19 | Become Adult

*

Pagi itu dia terbangun dengan perut dan pinggang yang kram. Dia meringis dan memilih untuk membaringkan tubuhnya sejenak di ranjang. Menatap langit-langit kabin seraya merasakan kapal yang bergoyang karena ombak. Perlahan dia bisa mendengar awak kapal yang mulai terbangun, membersihkan kekacauan akibat pesta alkohol kemarin malam. Calypso sendiri tidak tahu kemarin acaranya sampai jam berapa. Dia tidur lebih awal setelah membuka hadiah dari para pamannya karena tubuhnya terasa sangat lelah. Mungkin apakah karena itu perutnya sampai terasa kram seperti ini?

15 menit telah berlalu. Tapi rasa kramnya belum kunjung menghilang. Pintu yang terhubung dengan kabin ayahnya terbuka. Shanks masuk dan tersenyum. “Ini sudah jam 10. Tumben sekali kau belum mandi dan beraktivitas?” tanyanya.

Calypso hanya tersenyum lemas dan menutup wajahnya dengan bonekanya. Pria berambut merah itu duduk di samping ranjang dan mengelus kepala putrinya. “Kau kenapa? Kau sakit?” tanyanya.

Gadis itu meringis seraya memegang perutnya. “Perutku sakit, Ayah.”

Shanks mengernyit. “Sepertinya kau telat sarapan. Ayo, ke dapur. Atau mau kuantarkan makanannya?” tawarnya.

Calypso menggeleng. “Bukan lapar.” Dia menyingkirkan bonekanya, kini tangannya memegang perutnya yang terasa kembung, nyeri sekaligus terasa kaku. Belum lagi kini rasa nyeri di pinggangnya menjalar hingga ke paha. Ya Tuhan kenapa bisa sakit sekali? “Perutku terasa kram.”

Pria itu terlihat bingung. Namun dia mengusap keningnya untuk menenangkannya. “Tunggu sebentar, Ayah akan panggilkan Hongou,” ucapnya yang kemudian pergi keluar dari kabinnya mencari dokter kapal yang semoga saja sudah bangun dan berjaga di klinik.

Di saat ayahnya pergi, Calypso tiba-tiba merasa kebelet pipis. Terpaksa menyingkirkan rasa sakitnya dan berjalan dengan tertatih-tatih serta sedikit bongkok menuju kamar mandi. Lalu tak lama, hal yang mengejutkan pun terjadi. Teriakan Calypso menggelegar hingga ke seluruh kapal.

“KYAAAA!!”

Kru kapal yang masih tertidur langsung membelalakkan mata, mereka panik mengira akan muncul serangan dari kapal musuh. Shanks yang baru naik tangga menuju klinik, juga ikut terbelalak. Kaisar laut itu berbalik badan dan segera berlari kembali ke kabin putrinya. Benn juga muncul tak lama kemudian.

“Calypso? Kau di kamar mandi?!” Shanks melihat pintu kamar mandi yang sedikit terbuka, niatnya ingin langsung membuka dan melihat apa yang terjadi, namun gadis itu cepat-cepat membanting pintu dan menguncinya. Tubuhnya merosot di balik pintu dengan isakan tangis yang semakin keras.

Shanks semakin panik. Dia mengetok pintu berkali-kali dengan perasan khawatir. “Calypso, apa yang terjadi?! Kau kenapa?!”

“Hiks ... Hiks.”

“Calypso, kau kenapa?! Buka pintunya!” Shanks mencoba untuk mendobrak pintu. Namun Ben cepat-cepat menahannya. “Shanks tenanglah, kau justru akan membuatnya panik!”

“Aku juga panik, sialan!” makinya.

Wakil kapten itu berdecak, kemudian memanggil putri kaptennya tersebut dengan nada yang setenang mungkin. “Calypso, katakan ada apa? Kau jatuh dan terbentur?” tanya pria itu.

“Apa kau menemukan tikus atau kecoa di dalam? Cepat buka pintunya, biar Ayah yang ambil!” desak Shanks tidak sabaran.

Benn kembali berdecak melihat tingkah konyol pria berambut merah tersebut. “Shanks hentikan!” ucapnya, kemudian kembali beralih ke gadis tersebut. “Calypso, tidak apa-apa. Katakan pelan-pelan pada kami.”

