21 | Sky Island
(Warning: sexual harassment)
*
Napasnya memburu, membuatnya yakin meskipun suhu di hutan ini cukup dingin, tapi itu tidak menjamin dirinya tidak akan berkeringat.
Sayap kacanya mengepak semakin kencang, terbang melesat menghindari bola-bola putih berukuran kecil yang melayang di udara. Terdapat tiga orang berpakaian aneh yang mengaku sebagai pelayan Tuhan. Mereka hendak menangkapnya karena telah memasuki kawasan terlarang. Tapi ayolah, butuh waktu setahun bagi Calypso untuk mendeteksi keberadaan batu kehidupan elemen angin. Dia sudah menjelajah paruh kedua Grandline (bersama bajak laut Akagami), hingga kemudian dia tidak sengaja mendapatkan mimpi singkat mengenai keberadaan pulau di atas awan. Dia menebak itu adalah pulau Skypie. Waktu kecil, dia sudah sering mendengar kisah tentang pulau langit tersebut, terlebih cerita petualangan ayahnya dulu saat masih bersama kru Gold Roger.
Beberapa jam yang lalu ...
Keputusannya untuk pergi seorang diri lagi-lagi terbilang cukup nekat. Dari pulau Blossom (tempatnya berpisah dari kru kapal), dia langsung bertolak ke Red Line. Menggunakan hak istimewa dari Kakeknya, Calypso menyebrang ke wilayah Grandline Paradise. Dia berlayar dengan perahu kecil menuju lokasi knock-up stream, lalu seperti yang sudah dia ketahui, perahunya terangkat, membawanya ke sebuah tempat asing yang berdiri di lautan awan. Nahas, perahunya hancur bersamaan dengan barang-barang logistiknya yang hilang. Beruntung tas duffelnya masih bisa dia selamatkan.
Gadis itu mengandalkan sayapnya, terbang dengan cepat melewati pos gerbang tanpa diketahui. Kemampuan berbicara dengan alamnya aktif, mengarahkannya ke sebuah pulau besar berisikan hutan rimba. Calypso tidak berhenti, dia terus terbang memasuki hutan. Membiarkan alam menuntunnya ke sebuah reruntuhan situs kuno yang terbuat dari emas. Di tengah situs tersebut, tepat di depan candi besar terdapat sebuah lonceng emas berukuran raksasa. Tempat ini sama persis seperti yang pernah ayahnya ceritakan. Tidak salah lagi, di bawah lonceng itu terdapat poneglyph serta tulisan Oden di sampingnya.
Tapi sayangnya, bukan prasasti kuno itu yang Calypso butuhkan. Seluruh poneglyph di wilayah Paradise telah dirangkum oleh Ayah. Jadi, untuk meringkas waktu, gadis itu memilih untuk kembali terbang ke bagian atas candi undakan. Sebab batu itu ada di atas sana. Calypso mengeluarkan elemen angin, mengarahkannya pada ujung bangunan dan dalam beberapa detik, awan di atas sana tiba-tiba bergumul. Menciptakan pusaran besar dengan warna kelabu gelap disertai angin kencang yang mengacak-acak rambut hitamnya. Calypso mengepakkan sayapnya lebih kencang, menahan tubuh tetap stabil agar tidak terdorong menjauhi lokasi.
Reaksi alam tersebut terjadi selama 3 menit, hingga sebuah cahaya yang menyilaukan mata muncul. Diakhiri oleh sesuatu yang terjatuh dari atas awan.
Itu batu kehidupan.
Dengan tangkas, gadis itu menangkapnya. Suasana pun kembali normal. Awan kelabu perlahan memudar menjadi putih kembali seperti semula. Calypso meneliti batu itu sejenak. Batu elemen angin memiliki fisik bewarna putih gading dengan ukiran spiral di tengah-tengahnya. Gadis itu menggenggamnya dengan erat, lalu memasukkannya ke dalam tas. Dia harus cepat-cepat pergi dan meninggalkan tempat ini.
