16 | Snow Island

4 tahun kemudian.

Tes.

Tes.

Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Rambut hitam sepunggungnya telah dia gulung, untuk menetralisir rasa gerah minta ampun sejak 15 menit mereka memasuki perut gunung. George dan Lime memutuskan untuk menemaninya mengerjakan tugas yang hanya bisa dilakukan olehnya—berbicara dengan alam. Teknik itu bisa dibilang gampang-gampang susah. Sekilas, itu terdengar seperti kemampuan Haki observasi tingkat tinggi. Namun, percayalah itu adalah dua hal yang berbeda. Selama 5 tahun berlatih, dia tahu jika ternyata alam memiliki jiwanya sendiri, memiliki napas yang begitu beragam, serta respon yang tidak akan pernah sesuai dengan ekspektasinya. Terkadang mudah untuk dia capai dan mau diajak berkomunikasi mengenai keberadaan batu kehidupan, namun juga terkadang sulit untuk sekedar menunjukkan di mana mereka menyembunyikan batu berharga tersebut.

“Oy! Kau serius lokasinya di sini, Calypso?” Lime bertanya saat jalan setapak yang mereka pijak semakin mengerucut, membuat mereka harus berjalan menyamping, lantaran di bawah sana magma panas telah menunggu mereka.

“Aku tidak tahu. Tapi saat kita mendekati pulau, aku sudah merasakan energi yang aneh di pulau ini. Tepatnya di dalam gunung.”

George mengusap peluh di keningnya. “Mungkin yang kau rasakan itu adalah magma panas yang begitu luas di dalam sini!”

Calypso berdecak. Dia menghentakkan tangannya ke dinding bebatuan, dan menciptakan jalan setapak baru sepanjang 20 meter ke depan. “Kalian ini mau membantuku atau tidak?!” tanyanya sedikit membentak.

George dan Lime hanya meneguk ludah. Sudah menjadi peraturan baru di kapal, untuk tidak menyulut emosi gadis berusia 12 tahun itu selain kapten dan wakilnya. Sebab jika sudah marah, dia akan menakutkan dengan kekuatan magisnya serta sesuatu yang menakutkan layaknya Haki penakluk. Calypso mendengkus. “Tahu begitu aku meminta tolong ke Paman Benn saja!”

Kedua pria itu saling melempar tatapan. “Bukan begitu Calypso, yang expert dalam hal seperti ini adalah Bos! Kenapa kau tidak mengajaknya juga? Siapa tahu dengan Haki observasi tingkat tingginya bisa membantumu. Kau tahu kan, sekarang dunia menjulukinya sebagai Pembunuh Kebonsoku*.”

Calypso mengerang, menghentakkan tangannya kembali ke bebatuan di sampingnya, menciptakan jalan setapak yang baru. “Ini tidak ada hubungannya dengan Haki observasi! Dan tolong, berhenti membicarakannya! Aku masih kesal dengan pria tua jelek itu!” ucapnya. Membuat George dan Lime lagi-lagi meneguk ludah.

“Sudah tahu aku paling tidak bisa berurusan dengan perak! Dia malah menggunakan pedangnya saat latihan kemarin! Bagaimana jika aku terluka?! Aku sih, tidak masalah jika mendapatkan luka, tapi kalian tahu sendiri yang akan heboh dan kelimpungan pria tua itu juga!” ucapnya mengadu nasib pada perut gunung dan juga kedua pria tersebut. “Kalian para paman sih enak bisa hidup bebas tanpa ada pantangan!” lanjutnya.

“Calypso kau—”

Kalimat Lime terpotong oleh hentakan tangan Calypso yang kembali membuat jalan setapak. “Iya aku tahu, Paman! Pasti kau akan mengatakan kalimat membosankan itu lagi! ‘Calypso, kau tidak boleh berbicara seperti itu! Calypso kau itu bukan berbeda, tapi kau itu spesial!’ Itu basi!” katanya seraya mengusap kasar wajah dan lehernya yang berkeringat. “Aku sudah tahu aku ini berbeda ... dan aku tidak suka menjadi berbeda.” Gadis itu bergumam.

