04 | Long Wait
“Apa yang kau maksud barusan?”
Wanita tua itu tersenyum mencurigakan. Menatap penasaran pria yang ada di hadapannya ini. “Siapa lagi? Dia seorang Nymph penunggu pohon besar di salah satu pulau misterius. Nenek moyangku dulu pernah menceritakan tentang pulau tersebut.”
“Kau ... Kau tahu tentang pulau itu?”
“Menurutmu?”
Shanks menghela napas sejenak. Sepertinya dia terlalu bodoh dengan percaya wanita gila ini. Lebih baik dia menyusul teman-temanya ke bar. Merilekskan pikirannya dengan beberapa gelas bir dan tentu saja dengan perempuan. Pasti ada banyak wanita penghibur yang bisa mendistraksikan pikirannya tentang Karina sejenak. “Kurasa temanku benar. Maaf sudah mengganggu waktunya.”
Wanita itu tertawa. “Cobalah sesekali pikirkan bagaimana perasaannya.”
Pria itu batal pergi. Justru mengepalkan tangannya erat-erat.
“Hari-harinya begitu hambar. Dia menghabiskan waktunya menatap lautan di pinggir pantai, berharap akan ada kedatangan seorang kapten bajak laut yang dia dambakan.”
“...”
“Dia telah jatuh cinta. Seorang Nymph hanya akan jatuh pada satu orang saja. Dia memberikan sepotong hatinya padamu, dan kau pergi begitu saja tanpa ada niat untuk kembali. Malangnya gadis itu.”
Shanks mendengkus. Dia tidak peduli dengan omongan wanita itu. Pasti ini hanya kebetulan dia didatangi wanita aneh yang suka asal berbicara. Sepertinya dia harus berbicara dengan walikota untuk merehabilitasi orang-orang tua yang sakit jiwa di pulau ini.
“Kau pria yang berani, Tuan Kaisar Laut. ” Wanita itu lagi-lagi kembali berbicara, mengikuti langkah Shanks di belakang. “Kau bahkan berani jika harus menentang takdir serta perjanjian kuno untuk gadismu itu.”
Sial! Bicara apa sih, dia?!
“Pergilah, temui gadis itu. Tampaknya dia sedang tidak baik-baik saja.”
Deg!
Shanks kali ini sukses berhenti. Dia terdiam tepat di depan pintu bar yang terdengar sangat berisik. Tapi di pendengarannya hanya ada suara dengung yang memekakkan telinga. Ingatan tentang Karina lagi-lagi menghantuinya. Dia merindukan gadis itu. Meskipun dia sering mengelak perasaannya, nyatanya Shanks ingin sekali bertemu dengannya. Sedang apa dia? Dia baik-baik saja, kan?
Pria bertopi jerami itu memasuki bar. Beberapa pasang mata menatap sang kaisar laut tersebut yang datang dan menghampiri sang wakil kapten dengan tatapan yang sangat serius.
“Ke ruanganku. Kita harus bicara!”
Shanks tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia berbalik dan segera meninggalkan bar menuju dermaga tempat kapal mereka berlabuh. Benn paham betul arti tatapan kaptennya barusan. Shanks tidak mau ada bantahan. Pria berambut panjang itu menjentikkan rokoknya dan meninggalkan bar menyusul sang kapten. Sesampainya di kapal, tepatnya di kabin milik Shanks, pria itu tengah memasukkan beberapa barang dalam kantung.
“Kau mau membicarakan apa?” tanya Benn tanpa berbasa-basi.
“Aku harus pergi ke suatu tempat. Hanya aku.” Shanks mengambil sebuah buku di rak serta sebuah kertas yang dia tebak adalah Vivre card. “Aku titipkan kru dan Red Force padamu. Ini sangat mendadak,” lanjutnya.
Benn masih mencerna. Sedangkan Shanks membuka satu lembar peta Grand Line Paradise. “Waktu itu kalian menemuiku di sekitar perairan pulau ini. Itu artinya lokasinya tidak jauh dari sana. Butuh sekitar 5 hari non-stop dengan perahu kincir.”
