Chapter 9

Y/n: Your name
L/n: Last name
H/c: Hair color
E/c: Eyes color

Akan ditmbahkan sesuai berjalannya crita!

Reader's POV

Hari yang ditunggu telah tiba.

Sejak pukul 5 tadi, aku sudah bangun untuk memanggang butter cake. Semua harapan dan perasaan ku tuangkan ke dalam kue ini.

Aku sangat amat berharap jika kue ini rasanya akan lezat!

Waktu berjalan dengan sangat cepat. Setelah mandi lalu bersiap-siap, aku melihat jam yang menunjukkan waktu pukul setengah 9 pagi. Ada waktu setengah jam lagi sebelum waktu yang dijanjikan.

"Ada baiknya jika aku duluan yang datang lalu menunggu senpai," gumamku.

Jadi, aku mengambil tasku lalu mengambil box kue dan bersiap pergi.

Taman yang dimaksud adalah taman dimana aku melihat Enkidu ingin melompat beberapa waktu lalu. Ketika memikirkan hal itu kembali, aku menjadi sedikit merinding.

Aku mengenakan kaos oversize, hot pants, dan cardigan serta sepatu sport. Selain itu, aku juga memakai make up agar wajahku tidak terlalu plain.

Sesampainya aku di jembatan, aku melihat Kingu Senpai juga ternyata sudah sampai duluan disana. Dia mengenakan pakaian santai yang terlihat sangat keren. Walau wajahnya terlihat cantik namun pakaian itu membuatnya terlihat gagah.

"Senpai!!!!" panggilku sambil melambaikan tangan.

Kingu Senpai terlihat sangat fokus dengan handphone di tangannya namun ketika mendengar suaraku, pandangannya langsung menuju ke arah suara.

Tatapan mata kami bertemu. Dia terlihat terkejut, salah tingkah, lalu kembali memasang ekspresi grumpy selayaknya Senpai yang ku tahu.

"Kau! Mengapa cepat sekali datangnya!?" bentaknya.

"Hehe~ aku selesainya cepat sih, makanya aku cepat datang!" jawabku, "tapi Senpai juga cepat datangnya."

Mendengar kalimat terakhir ku, Kingu Senpai menjadi salah tingkah untuk yang kedua kalinya. Ada rona merah yang terlihat di pipi putihnya tapi, seperti seorang ahli, dia kembali memang wajahnya yang masam dan kecut.

"Aku hanya kebetulan lewat di sekitar sini dan ku putuskan untuk sekalian menunggu. Ngomong-ngomong, kau dandan ya?"

"Benar! Senpai peka ya rupanya. Apakah aku cantik?"

"Kau cantik... Eh- tunggu! Bukan berarti aku memujimu ya! Masih banyak gadis-gadis lain yang lebih cantik darimu! Aku bilang kau cantik karena aku tidak ingin kau menangis!"

"Iya~ iya~! Ini Senpai, butter cakenya sudah ku buatkan!"

Aku menyerahkan bungkusan yang ku bawa dengan hati-hati kepada Kingu Senpai dan pria ini menerimanya dengan baik. Dia melihat sekilas, mengucapkan terima kasih kemudian Kingu Senpai membawaku ke suatu tempat menggunakan mobilnya.

"Kita akan kemana?" tanyaku antusias.

"Mengunjungi seseorang."

Jika prediksi ku benar, kita akan mengunjungi Enkidu dan Kingu Senpai ingin membawakan butter cake kepada Enkidu.

Kingu ini benar-benar perhatian walau di luar dia menunjukkan sifat tidak peduli.

Sebuah senyuman berhasil terukir di bibirku. Ada beberapa orang yang malu untuk menunjukkan sifat aslinya dan lebih memilih untuk membangun sebuah dinding berduri agar perasaan aslinya tidak diketahui oleh orang.

Pria di sampingku ini adalah contohnya. Mulutnya sangat pedas dan tajam namun hatinya sebenarnya sangat baik.

"Kenapa kau senyum-senyum sendiri? Kau gila ya?"

"Hehe, iya nih. Aku gila. Senpai punya seorang kouhai yang gila, bagaimana menurut mu?"

"Kau ingin ku buang di hutan, ya?"

"Teganya dirimu..."

Alunan musik klasik di putar untuk menemani kami berdua di dalam mobil, menghilangkan kesunyian di dalamnya. Baik aku maupun Kingu Senpai tidak repot untuk mencari topik pembicaraan.

Kesunyian ini terasa nyaman bagi kami berdua.

Mataku tertuju pada papan huruf besar yang menjadi penyambutan bagi orang-orang yang datang ke tempat ini.

Rumah Sakit Elizabeth.

Itulah nama rumah sakit besar yang kami datangi ini.

Setelah memarkirkan mobil di parkiran, kami berdua berjalan berdampingan di lorong rumah sakit, menekan angka lantai nomor 10 kemudian kembali berjalan hingga sampai pada kamar nomor 120.

Kingu mengetuk pintu, membuka pintu, dan dari sana terdengar suara yang sangat tidak asing bagiku.

"Kingu, kau sudah datang."

"Hm. Aku membawa tem- perempuan ini."

