05 | New Friend

Saat usianya yang 3 tahun, Calypso masih ingat Ayahnya mengunjungi daerah East Blue dan berlabuh di suatu pulau, lebih tepatnya desa yang terdapat banyak kincir angin. Di sana dia bertemu dengan seorang anak laki-laki berusia 6 tahun yang mencegat mereka dengan tatapan tak suka di dermaga. Tapi karena pembawaan Shanks yang ramah ditambah pria itu membawa seorang anak perempuan, membuat Luffy si anak laki-laki tersebut jadi penasaran akan sosok ayahnya. Lalu berakhir dengan aksi permohonan Luffy agar Shanks membawanya berlayar. Bahkan Calypso sampai ikut memohon agar Luffy dibolehkan ikut.

“Tidak. Kau masih terlalu kecil, Luffy!”

“Lalu kenapa Callio boleh ikut bersamamu?!” tanyanya. Langsung disambut dengan anggukan mantap dari gadis kecil itu.

Shanks menghela napas. Batal menyuap makanannya. “Dasar bodoh! Calypso itu putriku. Tidak mungkin aku meninggalkannya!”

Seketika Luffy langsung cemberut. Lalu mengajak Calypso untuk bermain di padang rumput. Hari-hari di desa Foosha sangat menyenangkan. Itu adalah momen pertama bagi gadis kecil itu memiliki teman. Luffy adalah teman pertamanya. Meskipun pertemuannya singkat, namun sangat berbekas di hati Calypso.

Tapi kunjungannya kali ini berbeda. Calypso tidak akan bertemu Luffy. Dia hanya akan menghabiskan waktunya di kabin atau kabin ayahnya. Lagi-lagi dia harus menghadapi sesi membosankan di hidupnya yang benar-benar menyedihkan. Melihat Luffy yang bebas bermain di desanya membuatnya iri. Pasti ayahnya tidak akan pernah membolehkan dirinya tinggal di suatu pulau.

“DARATAN!!”

Lamunan Calypso buyar. Dia semakin sedih saat melihat kapal semakin mendekat ke sebuah pulau yang sangat familiar itu. Calypso menoleh ke arah ayahnya yang sedari tadi menatapnya. Gadis kecil itu menunduk, berbalik badan dan pergi ke kabinnya. Shanks menyusul, masuk ke dalam kabin gadis itu.

“Calypso, maafkan Ayah.” Shanks menyentuh bahu putrinya.

Calypso hanya tersenyum. “Iya, Ayah. Tidak apa-apa. Aku paham.”

Shanks masih tidak enak hati. “Ayah akan kembali nanti sore. Jam 4. Kau mau aku bawakan jus sirsak buatan Makino?” tawarnya.

Gadis kecil itu tersenyum, dan mengangguk. “Satu lagi, Ayah!”

“Iya? Kau ingin menitip apa?”

“Titipkan salamku untuk Luffy. Aku tidak tahu alasan apa yang Ayah akan katakan. Tapi aku yakin, Luffy pasti akan mengerti.”

Shanks tersenyum. Mengusap kepalanya lembut seraya mengangguk. “Anak pintar. Tunggu Ayah kembali.”

“Aye-aye, Kapten!”

Lalu 30 menit kemudian, kapal berhasil berlabuh. Orang-orang sibuk menurunkan jangkar dan menggulung layar. Calypso masuk ke dalam kabin ayahnya dan duduk di sofa dekat jendela. Melihat orang-orang di dermaga yang sibuk melakukan aktivitasnya. Ini sudah hampir setahun dia tidak pernah melihat orang-orang asing di suatu desa atau kota. Yang dia lihat hanya lautan, kapal Red Force dan pulau-pulau tak berpenghuni yang suka mereka singgahi selama beberapa hari. Hidupnya hanya sekedar itu, makanya dia senang sekali membaca novel sebab dia bisa merasa hidup sebagai tokoh yang memiliki cerita menakjubkan dan memiliki pengalaman berteman serta bersosialisasi dengan orang-orang. Jauh berbeda dengannya yang hanya berteman dengan buku dan kapal.

“SHANKS! DI MANA CALLIO?! KALIAN TIDAK MUNGKIN MENINGGALKANNYA, KAN?!!”

Terdengar suara Luffy di luar sana. Anak itu menangis, memaksa untuk masuk ke dalam kapal. Lalu tak lama terdengar suara Shanks yang menenangkannya.

“Luffy, tenanglah. Calypso hanya ikut bersama pamannya.”