Namun, niatnya tiba-tiba tertahan kala muncul 3 orang yang menghadang dirinya. Pakaian mereka serba putih, mengingatkannya dengan para orang-orang suci di kuil. Ah, persetan. Calypso harus segera pergi!
“Wah, wah. Sepertinya kau bukan berasal dari sini anak muda,” ucap salah satu dari mereka.
Calypso menyelempangkan tasnya dan menghentakkan kakinya. Tanah di sekitar tiga orang itu amblas, mereka terjatuh di lubang sedalam 10 meter, tak lupa gadis itu menutupnya kembali dengan bebatuan. Merasa sudah aman, gadis itu mengeluarkan sayapnya, dan terbang dengan kecepatan tinggi.
BLAR!!
“TANGKAP GADIS ITU!!”
Kembali ke waktu kini ...
Baiklah, sekiranya seperti itu kejadiannya. Dia berakhir dikejar oleh 3 orang pribumi yang sedari tadi berteriak memintanya untuk berhenti dan menyerahkan diri.
“BERHENTI KAU, SEBELUM DEWA ENEL MEMBUNUHMU!!”
Calypso menggerakkan tangannya. Pohon-pohon yang dia lalui tiba-tiba bergerak dan membentuk penghalang bagi mereka yang mengejarnya. Merasa belum puas, gadis itu berbaliknya memberikan serangan beruntun berupa kobaran api yang besar disertai angin yang berhembus kencang.
DAAR!
Ledakan pun terjadi. Cepat-cepat Calypso mengepakkan sayapnya kembali menjauhi mereka. Dia tidak tahu siapa dewa Enel yang mereka maksud. Tapi sekarang dia berhasil keluar dari hutan. Tubuhnya meluncur turun menembus lautan awan. Membiarkan gaya gravitasinya mendorongnya jatuh ke bawah. Sungguh, tadi itu benar-benar menyenangkan.
* * *
Kota ini bernama Mock Town. Destinasi yang dipilih secara random untuk Calypso beristirahat. Punggungnya kebas setelah terbang selama berjam-jam. Perutnya juga lapar dan kalau dia beruntung, dia bisa mendapatkan perahu kecil untuk kembali berlayar ke Red Line. Toko buah sederhana di pinggir jalan dia hampiri. Cukup beli sedikit saja, sebab uang perbekalannya semakin menipis.
“Kau sendirian saja, cantik?”
Calypso menoleh. Mendapati 5 orang pria berpenampilan urakan menatap dirinya dengan senyuman yang melecehkan. Gadis itu mengeratkan genggamannya pada bungkus plastik berisi buah yang barusan dia beli. Menghiraukan mereka dan berbalik badan meninggalkan tempat tersebut. Namun rupanya, kehadirannya di kota yang tidak memiliki hukum ini adalah sebuah kesalahan. Orang-orang di sekitar kini menaruh perhatian padanya, merasa tidak pernah melihat ada wanita secantik itu yang datang seorang diri.
Sebisa mungkin Calypso tidak mempedulikan tatapan itu. Dia tidak bisa menyerang mereka saat mereka semua membawa senjata yang terbuat dari perak. Dia juga tidak bisa menggunakan kemampuan magisnya di hadapan banyak orang. Mengeluarkan sayap dan terbang begitu saja adalah pilihan konyol. Itu sama saja membuat eksistensinya terungkap. Calypso menghentikan langkahnya, saat ini dia tersadar telah dikepung oleh banyak pria.
Calypso mengigit lidahnya. Dia panik, tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Apakah ini salah satu hal yang sering ayahnya takutkan? Para pria brengsek. Tatapan mereka begitu liar, menatap dirinya seakan-akan adalah mangsanya.
“Permisi, aku mau lewat.” Calypso menundukkan kepala, mencoba mencari celah agar bisa melewati para kerumunan. Namun lengannya ditahan, dirinya sekarang terjebak oleh mereka yang menyeringai lebar.
“Kau terlihat kelelahan, Cantik. Bagaimana jika kita bersenang-senang?”
