24 | Woman Painting

Dia mendapatkan mimpi yang sama seperti mimpi-mimpi terdahulunya.

Mimpinya sederhana, bukan mimpi dikejar-kejar oleh monster berkepala ular yang sering dia mimpikan waktu kecil atau mimpi terjatuh dari jurang setiap kali dia tidur siang di pangkuan ayahnya. Dia bermimpi sedang duduk di hadapan seorang wanita berambut hitam panjang yang mengenakan gaun bewarna putih gading. Mata cokelatnya sangat terang, terlihat serasi dengan kulit putihnya yang cerah dan merona. Setiap kali bermimpi seperti ini, Calypso selalu berada di posisi yang sama. Duduk menghadap wanita itu yang menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang. Semakin Calypso dewasa, gadis itu semakin yakin jika wanita di hadapannya ini adalah seseorang yang sangat penting baginya.

Rambut, mata dan wajahnya sangat mirip dengannya. Calypso merasa seperti melihat dirinya versi lebih dewasa. Hingga akhirnya dia memanggil wanita itu dengan sebutan; “Ibu.”

Senyuman manis muncul di wajahnya. Wanita itu merentangkan tangannya, menawarkan Calypso sebuah pelukan hangat yang terasa sangat familiar. Di setiap mimpinya, dia selalu melakukan hal tersebut. Wanita itu memeluknya, mengelus kepala dan punggungnya dalam kurun waktu yang cukup lama. Lalu sesi pelukan tersebut diakhiri dengan mengecup keningnya. Kemudian mimpi pun berakhir.

Calypso terbangun dengan guncangan hebat di kapal. Suara ombak yang menghantam kapal terdengar begitu jelas, disusul oleh suara kru kapal yang heboh menghadapi badai di tengah malam yang gelap gulita. Pintu kabinnya terbuka dengan kasar. George datang dengan wajah panik serta tubuh yang basah kuyup, napasnya sedikit tersengal. “Calypso, kami butuh bantuanmu!”

Gadis itu mengerjapkan matanya. Tanpa menunggu lama dia melompat dari ranjang dan membuntuti pria itu menuju dek kapal. Air hujan langsung membasahi tubuhnya. Calypso membelalakkan mata kala haluan kapal berkali-kali menembus ombak raksasa sehingga air laut dimuntahkan ke atas dek. Calypso mengap-mengap saat tubuhnya terhempas air laut, dia terbatuk saat tidak sengaja menelannya air cukup banyak.

“Calypso lakukan sesuatu!” Snake berteriak, pria itu kelimpungan menahan setir kemudi agar tetap pada jalurnya. Gadis itu berjalan dengan langkah berat sebab celana training-nya terasa berat akibat basah kuyup. Saat ombak besar itu kembali muncul hendak menghantam Red Force, Calypso merentangkan tangannya. Mengendalikan air laut dan memecahnya ke dua sisi yang berlawanan.

“AKTIFKAN MESIN KINCIR!!” Shanks yang sedari tadi menahan tali layar yang rusak, berteriak memberikan komando. Kru kapal langsung patuh, melakukan apa yang sang kapten suruh.

“Cepatlah ... Ini sangat berat!” ucap Calypso. Tangan dan kakinya bergetar. Alam seperti sedang mengamuk, ombak yang diciptakan begitu kuat dan sulit untuk diatur. Kapal tak lama kemudian melaju, menembus ombak laut yang terbelah sepanjang ratusan meter ke depan. Calypso memejamkan matanya, mengigit bibirnya kuat-kuat mana kala tangannya terasa tidak lagi sanggup untuk menahan gejolak ombak yang mengamuk.

Shanks menatap putrinya khawatir. “SNAKE!! TAMBAHKAN KECEPATAN!!”

Tahan sebentar lagi Calypso. Tahan sebentar lagi.

