12 | Elbaf Island

Ini pertama kalinya Calypso melihat raksasa. Penghuni pulau Elbaf adalah suku ras raksasa yang tinggi dan besar tubuhnya berkali-kali lipat dari manusia pada umumnya.

Berada di antara para pria bertubuh besar bertahun-tahun, itu sudah cukup membuat Calypso merasa paling kecil di kapal. Bahkan dia selalu dipanggil ‘si Kecil’, ‘si Mungil’, ‘si Pendek’, dan ‘si Cebol.’ Khusus untuk dua panggilan terakhir, dia tidak menyukainya. Itu adalah kalimat ejekan baginya, bahkan ayahnya saja tidak mau membelanya. Pria itu bilang jika dia memang pendek. Padahal kan Calypso masih kecil, dia akan tumbuh tinggi nanti beberapa tahun kemudian. Lihat saja nanti! Dia akan melebihi tinggi George dan tinggi Lime!

Namun saat sampai di pulau Elbaf dan melihat segerombolan raksasa yang menyambut mereka di dermaga membuat nyali Calypso menciut. Dia tidak berani turun, bahkan dia nyaris ingin berada di kabinnya saja. Namun Lime segera menggendong tubuhnya, turun mengikuti sang kapten yang lebih dulu menapaki dermaga.

“AKAGAMI! SUDAH LAMA SEKALI KITA TIDAK BERTEMU!”

Salah satu raksasa menyapanya, penampilannya begitu menyeramkan, mengingatkannya dengan cerita-cerita suku viking yang ada dalam cerita mitologi (Calypso suka membaca, ada beberapa koleksi bukunya mengenai petualangan suku Viking melawan naga buas). Hanya ada satu kemungkinan buruk yang dipikirkan olehnya, dia takut raksasa itu akan menginjaknya atau bahkan memakannya. Gadis itu sudah cukup kecil ketika berada di antara Ayah dan para pamannya, apalagi di hadapan para raksasa? Dia seperti seekor kelinci di sini. Jika lengah sedikit dia bisa terinjak oleh kaki besar mereka. Maka dari itu Calypso memilih untuk tidak mau turun dari gendongan Lime, membiarkan pria itu mengangkat tubuhnya mengikuti rombongan bajak laut Akagami memasuki sebuah desa.

Para raksasa tersebut masih berada di posisinya. Berjejer menyambut kedatangan para kelompok bajak laut yang hendak menuju sebuah rumah sederhana dengan ukuran yang juga normal untuk manusia pada umumnya. Calypso dibuat heran, rumah milik siapa itu? Lagipula siapa yang betah hidup di antara raksasa yang kapan saja bisa menginjaknya karena perbedaan proporsi tubuh? Seorang pria muncul dari balik pintu. Tubuhnya tinggi besar, mengingatkannya dengan Paman Benn, ditambah dengan rambut hitam panjang yang sedikit ditutupi uban, kaca mata bulat bewarna hitam bertengger menutupi kedua matanya, serta cangklong rokok berada di mulutnya.

Shanks menghampirinya, pria berkaca mata hitam itu memberikan aura tidak bersahabat saat pria berambut merah mendekat. Bahkan dari kejauhan Calypso bisa merasakan ayahnya juga melakukan hal yang sama. Sama-sama mengirimkan aura tidak bersahabat yang siapapun tahu itu akan berakhir buruk bahkan bisa menjadi adegan gencatan senjata. Tapi kenapa ayahnya melakukan hal itu? Mereka sekarang berada di pulau Elbaf, Calypso tahu pasti para raksasa ini sangatlah kuat, ayahnya sama saja seperti bunuh diri jika mencari gara-gara.

“Beraninya kau datang kemari tidak membawa oleh-oleh, dasar bocah nakal!” Pria berkaca mata itu berkata dengan dingin.

Wajah seram yang dilayangkan Shanks sekejap berubah. Pria itu mendadak tersenyum riang. “Dahahaha! Semakin tua kau semakin cepat emosi, Gaban!”

