30 | Recovery

Ini sudah hampir sebulan berlalu sejak perang Marineford berakhir. Selama itu pula Calypso mengurung diri di dalam kabin tanpa melakukan apa-apa. Dia hanya akan keluar untuk makan. Di kabin pun dia hanya menghabiskan waktu untuk tertidur, mencoret-coret buku sketsa, lalu diam menatap jendela dengan tatapan kosong. Tapi hari itu sedikit berbeda, rupanya kru kapal mulai khawatir dengan perubahan sikap gadis itu. Alhasil, makan malam diadakan di dek kapal. Mereka berencana untuk membuat acara pesta kecil-kecilan, meskipun setiap malam bagi mereka adalah pesta.

Calypso terpaksa harus naik ke atas dek untuk mengambil jatah makanannya. Niatnya setelah mengambil beberapa potong kentang dan buah-buahan, dia akan kembali ke kamarnya. Namun Roo memintanya untuk makan bersama mereka. Shanks dan Benn juga menyuruhnya untuk makan bersama. Alhasil, dengan terpaksa dia duduk di pinggiran dekat pagar pembatas dan memakan makanannya dengan tidak bersemangat, berbanding terbalik dengan orang-orang yang justru terlihat senang dan menikmati makanannya. Punch menyiapkan keyboard, disusul oleh Monster yang telah siap dengan harmonika. Mereka akan menampilkan beberapa lagu untuk meriahkan suasana.

Kalau biasanya Calypso akan duduk di tengah-tengah keramaian karena dia suka bersenang-senang, tapi kali ini dia benar-benar tidak tertarik. Shanks menatapnya dari kejauhan. Pria itu tahu bahwa Calypso belum terbiasa dengan kehilangan seseorang. Dia juga tidak pandai membujuk seorang remaja. Berbeda dengan Calypso versi anak kecil, cukup dirayu dengan membelikan mainan baru, pasti beberapa menit kemudian suasana hatinya akan kembali normal.

Intro lagu dimainkan. Calypso menatap duo musisi kapal tersebut dengan tatapan datar. Sepertinya dia harus cepat-cepat menghabiskan makanannya dan kembali ke kabin. Dia benar-benar tidak merasa baik-baik saja berada di keramaian.

Yo-hohoho, Yo-hoho-ho!
Yo-hohoho, Yo-hoho-ho!
Yo-hohoho, Yo-hoho-ho!
Yo-hohoho, Yo-hoho-ho!

Semua orang kompak bernyanyi. Bahkan ayahnya pun juga bernyanyi. Sedangkan gadis itu hanya diam. Kepalanya melengos menatap lautan yang gelap gulita. Dia membuang kulit kentang ke laut dan memakannya dengan gigitan yang besar. Bait pertama lagu mulai dinyanyikan dipimpin oleh Punch yang duduk di atas barel anggur kosong dengan tangan yang sibuk menekan tuts keyboard.

Gather up all of the crew!
It's time to ship out Bink's brew!
Sea wind blows
To where? Who knows?
The waves will be our guide!

O'er across the ocean's tide
Rays of sunshine far and wide
Birds they sing of cheerful things, in circles passing by!

Lupakan soal orang-orang yang sekarang sedang bernyanyi. Pikiran Calypso melayang entah kemana. Dia semakin mendekat ke pembatas pagar, menatap riak air yang menabrak kapal. Memikirkan kenapa semuanya terasa hambar dan menyebalkan. Kemana semangatnya? Apa ada yang salah dengan dirinya? Selama sebulan ke belakang dia memikirkan banyak hal. Mulai dari rasa kehilangannya, apa yang terjadi pasca perang? Bagaimana kabar Luffy yang setahu dia saat itu juga mengalami cedera yang sangat parah dan gak lama setelah perang selesai dia muncul di koran karena mendatangi Marineford untuk menunjukkan belasungkawa. Lalu dia juga memikirkan tentang dirinya.

