari apakah ada luka atau cedera. Hingga kemudian tangannya menyentuh rambutnya yang sangat berbeda dari sebelumnya. “Rambutmu ...”
“Aku baik-baik saja. Ayah bilang ini adalah sebuah keajaiban.”
Mihawk menghela napas lega. Pria itu kembali memeluknya dan mengusap rambutnya dengan lembut. “Di mana Akagami? Kau tidak mungkin datang kemari sendirian.”
“Mereka hanya mengantarku sampai lepas pantai.”
Pria itu mengangguk sekilas. Tak lama Perona muncul dan menghampiri Zoro, mereka menatap gadis itu dengan tatapan curiga. Terutama pria yang memiliki tiga pedang di pinggangnya yang hanya diam menatapnya tanpa ada ingin mengucapkan sepatah kata setelah gagal menyerangnya barusan. Entah kenapa Zoro merasa ada aura berbahaya dalam diri Calypso yang bisa saja mengalahkan seseorang dengan sekali tatap.
“Siapa dia?” tanya Perona. Dia melayang mendekat hingga berhenti tepat di hadapan Calypso.
Calypso mundur selangkah. “Aku Calypso. Senang bertemu dengan kalian.”
Merasa belum puas dengan jawabannya, gadis melayang itu menoleh ke arah Mihawk yang hanya memberikan tatapan datar. “Dia keponakanku. Menjauh darinya,” ucapnya. Pria itu mengambil tas duffel milik Calypso dan mencabut pedangnya yang masih tertancap di tanah.
“Kau sekarang memiliki pedang?” tanya Mihawk.
Calypso memberikan sarungnya dan mengendikkan bahunya tak acuh. “Kakek yang memberikanku sebagai hadiah ulang tahun.”
Mata Mihawk sedikit meredup. “Maaf, aku tidak bisa datang ke acara ulang tahunmu. Akagami melarangku untuk datang.”
Perkataannya Mihawk itu cukup terdengar di telinga Zoro dan Perona. Mereka membelalakkan mata, terutama Perona yang memekik terkejut. Calypso tertawa kecil. “Tidak apa-apa, aku paham.”
Mihawk menyampirkan tas Calypso di bahu lebarnya dan meraih sarung pedang tersebut, membiarkan dirinya membawa barang-barang keponakannya. "Latihannya dicukupkan. Kita lanjutkan lagi besok," ucap pria itu pada Zoro.
Pria berambut hijau itu hendak protes, namun terhenti kala Perona lebih dulu berbicara. “Tunggu! Akagami?! Maksudmu Shanks Akagami si kaisar laut di Dunia Baru?!” tanya Perona, mengingat-ingat berita yang sempat geger pasca perang Marineford berakhir.
Calypso yang berjalan membuntuti Mihawk menoleh dan tersenyum. “Kau benar. Dia ayahku.”
Perona mematung. Zoro justru menyeringai. Dia teringat dengan cerita masa lalu kaptennya—Luffy—yang sekarang entah berada di mana. Pria bertopi jerami itu memberikan pesan pada krunya (yang telah terpisah-pisah) untuk menghentikan perjalanan selama 2 tahun. Itulah sebabnya dia menetap di pulau angker ini untuk berguru dengan pendekar pedang terkuat di dunia. Dan sekarang dia mendapati seseorang yang tidak pernah dia duga. Luffy pernah bercerita tentang teman masa kecilnya yang juga merupakan anak dari Shanks Akagami. Hal yang membuatnya semakin menarik adalah; gadis itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Teknik apa itu tadi?
“Aku harus bisa mengalahkannya.”
* * *
Kakeknya bilang, pedang Gudytha-nya itu terbuat dari batu meteor yang ada sejak puluhan tahun yang lalu. Itu alasan mengapa pedang itu bewarna hitam. Calypso sebenarnya tidak terlalu tertarik mengenai pedang apa yang dia pakai, menurutnya selama kau mengerti tekniknya dan menguasai Haki senjata tingkat tinggi, serangannya bisa saja sefatal Kamusari milik ayahnya. Calypso sudah beberapa kali diajarkan teknik tersebut, tapi tidak pernah dia lakukan dengan sungguh-sungguh. Selain tingkat kesulitannya yang rumit, dia juga belum bisa mencapai Haki tingkat tinggi seperti yang ayahnya sering lakukan.
Pria berambut hijau itu sejak kemarin-kemarin selalu menantangnya untuk berduel. Calypso sih mau-mau saja, apa lagi saat melihat teknik bertarungnya yang menggunakan tiga pedang. Dua di tangan dan satu di mulut. Itu hal gila yang pernah dia lihat. Namun sayangnya Mihawk selalu melarangnya. Entah dia takut Calypso kenapa-kenapa, atau justru sebaliknya. Sebab melihat kemampuan bertarungnya di Marineford, Mihawk bisa menilai keponakan angkatnya itu sudah cukup berkembang dan bisa saja Zoro akan dalam bahaya jika berhadapan dengan anak dari rivalnya ini.