Keduanya pun tertawa, bahkan para raksasa yang masih mengamati mereka juga tertawa. Calypso merengut, dia tidak mengerti situasinya. Dia ingin cepat-cepat kembali ke Red Force. Sepertinya, karena kebiasaan berdiam diri di kabin, membuat Calypso tidak betah berada di gerombolan banyak orang selain kru kapal. Apalagi orang-orang yang di maksud adalah raksasa.

“Aku serius, Shanks! Kuharap kau membawa pria tua ini sesuatu yang membuat suasana hatinya membaik!” ucap pria yang dipanggil Gaban tadi.

Shanks hanya melambaikan tangannya. “Tenang, aku membawa banyak barel sake dari Alabasta.”

* * *

Shanks senang sekali bisa bertemu dengan mantan navigator bajak laut Gold Roger. Pria yang usianya sudah melewati setengah abad itu masih sehat dan gagah seperti dulu. Mereka berdua duduk di ruang tengah, sedangkan kru kapalnya duduk di teras menikmati sakenya seraya mengawasi Calypso yang sedang bermain dengan tanaman-tanaman berukuran besar di halaman depan rumah.

“Bagaimana kabarmu? Kau akhir-akhir ini jarang muncul di berita,” tanya Gaban. Dia meneliti wajah Shanks. Pria yang dulunya adalah bocah kabin sekarang telah menjadi kapten bajak lautnya sendiri, bahkan berhasil menjadi salah satu dari 4 kaisar di Dunia Baru. Banyak sekali perubahan pada dirinya. Terlebih dengan 3 luka gores di mata kirinya serta tangan kirinya yang hilang.

“Bukankah ada berita jika angkatan laut berhasil melukaiku?” Shanks membalas dengan sebuah pertanyaan.

Gaban terkekeh. “Kau tahu, aku tidak terlalu percaya dengan berita yang bermunculan. Apa lagi tentang angkatan laut. Mereka mencari keuntungan untuk mendapatkan simpatisan dari masyarakat.”

“Yeah, kau benar.” Shanks menyentuh bahu kirinya, teringat dengan seorang bocah berusia 7 tahun yang juga mengingatkannya dengan putrinya.

“Jadi, katakan padaku. Pertarungan seperti apa hingga membuatmu kehilangan tangan?”

“Aku mengorbankan tanganku untuk generasi baru.”

Shanks menjelaskan tentang perjalanannya di East Blue. Dia bertemu dengan seorang anak laki-laki cerewet, ceroboh dan keras kepala yang memiliki sebuah tekad untuk menjadi raja bajak laut selanjutnya. Dia juga memiliki sebuah mimpi yang mengingatkannya dengan mendiang Roger, mantan kaptennya. Ditambah, dia tidak sengaja memakan buah iblis Gomu-Gomu yang susah payah dia curi dari kapal pemerintah. Meski awalnya ragu, Shanks yakin dialah orangnya. Sehingga Shanks rela menyelamatkan tunas dari generasi baru dan memberikan topi jerami miliknya kepadanya. Suatu saat nanti, jika bocah itu berhasil mewujudkan mimpinya, mereka akan bertemu dan topi itu akan dikembalikan kepada Shanks. Itu adalah sebuah janji besar.

“Aku jadi penasaran dengan bocah itu. Dia bermarga D. Takdir unik pasti akan menunggunya.”

Shanks tersenyum. “Kita akan lihat nanti.”

Gaban menuangkan kembali sake ke dalam gelasnya. “Tapi ceritamu tadi tidak menjelaskan kenapa kau jarang terlihat beberapa tahun terakhir. Justru kau terkesan sulit dilacak oleh angkatan laut. Apa yang terjadi? Kenapa kau tidak kembali ambis mencari kepingan sejarah seperti dulu?”