Lime menahan tangannya, membuatnya menoleh menatap pria berambut pirang panjang tersebut. “Meski kau berbeda, kami semua menyayangimu.”

Calypso mencebik. Menarik tangannya kembali yang kemudian disusul oleh suara dengung yang amat memekakkan telinganya. Suara dengung itu sayangnya hanya bisa didengar olehnya. Gadis itu seketika berpegangan erat-erat pada dinding batu di sebelahnya. Sudut bibirnya tertarik, dia menoleh ke bawah, meneliti sejenak letupan magma yang membendung di beberapa puluh meter di bawah sana. Suara dengung itu kembali terdengar, Calypso melepas jaket parasutnya dan mengeluarkan sayap kacanya. George dan Lime terlihat panik, tapi belum sempat mereka menahan gadis itu, Calypso lebih dulu melompat, mengepakkan sayapnya turun mendekat sumber magma.

“Tidak—Calypso, itu berbahaya!!”

* * *

Shanks sedari tadi tidak bisa diam. Selain karena suhu dingin yang membungkus udara, dia tidak bisa tenang memikirkan kabar putrinya yang tengah mengeksplor sisi lain pulau musim dingin yang ditutupi oleh badai salju ini. Gadis kecilnya itu sedang merajuk, Shanks akui itu salahnya. Namun, berkali-kali pria itu minta maaf, tidak pernah ditanggapi olehnya. Shanks pusing menghadapi remaja tanggung seperti Calypso. Sikap manisnya perlahan memudar, digantikan oleh sikap ketus yang membuatnya merasa seperti sedang berhadapan dengan dirinya versi remaja. Fisik dan wajah sih boleh saja mirip dengan ibunya, tapi kalau sikap dan perilaku, Shanks benar-benar mewariskannya pada gadis tersebut.

“Dia akan baik-baik saja, Bos. Calypso sudah cukup tangguh, ditambah ada Lime dan George bersamanya!” ucap Yasoop mencoba untuk menenangkan sang kapten.

Kaisar laut itu menghela napas kasar, membuat uap tipis keluar dari mulutnya. Namun perasaannya itu tidak kunjung membaik. Shanks sebenarnya tahu Calypso baik-baik saja. Dia bisa merasakan detak jantung dan deru napas putrinya yang stabil, namun tetap saja dia khawatir mengingat hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Pria itu akhirnya berjalan mendekati mulut gua. Menatap salju putih yang menutup seisi pulau. Beberapa menit dia memandangi pemandangan di depannya, hingga dia merasakan keberadaan putrinya bersama dua kru kapal yang pergi bersamanya.

Shanks tanpa berpikir panjang berlari keluar dari gua, menghampiri mereka yang sedang kesulitan melawan badai. “Calypso!” Pria itu memanggilnya, memeluknya dengan erat merasakan tubuhnya yang dingin akibat badai. “Kau tidak apa-apa? Tidak ada yang terluka?” tanyanya.

Calypso hanya terdiam. Dia mendorong pelan pria itu sehingga pelukannya terlepas. “Aku baik-baik saja.”

Pria itu menghela napas lagi. Kini menatap dua krunya yang melempar tatapan seakan-akan mengatakan; “Yang dikatakannya benar. Dia berhasil menemukannya.

Shanks tersenyum lembut, menatap gadis itu yang tengah berjalan beberapa langkah di depannya. Pria itu dengan langkah lebar menyusul Calypso, merentangkan jubahnya menutupi tubuhnya dari atas kepala. Menahan tiupan salju yang mengenainya. Gadis itu memutar bola matanya, dia tidak menolak tapi juga tidak suka dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba menjadi protektif seperti ini. Namun Calypso tidak berkomentar apa-apa, dia justru memegang erat ujung jaket ayahnya agar tidak terjatuh. Sesampainya di mulut gua Calypso langsung menjauh dari pria itu, dan menghampiri Gab yang tengah menyusun kayu bakar.

“Paman, kau membawa tasku?” tanyanya.

Gab mengangguk, menurunkan tas duffel hitam miliknya dari atas tumpukan kotak logistik. Calypso meraih tasnya dan menggantungkan talinya di pundak.