Apa yang terjadi dengannya? Sayapnya dicabut oleh seorang yang akan masuk ke dalam daftar musuhnya, entah apakah sayapnya ini akan kembali tumbuh atau tidak. Calypso ingat sekali bagaimana rasa sakit saat kehilangan sayapnya, ditambah dengan luka tusuk yang tepat mengenai dadanya. Entah bagaimana caranya dia bisa pulih hanya dalam satu malam. Apa yang dilakukan ayahnya yang dia tebak pasti meminta tolong bantuan penyihir kenalannya. Tidak ada yang mau memberitahu. Sekalipun Calypso bertanya, ayahnya hanya menjawabnya dengan tersenyum seraya mengelus kepalanya. Calypso muak. Kejadian setelah perang itu selain menyakitkan juga membuatnya bertanya-tanya.

Somewhere in the endless sky
Stormy winds are blowin' by!
Waves are dancing, evening comes
It's time to sound the drums!

But steady men may never fear!
Tomorrow's skies are always clear!
So pound your feet and clap your hands till sunny days return!

Calypso tersadar dari lamunannya. Lagu masih terus berlanjut hingga dia tak sadar jika Hongou dan Lime datang menghampirinya. Mereka menarik tangannya dan membawanya ke depan para kru. Gadis itu menatap mereka semua dengan tatapan tidak suka. Rasa kesalnya semakin besar kala Punch menyodorkan mic padanya. Memberikan instruksi untuk melanjutkan verse ke-2 dari musik tersebut.

Mereka kira, Calypso akan menerima tawarannya dengan senang hati. Melanjutkan nyanyian dengan riang gembira seperti gadis satu-satunya di kapal yang mereka kenal. Tapi saat itu, Calypso langsung melempar mic tersebut. Membuat Punch dan Monster berhenti memainkan musik. Semua orang terdiam menatap putri sang kapten dengan tatapan bingung dan kecewa.

Shanks menatapnya tajam. “Calypso apa maksudmu? Ayah tidak pernah mengajarimu bertindak tidak sopan seperti itu!” katanya.

Calypso balas menatap ayahnya yang kini sudah berdiri menghampirinya. “Aku yang seharusnya mengatakan itu! Apa maksud Ayah?!”

“Ayah dan yang lain hanya ingin menghiburmu! Kau pikir kita tidak khawatir denganmu yang selama sebulan ini mengurung diri di dalam kamar?!” ujar Shanks.

Gadis itu masih dengan tatapan yang seakan-akan menantang lawan bicaranya. “Aku melakukan itu karena Ayah tidak mau memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?! Tentang rambutku! Tentang sayapku! Bahkan kau tidak pernah menjawab kenapa lukaku bisa sembuh dalam semalam! Kau selalu menghindar setiap kali aku bertanya apa yang terjadi pada diriku!!”

Terjadi hening seketika. Yang terdengar di telinga Calypso hanya deru angin dan riak ombak. Tak lupa deru napas yang menggebu serta detak jantung yang berdegup kencang. “Jangan menggangguku lagi!” ucap Calypso yang kemudian pergi meninggalkan dek kapal menuju kabinnya.

* * *

Acara pesta itu kacau sejak kepergian Calypso dari dek kapal. Calypso sedikit merasa bersalah, namun dari awal seharusnya mereka tahu jika gadis itu sedang tidak ingin diganggu. Alhasil tidak sampai 2 jam sejak kejadian tersebut, kapal menjadi hening. Orang-orang memutuskan untuk tidur lebih awal. Pesta dicukupkan dan tidak ada orang yang mabuk malam itu.

Awalnya tidur Calypso begitu tenang. Dia sudah tidak diganggu lagi oleh mimpi buruk dari dampak perang sebulan yang lalu. Meskipun dia masih dibayang-bayangi oleh kejadian tersebut, setidaknya dia masih bisa tidur dengan tenang. Tapi anehnya dia terbangun di tengah malam. Jam di nakas menunjukkan sekitar pukul 1 pagi. Calypso mengusap matanya dengan kasar, dia berdecak seraya menatap langit-langit kabin. Dia tidak mengantuk lagi sekarang.