Mendengarnya Shanks terkekeh. Dia menoleh ke arah pintu, melihat Calypso yang kini sedang bermain kejar-kejaran bersama Monster. Alasannya cukup simpel. Dia hanya ingin menikmati pertumbuhan putrinya. Mencari keributan yang tidak berarti sama saja mengantarkan bahaya pada gadis kecilnya. “Aku hanya terus berlayar mengelilingi dunia.”

“Seperti melarikan diri?” tanya Gaban.

Shanks terkekeh. “Aku bajak laut. Kau tahu itu. Kita selalu melarikan diri dari kejaran angkatan laut.”

“Pergerakanmu berbeda. Meskipun aku jauh berada di ujung dunia, aku tetap mengawasimu. Apa yang sedang kau lindungi?” Gaban menatap Shanks lekat-lekat. Sangat mudah membaca pria di hadapannya ini, mengingat dia juga yang berperan dalam membesarkan si rambut merah ini hingga bisa menjadi seorang pria seperti sekarang. Mata Gaban menoleh sekilas ke arah pintu, melihat seorang gadis kecil masuk ke dalam rumah dengan langkah yang terbirit-birit. Gadis itu langsung menghampiri Shanks dan menarik-narik jubah hitamnya.

“Ayah ... Aku mau pipis.”

Shanks terkekeh. Menuntun gadis kecil itu ke toilet dan menunggunya selesai buang air. Gaban memperhatikan gerak-gerik mereka, mulai dari Shanks yang memegang jaketnya sembari menunggu di depan pintu, lalu Shanks yang membetulkan celana dan bajunya, dan terakhir bagaimana Shanks telaten merapihkan rambut gadis itu serta membetulkan kembali jepitan warna-warni di kepalanya.

“Kau haus? Aku belum melihatmu minum sejak turun dari kapal.” Shanks menawarkan minum.

Calypso hanya mengangguk. Tadi dia bermain kejar-kejaran bersama Monster, si kera peliharaan Punch. Mereka terlalu asik bermain, hingga membuat Calypso terjatuh di rumput dan tubuhnya digelitiki oleh kera itu hingga Calypso kebelet pipis. Shanks memberikan gelas baru berisi air segar, untuk gadis itu minum. Setelahnya dia hendak kembali ke teras rumah, namun terhenti kala Gaban menatapnya dengan senyuman ramah di wajahnya. Calypso membalasnya dengan senyuman tak kalah manis.

“Siapa namamu, anak manis?” tanya Gaban.

“Calypso.”

Gaban mengernyit. Nama yang unik. Seperti nama seorang dewi laut. “Berapa usiamu?” tanyanya lagi.

“5 tahun. Dua bulan lagi dia 6 tahun.” Yang jawab adalah Shanks.

Setelahnya, gadis kecil itu berlari keluar rumah, kembali bermain dengan seekor kera. Kali ini Monster yang dia kejar. Shanks tersenyum penuh arti menatap putrinya, kegiatannya terhenti kala Gaban menginterupsi dengan dehaman. “5 tahun terlalu muda baginya untuk berlayar. Apa lagi untuk seorang anak perempuan sepertinya.”

Shanks menghela napas, pria itu kembali duduk di hadapan Gaban. “Yeah, aku tahu. Tapi aku tidak punya pilihan.”

“Maksudmu? Kau tahu bukan, mengadopsi seorang anak itu sangat sulit, terutama perempuan. Waktu itu, saat kami menemukanmu dan Buggy, kami juga tidak punya banyak pilihan. Tapi kau dan Buggy adalah laki-laki, cukup mudah untuk beradaptasi di kejamnya lautan.”

“Aku tahu, Gaban. Aku tahu.” Shanks meneguk sakenya sejenak. “Tapi Calypso tidak punya siapa-siapa. Dia hanya memiliki aku di dunia ini, ibunya sudah tewas saat dia masih kecil.”

Gaban tersedak. Dia benar-benar salah paham. “Tunggu! Jadi maksudmu ... anak itu sungguh anakmu? Anak kandungmu?!”

