03 | Gone

Rakit yang dia buat sudah hampir selesai, tinggal menambahkan beberapa simpul tali, kemudian menarik rakit tersebut ke pesisir. Karina menatap langit sore yang semakin meredup. Dia mendekati Shanks, dan menatap rakit buatannya. Gadis itu tiba-tiba saja menyentuh benda tersebut dan seketika simpul tali yang dibuat oleh pria itu mendadak merekat, seakan-akan setiap potongan kayu di rakit tersebut saling menyatu secara alami. Shanks menatap gadis itu takjub.

“Aku khawatir rakitnya akan rusak saat di pertengahan jalan,” jelas Karina.

Shanks terkekeh. “Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Tapi ... Terima kasih, Karina.”

Karina menatap wajah pria itu lekat-lekat. Dia memiliki penampilan yang menarik. Matanya tidak terlalu besar, namun memiliki sorot tatapan yang hangat dan tajam. Hidungnya juga mancung, dan bibirnya berisi. Terdapat rambut-rambut halus di sekitar dagu yang membuatnya semakin maskulin. Rahangnya juga tegas. Gadis itu kembali bertanya-tanya apakah semua rupa wajah manusia sama sepertinya?

“Kau akan langsung pergi?” tanya Karina. Entah kenapa nadanya terdengar sedih.

Shanks sebenarnya ingin langsung pergi meninggalkan tempat ini. Tapi jika dia pergi, dia tidak akan pernah bisa melihat gadis cantik itu lagi. “Teman-temanku membutuhkanku. Aku kapten mereka. Kelompok bajak laut akan lemah tanpa adanya kehadiran kapten.”

Karina menunduk. Dia menggerakkan jari-jari kakinya ke tanah, seraya meremas gaunnya. “Bagaimana ... Bagaimana jika kau bermalam sekali lagi. Kau pasti lelah, dan mungkin saja ... Mungkin saja kau butuh persediaan makanan sebagai bekal.”

Gadis itu perlahan mendongak, menatap Shanks lekat-lekat. Di wajahnya tertera jelas bahwa dia sangat sedih mengetahui jika pria itu akan cepat-cepat pergi. Padahal, mereka baru saja bertemu. Pasti menyenangkan jika pria itu menceritakan lebih banyak mengenai dirinya sebagai manusia yang bebas di luar sana. Shanks yang paham, betapa kesepiannya gadis itu, mengusap kepalanya lembut.

“Baiklah. Aku akan bermalam sekali lagi. Besok pagi-pagi sekali aku harus berangkat. Mohon bantuannya.”

Senyum Karina langsung merekah. Matanya sedikit berkaca-kaca. Refleks gadis itu memeluk Shanks. Pria itu terkekeh, membalas pelukannya.

“Ayo kita kembali ke pohon! Hari sudah semakin gelap!”

Shanks mengambil keranjang buah dan tak lama, tangannya ditarik oleh Karina. Gadis itu berseri-seri di tengah perjalanan mereka. Perlahan cahaya kunang-kunang kembali muncul memberikan pencahayaan yang cukup saat menyusuri jalan setapak. Shanks membalas pegangan tangan mereka. Yang tadinya pergelangan tangannya dipegang oleh Karina, kini pria itu yang menggenggam tangannya dengan lembut. Tangannya begitu halus, terasa ringkih di sentuhannya. Karina terdiam. Senyumnya perlahan memudar digantikan dengan perasaan sedikit terkejut. Ada perasaan aneh saat pria itu memegang tangannya. Dan itu adalah sesuatu yang ... Menyenangkan.

Kunang-kunang semakin banyak. Memancarkan cahaya yang membuat wajah cantik itu terlihat merona. Shanks memandangnya dengan penuh damba. Ingin sekali dia memegang dan mengelus wajah itu. Apakah gadis itu akan marah jika dia melakukannya?