Bibir Calypso robek saat dia benar-benar mengigitnya dengan keras. Saat itu pula tangannya berat dan dia benar-benar tidak sanggup untuk menahannya lagi. Ombak yang terbelah seketika kembali menyatu, melahap Red Force dari dua sisi secara bersamaan. Mata gadis itu terbelalak, dia tidak bisa berpikir cepat saat matanya tertuju pada ujung ombak yang siap menghantam dirinya.

“CALYPSO!!”

Kepala gadis itu sontak menoleh ke arah ayahnya bersamaan dengan tubuhnya yang terbanting oleh air yang begitu berat dan keras. Tubuhnya terdorong, terbawa arus di dek kapal dan kepalanya terbentur tiang layar. Jika saja tidak ada tangan yang menariknya, mungkin dia akan hanyut detik itu juga.

“Calypso pegang tubuh Ayah erat-erat!!” Suara ayahnya terdengar. Gadis itu cepat-cepat melingkar tangannya ke leher pria itu. Shanks berpegangan erat dengan tiang layar, dia menepis rasa sakit akibat serpihan kayu yang barusan menggores punggungnya. Atensinya hanya tertuju pada Calypso. Putrinya tidak pernah mengendalikan ombak sebesar ini, dan beruntung gadis itu baik-baik saja.

“Ayah!”

“Tetap pegangan!”

“Hiks ... Hiks ... Punggung ayah!”

“Airnya belum kunjung surut! Diam dan pegangan yang erat!”

Calypso tidak bisa berhenti menangis. Dia memeluk ayahnya erat-erat dengan tubuh yang bergetar dan menggigil. Dia benar-benar tidak becus! Dia gagal mengatasi badai dan ombak besar.

Hampir 20 menit mereka berada di posisi tersebut. Red Force berhasil keluar dari zona badai. Situasi di dek kapal benar-benar mengenaskan. Dua layar utama robek. Geladak penuh dengan air, pasti semua kabin terbasahi oleh air laut yang merangsek masuk. Shanks duduk di lantai, disusul oleh Calypso. Pria itu meneliti sejenak putrinya tersebut. Tidak ada memar yang begitu parah, kulitnya terasa dingin dan bibirnya pucat.

“Semuanya baik-baik saja?!” tanya Shanks kemudian kepada para kru kapal.

“Kami baik-baik saja, Bos!”

Benn datang dan menghela napas lega saat melihat kondisi Calypso baik-baik saja. Sang kapten cukup mendapatkan luka sobek di punggungnya. Tapi itu bukan masalah besar, Hongou bisa mengatasinya.

“Tidak ada yang hanyut?” tanya Shanks pada wakilnya itu.

“Semua aman.”

* * *

Paginya, kru kapal sibuk membereskan kekacauan. Barang-barang Calypso banyak yang basah terkena air laut. Mereka membuat jemuran dadakan di dek depan dan belakang untuk menjemur pakaian dan beberapa barang seperti sepatu, bantal, peta dan buku-buku. Calypso sedikit tidak terima saat seluruh bukunya tidak ada yang selamat. Semuanya basah. Bahkan cat akriliknya tergenang air membuatnya luber ke mana-mana. Selagi menunggu barang-barangnya dijemur, Calypso membantu kru kapal menjahit layar. Para bajak laut memutuskan untuk berlabuh sejenak di salah satu pulau untuk membetulkan kerusakan pada Red Force. Jujur, Calypso merasa tidak enak karena gagal menghadang badai.

“Calypso!” Shanks memanggil. “Gudang penyimpanan lukisanmu juga tergenang air.”

Calypso terbelalak. Gadis itu langsung melompat dari atas layar, meninggalkan pekerjaannya sejenak. “Ya ampun!”

“Semua isinya harus dikeluarkan dan dijemur. Jika tidak nanti akan berjamur.” Shanks merangkul punggungnya. Menuntunnya ke gudang yang dimaksud dan benar saja, di sana sangat becek. Kanvasnya semua basah. Beruntung tidak hancur atau luntur.