“Hiks ... Darah ...”

Shanks melotot. Benn juga melotot terkejut. Pria berambut merah itu memekik, kembali menggedor-gedor pintu kamar mandi. “DARAH?! APA YANG BERDARAH??! KAU TERLUKA?? KAU TERKENA PERAK?!!”

“Bukaaaan! Huaaa!”

Benn meneguk ludahnya susah payah. Mencoba untuk berpikir jernih. Sebab jika pikirannya juga sama-sama kacau seperti Shanks, maka yang ada situasi tidak kunjung membaik. “Calypso katakan dengan jelas. Apa yang berdarah?”

“KATAKAN CALYPSO! BIAR AYAH LIHAT LUKANYA!!”

“TIDAAAK, HUAAA!”

Wakil kapten itu menepuk dahinya pasrah. Shanks bahkan sampai mencoba untuk mendobrak pintu tersebut. Namun beruntung Calypso segera menjelaskan meskipun dengan suara yang tersendat-sendat. “Darah ... Hiks ... Ada darah keluar dari ... Hiks dari kemaluan ...”

“DARAH APA—”

Shanks menjatuhkan rahangnya dengan dramatis, pria itu mematung di tempat. Sedangkan Benn akhirnya menghela napas lega. Rupanya gadis itu berhasil mencapai tahap dewasa. Pria yang kini rambutnya mulai bewarna kelabu itu berbalik badan. Memanggil Hongou untuk segera datang mengatasi masalah runyam tersebut

* * *

Shanks menemani Calypso yang sekarang duduk di ranjangnya. Gadis itu memeluk erat ayahnya setelah kejadian dramatis yang membuat dirinya dan seluruh orang di kapal syok. Hongou duduk di hadapan mereka, menjelaskan dengan pelan-pelan jika tubuhnya kini sudah matang sebagai seorang wanita. Mulai sekarang dia akan mengalami siklus menstruasi setiap bulannya. Baik dokter tersebut maupun Shanks masih belum yakin apakah organ tubuhnya benar-benar mirip seperti manusia atau tidak. Pria berambut merah itu benar-benar tidak memiliki petunjuk apapun soal ini. Tapi untuk jaga-jaga, lebih baik Hongou menjelaskan kepada si remaja tanggung itu sedikit tentang sex education.

“Dengar, Calypso. Aku pernah menjelaskan tentang sistem reproduksi, bukan?” tanya si dokter kapal.

Yang ditanya mengangguk pelan.

“Kalau kau masih ingat, pada laki-laki ciri jika alat reproduksinya telah matang ditandai dengan mengeluarkan sperma. Sedangkan bagi perempuan dengan terjadinya siklus menstruasi, mengeluarkan darah dari rahimnya.” Hongou menjelaskan.

Calypso tahu itu. Sumpah demi apapun gadis itu tahu. Tapi dia tidak menyangka akan datang secara tiba-tiba seperti ini. Gadis itu panik, apalagi di kapal ini hanya dia seorang yang perempuan. Jelas dia terlalu malu, terlalu gengsi untuk meminta tolong, meskipun ujung-ujungnya Shanks yang membantunya membersihkan bercak-bercak darah di celananya, di saat dia meratapi nasib akan siklus pertamanya ini.

“Dan itu normal Calypso!” Shanks mengusap kepalanya. “Itu artinya kau normal! Kau resmi menjadi wanita yang sempurna! Jadi kau tidak perlu menangis.”

Rasanya Calypso ingin sekali mencubit perut ayahnya. Dia menangis bukan karena mendapatkan menstruasi pertamanya, dia hanya malu kenapa harus para pria dewasa yang membantunya? “Aku tahu, pria tua!”

Shanks mencurutkan bibirnya saat gadis itu memanggilnya demikian.

“Aku hanya malu ...”