“Shanks kau mau kemana?” tanya Benn pada akhirnya. Dia sulit mencerna situasi ini. “Sebenarnya apa yang terjadi?” tanyanya lagi.
“Aku harus bertemu seseorang.”
“Siapa? Kau tidak bisa memutuskan begitu saja!”
Shanks menghela napas berat. “Aku minta maaf, Benn. Tapi jika aku tidak pergi sekarang, mungkin sesuatu yang buruk akan terjadi padanya!”
“Demi Tuhan! Siapa yang maksud?! Kita pasti bisa membantu!”
“Gadis yang aku cintai!” jawab Shanks. Dia meneguk ludahnya sejenak. “Aku harus pergi ke sana sendirian. Hanya aku yang tahu lokasinya. Orang-orang tidak boleh mengetahuinya!”
“Apa ini ada hubungannya dengan kejadian kau terseret badai setahun yang lalu?” tebak Benn.
Shanks mengangguk pelan. “Ceritanya panjang. Nanti aku ceritakan lain kali. Aku harus pergi sekarang.”
“Tapi Shanks!”
“Dua minggu. Jemput aku di pulau dekat kalian menemukan waktu itu. Aku akan segera kembali.”
* * *
Ini benar-benar penantian yang sangat panjang. Karina tidak pernah merasakan hari-harinya bisa sejenuh ini. Dia sangat lelah menunggu. Kapan Shanks akan datang? Apakah dia benar-benar akan menepati janjinya? Atau dia sudah melupakan dirinya dan hidup bebas di luar sana? Karina tahu, dia bukan manusia. Pasti pria itu lebih memilih wanita manusia lain di luar sana ketimbang dirinya yang hidupnya sebatas hutan, pohon dan sungai. Gadis itu memeluk lututnya, menggerakkan jari-jari di kakinya pada pasir tempat dia duduk sekarang. Angin berhembus kencang, membelai rambutnya yang semakin panjang.
Aroma laut terasa sangat menangkan. Seharusnya, Karina merasa senang dengan suasana damai seperti ini, tapi dia justru menangis. Lagi-lagi dia menangis menatap hamparan laut biru di depan sana. Tapi sayangnya kali ini dia tidak tahan menatap laut, melihat kekosongan di hamparan biru yang luas itu membuat hatinya semakin sakit. Haruskah dia berhenti berharap? Karina semakin terisak, dia semakin erat memeluk lututnya, menyembunyikan wajahnya yang semakin sembab karena menangis.
Selang beberapa menit, cahaya matahari terlihat meredup. Karina tersentak, apakah akan ada badai hingga langit mendadak mendung? Gadis itu perlahan mengangkat kepalanya dan mendapati sepasang kaki yang terlihat sangat familiar baginya. Karina menahan napas, jantungnya berdegup begitu kencang, bahkan dia hampir lupa bagaimana caranya bernapas. Pria itu. Pria yang dia tunggu selama ini. Pria yang membuatnya kembali menghitung hari itu muncul di hadapannya.
“Shanks?”
Pria itu tersenyum. “Maaf ... Sudah membuatmu menunggu.”
Karina cepat-cepat berdiri, dan menghambur ke dalam pelukannya. Shanks melepas barang bawaannya dan membalas pelukan gadis itu tak kalah erat. Oh, Ya Tuhan, Shanks benar-benar merindukannya. Dia mengeratkan pelukannya, mengecup pipi gadis itu dan menyesap aroma miliknya dari cerukan lehernya. Air mata Karina tidak mau berhenti, kali ini bukan air mata kesedihan melainkan air mata bahagia. Dia masih tidak menyangka Shanks akan datang.
“Aku kira ... Aku kira kau tidak akan datang.” Karina bersuara di tengah tangisnya.
Shanks mengelus punggungnya. Menenangkannya, sekaligus memberi tahu bahwa dia benar-benar ada di hadapannya. Dia kembali setelah mengalami perang batin dan pikiran yang membuatnya ragu untuk kembali menemuinya.
“Aku akan datang untukmu, dan aku akan selalu datang. Persetan dengan aturan pulau ini!”