Tch. Ayah memang pembohong yang payah. Oh iya, ngomong-ngomong bagaimana kabar Paman Mihawk? Posisi mereka jauh sekali dari Grandline maupun Dunia Baru. Beberapa menit kemudian, kapal mulai terasa kosong. Semua orang benar-benar turun menuju desa. Hanya dirinya seorang di sana. Menunggu ayahnya kembali yang janjinya akan datang pukul 4 sore. Sedangkan sekarang masih pukul 12 siang. Ini terlalu membosankan, sedangkan mereka asik makan di bar milik Makino.

Shanks sebenarnya telah menyiapkan sekotak bento untuk Calypso makan. Tapi, pasti rasanya akan beda jika makan langsung bersama-sama di Party Bar.

Calypso keluar dari kabin. Kali ini, dia tidak dikunci seperti dulu. Dia mengelilingi geladak kapal, guna menghilangkan rasa bosannya. Hingga akhirnya dia sampai di dek belakang kapal. Mengamati lautan dan juga burung camar yang berterbangan, sembari berpikir hal apa saja yang bisa menghilangkan rasa bosannya ini. Menggambar? Dia sudah sering melakukan itu. Membaca? Novelnya telah habis dia baca. Makan? Dia tidak lapar. Keluar? Turun dari kapal diam-diam dan pergi melihat-lihat sisi lain desa dan kembali sebelum jam 4? Sepertinya itu ide yang buruk.

Buruk jika tidak dilakukan.

Calypso menyeringai. Kembali berlari untuk mengenakan sepatunya dan membawa tas ranselnya. Tanpa berpikir panjang dia turun dari kapal, menyampingkan jantungnya yang berdetak kencang saat kakinya menyentuh tanah. Dia tidak berhenti, tapi terus berlari berlawanan arah dengan jalan yang ditempuh oleh Ayah dan krunya. Dia menaiki bukit dengan perasaan bungah, sesekali terjatuh di rerumputan tapi dia tidak peduli. Kemudian dia berhenti ketika sampai di atas puncak. Mengingat-ingat kembali rute yang dia tempuh barusan, lalu lagi-lagi melanjutkan langkahnya masuk menuju hutan.

Ayah, maafkan aku. Aku janji tidak akan berurusan dengan orang asing dan kembali ke kapal sebelum pukul 4 sore.

* * *

Tidak pernah Calypso merasa senang seperti ini. Dia berjalan santai di jalan setapak yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Jantungnya sudah berdetak normal, napasnya pun sudah tidak berat. Tapi dia haus. Dia tidak bawa minum, salahnya juga tidak mempersiapkan apa-apa saat pergi tadi. Ini semua benar-benar impulsif. Begini kah rasanya menjadi pemberontak? Rasanya menjadi anak nakal seperti tokoh-tokoh cerita yang sering dia baca di novel favoritnya?

Calypso menghentikan langkahnya. Dia mendongak, memejamkan matanya dan seketika indra pendengarannya terasa tajam. Ini adalah rahasia yang hanya dia dan Ayah ketahui. Suara burung, suara hewan pengerat, bahkan suara tanaman yang bernapas dapat dia dengar dari sini. Termasuk suara aliran sungai yang terdengar cukup dekat dari posisinya. Gadis kecil itu membuka matanya, berjalan menuju suara aliran sungai. Sekitar 3 menit dia melewati banyak pohon-pohon besar, dia berhasil menemukan sungai.

Namun, bukan hanya dirinya saja yang ada di sungai itu. Ada seorang anak laki-laki berambut hitam dengan tongkat besi di tangan sedang meraup air sungai untuk dia minum. Calypso sedikit terkejut, dia tidak dapat merasakan atau mendengar keberadaannya. Anak laki-laki itu mendongak, memicingkan mata ke arahnya. Gadis kecil itu tentu langsung merasa waspada. Dia takut dengan orang asing, apalagi dengan kesan pertama yang tidak ramah.

“Pergi!”

Anak laki-laki itu mengusirnya. Calypso cepat-cepat pergi dari hadapannya dan berjalan sedikit lebih jauh menuju sisi lain sungai tersebut. Rasa hausnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Akhirnya, setelah merasa sudah jauh dari anak itu, dia duduk di pinggir sungai dan meraup air jernih tersebut. Melegakan tenggorokannya yang terasa mencekik. Setelahnya dia terduduk seraya menatap ke sekeliling. Sepertinya ini sudah terlalu jauh, dia tidak mau memasuki hutan terlalu dalam dan berujung kesasar. Dia tidak mau membuat ayahnya cemas.