Pria itu menghentikan langkahnya saat pohon besar milik Karina telah terlihat beberapa meter dari posisinya berada. Karina juga ikut berhenti. Kini kunang-kunang mengelilingi mereka berdua. Shanks harus akui, dia tidak pernah merasakan perasaan ini. Bertahun-tahun dia mengelilingi dunia, tidak pernah dia merasa jatuh cinta. Dia telah bertemu banyak orang, banyak wanita, tapi kenapa gadis Nymph ini bisa menjungkir balikan hatinya semudah itu? Shanks jatuh cinta saat pertama kali melihatnya. Dia ingin memilikinya. Apakah pria itu terdengar egois?

“Jadi, kau tinggal berdampingan dengan pohon raksasa itu?” tanya Shanks. Dia bingung bagaimana memulai topik di posisi canggung seperti ini.

Kini Karina saling berhadap-hadapan dengannya. Kepala gadis itu sedikit mendongak, menatapnya dengan wajah yang merona.

“Ya. Aku terlahir dari roh pohon itu.”

“Benarkah? Berapa usiamu?” tanya Shanks. Sekarang dia benar-benar penasaran.

“Aku sudah sangat lama tinggal bersama pohon itu. Saking lamanya, aku tidak lagi menghitung waktu.”

Shanks terdiam. Kini dia hanya terfokus pada mata cokelat terang itu, lalu berlanjut pada bibir ranum yang selalu menggoda Shanks untuk mencicipinya. Sekali lagi, apakah Shanks boleh egois?

Karina menahan napas saat pria itu mendekat, memegang kedua tengkuknya dan tanpa pernah dia pikirkan, bibirnya disentuh oleh bibirnya. Jantung Karina berdegup kencang, ada rasa sengatan aneh di sekitar perut dan punggungnya. Shanks akhirnya melakukannya. Awalnya dia hanya berniat menciumnya saja. Namun seperti terhasut oleh sesuatu, membuatnya semakin meminta lebih. Pria itu mulai melumat bibir bagian bawahnya. Merasakan rasa buah persik di sekitarnya. Tubuh Karina menegang, dia tidak pernah tahu jika pertemuan bibir ini terasa sangat menggoda.

Shanks semakin memperdalam ciumannya. Gadis itu tidak bereaksi apa-apa, membuatnya paham jika ini adalah pengalaman pertamanya. Oh Tuhan, kenapa bibirnya begitu menggoda? Shanks tidak bisa berhenti. Pria itu menekan rahang gadis itu, suara kecupan saling bersatu dengan suara serangga di malam hari. Karina memegang dada pria itu kuat-kuat. Perlahan dia belajar, mencoba untuk membalas ciumannya meskipun berakhir kalah saat pria itu mengigit bibirnya.

“Mmh.”

Suara aneh keluar dari mulutnya. Kaki Karina terasa lemas. Dia nyaris jatuh kalau saja Shanks tidak langsung menahan pinggangnya. Gadis itu menikmati sentuhan di bibirnya lebih dari yang dia bayangkan. Sebenarnya apa yang sedang manusia ini lakukan?

Shanks tidak bisa berhenti. Dia yakin bibir gadis itu sudah bengkak akibat ulahnya. Tapi jika Shanks tidak segera menghentikan aksinya, maka sesuatu yang lebih dari ini akan terjadi. Dia tidak mau dicap sebagai manusia yang brengsek. Alhasil, terpaksa Shanks mencukupkan ciumannya, dan berakhir memeluk gadis itu. Mengusap punggung dan kepalanya dengan lembut.

“Maaf.”

Karina mengatur napasnya. Dia kesulitan bernapas saat pria itu menciumnya dengan brutal tadi. Bibirnya sangat basah dan terasa bengkak. Pipinya juga terasa panas. Namun dia membalas pelukan pria itu. Melingkarkan tangannya di punggungnya dan menyembunyikan wajahnya di dada bidangnya. Gadis itu tidak mau berpisah. Bolehkah Karina juga egois?