Alhasil dia turun dari ranjang, meminum beberapa tenggak air segar dari botol sebelum akhirnya meraih buku novelnya yang tergeletak di meja belajar. Dengan membaca semoga saja rasa kantuknya akan kembali. Baru beberapa paragraf dia baca, terdengar samar-samar seseorang menangis. Awalnya dia mengira itu hanya khayalannya saja, tapi karena kondisi kapal yang begitu hening, membuat isakan tangis itu semakin terdengar begitu jelas. Suaranya dari arah samping kabinnya, tepatnya dari kabin ayahnya. Sepertinya ayahnya mabuk dan melantur hingga menangisi sesuatu yang tidak jelas.

Tapi lagi-lagi suara itu begitu mengganggu hatinya. Dia tidak pernah mendengar ayahnya menangis begitu tersedu-sedu. Tangisannya terdengar seperti seseorang yang benar-benar sedih dan merasa sakit. Calypso mendadak jadi khawatir. Gadis itu kembali bangkit dari duduknya di ranjang dan membuka sedikit pintu penghubung kabin ayahnya. Dia mengintip dari balik pintu, mendapati Shanks tengah terduduk di meja kerjanya. Calypso tidak bisa melihat wajah ayahnya, tapi punggungnya tidak berbohong sebab terlihat terguncang disertai isakan tangis yang lagi-lagi terdengar begitu memilukan. Di tangannya terdapat sebuah lukisan monokrom buatannya.

Lukisan itu kan ...

Itu lukisan Ibu. Shanks memeluk lukisan itu begitu erat, sesekali menatapnya lekat-lekat. Seperti mencari sesuatu yang menghilang di balik lukisan sederhana tersebut. Calypso terdiam, dia masih di posisinya. Tidak ada keberanian baginya untuk masuk dan menanyakan keadaan ayahnya. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan ayahnya. Mungkin saja dia sedang mabuk dan merindukan ibunya hingga terjaga dan menatap lukisan di tangannya.

“Maaf, Karina. Aku minta maaf.” Suara pria itu begitu pelan, namun terdengar serak dan penuh getaran.

Calypso jadi semakin segan untuk masuk dan mengecek kondisi ayahnya.

“Aku nyaris melupakanmu. Bahkan aku hampir kehilangannya.”

Gadis itu mengernyit. Tidak paham apa yang dikatakan oleh pria itu. Melupakan? Melupakan siapa? Siapa yang hampir kehilangan siapa?

Shanks mengecup singkat lukisan tersebut dan menaruhnya di meja. Calypso cepat-cepat menutup pintu dengan pelan dan kembali berbaring ke ranjangnya. Dia merasakan langkah ayahnya semakin mendekat, dan benar saja pintu penghubung itu terbuka. Gadis itu menutup matanya, berpura-pura tertidur, dan berharap semoga ayahnya tidak mengetahui jika dia hanya berpura-pura.

Pria berambut merah itu mendekat. Duduk di pinggir ranjang dan meraih buku novel yang tergeletak di samping tubuh Calypso. Dia menutupnya lalu menaruhnya di meja nakas. Shanks tidak langsung beranjak, pria itu justru mengelus kepala Calypso membuat gadis itu tidak berkutik saat tangan kasar itu justru memberikan rasa nyaman padanya. Shanks membetulkan kemeja piyamanya yang sedikit terangkat, tak lupa merapihkan posisi selimut untuk menutupi kakinya yang hanya mengenakan celana pendek.

Setelah itu Shanks memberikan kecupan singkat di keningnya, dan pergi meninggalkan kabin. Tak lama kemudian Calypso membuka matanya, menatap pintu penghubung tersebut.

Ayah kenapa?

Paginya, Calypso sengaja bangun lebih awal, meskipun matanya mengantuk karena baru bisa tertidur di jam 4 pagi. Gadis itu mencari Benn yang seperti biasa sedang menikmati kopi di dapur tepat di samping jendela yang terbuka. Benn melipat korannya kala merasakan seseorang mengambil duduk di hadapannya.

“Akhirnya kau mau bangun pagi.” Benn menyesap kopinya sejenak, lalu kembali fokus pada putri kaptennya itu. “Ada apa?”

Calypso membetulkan sejenak rambutnya yang menghalangi keningnya. “Aku ingin bertanya. Hubungan kau dengan ayah sudah seperti kakak dan adik. Kau bahkan tahu banyak tentang ibuku.”