“Ganti pakaianmu di balik batu besar di sana.” Shanks menyuruhnya, menunjuk batu besar di dalam gua. Calypso hanya mendengkus. Tanpa disuruh pun, dia juga hendak mengganti pakaiannya.

Kejadian di perut gunung tadi cukup mendebarkan. Beberapa bagian di ujung pakaiannya terbakar. Dia sempat meringis saat tersadar jika celana panjang yang sedang dia pakai saat ini adalah salah satu dari koleksi favoritnya. Bahkan kaus bewarna ungu lilac kebanggaannya ini harus rusak di bagian lengan karena terbakar magma gunung. Tapi dibandingkan itu semua, dia sangat senang saat kemampuan berbicara dengan alamnya itu berhasil. Dia menemukan batu kehidupan elemen api. Calypso menatap batu ruby tersebut lekat-lekat. Senyum kecil tertarik di sudut bibirnya. Terisa 2 batu lagi yang masih harus dia cari.

“Snake kau benar-benar tidak lupa membawa kantung tidur, kan?” Suara Shanks terdengar menggelegar. Calypso mengintip dari balik batu, melihat ayahnya mondar-mandir mencari sesuatu di tumpukan barang.

Snake mengernyit. “Kau hanya menyuruhku untuk membawa selimut dan tikar.”

“Hah?? Bagaimana bisa kau tidak membawanya??”

“Aku kira membawa tikar dan selimut saja sudah cukup, Bos!”

Shanks marah-marah tidak terima, membuat suasana gua tersebut cukup berisik. Hingga kemudian Benn muncul dan melempar kantung tidur ke arah pria berambut merah tersebut. “Berhenti mengoceh, Shanks!”

“Kantung tidur! Wah, syukurlah kau membawanya, Benn!”

Calypso mendengkus, menjatuhkan tasnya ke tanah, dan berjongkok untuk membuka isinya. Gadis itu tiba-tiba tersenyum, ekspresi konyol ayahnya barusan kembali terlintas di kepalanya. Perlahan senyuman itu berubah menjadi kekehan kecil yang menggelitik perut.

“Dasar Ayah bodoh.”

5 menit kemudian, gadis itu selesai berganti pakaian yang lebih nyaman dan hangat. Tak lupa melapisi tubuhnya dengan sweater wol dan jaket parasut. Rambutnya dia gerai agar menutupi lehernya yang terasa sedikit dingin. Setelahnya dia bergabung bersama kru lain, membantu orang-orang menyiapkan segala hal untuk mereka bermalam nanti. Dia menghampiri Yasoop yang tengah kesulitan menyalakan api unggun. Calypso menjentikkan jarinya, percikan api muncul melahap kayu yang sepertinya basah terkena salju.

Yasoop tersenyum. “Terima kasih, Calypso.”

Calypso hanya mengangguk, dan lanjut berjalan menghampiri ayahnya yang sedang berdiri di mulut gua, memandangi badai salju yang makin lama semakin lebat. Gadis itu tiba-tiba memeluk pria itu dari belakang. Menyembunyikan wajahnya di balik punggung lebar ayahnya. Shanks tersenyum, menatap kedua tangan putrinya yang melingkar di perutnya. “Kau sudah tidak marah lagi, hm?” tanyanya.

“Aku masih kesal denganmu, Ayah.”

Shanks menyengir lebar. “Lalu apa maksudnya ini?” tanyanya.

Calypso merubah posisinya. Kini memeluk ayahnya dari samping. Tangan Shanks merangkul pundaknya, sedikit membungkuk untuk mengecup kepalanya.

“Ingin peluk saja. Memangnya tidak boleh?” tanyanya, kembali ketus.

“Dahahaha! Baiklah, baiklah. Tidak apa-apa.” Shanks semakin mengeratkan rangkulannya, membuat Calypso semakin tersenyum.

“Ayah.”

“Hm?” tanyanya.

“Aku tidak sabar ingin bertemu Ibu.”

Shanks terdiam. Senyumnya sedikit luntur, namun rangkulannya pada gadis itu tidak mengendur. “Bersabarlah sedikit lagi, putriku. Kita harus menemukan dua batu kehidupan yang tersisa.”