Calypso membawa tumpukkan lukisannya ke atas dek. Menjejerkannya dengan rapi agar bisa kering sempurna hingga siang hari nanti. Shanks membantunya, mengumpulkan semua kain kanvas dan menaruhnya di depan pintu gudang agar bisa langsung Calypso bawa keluar. Dia tersenyum kala melihat lukisan tersebut satu persatu. Sejak usia 6 tahun dia mulai menekuni hobinya. Gadis itu benar-benar menyukai kegiatan melukis. Menggabungkan berbagai macam warna, membentuk garis-garis abstrak hingga menyusunnya menjadi sebuah gambar yang realistis. Ada perasaan yang sangat sulit untuk Shanks jelaskan saat lukisan pertama yang gadis itu buat adalah dirinya. Seorang pria dengan rambut merah serta tanda 3 luka cakar di mata kirinya. Tak lupa pakaian khasnya berupa kemeja putih, jubah hitam, pedang Gryphon-nya serta celana jogger motif floral yang dilukis begitu mendetail. Saat pertama kali lihat karya putrinya, dia sangat senang. Sangat bahagia. Dia ingin sekali menunjukkan pada dunia kalau dia begitu bangga pada gadis kecilnya.

Lamunan Shanks buyar saat dia tidak sengaja melihat sebuah lukisan monokrom yang terselip di antara lukisan-lukisan berukuran besar. Shanks menariknya, melihatnya dan dia pun dibuat terdiam. Lukisan ini ...

“Ayah?”

Shanks tersentak. Dia mendongak, menatap Calypso yang terkejut. Gadis itu cepat-cepat masuk ke dalam gudang dan merampas lukisan berukuran kecil itu dari tangannya. Pria itu tercekat, melihat Calypso menyembunyikan benda tersebut dari pandangannya. “Ini hanya lukisan biasa.”

Calypso gugup. Dia tidak pernah memberitahu ayahnya tentang wanita yang ada di lukisan tersebut. Dia tidak pernah bertanya tentang mimpinya, tentang sosok yang dia yakini adalah ibunya. Sebab Calypso tersadar, setiap kali dia membicarakan tentang Ibu, Ayah akan melempar tatapan sedih dan terluka.

“Kau kenal siapa wanita itu?” tanya Shanks.

“... tidak. Ini hanya lukisan yang dibuat asal,” jawab Calypso, sebisa mungkin membuang muka agar tidak bertatapan dengan ayahnya.

Shanks mendekat. Dia menyentuh bahu gadis itu, mencoba untuk menatapnya. “Calypso lihat wajah ayah.”

Bibir Calypso berkedut, matanya tiba-tiba terasa panas. Dia bohong akan kalimatnya barusan. Dia tahu siapa wanita itu. Dia ibunya. Dia wanita yang dicintai ayahnya. Wanita yang kerap kali muncul dalam mimpinya, memeluknya dan mengecup keningnya dengan sayang. Dia tidak pernah bertemu Ibu, dia juga bahkan belum pernah melihat ibunya secara langsung. Tapi Calypso sangat merindukannya. Dia merindukan seseorang yang bahkan tidak pernah dia temui.

Tangis Calypso pecah. Shanks tersenyum getir dan memeluk putrinya erat-erat. “Aku beberapakali memimpikannya, Ayah.”

“...”

“Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin memeluknya secara langsung.”

Tenggorokan Shanks terasa kering. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa saat mendengar kalimat yang dilontarkan oleh gadis itu.

“Aku merindukannya, meski aku tidak pernah bertemu dengannya.”

Shanks sulit untuk berbicara, alhasil dia hanya bisa mengecup kening putrinya dan mengusap punggungnya dengan lembut. Menenangkan gadis kecilnya itu agar berhenti terisak. “Ayah juga merindukan ibumu.”

Bukannya mereda, tangis Calypso malah semakin kencang. Tubuhnya terguncang, kakinya terasa lemas karena perasaan yang begitu emosional menyerang raganya. Shanks menahannya, menuntunnya untuk duduk di lantai tanpa melepas pelukannya. “Kita akan segera bertemu dengan Ibu,” gumam Shanks.