Calypso memberontak. Plastik buahnya terlepas saat dia mencoba menarik tangannya. Tubuhnya menegang kala banyak tangan menyentuhnya punggung dan bahunya. “Lepaskan!”
“Hey tenang, cantik. Kau pasti akan menyukainya. Benar kawan?”
“Brengsek!” maki Calypso. Kini dia menginjak dan menendang kaki salah dari dari mereka. Satu tangannya lepas, dia gunakan kesempatan itu untuk meninju orang di sampingnya.
“Hey! Hey! Tenang!”
Tangan gadis itu kembali ditahan. Seseorang mencengkram dagunya kasar. Meneliti wajah cantiknya yang semakin membuatnya nafsu untuk menikmati tubuhnya. “Teman-teman, biarkan aku dulu yang menikmatinya!”
Mata cokelat terang itu terbelalak. Tubuhnya diseret bersamaan dengan suara ricuh orang-orang yang tidak sabar ingin menonton pertunjukan dadakan itu di tengah kota.
“LEPASKAN AKU! LEPASKAN AKU SIALAN!”
Gadis itu berteriak. Dia mengaktifkan Haki senjatanya dan menarik tangannya sekuat tenaga. Orang-orang yang menariknya terkejut dan menggeram marah. Sontak menampar Calypso begitu gadis itu hampir melepaskan diri. Gadis itu mengerang kesakitan saat rasa panas dan terbakar terasa di pipinya. Rupanya, pria yang menamparnya barusan mengenakan banyak cincin perak di tangannya.
Sial. Dia harus melakukan sesuatu!
“Argh!”
Calypso kembali mengerang kesakitan kala pria bertubuh besar lainnya muncul dan menahan kedua tangannya. Efek perak langsung terasa di kulit mulus gadis itu. Pria sialan tersebut rupanya juga mengenakan aksesoris perak di jemarinya. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.
“Jangan sentuh aku, sialan!”
Tas duffelnya terlepas. Jaketnya berhasil mereka robek. Kini Calypso terlentang di atas tanah dengan tangan dan kaki yang ditahan kuat-kuat. Orang-orang di sekitar hanya tertawa dan menonton aksi pelecehan tersebut. Calypso terus berteriak, matanya berkaca-kaca menahan amarah, rasa malu, dan rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat perak. “Jangan—hentikan!!”
Teriakannya tidak mereka hiraukan. Jantung Calypso nyaris meledak saat kaus hitamnya hendak disingkap, dan kancing celananya hendak dibuka. Pupil matanya refleks mengecil dan dia pun berteriak.
“AKU BILANG HENTIKAN!!!”
Teriakan Calypso begitu menggelegar. Sebuah kekuatan misterius memancar, menggetarkan seluruh orang di sekitarnya. Para pria brengsek itu mematung, perlahan mereka jatuh tak sadarkan diri. Pegangan pada tubuhnya pun terlepas. Calypso cepat-cepat bangkit, meraih tas duffelnya dan berdiri menatap orang-orang yang satu persatu ambruk akibat ulahnya barusan yang dilakukan tanpa dia sadari. Orang-orang yang tidak terkena efek serangannya barusan (karena jarak yang begitu jauh) memandangnya waspada.
Gadis itu perlahan melangkah mundur, dan detik berikutnya berlari menuju sisi lain pulau yang lebih sepi. Calypso terisak, napasnya memendek karena tubuhnya terasa lemas akibat kejadian barusan. Dia jatuh terduduk di rerumputan, beberapa detik kemudian dia menangis. Dia tidak menyangka orang-orang akan melakukan hal gila itu padanya. Dia tidak menyangka manusia bisa se-brengsek itu pada seorang gadis belia sepertinya. Padahal dia datang hanya ingin membeli makanan dan perahu, bukan mencuri atau mengacau. Tapi kenapa mereka dengan serampangan ingin melecehkan dirinya di tengah-tengah kota?
Dia ini salah apa?