Pagi itu, Mihawk pergi untuk mengurusi urusannya sebagai Warlord. Calypso sudah diberitahu sejak semalam. Sebagai paman yang baik, dia sudah menyiapkan sarapan salad buah di kulkas untuk gadis itu, tak lupa sebotol susu kedelai yang diberi sticky notes; ‘susu kedelai–milik Calypso’. Akhirnya mereka hanya sarapan bertiga.
Perona asik berbicara mengenai rancangan gaun yang hendak dia buat. Calypso memberi tahu jika di kastel tersebut terdapat ruangan jahit yang sangat lengkap. Jadi dari pada dia bosan, lebih baik menghabiskan waktu menjahit. Gadis yang kini berambut merah itu juga tidak mungkin menghabiskan waktunya berlatih pedang bersama para Humandrills setiap hari. Dia juga ingin ikut menjahit dan membuat rok lucu yang akan dia tunjukkan pada ayahnya nanti.
“Ayo berduel denganku!”
Baru saja Calypso dan Perona ingin menuju ruangan jahit, Zoro tiba-tiba menghalangi lorong seraya mengacungkan pedangnya yang berada di dalam sarungnya.
“Hey, Buta Arah! Calypso dan aku ingin menjahit! Jadi jangan ganggu kami, hush hush!”
Zoro mengeraskan rahangnya. “Aku tidak berbicara denganmu gadis hantu! Aku berbicara dengan si rambut merah!”
Calypso melipat kedua tangannya di dada. Tersenyum miring menatap pendekar tiga pedang tersebut. “Aku tidak sebanding denganmu. Pasti belum 5 menit berlangsung, pedangku akan terjatuh,” ucap gadis itu merendah.
Entah kenapa, ucapannya barusan terasa seperti menyindir Zoro. “Aku tidak peduli! Aku ingin berduel denganmu!” ucapnya tetap pada pendiriannya.
Calypso tertawa, lalu entah bagaimana akhirnya dia mengiyakan ajakannya itu. Mereka kini berada di tengah hutan, siap dengan pedang mereka masing-masing. Entah siapa dulu yang memulai, namun dalam kurun waktu 5 menit, mereka kini saling menyerang. Calypso sedikit dibuat waspada saat pria itu tidak bisa diserang dengan jarak begitu dekat mengingat 3 pedang yang mengelilingi tubuhnya. Sekarang dia tahu alasan kenapa Mihawk melarangnya berduel, karena gadis itu bisa saja terkena pedang Zoro yang mungkin terbuat dari perak.
“Boleh aku bertanya?” tanya Calypso saat dirinya menahan dua pedang tersebut dengan Gudytha. “Apa pedangmu terbuat dari perak?” lanjutnya.
Zoro tidak menjawab. Alhasil, Calypso melompat untuk menghindari dan mengirim tebasan jarak jauh padanya. Tapi itu sangat mudah bagi pria itu untuk menepisnya. “Mengapa kau menanyakan itu?”
“Dengar, aku alergi perak. Jika pedangmu terbuat dari perak, tolong jangan mengarahkannya ke titik vital. Aku sudah pernah kehilangan nyawa karena itu.”
Pria itu mendecih. “Sepertinya aku terlalu melebih-lebihkan. Ternyata kau ini lemah!” ucapnya, merendahkannya. Sebab dia tidak pernah melihat seorang lawan yang justru mengatakan titik kelemahannya.
Calypso memutar bola matanya jengah. “Yang bilang aku ini kuat, siapa?! Aku hanya memberitahu supaya kau berhati-hati, agar tiga orang paling menakutkan di dunia tidak memburu kepalamu!”
Zoro tidak terlalu peduli. Pria itu terus menyerangnya, namun gerakannya begitu mudah untuk dibaca, jadi sebisa mungkin Calypso hanya menghindar atau sesekali menangkis pedangnya. Karena kesal pria itu tidak mau melunak padanya, gadis itu seketika menghentakkan kakinya hingga tanah di sekitar bergoyang. Zoro mengira tengah terjadi gempa bumi, dan itu membuatnya lengah saat pedang Calypso yang entah bagaimana mengeluarkan kilatan telah mengarah padanya. Pria itu cepat-cepat melakukan pertahanan dengan menyilangkan dua pedangnya.