Calypso merogoh saku celananya. Memperlihatkan batu ruby tersebut kepada Shanks. “Kabar gembira. Aku bisa menguasai elemen magma, Ayah.”

Pria itu kembali tersenyum. “Selamat. Tapi latihan bertarung dan berpedangmu masih payah. Bahkan kau belum bisa menggunakan Haki.”

“Aku tidak berniat menjadi seorang pendekar pedang!”

“Tetap saja kau harus bisa menggunakan senjata!”

“Ayah, kau kembali bersikap menyebalkan!”

Shanks menghela napas panjang. Sedangkan Calypso mendengkus gusar. “Dengar Calypso. Sebuah pisau akan tumpul jika tidak diasah. Begitu juga manusia. Kau harus kuat, agar kau bisa bertahan meskipun aku sudah tidak ada lagi di sisimu.”

Merasa pembicaraan mereka sedikit melenceng, Calypso melonggarkan pelukannya. “Apa maksud Ayah?”

“Manusia itu memiliki umur yang pendek, Calypso. Suatu saat ayah akan mati. Aku tidak ingin mati sebelum memastikan putriku bisa berjuang sendiri dengan kekuatan yang dia miliki.”

“Tapi ... bagaimana dengan Ibu?” tanya Calypso, matanya tiba-tiba terasa panas. “Kau akan mati dan meninggalkannya? Padahal kita sudah bersusah payah untuk bertemu dengannya!”

“Calypso. Kematian adalah takdir yang mutlak. Kita semua akan mati.”

“Berhenti berbicara, pria tua! Ucapanmu itu tidak seru!”

Shanks terkekeh. “Calypso.”

“Persetan dengan kematian! Berjanjilah, kau tidak akan mengatakan hal itu!”

“Calypso.”

“Berjanjilah! Aku ... Aku juga akan berjanji untuk menjadi lebih kuat!”

Sang kaisar menghela napas sejenak, sebelum akhirnya mengecup kening putrinya. “Baiklah. Sekarang, kau sepertinya butuh istirahat. Aku sudah menyiapkan tikar, dan kantung tidur untukmu.”

“Aku tidak lelah!”

“Kau belum tidur sejak kemarin, Calypso. Tidurlah. Setelah kau terbangun aku akan menemanimu makan.”

* * *

“Kau serius, Kapten?! Aku tidak yakin ada orang di pulau ini!”

Pria bertopi koboi itu menoleh ke belakang. Menatap para kru kapalnya yang terlihat tidak yakin dengan keputusan kaptennya ini. “Nelayan itu bilang dia melihat ada kapal Akagami berlabuh di pulau ini!”

“Ta—tapi, Kapten!”

“Sudahlah, percaya saja denganku, Dauce. Kau percaya padaku, kan? Aku harus bertemu dengannya. Shanks Akagami!”

Pria yang bernama Dauce itu meneguk ludahnya. Namun tetap berjalan membuntuti kaptennya Ace, melewati salju tebal yang mencapai setengah tungkainya itu. “Tapi, Ace! Orang yang kau maksud itu adalah seorang kaisar laut! Kita baru saja sampai Dunia Baru! Bagaimana jika mereka langsung menghabisi kita?”

Ace menghentikan langkahnya, menatap rekan pertamanya itu. “Kita datang menemuinya bukan untuk bertarung. Aku hanya ingin menunaikan janjiku.”

Dauce dan kru yang lain pun tidak lagi membantah. Melanjutkan perjalanan mereka melawan badai salju mengikuti langkah sang kapten. Ace membetulkan topinya, menatap gunung tinggi di atas sana. Dari informasi yang dia dapat dari para bajak laut dan nelayan yang berpapasan dengan kapalnya, jika pulau salju tak berpenghuni ini memiliki gua besar yang cukup hangat untuk dihuni. Lokasinya berada di atas gunung sebelah timur pulau. Ace tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Tepat saat kru bajak laut pemula itu sampai di mulut gua, mereka langsung merasakan aura tidak enak dari dalam. Namun Ace tidak gentar. Dia semakin masuk ke dalam gua, mendapati sekelompok pria berpenampilan bengis duduk menghadap mulut gua dengan tatapan yang sama sekali tidak bersahabat.