Jawaban dari gadis itu membuat Shanks tersenyum kecil. Dia kembali mengusap kepala dan punggungnya dengan lembut. Pria itu meminta Hongou untuk meninggalkan mereka, membiarkannya sementara berdua dengan putrinya di dalam sana. Shanks menghela napas, dia mengecup kepala Calypso tanpa ada niatan untuk melepas rengkuhannya. Kaisar laut itu juga syok, dia tidak menyangka putrinya telah dewasa. Rasanya baru saja kemarin dia membawa Calypso bersamanya ke Red Force. Merasakan susah senangnya ketika merawatnya sejak kecil.

Beberapa menit kemudian, Shanks melepaskan pelukannya, membiarkan gadis itu untuk istirahat, sebab kramnya itu masih terasa. Setelah ayahnya menutup pintu kabin, Calypso menghela napas kasar. Dia duduk di meja belajar, mengambil sebuah buku bersampul kulit bewarna merah gelap. Gadis itu membukanya, menarik pulpen dan menulis sesuatu di halaman kosong. Hanya sekumpulan kalimat sederhana yang membentuk beberapa paragraf. Tentang pertemuannya dengan orang-orang yang dia temui dua minggu terakhir, serta tentang hari ulang tahunnya yang berjalan meriah seperti tahun-tahun sebelumnya. Lalu diakhiri tentang dirinya yang telah mendapatkan menstruasi. Tak lupa mecurahkan rasa malunya yang meluap sampai ke ubun-ubun.

Kejadian sejam yang lalu itu masih terngiang-ngiang. Ayahnya begitu histeris saat mengetahui hal tersebut. Bukannya menenangkan putrinya, pria bodoh itu malah berteriak-teriak, panik sendiri. Meskipun di sini salah Calypso juga yang langsung berteriak dan menangis karena panik. Tapi gadis itu paham kenapa ayahnya bersikap demikian. Meski bertingkah panik, dia terlihat bangga dan senang. Namun ... Ada satu hal yang membuat Calypso bertanya-tanya.

Apakah siklus di dalam tubuhnya ini lebih condong seperti manusia pada umumnya? Atau justru seperti Nymph? Apakah makhluk itu mengalami siklus bulanan tersebut atau tidak?

Brak!

Tak sengaja, sikutnya menyenggol tumpukkan buku sketsanya. Beberapa kertas yang terisi sketsanya berhamburan. Gadis itu mendengkus, membungkuk untuk meraih kertas-kertas tersebut hingga akhirnya dia tidak sengaja melihat sketsa mentah seorang pria bertopi koboi di salah satu kertas. Calypso terdiam, memandang kertas tersebut dan beberapa detik kemudian, dia tersenyum simpul sebelum akhirnya menaruhnya kembali ke tempatnya.

Sudah berapa lama ya, dia tidak melukis di kanvas?

* * *

6 bulan telah berlalu.

Ace tidak pernah menyangka karirnya sebagai bajak laut akan berakhir seperti ini. Bukan berakhir ke hal yang buruk, namun ini benar-benar tidak pernah ada di pikirannya. Awalnya, rencana dia adalah mengalahkan Shirohige, dan melebarkan nama serta bajak lautnya. Tapi alih-alih, dia justru bergabung dengan bajak laut kaisar tersebut. Dia tidak tahu bagaimana prosesnya, tapi yang jelas itu adalah fase-fase tersulit selama 2 tahun menjadi bajak laut. Harga dirinya serta krunya terancam. Dia hanya punya pilihan mati atau bergabung bersama mereka. Namun entah bagaimana, saat berbicara 4 mata dengan sang kaisar, hati Ace terenyuh.

Dia teringat dengan orang-orang yang mengatakan jika dia tidak seharusnya dilahirkan. Ayahnya adalah seorang iblis, membuatnya secara tidak langsung adalah ancaman bagi banyak orang. Sejak kecil, dia paling tidak suka jika membicarakan tentang orang tua. Ibunya mati setelah mengorbankan nyawanya untuk kelahirannya, lalu ayah brengseknya memberikan beban dosanya itu padanya. Kalau bukan karena dua saudaranya, mungkin dia akan membenci eksistensinya di dunia ini.

Lalu tanpa dia duga, tanggapan Shirohige benar-benar di luar ekspektasinya.

“Aku tidak peduli kau anak siapa, menurutku kita semua adalah keluarga di lautan ini.”