Getaran yang sangat kuat pun terjadi. Serangan Calypso begitu kuat, senyum Zoro semakin melebar. Dia tahu, gadis itu masih belum menunjukkan kekuatannya yang sesungguhnya. Pria itu kembali merangsek maju dan menyerang dirinya dengan gerakan yang begitu cepat. Calypso kewalahan untuk menghindar, hingga akhirnya hal yang dia takutkan pun terjadi. Pegangan pada pedangnya goyah, membuat Gudytha terlempar dan dia nyaris tersayat bilah pedang Zoro.
Calypso melempar tubuhnya menjauh. Tanpa memberikannya napas sejenak, Zoro sudah melompat kembali mengayunkan pedangnya. Calypso buru-buru mengeluarkan pedang cahaya dari telapak tangannya, menangkis serangan pria berambut hijau tersebut. Terlihat lawannya itu terbelalak melihat cahaya menyerupai pedang menahan dua senjatanya dengan sangat kokoh. Calypso tidak memiliki banyak waktu, lantas menendang tungkai Zoro hingga pria itu sedikit lengah. Gadis itu pun berlari meraih pedang Gudytha, dan saat dia berbalik, dia harus menahan pedang Zoro yang lagi-lagi hendak memotongnya hidup-hidup.
Gadis itu mengerang, butuh beberapa detik dia mengeluarkan Haki rajanya, membuat angin berdesir dan burung-burung berterbangan. Zoro rupanya tidak terpengaruh dengan serangannya Hakinya. Alhasil dia memancarkan aliran listrik hingga ledakan pun terjadi.
BLAR!
Baik Calypso maupun Zoro terpelanting begitu jauh. Gadis itu menabrak beberapa pohon membuat punggungnya terasa kebas. Para Humandrills memilih untuk bersembunyi mengintip si rambut merah tersebut. Pakaian atas Zoro hancur terbakar karena serangan listrik tersebut. Dia berjalan dengan langkah gontai menghampiri Calypso seraya menyeret pedangnya. Gadis itu perlahan membuka mata, dia sudah tidak sanggup untuk bertarung lagi, alhasil dia hanya siap ancang-ancang dengan mengaktifkan Haki senjata di pedangnya.
Bruk!
Tapi tanpa dia duga, Zoro terjatuh. Dia meringis lalu kehilangan kesadaran bersamaan dengan gadis itu yang jatuh pingsan.
* * *
Calypso terbangun tepat saat Mihawk tengah merapihkan meja nakas yang penuh dengan obat-obatan, perban dan kain kasa. Pria itu menoleh saat melihat mata gadis itu mengerjap sejenak dan perlahan terbuka.
“Sekarang aku paham bagaimana rasanya menjadi Shanks,” ucapnya dingin. Calypso belum bereaksi apa-apa. Kepalanya masih memproses semuanya. Hingga kemudian dia merasakan rasa ngilu di sekujur tubuhnya.
“Paman ... Apa yang terjadi?”
Mihawk masih dengan tatapan dinginnya. “Kau tak sadarkan diri setelah bertarung dengan Zoro. Aku sudah bilang untuk tidak menyetujui permintaannya! Beruntung pedangnya tidak sampai mengenai tubuhmu!” balasnya. Kepalanya mendadak pusing saat mendapatkan telepon dari Perona yang mengatakan jika Zoro dan Calypso berduel dan dua-duanya berakhir tak sadarkan diri. Mihawk langsung bertolak kembali menuju pulau Kuraigana. Kini dia paham kenapa Shanks terlihat lebih tua, padahal usianya 4 tahun lebih muda darinya. Ternyata memiliki anak cukup menguras tenaga dan pikiran. Mihawk tidak bisa berhenti khawatir saat keponakannya itu mengalami lebam di sekujur tubuhnya dan luka-luka gores di wajah, tangan dan kaki.
“Apa aku menang?”
“Tidak ada yang menang. Istirahatlah.” Mihawk pergi membawa nampan berisi obat-obatan, meninggalkannya sendirian di kamar.
Baiklah, sekarang dia tidak bisa banyak bergerak. Mungkin sepertinya dia harus menggunakan seal penyembuh agar mempercepat regenerasi luka-luka di tubuhnya. Calypso perlahan bangkit, memposisikan duduknya sedikit menyender. Kemudian dia melukai jarinya untuk mengeluarkan darahnya, lalu dia menggambar simbol khusus tersebut di dadanya. Perlahan simbol itu bercahaya dan mulai bereaksi. Rasa sakit di punggungnya berangsur-angsur menghilang.
Dia menyibakkan selimut dan berjalan ke jendela. Menatap hamparan hutan yang luas di bawah sana. Tak lama den den mushinya menyala. Calypso mengambil siput tersebut dari atas nakas dan mengangkat panggilan. Pasti itu dari ayahnya.
