Chapter 10
Y/n: Your name
L/n: Last name
H/c: Hair color
E/c: Eyes color
Akan ditmbahkan sesuai berjalannya crita!
Reader's POV
Hari berlalu setelahnya.
Hubungan ku dengan Kingu menjadi semakin dekat. Dia terus mengajariku tentang pelajaran sekolah serta sesekali akan mengajakku untuk bertemu dengan Enkidu.
Tentang Enkidu, dia sudah lebih terbiasa dengan keberadaan ku. Sesekali dia akan mengajakku berbicara tentang sekolahku dan keluarga ku.
Namun yang pasti, sinar di mata Enkidu masih redup. Terkadang saat aku dan Kingu mengunjunginya, Enkidu lebih sering melamun sambil menatap anaknya yang tak sadarkan diri.
Di dalam hati, aku terus berharap bahwa keadaan anak Enkidu akan membaik sehingga Enkidu sendiri juga akan lebih ceria.
Malam demi malam, aku terus berdoa dan mengharapkan yang terbaik untuk Enkidu, Kingu, dan juga anak Enkidu. Hingga pada suatu malam, aku mendapatkan panggilan telepon dari Kingu.
"Halo?" ucapku.
Dengan suara bergetar Kingu mengabarkan, "(Y/n), anak kakak telah tiada..."
Sebuah perasaan yang sedih menggerogoti hatiku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit dan kehilangan yang terjadi pada Enkidu saat ini. Bahkan aku yang bukan siapa-siapa saja sangat merasa sedih dan kehilangan.
Acara pemakaman akan diberlakukan pada pagi hari. Aku juga menghadiri acara pemakaman tersebut. Kingu memintaku untuk memerhatikan wajah Enkidu yang terlihat seperti boneka.
Enkidu tidak menangis dan dia tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Bahkan sendiri merasa bingung dengan Enkidu. Berkali-kali dia membujuk Enkidu untuk mengeluarkan apapun yang ada di hatinya. Apakah Enkidu ingin menangis atau berteriak, Gilgamesh akan berada di sampingnya.
Namun tidak.
Enkidu hanya diam. Matanya kosong, wajahnya pucat, dan dia tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Inilah yang membuat Kingu dan Gilgamesh khawatir. Gilgamesh mengingatkan Kingu untuk menjaga Enkidu. Dia takut jika Enkidu akan mencoba hal-hal yang berbahaya bagi nyawanya sendiri.
Sepulangnya dari makam, Kingu mengendarai mobil dan langsung kembali ke perpustakaan sambil membawa Enkidu, tempat tinggal kedua saudara kembar itu. Aku sendiri diantar oleh Gilgamesh untuk pulang ke rumah.
"Kau semakin dekat dengan mereka," ujar Gilgamesh.
"Tidak kok. Aku lebih dekat dengan Kingu senpai."
"Kalian pacaran?"
"Sama sekali tidak."
Setelah itu, tidak ada percakapan diantara kita berdua. Aku mengucapkan terima kasih kepada Gilgamesh setelah sampai pada tujuanku.
Beberapa hari telah berlalu.
Hari ini ku putuskan untuk pergi ke perpustakaan. Untungnya, Kingu memberikan akses khusus untukku untuk bisa masuk ke dalam kediaman utama jika ingin mencarinya.
Jalan yang dilalui masih sama yaitu melewati pintu dan lorong yang sama dimana aku bertemu dengan Enkidu untuk kali pertama.
Sesuai instruksi, aku kembali berjalan pada lorong dan mendapati ada sebuah pintu dengan ukiran unik sebagai hiasan. Aku membuka pintu tersebut dengan perlahan.
"Permisi....," ucapku.
Tidak ada jawaban.
Namun aku mendengar ada sebuah suara samar. Penasaran, aku mendatangi sumber suara dan sangat terkejut ketika mendapati Enkidu yang sedang memegang pisau dan menyayat pergelangan tangannya hingga darah merembes keluar mengotori lantai.
Instingku langsung membuatku berlari dengan kencang, mengambil pisau dari tangan Enkidu dan membuangnya.
Kaget dengan keberadaan ku, wajah Enkidu yang tadinya datar berubah menjadi geram dan marah.
"Apa yang kau lakukan disini?!" bentaknya.