Kalimat Shirohige membuat Ace tidak bisa berkata-kata. Pria besar itu membuang fakta bahwa Roger, ayah biologisnya adalah musuhnya. Namun dia mau menerimanya sebagai anaknya. Bagi Ace yang tidak pernah merasakan figur seorang ayah, kalimat tersebut adalah sentuhan lembut baginya.

Pada akhirnya, bagai membalikkan telapak tangan, pria yang tadinya ingin membunuh Kaisar Laut Shirohige, sekarang justru malah bagian dari krunya. Bukan. Tidak ada kata kru di sana. Semua adalah keluarga. Semua adalah anak-anak sang kaisar, begitu pula Ace. Pria itu sekarang bersumpah akan mendukung dan membela nama Oyaji untuk mempertahankan era bajak laut Shirohige.

“ACEE!!!”

Ace tersentak. Dia menoleh ke arah Thatch, yang menyusulnya dari arah dermaga. Pria bertopi koboi itu berkacak pinggang. “Aku hanya ingin melihat-lihat isi pulau, Thatch. Marco bilang kita akan bermalam di sini.”

“Aku tahu, tapi Vista mengajak untuk minum di bar. Kau ikut tidak?”

Ace menoleh ke arah hutan lebat yang memang masih dibiarkan tumbuh di sisi lain pulau. Sejak melihat pulau ini dari kejauhan, pria itu sudah tertarik untuk mengeksplor hutan tersebut. Dia rindu kampung halamannya yang terletak di hutan belantara. “Kali ini aku tidak tertarik. Tapi nanti aku akan menyusul. Sampai nanti!”

Thatch menggaruk belakang kepalanya. Kemudian mengendikkan bahu tak acuh. “Ya sudah, hati-hati!”

Ace tidak menjawab apa-apa. Kakinya terus melangkah menuju hutan, pemukiman warga semakin sepi saat dia sampai di mulut hutan. Suara burung liar terdengar bersamaan dengan langit sore yang semakin menjingga. Ace membetulkan topinya sejenak, terus berjalan memasuki hutan. Melihat deretan pohon yang tinggi menjulang serta semak-semak belukar yang mengeluarkan suara-suara serangga yang akan semakin aktif pada malam hari. Ace melompat dengan lincah saat batang pohon berukuran besar menghalangi jalan setapak. Selama 5 menit dia terus berjalan hingga akhirnya dia menemukan sesuatu yang bercahaya di ujung.

Sebuah danau luas yang tenang dan dengan air yang sangat jernih. Karena jernih, membuat airnya dapat memantulkan langit sore yang bewarna jingga kemerahan. Ace berdiri di balik semak-semak, hendak keluar untuk merasakan air danau. Namun terhenti saat mendengar ada gemericik air dari sisi lain danau. Pria itu terbelalak, mengurungkan niatnya dan memilih untuk bersembunyi sejenak di balik semak-semak.

Seseorang tengah berenang dengan tempo yang sangat lambat. Gerakannya sangat anggun, menciptakan riak air yang sangat indah di tengah-tengah danau. Kulit cerah orang itu begitu kontras dengan warna air danau yang sedikit menggelap karena pencahayaan yang remang-remang. Butuh waktu beberapa detik bagi Ace untuk tetsadar jika orang yang tengah berenang itu adalah seorang perempuan, terlebih dia tidak mengenakan sehelai benangpun. Punggung dan kakinya yang mulus begitu indah meskipun terlihat dari jarak jauh.

Ace menahan napas. Orang itu berhenti bergerak di tengah-tengah danau yang begitu luas tersebut, memunggungi dirinya yang tiba-tiba mendamba sosok tersebut. Namun sayangnya, aksi brengseknya itu harus terbongkar saat terdapat serangga yang mengigit lengannya. Pria itu memekik cukup kencang disertai suara patahan ranting.

Perempuan yang berada di tengah-tengah danau itu tersentak. Cepat-cepat menoleh dan tersadar jika ada seseorang yang mengintipnya. Ace merutuk, secepat mungkin ingin segera kabur agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berakhir buruk. Tapi niatnya terhenti saat sebuah ombak besar muncul menghantam tempat dia berada.