Perlahan Calypso berhasil tenang. Tangisnya berhenti, tapi pelukannya tidak merenggang. “Aku belum bisa menemukan batu kehidupan yang terakhir,” ucapnya lirih. Sebab, dia tahu mengambil batu kehidupan itu cukup mudah. Tapi menemukannyalah yang sulit. Mencari batu elemen angin saja butuh waktu hingga satu tahun lebih.

“Kita masih punya banyak waktu, sayangku. Waktu kita masih banyak untuk mempersiapkan semuanya,” ucap Shanks. Dia mengelus rambutnya yang tergerai, lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya.

“Lain kali, jangan simpan semuanya sendiri, Calypso. Ayah hadir di dunia ini untuk melindungi dan mendukungmu. Kau ingat kata-kata Ayah sejak kau masih kecil?” tanyanya.

Calypso tersenyum dan mengangguk.

Shanks mengecup sekali lagi keningnya. “Kau semesta Ayah.”

* * *

Hari ini adalah sesi latihan penggunaan Haki observasi.

Kemampuan elemen dan kekuatan fisik beserta Haki senjata sudah bisa dia kuasai meskipun belum bisa dikatakan maksimal. Bahkan yang mengejutkan, dia bisa mengendalikan Haki rajanya walau Shanks bilang tekniknya sedikit berbeda karena Calypso menggabungkannya dengan kemampuan magisnya. Kali ini yang menjadi masternya adalah Benn. Shanks tidak bisa mengajarinya, karena mereka memiliki ikatan khusus yang lebih kuat dibandingkan Haki.

“Haki pengamat ini cukup kompleks. Digunakan untuk mengetahui keberadaan lawan, langkah lawan dan memblokade serangan yang akan diberikan oleh lawan.”

Benn memulai latihannya dengan duduk bersila, memintanya untuk meditasi. Berbeda dengan Shanks, Benn lebih lembut dan sedikit berperasaan saat mengajarinya. Gadis itu bisa sedikit rileks, sedangkan saat bersama ayahnya, tubuhnya benar-benar seperti disiksa. Kekuatan fisiknya ditempa, hingga bisa mengaktifkan Haki senjatanya. Namun Haki observasi ini berbeda, butuh konsentrasi yang tinggi, sama seperti teknik berbicara dengan alam.

“Sekarang, tutup matamu pakai kain. Aku ingin kau merasakan keberadaan seseorang dan menghitung berapa jumlah orang yang lewat di depan sana.”

Mereka kini tengah berada di atas saung yang terletak di dekat dermaga. Kebetulan lokasi mereka berada 10 meter dari jalan utama menuju pusat kota yang sering dilalui oleh orang-orang. Calypso kurang yakin, tapi karena ini masih hari pertama latihan dia masih memiliki sedikit rasa percaya diri. Dia menutupi matanya dengan kain, merilekskan tubuhnya dan berkonsentrasi. Gadis itu mencoba menajamkan pendengarannya untuk menangkap suara langkah kaki seseorang yang lewat, atau merasakan getaran langkah orang-orang. Selama 3 menit dia melakukan hal itu, namun tidak ada apapun yang terjadi.

“Apa tidak ada satupun orang yang lewat?” tanya Calypso.

Benn menggeleng. “Sudah cukup banyak orang yang lewat.”

“Hah?! Kok, aku tidak bisa merasakannya?”

Pria itu menghela napas. “Jangan gunakan kekuatan magismu.”

Oke. Sepertinya yang tadi dia menggunakan kemampuan magisnya. Persis seperti teknik berbicara dengan alam.

“Dengar Calypso, ini bukan seperti berbicara dengan alam. Kau hanya perlu merasakan kehadiran manusia. Gunakan insting manusiamu.”

“Ughh, kau sekarang terdengar seperti Ayah!”