Kingu masuk ke ruangan itu lalu aku mengikutinya. Aku melihat Enkidu duduk di samping tempat tidur dimana disana terdapat seorang anak kecil perempuan, berumur sekitar dua atau tiga tahun, berbaring tak sadarkan diri dengan dilengkapi berbagai peralatan medis di tubuhnya.

"Selamat siang," sapaku sambil membungkuk.

"... Selamat siang. Aku tidak tahu kalau kalian sedekat itu."

"Kami tidak dekat!" tolak Kingu Senpai secepatnya, "kami tidak sedekat itu! Kalimat kakak ambigu!" sambungnya dengan wajah yang memerah.

"Aku tidak mengatakan hal yang ambigu... Cara otakmu bekerja yang ambigu."

Entah perasaan ku saja atau bagaimana tapi apakah Enkidu di dunia ini terlihat lebih kalem daripada Enkidu di dunia pararel?

Orang bilang seseorang yang pendiam lebih mengerikan ketika dia marah dibandingkan dengan seseorang yang sering marah-marah.

Sebaiknya aku bersikap sopan dan santun daripada harus berhadapan dengan Enkidu yang seperti itu.

Kingu Senpai memberikan butter cake kepada Enkidu sesuai dugaanku.

"Kak, makanlah. (Y/n) yang membuat kue itu," ucap Kingu Senpai sambil memberikan sepotong kue kepada Enkidu.

"Benarkah? Kau yang membuatnya?" Enkidu menerima kue tersebut, memberikan senyuman kepadaku.

"I-iya... Maaf kalau tidak enak..!"

Aku merasakan hawa panas perlahan merambat di wajahmu ketika Enkidu mengigit kue tersebut dan memberikan ekspresi yang lembut.

"Lezat. Ini butter cake terlezat yang pernah ku makan. Terima kasih banyak nona (Y/n)," ucap Enkidu.

"T-tidak masalah! Terima kasih banyak atas pujiannya!"

Enkidu memberikan senyum yang lembut, seperti senyuman seorang ayah atau ibu kepada anaknya. Senyum Enkidu sangat nyaman dan hangat dan membuat hatiku menghangat. Aku membalas senyuman ini kepadanya.

Tak lama setelahnya, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan suara tawa yang tidak asing.

"Fuahahahaha! Enkidu, lihat yang ku bawa! Eh- KAU!"

Benar, Gilgamesh.

Aku menghela napas lembut.

Aku berdiri dan membungkuk, memberikan hormat kepadanya.

"Hallo, kita ketemu kembali."

"Oh... Betina, sepertinya langit berpihak kepadaku! Fuahahahaha!!! Baik baik, kau siap membayar hutangmu?"

Enkidu dan Kingu saling melihat sebelum Enkidu berdiri dan bertanya, "Gil, apa maksudmu?"

Gilgamesh menjelaskan kepada Enkidu dan Kingu tentang kejadian semalam. Dia kelihatan sangat bersemangat dan bahagia. Aku hanya memberikan senyuman pasrah.

"Aku ingin betina ini menjadi pembantu ku!" pintar Gilgamesh.

"HAH?! OI GIL, DIA MASIH SEKOLAH!" ucap Kingu tidak setuju sambil menarikku dan melindungi ku di pelukanya.

Mataku terbuka lebar....

Kingu... Memelukku....?

"Memangnya kenapa kalau dia masih sekolah? Bukan urusan ku!"

"GIL KAU GILA!" teriak Kingu.

Kingu dan Gilgamesh saling mengejek satu sama lain. Aku sudah berusaha untuk memisahkan pertengkaran mereka dan memberitahu Kingu bahwa aku tidak apa-apa.

Kemudian, Enkidu yang sedari-tadi duduk diam, berdiri dari tempat duduknya.

"Gil, apakah pakaianmu rusak?" tanya Enkidu.

"Tidak. Tidak rusak. Tapi pakaianku kotor!"

"Bahkan jika (Y/n) tidak menangis di pakaianmu, bukankah pakaianmu akan tetap kotor?"

"...... Yah benar sih... Tapi-"

"Terus kau menekannya gara-gara dia menangis di pakaianmu? Toh pakaianmu tidak robek atau terjadi hal yang lebih parah. Mengapa harus seribut ini? Gil, bukankah kau sudah keterlaluan?"

Nada bicara Enkidu menjadi menyeramkan. Ekspresi wajahnya datar, tatapannya lurus dan tenang, namun aura yang dikeluarkannya sangat dingin.

"Aku...," Gilgamesh terdiam.

"Kau keterlaluan. Apakah aku harus membayar pakaianmu itu?"

"T-tidak! Tidak usah! Tidak perlu! Aku.. Aku tidak akan mengungkitnya lagi! Maaf... Enkidu.."

"Bukan aku tapi nona (Y/n)."

Gilgamesh tersentak sedikit lalu dengan ragu dia berbalik dan meminta maaf kepadaku. Aku memaafkannya dan berterima kasih kepada Enkidu. Pria berpakaian putih ini hanya mengangguk lalu kembali duduk di samping anaknya yang koma.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top