Ace terbelalak. Tubuhnya terseret oleh air yang berkecepatan tinggi yang bahkan dia sendiri pun tidak tahu bagaimana air ini bisa muncul? Sesuatu menarik kakinya  berlawan arah dengan arus air misterius tersebut. Tubuh pria itu menggantung di atas pohon. Ace mengusap wajahnya kasar, melihat dengan seksama situasi apa yang sebenarnya tengah dia hadapi. Hingga akhirnya dia mendapati seseorang gadis (basah kuyup) mengenakan kaus hitam kebesaran muncul, menatap tajam dengan sebuah ranting pohon yang meruncing di tangannya. Siap untuk menusuk dirinya kapan saja.

“Ca—Calypso?!”

Gadis itu terbelalak. Mereka sama-sama terkejut. Ace tidak menyangka gadis itu ada di hadapannya. Sedangkan Calypso sendiri terlalu panik saat mengetahui ada orang lain di sekitar danau. Dia berenang tanpa mengenakan pakaian. Demi Tuhan, dia juga masih punya urat malu!

“Kau mengintip?!!” tanyanya kesal. Gadis itu melempar ranting di tangannya dan mendekatinya yang masih menggantung dengan posisi kepala di bawah. Dia mencekik leher Ace dengan erat, membuat pria itu mengap-mengap mencari oksigen.

“Tu—tunggu! A—aku bisa jelaskan!”

“Persetan! Yang dikatakan ayahku ternyata benar! Kau itu pria brengsek!”

Ace menahan lengan Calypso, mencoba untuk melepaskan cengkraman tangannya di lehernya. “Calypso! Aku tidak berniat mengintipmu!”

“Lalu kenapa kau bersembunyi di semak-semak?! Jawab!!”

“A—aku tidak bisa jawab! Ka—kau mencekikku!”

Calypso melepas cengkramannya. Membuat Ace terbatuk-batuk. Dia menatap gadis itu yang sekarang melayangkan tatapan penuh tuntutan. “Aku berniat melihat-lihat hutan, lalu tak sengaja menemukan danau itu. Kemudian kau muncul dari tengah danau!” jelas pria itu yang kemudian kembali terbatuk-batuk karena lehernya terasa sakit sekaligus efek tersedak dari air yang naik barusan.

Gadis itu memicingkan matanya. “Lalu kenapa kau bersembunyi?”

Ace melotot. “Kau pikir aku akan diam saja, saat melihat ada orang sedang asik berenang di tengah danau?”

“KAU MELIHATKU TELANJANG?!!” ucap Calypso histeris.

“Aku tidak bilang begitu!” bantah Ace. Pria itu menghela napas kasar. “Oke, aku minta maaf jika membuatmu terusik. Tapi aku bersumpah hanya tidak sengaja melihat punggungmu!”

Wajah Calypso yang masih basah kuyup memanas. Sedetik kemudian dia menampar wajah Ace dengan renyah. Pria itu mengaduh kesakitan tapi dia tidak protes.

“Baiklah. Tidak apa-apa kau menamparku. Tapi tolong lepaskan aku. Kepalaku mulai pusing.”

Calypso membuang muka. Gadis itu berbalik, menjauh bersamaan dengan ikatan di kakinya yang terlepas. Tubuhnya terjatuh, menghantam tanah dan akar-akar pohon. Bibirnya mendesis kesakitan, hendak protes kembali kepada gadis itu. Namun keberadaannya telah menghilang. Ace cepat-cepat mengecek ke bawah tebing di mana tepian danau itu berada. Melihat Calypso yang sedang mengemasi barang-barangnya.

Gadis itu menoleh. Menatap tajam dirinya. “Apa?! Sekarang kau terang-terangan ingin melihatku mengenakan pakaian?!”

Ace lagi-lagi melotot. “Enak saja! Aku bukan pria brengsek!”

Calypso berdecak. Dia menghentakkan kakinya dan sebuah batu besar panjang berbentuk pipih muncul dari bawah tanah, membentuk dinding seperti kubikel kecil untuk menutupi dirinya yang hendak mengenakan pakaiannya yang lebih proper.

“Dasar mesum!” ejek Calypso yang masih berada di dalam batu itu.

“Enak saja!”

* * *

A/N:

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top