Akhirnya setelah cukup lama berpelukan, Karina melepas pelukannya. Dia menatap pria itu, merasa masih tidak percaya akan kehadirannya yang tidak disangka-sangka. Itu artinya penantiannya tidak sia-sia. Shanks mengusap air mata gadis itu, kemudian mengelus kedua pipinya dengan lembut. Wajah cantiknya terlihat sembab, pria itu jadi merasa makin bersalah kala melihat gadisnya itu menangis karena dirinya.
“Maaf kau harus menunggu lama.”
Karina menggeleng pelan. “Yang terpenting kamu datang.”
Shanks kembali sejenak ke perahunya yang mendarat di pinggir pantai. Menariknya ke daerah pasir yang kering dan menyembunyikannya di balik batu karang. Karina berlari ke dalam mulut hutan, mengambil tumbuhan menjalar dan menumbuhkan tanaman itu hingga sangat panjang, lalu kemudian menutupi kapal tersebut. Dia paham, kehadiran Shanks harus benar-benar ditutupi. Shanks mengambil kantung berisi barang-barangnya. Menggenggam tangan Karina untuk masuk ke dalam hutan.
Sekarang, izinkan Shanks menghabiskan waktu untuk melampiaskan rasa rindunya pada Nhymp penunggu pohon bringin raksasa tersebut.
* * *
“Kau membawakanku sesuatu?!”
Gadis itu sedari tadi terlihat antusias. Mulai dari saat Shanks memegang tangannya, saat Shanks mengelus rambutnya, dan saat Shanks memintanya untuk duduk di pinggir sungai sembari membuka kantung barang bawaannya. Shanks sengaja membawa banyak barang yang ingin dia perlihatkan para Karina.
“Ya. Kau pasti suka.”
Shanks mengeluarkan barang pertama. Sebuah dress. Dia membelinya saat mendatangi sebuah pulau di perairan Grand Line New World. Saat melihat gaun di etalase, pria itu langsung teringat dengan Karina yang selalu menggunakan dress putih gading sepanjang mata kaki. Pasti lebih nyaman bagi gadis itu jika menggunakan dress yang panjangnya beberapa sentimeter di bawah lutut, hingga memungkinkan dirinya untuk bergerak dengan bebas.
“Waah, apakah semua manusia berpakaian sepertiku??” Gadis itu bertanya dengan penuh rasa penasaran. Dia menerima gaun itu dan memperhatikannya. Warna pakaiannya sedikit lebih terang dibandingkan dengan dress yang dia kenakan sekarang.
“Mereka memiliki banyak gaya berpakaian. Aku tidak terlalu paham tentang pakaian, tapi ada beberapa orang yang berpakaian sepertimu. Mereka sangat beragam.”
“Apakah semua manusia juga memiliki ciri fisik sepertimu?” tanya Karina secara random. Sebab pertanyaan itu sudah dia simpan selama menunggu kedatangan pria itu.
Shanks terkekeh. Mengacak-acak rambut gadis itu yang halus seperti sutra. “Seperti yang kukatakan barusan, manusia itu beragam. Mereka memiliki warna rambut dan kulit yang beragam. Bentuk dan tinggi badan yang juga beragam. Serta sifat yang juga sama-sama beragam.”
“Sifat?”
“Ya. Perilaku yang dimiliki oleh manusia. Ada yang jahat, ada yang baik, dan ada yang netral.”
“Apa sifatmu Shanks?” tanya Karina begitu spontan.
Pria itu terdiam sejenak. “Aku tidak bisa mengatakannya. Harus orang lain yang menilai. Teman-temanku mengatakan kalau aku ini netral. Aku bisa menjadi orang jahat untuk kalangan orang-orang yang memang pantas untuk dihukum. Tapi aku juga bisa menjadi orang baik yang menurutku mereka pantas mendapatkan keadilan. Bagaimana menurutmu?”
“Aku tidak tahu. Yang aku tahu ... aku mencintaimu.”
Shanks terdiam. Sedikit terkejut kala kalimat itu terlontar dari bibirnya. Shanks meraih dagu Karina, mengecup singkat keningnya. “Selamat. Cintamu terbalas. Aku juga mencintaimu, Karina.”