Di tengah tangisnya, gadis itu mengeluarkan kayu runcing dari telapak tangan. Menyayat jari telunjuknya dan menggambar simbol seal penyembuh di dadanya dengan darah yang menetes. Seal tersebut perlahan bersinar, membuat efek luka akibat perak di sekujur tubuhnya berangsur-angsur pulih dan hilang.
“Aku harus pergi dari sini,” gumamnya. Gadis itu kembali berdiri, mengeluarkan sayap kacanya dan tanpa menunggu lama lagi terbang melesat di atas awan. Dia harus kembali ke Dunia Baru dan pulang ke Red Force. Setelahnya dia akan mengurung diri di kamar untuk menenangkan pikiran dan mentalnya akibat kejadian buruk tersebut.
Sekitar 5 jam Calypso terbang dengan kecepatan penuh. Dibantu oleh kekuatan angin miliknya yang mendorong tubuhnya agar bisa melesat dengan cepat. Saat dia berhasil melihat tembok Red Line, sayapnya mendadak tidak bisa dia gerakkan. Sayap kaca itu menghilang, disertai oleh rasa nyeri di punggungnya. Tubuhnya terjatuh bebas dari langit dan mendarat dengan begitu tragis di depan gerbang pintu Marijoise.
Beberapa pengawal datang, lalu diikuti oleh seorang ksatria suci yang telah mengacungkan senjatanya padanya. Calypso meneguk ludah. Di posisi meringkuk, dia meringis kesakitan sekaligus merutuk nasibnya yang begitu sial. Dia harus menunjukkan lencana keluarga Figarland, yang sialnya lencana itu berada di jaketnya yang tertinggal di Mock Town.
“Siapa kau dan apa urusanmu datang ke tempat suci seperti ini, manusia rendahan?” Pedang ksatria itu sudah berada di kepalanya.
Calypso menatap nanar pada ksatria tersebut. Sialan! Meskipun rendahan, dia ini masih cucu Saint Figarland, brengsek!
“Aku ... Aku Calypso Figarland ... Lencana milikku hilang, aku—”
Ksatria itu terkejut. Cepat-cepat menarik pedangnya dan menyarungkannya kembali. Dia berjongkok untuk melihat lebih jelas wajah gadis tersebut.
“Nona Calypso?!”
* * *
Beruntung, ksatria suci yang berjaga di gerbang Marijoise mengenal dirinya tanpa harus memperlihatkan lencananya. Dia dengan sigap langsung membawanya ke kastel Pangaea dan memanggil Saint Garling selaku kakeknya beserta dokter kastil yang memang paham bagaimana reaksi tubuh gadis tersebut. Setelah itu Calypso tidak ingat apa-apa lagi. Dia jatuh pingsan karena kelelahan dan dehidrasi. Seingatnya, dia diinfus dengan alat khusus agar kondisinya perlahan membaik. Lalu dia tertidur.
Kejadian di Mock Town benar-benar masih terbayang di pikirannya. Tatapan orang-orang yang menakutkan, menginginkannya bagai barang murah yang bisa direbut dan dilecehkan begitu saja membuat hatinya teriris. Dia tidak pernah mengira hal itu terjadi padanya. Meskipun dia tinggal bersama para pria di kapal, mereka benar-benar baik dan memperlakukannya seperti anak, keponakan, dan adik sendiri.
Dia rindu ayah dan para pamannya.
“Shhh, tenang Calypso. Kau aman sekarang.”
Calypso terbangun. Dia merasakan sentuhan lembut di kepalanya. Aroma familiar dari seorang pria yang paling dia sayangi memenuhi indra penciumannya. Perlahan gadis itu membuka mata, mendapati seorang pria berambut merah berbaring di sampingnya. Memeluknya dengan penuh protektif dan mengecup keningnya dengan sayang.
“Ayah?”