“Oy, Calypso!”
Tuh kan, benar.
“Hai, Ayah. Bagaimana kabar Minky?” balas Calypso langsung menanyakan kabar kucingnya.
“Kau seharusnya menanyakan kabarku! Bagaimana dengan kabarmu? Kau tidak kenapa-kenapa, kan?”
Calypso tertawa. “Aku baik-baik saja. Hanya lecet sedikit karena latihan.”
Terdengar suara helaan napas di ujung sana. “Jangan terlalu memaksakan diri, Calypso,” ujarnya. Gadis itu berbalik badan, duduk di meja tolet dan memperhatikan lekat-lekat penampilannya. “Kau sudah sangat hebat untuk usiamu yang masih di bawah umur. Waktumu masih panjang. Jadi jangan terlalu cepat. Nikmati saja prosesnya. Semuanya tidak akan kemana-mana.”
“Iya, Ayah. Aku paham.” Calypso mengelus rambut merahnya yang kini memiliki warna sama persis seperti kaisar laut Akagami. “Ayah, Paman Mihawk memiliki murid di sini. Namanya Zoro. Dan kau tahu? Dia adalah wakil kapten dari bajak laut Topi Jerami. Dia rekan pertama Luffy!”
“Rekan Luffy? Kenapa dia bisa berada di sana? Apa yang terjadi dengan bajak lautnya sejak kejadian Marineford?”
“Entahlah. Zoro sendiri juga kurang yakin. Dia berpendapat jika krunya berpencar dan bersembunyi. Mereka akan kembali bertemu di pulau Sabaody dua tahun lagi.”
“Keputusan yang bijak. Mereka belum siap berlayar di Dunia Baru. Mereka butuh banyak latihan mengembangkan kemampuan mereka agar bertahan di kejamnya Dunia Baru.”
Calypso hanya mengangguk. “Oh iya, Ayah! Tidak hanya Zoro, di sini juga ada satu perempuan bernama Perona. Dia sedikit bawel tapi dia sangat perhatian. Dia sering membangunkanku di pagi hari, menyiapkan teh saat sarapan dan menemaniku saat sedang senggang.”
Terlihat sebuah senyuman dari siput tersebut yang mempresentasikan ekspresi ayahnya. “Ayah senang kau memiliki teman baru yang sesama perempuan.”
Gadis itu terdiam. Dia kembali menatap pantulan cermin. Lagi-lagi matanya tertuju pada rambutnya. Dia masih belum terbiasa dengan penampilan barunya ini. Tapi di lubuk hatinya dia merasa senang. Untuk pertama kalinya ada sesuatu darinya yang diwarisi dari ayahnya. Rambut merahnya.
“Kututup teleponnya ya, Ayah. Aku ingin tidur siang.”
“Baiklah. Jangan lupa hari Minggu kau sudah harus ada di Water 7!”
“Iya Ayah.”
Sambungan pun terputus. Selang beberapa detik pintu diketuk. Perona membuka pintu tanpa menunggu izin dari Calypso. Gadis itu berlari menghampiri dan memeluknya. “Kau tidak apa-apa? Kau dan Zoro ternyata sama saja! Kenapa kalian begitu bodoh dan bertarung hanya untuk mengadu kekuatan?!”
“Ekhm!” Seseorang berdeham. Ternyata Zoro membututi gadis berambut merah muda tersebut. Dia berjalan mendekat dan membuang muka. Sebagian tubuhnya diperban. Pasti itu karena luka sengatan listrik yang disebabkan olehnya. Calypso jadi merasa bersalah. “Oy, Merah. Terima kasih sudah mau berduel denganku. Dan juga ... Aku minta maaf.”
Calypso bersedekap. “Minta maaf untuk apa? Lagi pula, Paman bilang tidak ada yang menang. Kita sama-sama tidak sadarkan diri di tengah-tengah pertarungan.”
Zoro menatapnya kesal. “Aku minta maaf kerena telah mengatakan kau lemah.”
“...”
“Kau tidak lemah ... Kau mengingatkanku dengan sahabat kecilku dulu. Dia pandai menggunakan pedang.”
Calypso menghela napas. “Dengar, aku tidak berambisi sepertimu. Aku menggunakan pedang karena kakek dan ayahku pandai menggunakannya. Aku hanya aku. Aku punya ambisi lain. Alasan lain aku datang ke sini hanya ingin bertemu dengan pamanku.”
“Aku tidak menyangka pria dingin itu memiliki keponakan,” ujar Perona.
“Ceritanya panjang. Dia menjadi pamanku sejak aku masih bayi.”
“Tetap saja tidak bisa aku bayangkan!” keluh Perona.
* * *
A/N:
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top