Pipi Karina terasa panas. Gadis itu menunduk untuk menutupi wajahnya yang terlihat merah. Shanks tertawa renyah, merasa puas melihat wajah gadis itu setelah digoda. Pria itu kembali memperlihatkan barang-barangnya. Kali ini dia memberikan Karina sebuah cermin, sisir dan ikat rambut. Selama menginap di rumah pohonnya, Shanks tidak melihat adanya meja rias. Dia juga bingung, rambut Karina tidak pernah disisir, namun terasa begitu halus. Jadi dia membeli barang-barang tersebut dan menyimpannya, barangkali dia akan bertemu dengan gadis itu seperti sekarang. Karina melihat cermin, meneliti wajahnya yang terlihat menawan sesekali mencoba sisir tersebut di rambutnya.
“Aku tidak pernah tahu ada benda ajaib seperti ini.”
Shanks tersenyum. Dia kembali memberikan barang selanjutnya. Kali ini adalah sendal rumah berbetuk beruang. Karina memekik tertahan saat melihat benda lucu tersebut. Warnanya coklat, dan terasa sangat empuk. Gadis itu sampai mengelusnya ke kepala saking merasa tekstur sendal bulu tersebut yang sangat halus.
“Ini apa?”
“Itu sendal. Dipakai di kaki.” Shanks mengambil alih sepasang sendal tersebut dan memakaikannya di kedua kaki Karina yang putih dan mulus. Seperti bisa ditebak, gadis itu terlihat takjub dan menggerak-gerakkan kakinya. Kini dia mengenakan alas kaki seperti yang dikenakan oleh pria itu.
“Lucu sekali!”
Shanks tertawa kecil melihat reaksinya. Pria itu kembali mengeluarkan barangnya. Dia membawakan Karina camilan kesukaannya. Yaitu keripik usus ayam yang dikeringkan dan dipanggang menggunakan bumbu khusus. Shanks ingin gadis itu mencobanya.
“Cobalah. Ini camilan kesukaanku.”
Karina mengambil satu potong keripik tersebut dengan antusias, mencium baunya sejenak lalu memakannya. Shanks menunggu reaksinya. Tapi justru reaksi lainlah yang muncul. Karina memuntahkan keripik tersebut. Tentu hal tersebut membuat Shanks terkejut.
“Hei, ada apa? Kau tidak suka?”
Karina mengusap bibirnya. “Rasanya unik, tapi sepertinya itu terbuat dari hewan. Apakah benar?”
“Benar, itu terbuat dari usus ayam. Kau alergi olahan ayam?” tanyanya.
Karina menggeleng. “Kami tidak bisa memakan makanan hewani. Kami hanya bisa makan sayuran dan buah-buahan.”
Shanks termenung. Perlahan dia mengangguk-angguk. “Maaf. Aku tidak tahu.”
“Tidak apa-apa, Shanks.”
“Ah, tenang. Aku juga bawa keripik kentang. Ini salah satu camilan kesukaanku juga. Ini, cobalah!” Shanks membuka toples tersebut dan membiarkan Karina mencobanya.
Dia terbelalak. Tidak pernah merasakan rasa gurih seenak ini. “Ini ... Enak sekali!”
Shanks tertawa lagi. Syukurlah dia suka dan tidak memuntahkannya. Sekarang Shanks harus ingat, kalau gadisnya ini tidak adalah seorang vegetarian.
“Baiklah, nanti akan aku bawakan keripik kentang lebih banyak lagi. Nah, selanjutnya aku membawakanmu bantal dan selimut!”
“Benda apa ini?” Karina menyentuh beda halus dan empuk tersebut.
“Orang-orang diluar sana menggunakan ini untuk tidur. Cobalah kau pakai saat nanti malam. Pasti tidurmu semakin nyenyak.”
Karina mengangguk-angguk. Shanks kembali memberikan barang lainnya. “Baiklah, aku tahu ini mungkin tidak penting. Itu namanya handuk. Pakailah saat kau mandi. Kau bisa mengeringkan tubuhmu yang basah dengan ini, sehingga pakaianmu juga tidak ikut basah.”