Shanks berdecak. Lagi-lagi orang tidak percaya jika dia adalah ayahnya. “Dia tidak mirip denganku. Dia sangat mirip ibunya.” Pria itu menatap sakenya, bersamaan dengan pikirannya yang tiba-tiba melayang mengingat Karina. “Kau tahu Gaban, aku bertemu dengan seorang wanita. Aku mencintainya, dan aku telah menjadikannya sebagai rumah untuk berpulang selain laut.”

Gaban sedikit terkejut, tidak menyangka pria yang dulu masih bocah ini menemukan wanita yang dia cintai hingga memiliki seorang anak. “Wanita itu ... Ibunya Calypso?” tanya Gaban memastikan.

“Tch. Menurutmu siapa lagi?!” balas Shanks sedikit tersinggung.

Gaban langsung tergagap. “Si—siapa tahu kau tidak sengaja menanam benih pada wanita satu malam.”

Shanks berdecak. “Aku tidak se-brengsek itu, pria tua! Aku hanya akan menghamili wanita yang aku cintai.”

“Maaf. Maaf. Lalu apa yang terjadi pada ibu Calypso? Dia sakit?”

“Bukan. Dia korban dari Buster Call.”

Wajah Gaban langsung berubah, dia menatap Shanks dengan raut khawatir dan penuh iba. “Kenapa?” tanyanya.

“Karena sebuah alasan. Aku tidak bisa memberitahumu sekarang. Yang jelas, karena itu aku menghilang. Aku tidak pernah terlihat berada di pulau manapun agar Calypso tidak diketahui oleh angkatan laut maupun pemerintah dunia.”

Gaban menjulurkan tangannya, menepuk pundak Shanks beberapa kali. “Kau Ayah yang hebat, Shanks. Pasti ini berat bagimu.”

Shanks tersenyum. Beberapa beban berat di pundaknya sedikit hilang saat dia menceritakan kisahnya kepada Gaban. Pria berkacamata hitam itu sudah dia anggap sebagai figur orang tua baginya. Sama seperti Rayleigh. “Aku tidak bisa meninggalkannya atau menitipkannya pada orang. Tidak ada yang bisa ku percaya.”

Pria berambut merah itu menoleh kembali ke arah luar rumah. Melihat Calypso yang tertawa lepas bersama kru kapal yang sedang bermain dengannya. Shanks awalnya ragu untuk mulai membiasakan putrinya turun dari kapal ketika berlabuh. Namun dia harus yakin, Calypso akan lebih kuat darinya suatu saat nanti, hingga mampu menjaga dirinya sendiri.

* * *

Rasa takut Calypso terhadap raksasa perlahan hilang bersamaan dengan dirinya yang diajak lebih dalam menuju desa. Meski berpenampilan menyeramkan, ternyata mereka sangat baik. Satu-dua raksasa yang mereka lewati memberikannya buah persik yang telah dipotong sedemikian rupa hingga pas di tangannya yang kecil. Shanks yang menggandeng tangannya ikut tersenyum.

“Jangan lupa bilang apa, Calypso?” tanya ayahnya.

Calypso tersenyum ke arah raksasa tersebut. “Terima kasih!”

Respon beberapa raksasa yang melihatnya langsung merona. Tidak tahan akan keimutan gadis kecil yang ikut bersama kapten bajak laut tersebut. Beberapa gosip langsung bermunculan, mengatakan jika anak itu dipungut dan dididik sebagai bajak laut dibawah pimpinan armada Akagami. Tapi saat melihat tingkah laku gadis berusia 5 tahun tersebut, membuat gosip itu langsung terpatahkan. Dia terlihat seperti anak kecil pada umumnya. Bersikap polos dan manis (tidak ada sama sekali kenakalan yang diperlihatkan), bahkan para bajak laut Akagami memperlakukannya layaknya anak mereka.

Shanks dan Calypso menghentikan langkahnya saat mereka sampai di sebuah rumah kayu panggung dengan ukuran khusus untuk manusia normal. Salah satu raksasa yang memandu mereka menjelaskan dengan ramah. “Ini penginapannya, Shanks. Rumah ini didesain dan dibangun beberapa tahun yang lalu khusus untuk kalian apabila mengunjungi pulau Elbaf.”