Calypso mendongak, menatap wajah ayahnya di bawah pencahayaan yang remang-remang. Shanks balas menatap putrinya, mengusap wajahnya lembut, dan kembali mengecup kening putrinya. “Tidak apa-apa, putriku. Kau tidak perlu takut,” ucapnya seraya mengusap lengannya agar tetap nyaman tidur di pelukannya
Gadis itu membenamkan wajahnya di dada ayahnya. Mencari kenyamanan di sana dan mencoba untuk menghilangkan kenangan buruk yang dia dapatkan kemarin. Shanks tersenyum getir, dia tahu apa yang terjadi, dia dapat merasakannya. Kalau Benn tidak segera menyadarkannya, dia sudah akan menghubungi salah satu aliansinya di Paradise untuk menghancurkan semua pria yang ada Mock Town. Tapi saat tahu Calypso selamat dan berada di Marijoise, Shanks melepas semua rasa gengsinya dan mendatangi tempat itu untuk melihat keadaan putrinya.
Dia baik-baik saja. Meski harus diinfus dan terdapat sisa noda darah akibat tanda seal penyembuh yang dibuat di dadanya. Tapi Shanks tahu, hatinya sedang tidak baik-baik saja. Di tengah tidurnya, dia begitu gelisah. Terdapat kerutan di dahinya yang menandakan sedang mengalami mimpi buruk. Pria itu memutuskan untuk berbaring di sampingnya dan memeluk putrinya agar dia merasa lebih baik.
“Aku—hiks—aku takut ...” gumam Calypso.
“Ada Ayah bersamamu sekarang,” ucap Shanks. Suaranya yang berat membuat Calypso merasa tenang, tangisnya perlahan mereda. Napasnya teratur, saling beriringan dengan deru napas ayahnya.
“Aku sayang Ayah.”
Shanks tersenyum. “Ayah juga menyayangimu, Calypso.”
* * *
Hari-hari terus berlalu. Suasana hati Calypso yang tadinya murung perlahan kembali normal berkat bantuan ayah dan para pamannya di kapal. Namun gadis itu tahu, dia tidak akan pernah bisa melupakan kejadian buruk tersebut. Dia menghargai usaha ayah dan yang lainnya untuk membuatnya kembali ceria, tapi yang bisa dia lakukan adalah tersenyum dengan terpaksa. Semoga saja orang-orang tidak menyadarinya.
Kini dia sedang tidak melakukan apa-apa. Setelah sarapan, dia hanya berbaring merasakan deru ombak yang menggoyangkan kapal. Dia menatap langit-langit kabin dengan tatapan kosong, hingga akhirnya pintu terbuka. Monster, si kera itu masuk dan menghampirinya ke pinggir ranjang.
“Ada apa?” tanyanya.
Monster menunjuk ke langit-langit, mengisyaratkan jika ada seseorang datang bertamu dan sekarang tengah berada di dek kapal.
“Siapa? Aku sedang tidak mau bertemu dengan orang,” ucap Calypso. Dia memiringkan tubuhnya, memunggungi Monster yang terlihat cemberut menatapnya. Namun seakan-akan tidak kehabisan akal, kera itu mengambil sesuatu di meja nakas. Sebuah buku diary yang siapapun tidak boleh membaca dan menyentuhnya.
Kera itu berteriak, memanggilnya. Calypso berdecak, menoleh dan seketika terbelalak saat hewan peliharaan Punch itu mengambil barang berharganya. “Sial! Monster, apa yang kau lakukan?! Kembalikan bukuku!” perintahnya.
Namun Monster tidak mengiyakan. Kera itu berlari meninggalkan kabin menuju dek kapal. Calypso menggeram kesal, terpaksa turun dari ranjang dan berlari mengejar hewan mamalia tersebut. “Monster kembalikan buku diary-ku!” Gadis itu berteriak, dan sesampainya di dek, dia dibuat terkejut akan kehadiran seseorang.
Pria itu berdiri memunggunginya. Memperlihatkan tubuhnya yang bertelanjang dada sehingga terpampang dengan jelas tato besar dari lambang bajak laut terkenal. Pria itu tengah berbicara dengan Benn yang sepertinya menyambutnya dengan baik. Merasa ada seseorang yang datang, pria itu menoleh. Senyum lebar langsung muncul di wajahnya kala melihat Calypso.
“Ace?”