Ah, benar. Benda ini sepertinya akan berguna baginya. Dia benar-benar berterima kasih kepada Shanks.
“Dan ini benda terakhir. Kau pasti akan suka.”
Shanks mengeluarkan sebuah buku tebal. Karina tidak tahu tulisan apa itu. Tapi Shanks segera membukanya. Memperlihatkan sebuah gambar peta dunia.
“Ini adalah gambar peta dunia. Ada banyak pulau-pulau yang tergambar di buku ini. Semoga dengan ini bisa membayar rasa penasaranmu akan dunia luar.”
Karina mengambil alih buku tersebut dan melihat setiap isi dari halaman tersebut. Gadis itu tidak bisa berkata-kata. Matanya memanas, dia sangat senang, sangat bahagia. Shanks mengusap kepalanya lembut. Karina menaruh buku tersebut di sampingnya, dan langsung mendekati Shanks untuk memeluknya. Pria itu dengan senang hati membalas pelukannya, mengelus kepala serta punggungnya dengan penuh kasih sayang.
“Kau senang?” bisiknya.
Gadis itu mengangguk. “Aku sangat bahagia, Shanks! Aku sangat bahagia!”
Shanks mengecup pucuk kepala gadis itu. Membiarkan dirinya duduk di atas pangkuannya dan bersandar di dadanya.
“Oh iya. Ada satu lagi, aku lupa.”
Shanks memberikan sebuah kain hitam berukuran dua telapak tangan. Kain hitam itu terdapat gambar sebuah tengkorak serta dua pisau yang menyilang di belakangnya. Karina menerima kain tersebut, menelitinya sejenak.
“Itu lambang bajak lautku. Namanya Akagami, yang artinya rambut merah. Red hair pirate.”
Karina tersenyum, menatap benda tersebut lekat-lekat. “Aku jadi penasaran dengan teman-temanmu.”
Shanks mendengkus. “Jangan. Aku takut mereka akan jatuh cinta padamu!”
“Maksudmu?”
Shanks menyentuh dagu Karina, melempar tatapan hangat sekaligus penuh damba padanya. Pria itu mendekat, kemudian mengatakan sebuah kalimat.
“Sebab yang boleh jatuh cinta denganmu hanya aku.”
Setelahnya dia menyatukan bibirnya dengan bibir gadis itu. Ciumannya diawali dengan kecupan sekilas, lalu berlanjut dengan kecupan nakal saat Shanks mencoba melumat bibir bawahnya. Karina berusaha mengikuti ritme lumatan di bibirnya untuk membalas ciumannya. Namun Shanks tidak mau kalah, dia menekan kedua pinggang gadis itu dan memperdalam ciumannya. Menyalurkan rasa rindu, emosi dan serta perasaan kasih sayang yang dia pendam selama pergi meninggalkan gadis itu.
Karina kehabisan napas. Bibirnya terasa bengkak dan dia kewalahan menghadapi Shanks. Alhasil, dia mencengkram pundak Shanks memberinya isyarat kalau dia butuh bernapas dengan benar. Shanks segera melepas tautan bibirnya, memindahkan kecupannya ke leher gadis itu. Karina menarik napas dalam-dalam. Dadanya naik turun, pipinya terasa sangat panas. Gelenyar aneh terasa di seluruh tubuhnya. Dia tidak tahu perasaan apa itu. Terlebih saat Shanks mengecup lehernya dengan sensual.
“Shanks!”
Karina menyebut namanya. Mendorong tubuh pria itu hingga kecupannya terlepas. Napas gadis itu masih berantakan. Dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya. Ya Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi padanya? Apa yang dilakukan pria itu hingga membuatnya jadi seperti ini.
“La—langit sudah semakin gelap! Se—sebaiknya kita harus segera masuk ke dalam pohon!”
Shanks mengangguk. Dia juga menyesal telah melakukan hal tersebut. Itu terlalu tiba-tiba. Pasti Karina merasa kaget, terlebih dia yakin gadis itu tidak pernah melakukan hal tersebut sebelumnya.
“Baiklah. Bereskan dulu barang-barangnya.”
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top