Bukan hanya dia, rasa marah, kecewa, takut, dan khawatir bercampur aduk pada hatiku.
"Apa yang kau lakukan!? Bunuh diri bukan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan sebuah masalah!"
"Apa yang kau tahu tentang ku!? Kau, orang asing yang tidak tahu apapun, mengerti apa tentang ku!?"
"Aku tidak mengerti maupun peduli tentang mu! Tapi bukan berarti kau bisa bunuh diri seperti ini! Enkidu, kau tidak selemah ini! Kau harus kuat!"
Ingatan Enkidu yang ada pada dunia pararel itu terlintas di benakku. Aku yang ada disana terus menerus menyiksa Enkidu namun dia tetap bertahan dan terus berada di samping aku.
Walau dia tahu bahwa aku tidak mencintai dia, Enkidu tak sekalipun menyerah.
Tanganku menggenggam pergelangan tangan Enkidu yang berdarah, berupaya menghentikan pendarahan.
"Lepas," katanya.
"Tidak."
"Jangan uji kesabaran ku. Lepas."
Aku tetap keras kepala, tidak mau melepaskannya.
Rasa sakit yang di rasakan oleh Enkidu, aku tidak bisa mengatakan bahwa aku mengerti. Aku tidak tahu kejadian apa yang dialami nya hingga dia seperti ini.
Tapi...
"Tidak bisakah kau berpikir secara kepala dingin? Bunuh diri bukan jalan terakhir," bujukku.
Mata Enkidu sangat dingin, lebih dingin dari es. Tatapan ini sejujurnya membuat hatiku sedikit sakit dan terluka. Aku memaklumi nya karena posisi Enkidu yang masih berduka.
"Untuk yang terakhir kalinya, lepas."
"Tidak."
Enkidu menarik pergelangan tangannya dengan kuat tapi aku menggenggamnya lebih kuat lagi. Aku keras kepala, hatiku bertekad untuk menyelamatkannya.
Aku tidak akan membiarkan kejadian pada dunia pararel itu terjadi lagi. Aku tidak ingin Enkidu wafat untuk yang kedua kalinya.
"Tolong, jangan seperti ini. Aku mohon," ucapku.
Beberapa menit kemudian, Enkidu menghela napas. Dia tidak melawan lagi. Aku tersenyum kepadanya dan mengucapkan terima kasih singkat sebelum mengobati luka Enkidu.
Kami duduk di sofa dengan diam setelah aku mengobati Enkidu.
"Sudah makan?" tanyaku.
"Belum."
"Ku masakan ya? Mau makan apa?"
"Terserah."
"Baik."
Aku melihat di kulkas, ada beberapa bahan masakan seperti daging sapi, bawang-bawangan, dan sayuran seperti kyuri dan hakusai. Ku putuskan untuk membuat gyukatsu.
Nasi yang telah dicuci langsung dimasak, daging dan bahan lainnya juga telah disiapkan. Aku menggoreng daging sapi yang telah dilumuri bumbu dan panko, membuat salad, kemudian menyajikannya pada Enkidu yang tengah duduk sambil menutup mata di tempat yang tadi setelah makanan selesai dimasak.
Dengan perlahan aku menaruh piring di meja lalu membangunkan Enkidu dengan pelan. Jika diperhatikan dengan saksama, ada lingkaran hitam di bawah mata Enkidu yang menunjukkan bahwa dia kurang tidur atau bahkan tidak tidur sama sekali.
"Semoga suka masakannya," ucapku kepada nya setelah dia terbangun.
Enkidu mengangguk kepalanya singkat sebelum mulai memakan makanan yang ku buat. Sementara itu, aku mencuci peralatan masak yang ku gunakan tadi.
Beberapa menit setelahnya, Enkidu datang ke dapur. Diam-diam aku terkejut dengan kecepatan makan Enkidu.
"Terima kasih," ucapnya.
"Tidak masalah. Mari piringnya."
"Aku bisa cuci sendiri."
"Kau terluka."
"Lukanya di pergelangan tangan."
"Tetap luka kan? Aku saja."
Aku meraih piring kotor dari tangan Enkidu lalu melanjutkan pekerjaan ku yang tertunda yaitu mencuci.
Dari belakang, Enkidu berdiri diam sambil bersandar di dinding dan memerhatikan ku.
...
Kok jadi gugup ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top