Calypso menyandarkan tubuhnya di bebatuan besar. Kembali mendongak menatap dahan-dahan pohon yang melindunginya dari sinar matahari. Indra pendengarannya kembali tajam, menikmati suara hutan yang begitu variatif. Favoritnya adalah suara burung yang berkicauan dari yang terdekat sampai yang terjauh saling melebur dengan suara aliran sungai yang tenang. Jika dia berada di tengah desa, pasti suasananya akan berbeda. Dia akan mendengar semua aktivitas di sekitar tanpa menggunakan kemampuan indranya ini. Sebab Calypso dapat langsung mendengar orang-orang yang saling bercengkrama. Mendengar ibu-ibu yang menawarkan barang dagangannya dan juga suara tawa segerombolan bapak-bapak di suatu kedai kopi. Calypso merindukan suasana itu. Tapi berjalan sendiri dengan bebas di hutan yang bukan berasal dari pulau tak berpenghuni, ini sudah cukup baginya. Dia akan berdiam diri menikmati semuanya selama 30 menit sebelum akhirnya kembali ke kapal. Ini akan menjadi pengalaman yang mengesankan.

Tapi. Acara bersantainya itu terganggu oleh suara deru napas hewan yang merintih kesakitan. Suaranya amat jelas, artinya tidak terlalu jauh. Calypso langsung menegakkan punggungnya dan berdiri. Mengikuti suara itu dan tak lama, mendapatkan seekor babi hutan yang sedang bertarung dengan anak laki-laki yang dia temui tadi. Anak itu beberapa kali melompat, memukul babi hutan itu, menyiksanya dan bahkan sampai membuat hewan berukuran dua kali lipat lebih besar dari ukuran tubuhnya terbanting ke tanah. Calypso membelalakkan matanya. Indra pendengarannya kembali tajam saat dia mendengar samar-samar detak jantung lebih dari 3 yang berasal dari babi hutan tersebut.

Entah refleks dari mana. Calypso berjongkok, meletakkan telapak tangannya di tanah dan sepersekian detik kemudian, sebuah akar besar muncul dan melilit kaki serta tangan anak laki-laki tersebut. Anak itu sontak terkejut, cepat-cepat menoleh ke sekeliling dan akhirnya mendapati kehadiran Calypso beberapa meter di belakangnya. Kedua tangan gadis kecil itu mengeluarkan pendar cahaya seperti sulur akar, yang membuatnya langsung berkesimpulan jika ini adalah ulahnya.

“Oy! Gadis aneh! Apa yang kau lakukan?!” tanyanya ketus. Lebih tepatnya kesal karena babi hutan itu berhasil bangkit dan kabur.

Calypso menghembuskan napas lega saat babi hutan itu berhasil kabur, dan melepaskan tangannya dari tanah. Sulur akar yang menahan anak laki-laki itu pun terlepas, kembali masuk ke dalam tanah. Dia berjalan mendekat dengan wajah dongkol, hendak melayangkan protes sebab gadis aneh ini membuat makan malamnya lepas.

“Hei gadis akar! Kau pikir apa yang kau lakukan barusan?!”

Calypso berdiri. Mendongak menatap anak itu yang lebih tinggi darinya, sebab dia hanya sebatas dadanya saja. “Babi itu sedang hamil. Ada 7 ekor bayi babi hutan di dalam tubuhnya. Jika kau ingin berburu. Pilihlah seekor jantan!”

“Kau pikir orang bodoh mana yang harus memilih buruannya, apakah dia jantan atau betina?!” ucapnya. Menukik alisnya dan memandang gadis pendek di hadapannya dengan wajah yang tidak bersahabat.

“Ada. Ayahku tidak pernah berburu rusa betina. Karena dia tahu, dia adalah masa depan rasnya! Jika tidak ada betina, tidak ada rusa yang bisa dilahirkan.”

“Apa kau bodoh?! Tidak ada jantan pun betina tidak bisa hamil!” balas anak itu. “Lagipula, kau ini siapa?! Mengganggu saja!”

Calypso hanya diam. Dia meneliti wajah anak laki-laki itu. Dia memiliki rambut hitam ikal, kulit yang sedikit kecoklatan, bola mata hitam serta terdapat bintik-bintik di sekitar pipi dan hidung. Dia tidak pernah melihat orang dengan bintik-bintik di wajah. Hal tersebut membuat Calypso secara tidak sadar mengangkat tangannya dan menyentuh wajah di hadapannya. Namun respon yang dia dapat cukup membuatnya terkejut. Anak laki-laki itu terbelalak, refleks menepis tangan tersebut dengan kasar hingga membuat gadis di hadapannya mengaduh kesakitan.

“Jangan coba-coba kau sentuh aku! Atau aku akan memukulmu!” protesnya lalu mendorong Calypso hingga tersungkur ke tanah.