* * *

Seperti yang dikatakan oleh Shanks. Dia akan pergi di pagi hari. Tepat saat matahari baru memunculkan cahaya merah di ujung cakrawala. Karina mengantar pria itu sampai ke pesisir. Hatinya begitu gelisah saat melihat Shanks menarik rakitnya ke bibir pantai dan menaruh keranjang berisi buah-buahan serta kendi berisi air minum ke atas rakit. Shanks membetulkan topi jeraminya, setelahnya dia menatap gadis itu yang sedari tadi juga menatapnya. Kejadian kemarin malam tiba-tiba saja terlintas. Shanks jadi merutuk aksinya semalam. Kalau saja dia tidak terlalu nafsu, mungkin keadaannya tidak akan secanggung ini.

“Karina, terima kasih atas semuanya.”

Karina benar-benar tidak suka perasaan ini. Dia merasa seperti ditinggal, padahal dia sudah terbiasa sendiri di pulau ini. Kehadiran pria itu selama 2 hari itu berhasil membuat hatinya berantakan. Gadis itu tidak bisa melakukan apa-apa, selain mengeluarkan air mata. Shanks tiba-tiba merasa bersalah. Tapi dia tidak bisa terus tinggal, dan dia juga tidak bisa membawa gadis ini. Pria itu akhirnya mendekatinya. Membawanya ke dalam pelukannya.

“Aku minta maaf, Karina. Aku tidak bisa lama-lama di sini.”

Tangis Karina pecah. Dia mengeratkan pelukannya, sebab gadis itu tidak tahu perasaan apa ini, tapi hatinya benar-benar terasa sakit. Dia ingin sekali ikut dengan pria itu.

“Apakah ... Apakah mungkin kau akan kembali?” Karina bertanya. Gadis itu mendongak menatap Shanks dengan penuh harap.

Shanks tidak bisa mengatakan apa-apa. Tapi dia memutuskan untuk tersenyum dan membungkuk, mencium bibirnya sekilas. “Akan aku usahakan,” ucapnya, lalu diakhiri dengan mengecup kening gadis itu. Menyesap aroma khas miliknya yang sepertinya akan menjadi aroma favoritnya.

“Sampai jumpa.”

Pelukannya terlepas. Shanks mendorong rakit menjauhi bibir pantai, lalu menaikinya. Dia mendayung rakit tersebut, terus-menerus hingga dia menjauhi pulau. Shanks tidak melihat ke belakang. Apa yang terjadi selama 2 hari ke belakang adalah kesalahan. Gadis itu bukan manusia, pasti akan ada konsekuensinya apabila dia bertindak egois. Dia tidak mau membuat masalah dengan penduduk pulau indah tersebut. Dia akan merahasiakan keberadaan mereka, jika tidak dunia akan mencari keberadaannya dan itu sangat membahayakan mereka. Ini akan menjadi pertemuan pertama sekaligus terakhir. Shanks tidak akan kembali. Dia tidak mau mencelakai gadis itu.

Yeah. Dia tidak akan kembali.

Shanks menghela napas berat. Dia berhenti mendayung, membiarkan ombak mendorong rakitnya. Pria itu memasukkan tangannya ke saku celana. Menyentuh beberapa helai rambut panjang yang tak sengaja dia ambil dari pemiliknya.

Rakit sudah sangat jauh dari pulau. Shanks masih tidak mau menoleh ke belakang. Terlebih saat melihat ada pendar cahaya aneh di hadapannya. Pria itu maju ke bagian depan rakit, menyentuh pendar tersebut. Seketika dia teringat ucapan Karina yang mengatakan kalau pulau Veela dilindungi oleh pembatas tak terlihat. Apakah ini pembatasnya?

Shanks mendayung kembali, menembus pembatas tersebut dan beberapa detik setelah keluar dari sana, dia dikejutkan oleh pemandangan hamparan lautan luas yang tidak ada sedikitpun tanda keberadaan pulau. Shanks sontak menoleh ke belakang. Pulau Veela lenyap. Di hadapannya hanya ada lautan kosong. Shanks hendak mundur. Tapi tak lama batal kala dia sekarang mulai paham.