“Woah! Keren sekali!” ucap Lime dan Hongou bersamaan.

“Terima kasih, Rhodey,” ucap Shanks kepada raksasa tersebut.

Bajak laut lain menaruh barang bawaan mereka ke dalam ruang tengah. Shanks mengambil salah satu kamar yang terdapat sebuah balkon kecil di luarnya. Calypso ikut membuntutinya di belakang, tak lama gadis kecil itu menaruh tas ranselnya dan membuka pintu balkon. Udara segar menyeruak, menggerakkan rambutnya. Di bawah sana terdapat hamparan hutan yang sangat luas, lalu di sisi lainnya terdapat pantai berpasir putih dengan ombak pantai yang tenang. Matahari kian mendekat ke garis cakrawala, tak lama pasti sang jingga akan muncul menghiasi langit. Calypso tidak pernah melihat matahari tenggelam di suatu pulau berpenghuni. Sudah cukup lama dia hanya berada di kapal, melihat matahari ditelan laut sepanjang hari dari pagar pembatas.

“Kau mau ke pantai?” tanya Shanks.

Pria itu jelas tahu tatapan apa yang dilayangkan oleh putrinya. Dia paham apa yang dirasakan olehnya. Sepanjang hidupnya yang masih singkat itu, dia tidak pernah merasakan matahari terbenam di pulau berpenghuni. Sepertinya, mengajaknya jalan-jalan ke desa pesisir akan menyenangkan hatinya.

“Mau!” balas gadis kecil itu dengan tatapan yang berbinar.

Beberapa jam kemudian, setelah mereka mandi dan membersihkan tubuh, mereka berjalan menyusuri desa menuju pesisir. Beberapa raksasa yang sedang melakukan aktivitas menyapa mereka, membuat Calypso semakin percaya jika Raksasa tidak seburuk yang dia kira. Tangan kecilnya meraih tangan ayahnya, mendekatkan tubuhnya ke sisinya, membuat pria itu menyesuaikan langkahnya. “Pulau ini sangat indah, Ayah.”

“Kau benar. Ini adalah pulau kedua yang menurutku paling indah.”

Calypso mendongak, menatap ayahnya. Cahaya jingga mulai menyinari mereka, membuat gadis kecil itu berhenti sejenak bersamaan dengan kakinya yang mulai menginjak lembutnya pasir putih di pesisir. “Kedua? Lalu yang pertama?”

Shanks menatap putrinya dengan sorot mata yang lembut. Lihat. Bayi kecil yang sering sekali menggangu tidurnya karena lapar telah tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat cantik. Kecantikannya membuat Shanks selalu teringat dengan Karina. Rambut hitamnya, mata cokelat terangnya, serta kulit putih meronanya terlihat sangat tidak wajar untuk berada di antara eksistensi manusia. Rupa indahnya unik seakan-akan merepresentasikan keindahan pulau mistik tersebut. Pria itu menarik lembut tangan Calypso untuk duduk di batang pohon kelapa yang tergeletak di atas pasir. Gadis kecil itu duduk di sampingnya, memainkan kakinya di atas pasir seraya menatap matahari tenggelam di depan sana.

Angin pantai berhembus, saling beriringan dengan deburan ombak yang terdengar sangat halus di telinga. Burung camar terlihat bermain di derunya air laut, menciptakan suara kicauan yang memperindah suasana. “Pulau terindah yang pernah Ayah datangi adalah pulau Veela. Tempat tinggal ibumu dulu.”

“...”

“Saking indahnya, pulau itu harus musnah oleh orang-orang jahat.”