Calypso terkejut. Dia tidak pernah diperlakukan kasar seperti ini, dibentak ayahnya saja dia akan menangis. Apalagi dipukul, didorong dan juga dibentak. Alhasil, gadis itu langsung menangis. Dia ingin berlari pulang ke kapal. Tapi tubuhnya terlalu takut.

Anak laki-laki itu juga tak kalah terkejut. Dia tidak menyangka kalau gadis di hadapannya akan menangis histeris seperti ini. Buru-buru dia mendekat dan mencoba untuk menenangkannya. Dia saja bahkan tidak tahu harus seperti apa saat membuat seseorang menangis.

“Ma—maaf, aku tidak bermaksud—sial! Aku hanya mendorongmu, kenapa kau harus sampai menangis?!” katanya. Berjongkok di sampingnya yang tengah memeluk lututnya. “Dasar cengeng! Memangnya kau tidak pernah dipukul?!”

Gadis itu menggeleng. Cukup membuat anak itu lagi-lagi dibuat terkejut. “Oke! Aku minta maaf!”

Gadis itu pun mencoba untuk menenangkan dirinya. Dia terlalu kaget bertemu dengan orang yang kasar seperti anak laki-laki ini. Tapi saat mendengar dia yang meminta maaf, membuatnya kembali tanang.

“Siapa namamu?! Namaku Ace.”

“Ca—Calypso. Namaku Calypso.”

Ace mengernyit. Itu nama yang aneh. “Kau sepertinya bukan asli sini. Kau berasal dari mana?” tanyanya.

Calypso ragu-ragu menatap Ace. Dia juga tidak tahu dia berasal dari mana. Karena selama hidupnya dia berlayar bersama ayahnya dari satu tempat ke tempat lain. “Tidak tahu.”

Kening Ace semakin mengkerut. Gadis ini memang benar-benar aneh. “Kau tidak tahu kau dari mana? Memangnya kau dilahirkan di mana?!”

Ah, tempat dia dilahirkan? Kalau itu Calypso tahu. “Di Grandline. Aku lupa nama pulaunya. Tapi Ayah bilang pulau itu sangat indah.”

Ace lagi-lagi terkejut. Itu adalah wilayah di mana tempat para bajak laut terkenal berada. Tempat di mana harta karun One Piece disembunyikan! Gadis ini benar-benar dari Grandline? Lalu apa tujuan dia kemari? Di mana ayahnya?

“Kau berasal dari Grandline? Apa yang kau lakukan ke tempat terpencil seperti ini? Asal kau tahu, tidak ada yang menarik di pulau ini!” ucapnya.

Calypso mengendikkan bahunya. “Aku tidak tahu. Ayahku hanya akan berlabuh sebentar untuk mengisi persediaan logistik kapal. Setelah itu kami akan lanjut berlayar. Mungkin kembali ke Dunia Baru.”

Baiklah. Biarkan Ace menyimpulkan. Gadis ini anak dari bajak laut. Itu sudah bisa dipastikan. “Apakah Ayahmu bajak laut?”

Calypso mengangguk.

Ace bingung harus bereaksi apa lagi selain terkejut. Dia ingin sekali menjadi bajak laut dan hidup bebas di lautan. Dan gadis di hadapannya ini adalah anak dari bajak laut. Artinya ada bajak laut yang berlabuh di pulau ini. Semoga saja kakeknya sedang tidak ada di pulau dan menangkap mereka. “Itu sangat keren! Kau pasti sudah mengunjungi banyak pulau di luar sana!”

“Tidak juga. Aku dilarang keluar dari kapal.” Calypso berdiri, membersihkan celananya dari tanah kering yang menempel.

“Lalu kenapa kau sekarang berada di sini? Ayahmu ke mana?”

“Ayah sedang beli persediaan kapal. Aku ... Aku kabur. Terlalu bosan berada di kabin. Kau sendiri ... Sedang apa di sini selain berburu babi hutan?”

Ace terkekeh. “Aku memang hidup di hutan, bersama para bandit gunung. Setiap hari aku harus berburu untuk makan malam nanti.”

“Padahal kau masih kecil untuk berburu.”

“Aku ini sudah berusia 9 tahun! Aku bahkan sudah bisa mengalahkan orang dewasa!”

Calypso menatap Ace lekat-lekat. Sedikit percaya, apalagi saat melihatnya tadi berkelahi dengan babi hutan. Sepertinya anak laki-laki ini cukup kuat dan tangguh. “Oh begitu. Ngomong-ngomong, sepertinya aku harus kembali. Aku tidak mau membuat ayahku khawatir.”