Benn menaikkan salah satu alisnya. Curiga dengan topik pembicaraannya.

“Apa yang terjadi pada Ayah? Apa sesuatu yang besar terjadi saat aku tidak sadarkan diri?” tanyanya.

Tatapan pria berambut kelabu itu melunak. “Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu, hum?” tanya Benn.

Calypso menunduk, meremas ujung piyamanya. “Perasaanku tidak enak.”

Benn menghela napas, sempat berpikir sejenak apakah dia harus memberitahu masalah ini pada Calypso atau tidak. Tapi pada akhirnya dia menjelaskan. “Shanks mengalami kejadian yang membuat mentalnya terguncang. Mengetahui kau kabur sendirian menuju Marineford sudah cukup membuat ayahmu ketakutan, ditambah saat melihat keadaanmu yang sekarat di sana. Dia nyaris meluluh lantakkan markas Angkatan Laut. Tapi itu bukan seberapa saat Shanks mengetahui kalau ternyata penyihir yang selama ini membantumu telah menipunya. Mereka menginginkan jantungmu untuk ritual keabadian. Penyihir itu sudah merencanakan sejak lama dengan sedemikian rupa, bahkan sebelum kau lahir.”

Mendengar penjelasan Benn, Calypso dibuat termenung. Tangannya kini terkepal. “Lalu apa yang terjadi?! Bagaimana aku bisa selamat?!”

“Shanks menceritakannya tidak begitu jelas. Yang jelas dia masuk ke dalam perangkap penyihir tersebut dan melawannya. Cukup mudah bagi Shanks untuk mengalahkan mereka, namun harganya begitu mahal.”

Harga? Harga apa?!

Benn lagi-lagi menghela napas. Kembali memikirkan apakah dia harus menceritakannya lebih detail lagi atau tidak. “Shanks kehilangan seluruh ingatan tentang kebersamaannya dengan Karina. Yang dia ingat hanya menit-menit terakhir ibumu merenggang nyawa. Jika saja tidak ada keajaiban yang terjadi, mungkin dia juga akan melupakan tentang eksistensimu.”

Pundak Calypso terasa lemas. Dia terdiam dengan tatapan kosong, tidak bisa membayangkan bagaimana jika kemungkinan buruk itu terjadi. Bagaimana jika ayahnya benar-benar melupakan ibunya dan juga ... dirinya.

“Kondisimu begitu amat tragis. Luka dari perang saja sudah cukup membuat siapapun yang melihat bergidik ngeri. Hal itu semakin parah saat penyihir mencoba mengoyak dadamu untuk mencabut jantungmu secara hidup-hidup. Orang tua mana yang sanggup melihat pemandangan itu? Shanks mengira, akan kehilanganmu. Dia mengira kau akan pergi meninggalkannya. Tapi lagi-lagi keajaiban muncul. Ayahmu bilang ada cahaya biru yang tiba-tiba muncul dari tubuhnya, cahaya itu menyebar menyelimuti kalian berdua dan menyembuhkan setiap luka yang ada di tubuhmu.”

Calypso menahan napas saat mendengar penjelasan terakhir yang disampaikan oleh Benn. Matanya mendadak memanas dan beberapa detik kemudian tangisnya pun pecah. Gadis itu menangis seraya menyembunyikan wajahnya di meja. Benn mengusap kepalanya lembut.

“Maafkan ayahmu yang tidak bisa menjelaskan semuanya. Di sini yang terluka bukan hanya kau saja, Calypso. Kuharap kau mengerti.”

* * *

Perlahan Calypso mencoba untuk kembali hidup normal dan melakukan kegiatannya sehari-hari. Dia bangun sesuai jadwal, membantu George menjemur pakaian, dan menghabiskan waktunya dari siang hingga malam untuk berkutik di depan kain kanvas yang telah diberi sebuah sketsa yang terlihat rancu. Ukuran kanvasnya pun cukup besar, sekitar 1 meter x 80 centimeter. Butuh seminggu lebih untuk mengisi sketsanya. Tepat di hari itu Calypso mengeluarkan persediaan catnya yang ternyata baru dia sadari telah habis karena kejadian badai beberapa bulan yang lalu.