Ben tersenyum kecut. Lalu membiarkan gadis itu kembali mencoba. Dia menghela napasnya, kembali berkonsentrasi. Dia tidak hiraukan semua aura-aura alam yang berterbangan, yang mengatakan jika lokasi tempat dia berada memiliki aktivitas lempeng tektonik yang sangat lemah. Dia juga menyingkirkan tanda-tanda yang diberikan oleh angin bahwa hujan akan segara turun dalam kurun waktu beberapa jam. Hingga akhirnya dia merasakan kehadiran seseorang.

“Aku bisa merasakannya! Satu orang! Dia berjalan mendekat! Aku yakin ada satu orang!” seru Calypso. Gadis itu sangat bersemangat, hingga melepas kain penutup matanya hanya untuk cemberut karena yang dia dapati adalah kehadiran ayahnya.

Shanks mengernyit. “Kau sudah memulai latihannya?” tanyanya.

Calypso menjawabnya dengan mendengkus. Gadis itu menutup kembali matanya dengan kain dan kembali berkonsentrasi. Shanks tertawa, pasti gadis kecilnya itu kesulitan menggunakan Haki observasi.

“Kau pasti bisa, Calypso!” ucap ayahnya menyemangati.

“Ayah pergi saja, aku tidak bisa konsentrasi!”

Latihan berikutnya adalah latihan menghindar. Calypso diajak ke tanah lapang. Benn akan memukul Calypso dengan penggaruk punggung dan gadis itu harus bisa menghindarinya dengan mata tertutup. Awalnya Calypso mengira ini akan mudah, dia bisa saja mendengar dari langkah kaki Benn. Tapi ternyata Benn melesat begitu cepat. Hingga dia selalu terkena pukulan.

“Gunakan insting manusiamu sebagai petarung, Calypso!”

“Aw! Ini sangat sulit, Paman!” rengeknya. Perutnya sudah lapar, dan karena itu fokusnya jadi terpecah belah.

“Aku hanya minta kau menghindar. Bukan ke tahap menyerang. Seharusnya kau bisa.”

“Itu mudah saat mataku tidak ditutup!” bantah gadis itu.

Benn mencoba untuk sabar. Sekarang dia tahu kenapa Shanks bisa lepas urat saat mengajari anak perempuannya ini. Mulutnya banyak bicara, cepat mengeluh, dan gampang lapar. “Waktu istirahatmu masih 30 menit lagi. Lakukan sekali lagi!”

* * *

Terlalu siang untuk memulai pesta, terlalu awal untuk berakhir mabuk.

Begitulah yang kalimat yang cocok untuk menggambarkan kondisi ayah dan krunya. Calypso menguap bosan saat pancingannya tidak ada yang ditarik oleh ikan sejak sejam yang lalu. Berbanding terbalik dengan George yang justru terus menerus mendapatkan jackpot. Padahal dia menggunakan umpan yang sama, bahkan sengaja oleh gadis itu diberi ekstra agar ikan-ikan lebih tertarik dengan kailnya.

“Sudahlah, George. Aku bosan.” Calypso menarik pancingannya. Menaruhnya di rerumputan dan memilih untuk berbaring. Mereka kini berada di atas tebing yang di bawahnya langsung menuju lautan.

“Oy! Jangan langsung menyerah begitu saja! Bersabarlah sebentar.”

Calypso menutup wajahnya dengan topi baseball-nya. “Itu pancingan milik Paman Gab.”

“Lalu? Setahuku pancingan milik Gab ini yang paling bagus!”

Oh, sekarang secara tidak langsung pria itu mengatakan dirinya sangat sial. “Justru itu! Kesabaranku setipis tissue. Jika aku lanjutkan, pancingan itu akan patah menjadi dua bagian! Lagipula aku tidak bisa makan ikan.”

George terkekeh. Benar juga. Gadis itu adalah vegetarian akut karena satu dan lain hal. Akhirnya pria itu membiarkan putri kapten tertidur sejenak di belakang. Suasana di pulau tersebut sedikit berawan, sehingga tidak terlalu panas untuk tidur siang di bawah langit. Melihat Calypso tertidur, George jadi mengantuk juga. Apakah dia harus ikut tidur juga? Pasti nanti malam kapten akan mengadakan pesta lagi sampai tengah malam.