“Siapa kalian?” Suara sang kaisar laut terdengar sangat menusuk. Cuaca dingin di sekitar seakan-akan mendukung suasana agar semakin mencekam.

Ace tersenyum ramah. “Perkenalkan, namaku Portgas D. Ace, aku kapten bajak laut Spade. Aku ingin bertemu denganmu.”

“Bajak laut Spade?” Pria yang duduk di tengah-tengah itu menatapnya tajam. Di detik berikutnya, suara desingan pedang yang keluar dari sarungnya terdengar. “Untuk apa bajak laut bocah sepertimu ingin bertemu denganku?” tanyanya.

Baik Ace maupun krunya panik. Mereka benar-benar menyambutnya dengan sangat tidak ramah, bahkan terlihat seperti ingin ancang-ancang menyerang. Bagaimana ini?

“Tu—tunggu, bukan begitu maksudku! Adikku Luffy selalu menceritakan tentangmu yang telah menyelamatkan hidupnya. Aku ingin berterimakasih padamu,” jelas Ace meluruskan.

Bagaikan mantra, sang kaisar laut menatap Ace dengan tatapan terkejut. “Kau kakaknya Luffy? Aku tidak menyangka dia memiliki seorang kakak!” ucap Shanks. Perubahan ekspresinya terlihat kentara sekali. Wajah menyeramkan dan aura mematikan yang barusan mereka dapatkan perlahan menghilang.

“Ya. Kami bersaudara.”

“Dahahaha! Kemari, duduklah! Ceritakan tentangmu padaku!”

Ace dan kru bajak laut Spade terheran-heran dengan perubahan suasana tersebut. Bajak laut Akagami benar-benar menjamu mereka dengan meriah. Mereka dengan cepat menyediakan sake, makanan dan api unggun untuk menghangatkan tubuh. Ace diajak berbincang dengan Shanks dan para rekannya. Ace menceritakan banyak tentang Luffy dan keseharian mereka selama hidup bersama bandit gunung, serta Luffy yang selalu mengatakan tentang mimpinya yang ingin menjadi raja bajak laut.

“Tapi sebelum itu, aku yang akan menjadi raja bajak laut!” kata Ace dengan semangat.

Shanks tersenyum penuh arti. “Bagaimana cara kau mewujudkannya?”

Ace pun menjelaskannya. Jiwa mudanya penuh ambisi, Shanks dan krunya bisa merasakannya. Berani, percaya diri, dan kuat. Namun entah kenapa dia terdengar sedikit naif. Terlebih saat pria itu dengan mantap mengatakan akan mengalahkan bajak laut terkuat di dunia. Shirohige. Shanks tidak memiliki banyak urusan atau masalah dengan pria tua bertubuh raksasa tersebut, namun mendengar seorang pemula ingin mengalahkannya? Itu terdengar sangat berani sekaligus bunuh diri. Tapi Shanks lagi-lagi tidak berkomentar apa-apa. Dia senang bertemu dengan seorang kenalan Luffy, terlebih wajah dan perawakannya mengingatkannya dengan seseorang.

Kapten bajak laut Spade itu mencuri pandang ke sekeliling kru kaisar laut tersebut. Dia terlihat tengah mencari seseorang, namun tidak kunjung menemukannya. Benn yang menyadarinya, langsung berdeham. “Apa yang kau cari, anak muda?”

Ace tersentak. Dia hanya tersenyum namun tidak mengatakan apa-apa. Tapi matanya kembali menjelajah ke sekitar. Mencari seorang anak perempuan yang selalu dia bayangkan telah tumbuh besar. Namun sepertinya dia tidak ada bersama mereka. Mungkinkah dia turun dari kapal dan tidak ikut kembali dengan ayahnya? Ace tersenyum tipis. Meminum sakenya di cawan, hingga matanya tak sengaja melihat keberadaan seseorang yang tengah tertidur di belakang para kru bajak laut Akagami. Matanya perlahan semakin berbinar. Apa lagi saat mendapati sosok tersebut terbangun, berdiri dan menyeret kakinya ke salah satu pria bertubuh besar dengan rambut gondrong dan gigi tajam.