Red Force kebetulan sedang berlabuh di salah satu pulau kekuasaan Akagami sejak tadi pagi. Mereka rencananya akan bermalam sehari dan kembali berlabuh setelah persediaan logistik kapal terpenuhi. Calypso membuka laci nakas, mengambil dompetnya dan menarik jaket dari gantungan baju di balik pintu. Gadis itu berlari melewati beberapa orang yang tengah membawa kotak-kotak persediaan makanan di lorong. Bahkan sampai tidak sengaja menjatuhkan kantung berisi sayuran.

“Maaf, maaf! Aku sedang buru-buru!” ucap Calypso.

Snake dan Lime menatapnya kebingungan. Belum sempat meraka bertanya dia ingin ke mana, gadis itu sudah menghilang dari lorong geladak. Yasoop yang berpapasan dengannya berseru kala melihatnya yang melompat turun dari kapal. “Oy, Calypso! Kau mau kemana?!”

“Ke toko buku! Hanya sebentar, aku tidak akan lama!” balasnya dan terus berlari.

“Langit sudah mendung! Sebentar lagi hujan! Lebih baik—ya ampun dasar remaja! Susah sekali dikasih tahu!” gerutu Yasoop.

Calypso sampai di tempat yang dia maksud setelah 5 menit berlari dari dermaga. Dia mengatur napasnya seraya berjalan ke rak bagian cat air di sudut toko. Cukup lama dia menimbang-nimbang produk mana yang ingin dia beli, mengingat uangnya yang pas-pasan dan juga lukisannya yang terbilang cukup besar. Butuh 15 menit akhirnya dia mengambil satu set kotak cat akrilik, lalu membawanya ke kasir. Tak lama hujan pun turun, Calypso menatap ke arah luar toko, mendapati bebatuan di jalanan dibasahi oleh rintik air yang jatuh sedikit demi sedikit hingga deras menjadi hujan lebat. Angin pun berhembus membawa aroma petrichor.

Gadis itu menghembuskan napas kasar. Dia telat dan sekarang terjebak hujan di tengah pedesaan. Calypso keluar dari toko dan berdiri tepat di depan teras, memandang rintik hujan yang membuat banyak genangan di jalanan. Matanya menoleh saat beberapa orang keluar dari toko, berdiri menyesaki teras yang berukuran kecil tersebut. Dua di antaranya membuka payung, berjalan menerobos hujan. Sisanya adalah sepasang kekasih yang memutuskan untuk hujan-hujanan dan membiarkan tubuh mereka basah. Senyum Calypso tiba-tiba muncul saat melihatnya, entah kenapa dia jadi teringat seseorang yang sudah pergi ke sisi-Nya.

“Ibu!”

Lagi-lagi Calypso menoleh pada seorang anak kecil yang tersisa di teras toko. Anak itu memanggil seorang wanita yang datang dengan sebuah payung di tangannya. Rupanya dia dijemput oleh ibunya. Dan sekarang hanya tersisa Calypso yang berdiri di teras toko, gadis itu memeluk erat kotak cat seraya memeluk dirinya sendiri lantaran udara semakin terasa dingin. Awalnya dia mengira akan sampai ke Red Force sebelum hujan turun. Namun ternyata perhitungannya sedikit melenceng. 5 menit berlangsung, hujan belum kunjung mereda. Air di jalanan mulai naik, mengapungkan dedaunan kering dan mencipratkan air ke kakinya.

Calypso berjongkok, menadahkan tangannya hingga rintik air mengenai telapak tangan. Kegiatannya akan terus berlangsung selama bermenit-menit jika saja tidak ada seseorang yang muncul. Yang pertama kali Calypso lihat ada kaki seorang pria dewasa yang mengenakan sandal hitam dan celana jogger motif bunga-bunga yang begitu mencolok, serta bulu kaki yang begitu lebat menutupi betisnya. Gadis itu mendongak, tersenyum kala mendapati sosok ayahnya yang datang dengan payung besar bewarna hitam.