Calypso menahan napas beberapa detik. Ayahnya terlihat sangat sedih. Senyum yang dia berikan kali ini bukan senyuman lembut penuh kebahagiaan seperti biasanya. Namun senyumannya kali ini terdapat sarat emosi dan kesedihan yang sangat mendalam. Hal ini membuat gadis kecil itu bertanya-tanya, sesedih apa ayahnya saat ditinggal oleh ibunya. Calypso menyentuh paha ayahnya, menatap mata cokelat gelap tersebut dengan khawatir.

“Apa Ayah ... merindukan Ibu?” tanyanya ragu-ragu.

Lagi-lagi senyuman itu dilayangkan. Calypso tidak tahan melihatnya. Yang dia tahu, ayahnya adalah sosok pria yang riang penuh tawa, sekaligus seorang pria yang bisa sangat mematikan bagi musuhnya. Ini adalah pemandangan pertama bagi gadis itu melihat Shanks yang sedih begitu mendalam. Bukan sedih karenanya atau sedih saat melihat Calypso terluka. Gadis kecil berusia 5 tahun itu bangkit dari duduknya dan memeluk ayahnya erat-erat. Shanks membalas pelukan tersebut dengan sangat protektif. Mengecup kepalanya dan membiarkannya begitu selama beberapa menit. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba jadi teringat dengan sosok Karina.

Demi Tuhan, dia sangat merindukan wanita itu. Wanita pemilik hatinya sekaligus ibu dari putrinya. Dia ingin sekali bertemu dengannya meskipun hanya melalui mimpi. Jauh di dalam hatinya, dia tidak menyalahkan para pemerintah ataupun angkatan laut yang telah menghancurkan pulau indah tersebut. Dia justru menyalahkan dirinya sendiri. Kalau bukan karenanya, mungkin mereka tidak akan mengetahui tentang pulau Veela. Kalau saja dia lebih kuat, dia pasti tidak akan kehilangan Karina.

“Ayah jangan sedih!”

Calypso menyentuh wajah Shanks. Tangan kecil itu mengusap pipinya dengan lembut. Membuatnya kembali tersadar jika masih ada malaikat kecilnya yang perlu dia jaga. Hartanya. Semestanya.

Shanks mengelus kepala Calypso. Mendekatkan wajahnya untuk mengecup keningnya. “Tidak. Ayah tidak sedih.”

“Bohong!”

Pria berambut merah itu mencubit kecil hidung putrinya seraya terkekeh. “Ayah tidak kenapa-kenapa, sayangku. Ayo, kita berjalan-jalan!”

Kini mereka berjalan-jalan menyusuri pantai. Langit semakin menggelap. Matahari telah tertelan oleh cakrawala. Digantikan oleh bulan purnama yang bersembunyi di balik awan. Shanks berjalan beberapa langkah di belakang Calypso seraya memegang sepatu gadis kecil itu. Pria itu memperhatikannya yang melangkah di pasir yang basah akibat sapuan ombak. Kakinya juga sesekali dia hentakkan saat ombak tersebut mengenainya.

“Ayah, lihat!” Calypso berseru, bersamaan dengan sebuah cahaya biru muncul di riak air tempat kakinya berpijak.

Itu adalah cahaya yang berasal dari plankton dalam air, efek bioluminescence. Biasanya itu hanya muncul di tempat-tempat tertentu. Namun setahunya, di pantai pulau Elbaf tidak ada fenomena alam yang unik seperti ini. Pasti ini karena efek cahaya milik Calypso yang merangsang hewan-hewan kecil di laut untuk melakukan reaksi tersebut. Ini sangat indah.

Karina kau melihatnya? Aku tidak bisa menjelaskan betapa manisnya putri kita.

“Sangat indah. Kau sekarang bisa mengendalikan elemen cahaya, hm?”

Shanks mendekati gadis kecil itu. Meraih tangannya dan menuntunnya untuk berjalan kembali menuju desa. Ini sudah waktunya makan malam.

“Entahlah. Tiba-tiba aku bisa melakukannya.”

Shanks tertawa kecil. Mengelus kepalanya sejenak, dan kembali menenteng tangannya kembali ke penginapan.

* * *

A/N:

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top