Pulau itu memang sengaja tidak diperlihatkan.

Shanks tersenyum getir. Sudah tidak ada lagi alasan untuknya kembali. Dia akan melanjutkan perjalanannya, kembali ke Red Force dan menemui teman-temannya.

Shanks mengaktifkan Haki penakluk. Memadukannya dengan Haki observasi untuk mencari keberadaan teman-temannya. Mereka berada di sana. Lokasinya sangat jauh, tapi masih mungkin bagi Shanks atau mereka untuk saling mendekat. Pancaran Haki penakluknya berhasil dirasakan oleh beberapa kru. Salah satunya wakil kapten. Mereka segera menurunkan layar dan bergerak ke lokasi di mana Haki itu terpancar.

Baiklah teman-teman, aku akan kembali!

Lalu Karina ... Aku minta maaf.

* * *

Karina terduduk di pinggir pantai. Membiarkan pasir putih yang sangat halus itu membelai telapak kakinya. Ini sudah cukup lama Karina menangis menatap kepergian pria itu yang membawa hatinya pergi. Dia membuka telapak tangannya. Terdapat kancing berwarna cokelat yang tak sengaja lepas dari pakaian pria itu. Dia memutuskan untuk menyimpannya. Karena gadis itu yakin, dia akan merindukan sosok pria manusia berambut merah tersebut. Bahkan belum sehari Shanks pergi, Karina sudah sangat merindukannya. Kemudian pertanyaannya, apakah dia sanggup menahan rindu ini hingga waktu yang tidak bisa dia tentukan?

Gadis itu mencoba untuk berdiri, berjalan kembali menuju pohonnya. Para peri jamur yang merupakan temannya sejak dulu, menatapnya segan. Karina tidak pernah sampai sesedih ini. Air matanya begitu berharga, membuat alam di sekitarnya menjadi ikut murung, menyesuaikan suasana hatinya. Gadis itu tiba-tiba berhenti. Mengingat-ingat kejadian kemarin malam, kejadian yang membuat otak dan tubuhnya tidak bisa berfungsi hanya karena sentuhan pria itu di bibirnya. Tangis Karina semakin pecah. Pohon besar miliknya tiba-tiba merontokkan dedaunan, seakan-akan merepresentasikan suasana hati sang gadis.

“Karina, kau sedih karena mahkluk itu sudah pergi?”

Don dan Yon datang. Tapi Karina tidak menghiraukan mereka. Dia masuk ke dalam pohon dan menutup batangnya rapat-rapat.

Hari terus berlalu, berganti menjadi minggu. Karina masih setia menanti kehadiran Shanks. Dia mengurung diri dalam pohon dan berbaring meringkuk di ranjangnya. Dia tidak minat melakukan apa-apa. Biasanya dia pergi melihat-lihat ke sekeliling untuk mengecek apakah ada pohon yang hancur atau sedang sakit. Atau mungkin bersenang-senang berenang di sungai sembari mengunjungi temannya yang merupakan Nymph penunggu sungai di hilir.

‘Shanks ... Akankah kau kembali?’

Sekarang sudah lewat berbulan-bulan sejak kepergian Shanks. Karina mencoba untuk melupakan pria itu dengan berkeliling ke padang rumput dan bermain dengan para peri-peri kecil di sana. Hal tersebut cukup efektif membuatnya kembali tersenyum. Beberapa temannya yang sama-sama seperti dirinya juga mengajaknya berbicara. Entah membicarakan kelakuan peri-peri semak yang berisik, atau peri-peri jamur yang selalu penasaran dengan apa yang mereka lakukan.

Karina tidak banyak bicara. Dia hanya mendengarkan. Pembicaraan mereka tidak seru. Tidak seseru seperti cerita yang pernah pria itu ceritakan. Tentang dunia luar dan kebebasannya.

Shanks sedang apa ya?

“Kau akhir-akhir ini jarang terlihat. Ada apa, Karina?” tanya Scarlett, Nymph penunggu gua yang terletak di sisi lain pulau.