“Hai Cally! Lama tidak berjumpa!”
Calypso tersenyum. Monster mendekat dan mengembalikan buku diary-nya. Rupanya, kera itu sengaja melakukannya agar dia segera menuju dek. Temannya datang mengunjunginya. Meskipun dia rada kurang yakin bagaimana reaksi ayahnya. Mengingat kaisar laut itu begitu sensi setiap kali nama Ace disebut.
“Ada apa kau datang ke mari?” tanya Calypso. Bukan apa-apa, Ace ini bagian dari bajak laut Shirohige, kedatangannya ke kapal kaisar lain akan menimbulkan banyak tanda tanya.
Ace terkekeh. “Aku tidak sengaja melihat kapal kalian, dan aku langsung kepikiran tentangmu. Sudah lama kita tidak bertemu.”
Calypso hendak mengatakan sesuatu, namun seseorang lebih dulu memotongnya.
“Mau apa kau kemari, Tinju api?” Ayahnya muncul dan menatap pria berambut hitam itu dengan tatapan tidak suka.
Ace menoleh, dia membungkukkan tubuhnya sebentar dan menyapanya. “Selamat siang, Tuan Akagami. Aku datang untuk menyapa Calypso.”
“Calypso tidak butuh sapaanmu. Pergilah, selagi aku tidak berubah pikiran untuk menyerangmu.”
Calypso memutar bola mata jengah. Sedangkan Ace tersenyum canggung.
“Ayolah Ayah, Ace ini temanku. Dia tamu di sini. Tolong bersikap baik,” ucap gadis itu. Shanks mencurutkan bibirnya, menatap putrinya ragu-ragu.
“Tapi dia ini—”
Sebelum Shanks melanjutkan, Benn memotongnya. “Sudahlah, Shanks. Akhir-akhir ini Calypso merasa bosan. Kehadiran seorang teman akan membuatnya kembali ceria,” ucapnya seraya menepuk bahu kaptennya.
Calypso menarik tangan Ace menuju sisi lain dek kapal, meninggalkan ayahnya yang cemberut menatapnya tidak terima. Ah, sialan! Dasar Ace kutu beras! Bisa-bisanya dia mendekati putrinya!
“Jangan terlalu mengekangnya, Shanks. Itu normal di usianya yang mulai tertarik dengan lawan jenis. Lagi pula, Ace sepertinya menyukainya.”
“Kau mengatakan itu sekali lagi, siap-siap saja Red Force akan hancur terbelah dua!” Shanks mendengkus, merasa dongkol. Sedangkan Benn hanya bisa menghela napas lelah.
“Ace tidak akan melakukan hal bejat padanya, Shanks. Dia pria yang sopan. Kau bisa mengawasinya dari jauh.”
Pria berambut merah itu tidak mengatakan apa-apa. Dia duduk di atas barrel anggur yang kosong di dekat pagar pembatas. Mengamati dua remaja tersebut yang duduk di lantai dek. Ace terlihat sedang menceritakan sesuatu dengan begitu ekspresif, disusul oleh respon Calypso yang tak kalah ekspresif dan tawanya yang terdengar lepas. Shanks menghela napas lagi, akhir-akhir ini selepas kejadian tidak mengenakkan di Mock Town, putrinya itu jadi lebih sering murung. Meskipun tubuhnya baik-baik saja, tapi mentalnya cukup terguncang. Dia dan krunya sudah berusaha untuk menghiburnya. Namun pria itu tahu, senyum yang diberikan oleh Calypso adalah palsu.
Saat melihat bocah laki-laki yang ternyata adalah anak dari kaptennya terdahulu dapat mengembalikan senyum di wajah Calypso, membuat Shanks harus menekan egonya. Setidaknya, Ace memiliki perasaan tulus pada putrinya dan tidak ada niatan untuk menyakitinya.
Karina, kau melihatnya? Sekarang putri kita sudah semakin dewasa dan semakin cantik sepertimu. Tentunya ... Dia juga sangat kuat sepertiku.
* * *
A/N:
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top