“Sedia payung sebelum hujan. Kau ingat?” ucapnya seraya tersenyum. Calypso balas tersenyum, dia berdiri dan mengelap tangannya ke jaket. “Kau sudah menunggu lama?” tanya pria itu.

Calypso menggeleng.

“Baiklah, ayo pulang.”

Gadis itu mendekat ke arah pria itu dan berjalan beriringan di bawah payung menuju dermaga. Kakinya yang hanya mengenakan sendal langsung basah kala menginjak genangan air. Tidak ada percakapan di antara mereka, Calypso hanya menatap ke depan dan sesekali menatap kakinya yang melangkah saling beriringan dengan langkah ayahnya. “Aku rindu bermain di bawah air hujan.”

Shanks kembali tersenyum. “Ayah juga.”

Waktu Calypso masih kecil, dia suka bermain di bawah air hujan. Membiarkan air hasil dari evaporasi itu membasahi tubuhnya yang berbaring di atas dek kapal hingga kulitnya mengeriput. Lalu setelahnya dia akan mandi air hangat dan minum teh. “Tapi aku tidak mau menghancurkan cat baruku! Aku menghabiskan isi dompetku untuk ini!”

Pria itu terkekeh. “Kau tidak bilang padaku jika ingin beli cat. Ayah pasti akan menemanimu dan membelikannya untukmu.”

“Tadi itu aku buru-buru. Lagi pula Ayah sedang berada di kantor kepala desa. Jadi aku pakai uangku saja.”

“Benar juga.” Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ayah juga sepertinya tidak mungkin mau memberikanku uang! Ayah kan pelit, tidak seperti Kakek yang selalu royal memberikan uang jajan!” ucap Calypso mencibir.

Shanks mencurutkan bibirnya. “Ayah bukannya pelit. Tapi mengajarkanmu untuk menghemat dan tidak buang-buang uang!” ujarnya membela diri. “Lalu, apa-apaan pria tua itu! Dia benar-benar memanjakanmu dan tidak mengajarkan bagaimana bersikap bijak!”

Calypso memutar bola matanya jengah. “Sepertinya aku harus mengunjunginya. Berita tentangku yang datang ke Marineford sudah cukup menggemparkan.”

Pria berambut merah itu menghela napas. Berita kematian Ace begitu menggemparkan dunia, begitupun dengan kejadian perang Marineford yang berhasil dimenangkan oleh Angkatan Laut. Banyak beberapa pihak disebutkan, termasuk Calypso yang dikabarkan adalah putri dari kaisar bajak laut Akagami. Beruntung tidak ada poster buronan yang muncul dengan nama dan fotonya. Pasti beritanya sudah ditekan oleh Sengoku lebih dulu. “Dan semua orang sekarang tahu kau putri Ayah,” ujar Shanks. Membuat Calypso terdiam membisu.

“Kau sekarang harus mulai berhati-hati. Meskipun kau dilindungi oleh nama Figarland, tapi pemburu bayaran dan bajak laut tidak peduli dengan itu.”

“Iya, Ayah. Maaf aku jadi merepotkanmu.”

Langkah mereka mendadak terhenti kala mendengar suara di dalam tong sampah yang mereka lewati. Calypso mendongak menatap ayahnya. Mereka memikirkan hal yang sama, ada suara kucing di sana. Alhasil, mereka mendekat. Hujan masih belum kunjung reda, gadis itu meminta tolong Ayahnya untuk memegang kotak catnya, dia pun mengecek tong sampah tersebut dan mendapati sebuah karung goni yang basah kuyup serta kotor akibat sampah yang basah tersiram air hujan. Terima kasih kepada Calypso yang bukan tipikal orang gampang jijik.

Gadis itu membuka kantung tersebut, mendapatkan seekor anak kucing berbulu putih dan bermata cokelat terang. Tubuhnya basah kuyup, dan terdapat banyak bercak darah di sana.

“Ayah, ekornya!” panik Calypso, lantaran melihat ekornya yang terluka mengeluarkan banyak darah. Kucing itu mengeong dengan kencang, seakan-akan meminta tolong bantuan padanya.

Shanks terlihat berpikir. “Bawa dia. Kita minta Hongou untuk mengobatinya.”

* * *

A/N:

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top