“Benar. Kau jarang terlihat. Apa kau sakit?” Tanya Grace, si peri sungai bagian hilir.

Karina menggeleng. Dia hanya tersenyum dan memilih untuk memakan buah beri yang disuguhkan di meja.

“Tidak kenapa-kenapa, kok.”

Mereka memang temannya. Tapi rahasia tentang dirinya dan Shank cukup hanya pohon, kunang-kunang, dan Tuhan saja yang tahu. Rahasia bahwa Karina mencintai manusia.

Sebab pada akhirnya, meskipun Karina mencoba untuk melupakan Shanks, namun dia tetap yakin kalau pria itu akan kembali suatu saat nanti.

* * *

Ini sudah hampir setahun Shanks meninggalkan pulau misterius itu. Dia telah kembali pada kru bajak lautnya. Kembali ke aktifitasnya dan mencoba untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Pria itu tidak mengatakan apapun tentang pulau Veela dan pertemuannya dengan gadis Nymph yang berhasil memporak-porandakan hatinya. Dia hanya mengatakan dia terdampar di pulau tak berpenghuni, dan bertahan menuju Red Force dengan rakit yang di bikin sendiri. Beberapa temannya terutama Benn, sang wakil kapten sedikit tidak percaya, sebab bentuk rakit yang pria itu gunakan sangat rapi, simpul tali yang mengikat kayu hampir tidak terlihat. Seakan-akan rakit itu terbuat secara alami. Namun lagi-lagi Shanks meminta Benn untuk tidak usah memikirkannya.

Cukup dirinya saja yang memikirkan bagaimana caranya bisa melupakan Karina dan segala tentangnya. Hampir setahun dia dihantui oleh sosok Karina di setiap tidurnya. Wajahnya yang merona, perawakannya saat berjalan di hutan tanpa alas kaki, lalu kenangan saat pria itu menciumnya. Sejak kejadian itu, Shanks tidak mau mencium siapapun, sekalipun wanita tercantik duduk di pangkuannya pun, Shanks akan lebih memilih untuk mencium Karina berkali-kali ketimbang yang lain.

Jadi kesimpulannya, Shanks tidak bisa melupakan sosok Nymph cantik itu. Dia ingin sekali bertemu dengannya, tapi pria itu tidak yakin apakah keputusannya ini benar atau tidak. Karina bukan manusia. Lalu pulau Veela memang sengaja menghilang agar tidak didatangi oleh manusia. Apa yang harus Shanks lakukan? Dia ingin sekali menemuinya, memeluknya dan melepas semua rindu yang telah dia pendam selama ini.

“Gadis itu masih menunggumu.”

Langkah Shanks di pinggiran dermaga terhenti saat seorang wanita tua berpakaian gotik berkata secara random ke padanya. Teman-temannya yang berdiri di belakang juga sama-sama ikut berhenti. Shanks menatap wanita tua itu lekat-lekat, entah kenapa merasa tersinggung dengan ucapannya barusan, meskipun bisa saja wanita itu hanya asal ucap.

“Dia hanya wanita aneh, Bos. Lebih baik kita segera bergegas ke Bar!”

Shanks menatap para krunya. “Ah, kalian duluan saja. Ada yang perlu aku bicarakan.”

Mereka semua mengernyit. Tapi Benn justru sebaliknya. Teman-temannya pun segera meninggalkan Shanks dan Benn masih berdiri di tempatnya.

“Kau ikut mereka saja, Benn. Aku perlu berbicara dengan wanita ini.”

Benn menghela napas kasar dengan menghembuskan asap rokoknya. Dia menatap kaptennya itu lalu beralih menatap wanita tua tersebut. “Tolong jangan buat keributan, Shanks.”

Kemudian Benn pun pergi. Meninggalkan Shanks bersama wanita tua tersebut.

“Sepertinya banyak hal yang harus kita bicarakan, Tuan Bajak Laut.”

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top