Calypso membungkukkan tubuhnya, berpamitan kepada Ace dan berbalik badan. Ace sedikit terkejut, dia tidak pernah berinteraksi dengan lawan jenis selain Dadan si ketua bandit gunung. Apalagi melihat sikapnya yang sopan barusan. Ace hidup sangat keras sejak kecil, sehingga tidak mengenal tutur kata dan etika yang baik dan sopan. Dan sepertinya akan salah jika dia membiarkan gadis pendek itu berjalan sendirian di hutan yang baru pertama kali gadis itu kunjungi. Akhirnya, anak laki-laki itu berlari menyusulnya.

Calypso menatapnya. “Ada apa? Kau mau ke dermaga juga?” tanyanya.

Ace membuang muka. Ragu-ragu dia menjawab. “Aku ... Aku akan mengantarmu. Di sini banyak bandit gunung. Kau bisa diculik.”

“Apa?”

“Bandit gunung. Mereka itu brengsek. Apalagi kau anak bajak laut, pasti jika mereka menculikmu, kau akan dijual dengan harga yang mahal.”

“Seram sekali. Ayahku tidak pernah menculik seseorang.”

“Yeah, entahlah.”

“Lalu kenapa kau mau-mau saja tinggal bersama bandit gunung? Apa kau akan menculikku?” tanya Calypso begitu polos.

Ace terbelalak. Cepat-cepat menggeleng. “Tidak! Tentu tidak! Aku bukan bagian dari mereka. Aku ingin menjadi bajak laut!”

Entah kenapa Calypso tersenyum. Hal itu membuat Ace lagi-lagi terkejut dan membuang muka, menyembunyikan wajahnya yang terasa panas karena malu. “Wah, keren. Aku saja tidak tahu ingin menjadi apa?”

“Bukankah kau seorang bajak laut?” tanya Ace. Dia sangat penasaran dengan gadis ini.

Calypso menggeleng. “Ayahku memang bajak laut, tapi bukan berarti aku juga begitu. Aku hanya tinggal bersama ayahku. Sebab dia satu-satunya yang aku punya.” Calypso menatap ujung sepatunya dan ujung sendal yang Ace kenakan. “Berarti orang tuamu bandit gunung, kah?” tanya Calypso.

“Bukan. Mereka hanya merawatku. Aku hanya punya kakek yang jarang menemuiku.”

“Oh, begitu.”

Lalu suasana tiba-tiba menjadi lenggang. Hanya ada suara langkah kaki mereka. Ace tiba-tiba bingung harus berbicara apa lagi, sebab dia merasa canggung sekarang. “Yang tadi kau lakukan ... Akar-akar itu ... Bagaimana kau melakukannya?”

Calypso menoleh sejenak, lalu menatap telapak tangannya. “Entahlah. Aku tidak tahu. Ayah bilang itu kekuatan yang diwariskan dari almarhum ibuku.”

Tanpa disadari, mereka pun sampai di bibir hutan. Calypso dan Ace menuruni bukit, dan berjalan di pinggir dermaga. Ace bisa melihat sebuah kapal besar yang berlabuh di pinggir dermaga. Calypso menghentikan langkahnya. Sepertinya mereka harus berpisah. Tidak baik jika Ace sampai diketahui oleh ayah atau kru kapal, pasti mereka akan menganggap anak ini sebagai musuh. Sebab siapapun yang mendekati Calypso akan dianggap musuh oleh bajak laut Akagami.

“Kapalnya sudah terlihat. Antar aku sampai sini saja.”

Dalam hati, Ace sedikit kecewa. Dia merasa senang berbicara dengan Calypso. Tapi sepertinya dia harus berpisah di sini. “Baiklah. Hati-hati!”

Calypso tersenyum. “Hati-hati juga. Jangan asal berburu hewan ya!”

Ace merengut dan bersedekap. “Terserah!”

“Sampai jumpa!”

“Ca—Calypso!” Tiba-tiba Ace memanggil. “Kau ... Besok masih berada di sini?” tanyanya.

“Aku tidak tahu. Ayah biasanya tidak pernah bermalam di suatu pulau.”

“Oh, begitu.” Ace terlihat sedih. “Kalau begitu suatu saat nanti, mari bertemu lagi! Saat aku sudah menjadi bajak laut dan memiliki kru ku sendiri! Kita akan bertemu di Grandline!”

Calypso tersenyum sumringah. Wajahnya bersinar dan terlihat cantik. Ace lagi-lagi merasa berdebar hingga tidak bisa berkutik menatapnya.

“Baik. Aku tunggu kau di Grandline!”

* * *

A/N:

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.


Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top