“Hah!! Ada banyak orang datang!”

George tersentak saat Calypso tiba-tiba bangun dan mengejutkan dirinya, nyaris membuatnya menjatuhkan pancingannya. “Ada apa Calypso?! Kau jangan mengagetkan aku begitu!”

Calypso bangkit dari posisinya, mendekat ke ujung tebing untuk melihat apakah Haki pengamatnya berhasil atau tidak. Tapi ternyata dia tidak menemukan seorang pun di sana, justru hanya sekawan burung-burung camar. “Ah sial! Latihanku selama 3 bulan tidak ada hasilnya!” gerutunya, lalu menendang kerikil kecil di kakinya.

“Haki observasi itu memang sulit. Aku saja butuh waktu satu tahun untuk menyempurnakannya.”

“Tapi setahun itu terlalu lama!”

George menarik tangannya untuk duduk di sampingnya. “Kau itu masih muda, Calypso! Waktumu masih panjang, santai sedikit!” ucapnya menyemangati gadis yang sudah dia anggap sebagai adiknya itu. Tapi Calypso tidak terpengaruh, dia malah semakin bete.

Pria itu hendak mengusap kepalanya, namun detik itu pun dia batal melakukannya. Saat dirinya merasakan kehadiran seorang yang bukan bagian dari kru kapal. Pria itu menarik pancingannya dan meraih teropong.

“Ada apa, George?” tanya Calypso.

“Hawkeye!”

“Hah?”

George berdiri. “Aku harus memberitahu Bos!” ucapnya kemudian, meninggalkan Calypso yang kebingungan.

Gadis itu dengan kesal mengambil teropong di sampingnya dan mengeceknya sendiri. Ternyata benar, ada rakit Mihawk yang bergerak mendekati pulau. Calypso senang melihatnya, tapi detik berikutnya dia kembali kesal karena tidak bisa merasakan kehadiran pamannya itu. Calypso berdiri, membereskan barang-barangnya serta barang-barang George dan turun ke camp tempat semua kru kapal berkumpul.

Seperti yang bisa dia tebak, ayahnya yang sudah teler kembali bersemangat layaknya orang normal dan menyambut Mihawk untuk berpesta sake bagian kedua. Calypso berdecak, dia heran dengan ginjal ayahnya yang begitu kebal. Semoga Paman Hongou bisa mengatasi dan mencegah penyakit fatal akibat kebanyakan mengkonsumsi alkohol.

“Oy, Calypso! Kemarilah! Ada berita bagus! Kau pasti senang mendengarnya!” Ayahnya berseru. Memanggilnya dan menariknya untuk duduk di samping Mihawk. Pria itu memperlihatkan sebuah poster buronan milik seseorang yang terlihat sangat familiar.

“Itu ... Luffy?” tanyanya. Wajah dan luka jahit di pipi kirinya terlihat seperti seseorang yang dia kenal. “Ayah, itu Luffy?”

“Si jangkar kecil telah menjadi bajak laut! Harga awalnya cukup fantastis! 30 juta Berry! Dahahaha!”

Calypso ikut tertawa. Dia menoleh ke arah Mihawk yang sedari tadi menatapnya. “Ponimu sudah panjang,” ucapnya.

Gadis itu nyengir lebar, membuat Mihawk ikut tersenyum kecil. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah buku novel. Mata Calypso langsung berbinar saat pria itu memberikannya padanya.

“Sudah 6 bulan aku tidak melihatmu. Kupikir memberikanmu buku adalah pilihan bijak. Kau suka?”

“Suka! Kebetulan semua bukuku sudah habis kubaca!”

“Syukurlah jika kau suka.” Mihawk mengelus kepalanya.

“Terima kasih, Paman!”

Mihawk tidak mengatakan apa-apa dia hanya mengangguk singkat dan meminum kembali sakenya.

“Hey, padahal Ayah bisa membelikanmu yang lebih banyak dari pada itu!” protes Shanks tidak mau kalah.

* * *

A/N:

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top