“Paman Gab, boleh tolong ambilkan aku air hangat?” pintanya seraya menyodorkan gelas. “Ngomong-ngomong kenapa ramai sekali, ya? Setahuku kru kapal tidak sebanyak ini.” Calypso mengusap matanya kasar. Jelas sekali dia sehabis bangun tidur dengan mata yang sedikit memerah.

Senyum sumringah muncul di wajah Ace. Dia meletakkan cawannya, dan menatap gadis itu lekat-lekat.

“Calypso!”

* * *

Calypso terbangun karena suara orang-orang yang terdengar sangat ramai. Dia menatap langit-langit mencoba untuk kembali tertidur, tapi tidak bisa. Alhasil dia memutuskan untuk bangun saja, berdiri dan berniat untuk meminum air hangat. Dia menghampiri Gab. Meminta tolong untuk menuangkan air hangat di gelasnya hingga kemudian seseorang memanggil namanya. Suaranya terdengar sangat asing. Gadis dengan mata cokelat terang itu menoleh, tersadar jika ternyata di dalam gua terdapat orang-orang asing yang kini menatapnya penasaran.

“Calypso! Ini aku, Ace!”

Gadis itu kini menatap pria yang memanggilnya barusan. Dia mengerutkan keningnya, tidak menyangka ada orang asing yang mengetahui namanya. Dia tidak mengenal pria itu, namun entah kenapa tubuhnya seperti menolak. Bukannya mundur dan bersembunyi, Calypso malah terdiam. Dia menatap pria berambut hitam itu lekat-lekat. Wajah maskulinnya terlihat sempurna, terdapat bintik-bintik di sekitarnya pipinya yang membuat Calypso merasa sedikit familiar.

“Kau sudah tumbuh besar, Calypso! Kau ingat aku? Kita pernah bertemu di hutan, kau mencegahku membunuh babi hutan yang sedang hamil dengan kekuatan akarmu! Luffy juga pernah beberapa kali menceritakan tentangmu!”

Kening Calypso semakin mengkerut. “Aku ... tidak mengenalmu.”

Senyum lebar di wajah Ace tiba-tiba hilang. Dia menatap Calypso sedikit kecewa. Padahal dia senang sekali bisa bertemu dengannya dan menunaikan janjinya untuk bertemu di Grandline seperti yang mereka janjikan saat mereka pertama kali bertemu dulu. Shanks menghentakkan cawan sakenya ke tanah. Dia menatap Ace, tatapan ramahnya langsung digantikan oleh tatapan mematikan. “Kau kenal dengan putriku? Kalian pernah bertemu?!” tanyanya, terdengar sangat dingin sekali.

Ace meneguk ludahnya. Kini dia merasa terancam. Terlebih saat para kru bajak laut Akagami lainnya pun juga ikut menatapnya dengan tatapan yang sama. Seakan-akan siap untuk menebas dan mematahkan lehernya. “Eh? I—ini tidak seperti yang kalian pikirkan! Saat itu Calypso masih kecil, aku juga masih belum genap berusia 10 tahun!”

“Dan kau pikir aku peduli?” tanya sang kaisar. Aura Haki rajanya perlahan muncul, memberikan getaran menakutkan yang berhasil membuat sebagian kru bajak laut Spade jatuh pingsan. Ace terbelalak, dia segara bersiap dengan kekuatan api di tangannya yang telah terkepal. Namun sedetik kemudian, Calypso langsung berlari ke arah ayahnya dan berdiri memunggunginya. Menghadap Ace seraya menatap mata hitam itu lekat-lekat.

Ace terdiam. Dia tidak berkutik saat mata indah itu menatapnya. Pria itu tidak menyangka gadis kecil sok bijak yang pernah dia temui 7 tahun yang lalu telah tumbuh menjadi gadis cantik. Ace akui saat pertama bertemu, gadis kecil itu memiliki wajah yang manis, terlebih dia tidak pernah bertemu dengan anak sepantarannya yang berlawan jenis. Namun saat melihatnya sekarang, Ace berani bersumpah tidak pernah melihat gadis secantik dirinya. Kecantikannya mengingatkannya dengan orang-orang yang sering mendeskripsikan paras sempurna dari bidadari. Dan kalau boleh Ace berpendapat, sekarang bidadari yang dimaksud ada di hadapannya.

“Berhenti memandangi putriku dengan tatapan cabul!”

Shanks merasa kesal. Ini pertama kalinya dia merasa posisinya sebagai ayah terancam. Apa lagi saat melihat respon Calypso yang tidak merasa risih, bahkan terlihat terpesona dengan bocah ingusan tersebut. Persetan siapa bocah itu, jika sudah mencoba merebut Calypso darinya, dia tidak akan segan-segan membunuhnya. Dan lagi, putrinya ini masih di bawah umur! Dia masih berusia 12 tahun sialan!

“Ma—maaf, maaf! Aku tidak bermaksud untuk—”

“Aku mengenalnya, Ayah.”

Calypso tiba-tiba memotong kalimatnya. Membuat semua orang kembali terkejut. Terutama Shanks.

“Apa? Kapan kau bertemu dengannya?!” tanya sang kaisar laut.

“Waktu kecil. Kau dan yang lain sibuk di bar Makino dan aku pergi bermain.”

“...”

“Ace. Sudah lama tidak bertemu.”

Suasana tiba-tiba kembali berubah. Tidak lagi penuh tekanan dan sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Calypso mencoba untuk menenangkan ayahnya yang sepertinya masih dongkol dengan Ace. Sedangkan orang yang jadi tersangka duduk di pinggiran dengan wajah yang sedikit bersemu. Terlebih saat mendapati gadis itu berjalan menghampirinya.

“Jadi, kau kakaknya Luffy?” tanya Calypso.

Ace mengangguk kecil. “Yeah. Kami bertukar cawan sake dan bersumpah janji menjadi saudara.”

“Oh, lalu bagaimana kabarnya? Aku sudah lama tidak mendengar tentangnya. Aku hanya mendengar kisahnya dari ayahku setiap kali bertemu rekan lamanya.”

Pria berambut hitam itu mengernyit. “Kau ... Apakah kau benar-benar mengingatku?”

Calypso tersenyum. Perlahan dia menggeleng. “Tidak. Aku mengatakannya agar Ayah tidak melukaimu dan teman-temanmu.”

Ace lagi-lagi merasa kecewa. Dia tidak percaya gadis itu benar-benar melupakannya. Padahal, dia mengingat pertemuan pertama mereka dengan sangat baik, bahkan dia juga masih ingat dengan janji yang telah mereka sepakati; untuk kembali bertemu di Grandline. Namun, Ace sebisa mungkin untuk tetap tersenyum. “Begitu, ya?”

“Maaf, Ace. Aku tidak begitu ingat. Masa kecilku benar-benar membosankan dan sedikit suram. Tidak begitu banyak yang aku ingat. Tapi aku percaya kau tidak berbohong.”

Pria itu semakin melebarkan senyumannya. “Tidak apa-apa, gadis akar. Lagi pula saat itu kau masih kecil. Wajar kau tidak mengingatku.”

Calypso tersenyum sumringah. “Apakah sekarang kita teman?” tanyanya. Dia tidak pernah memiliki teman. Seingatnya, temannya itu hanya Luffy dan para pamannya. Tidak masalah bukan, dia berteman dengan bajak laut pemula ini?

“Tentu.”

“OY! JANGAN LAMA-LAMA MENATAP PUTRIKU! DIA MASIH KECIL, DASAR BAJINGAN!!”

Terdengar suara Shanks dari sisi lain gua. Pria berambut merah itu hendak menghampiri mereka dan melayangkan tinju Hakinya, namun Yasoop dan Roo dengan cepat menahan bahunya. “AKU BERSUMPAH AKAN MEMENGGAL SIAPAPUN YANG MEREBUT CALYPSO DARIKU!!”

Calypso memijat kepalanya sejenak. Dia berbalik menghadapnya ayahnya. “Kau ini berbicara apa, Ayah? Dasar pria tua!”

* * *

A/N:

Shanks: Mayday! Mayday! Someone have a crush on my daughter!! Do i need to kill him rn?

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top