01 | A Human

Ada sebuah pohon besar yang tumbuh di pulau. Akarnya menjalar seperti nadi di sekitar tanah yang dia hinggapi. Batang dan dahannya begitu panjang hingga merambat ke sungai tenang di dekatnya. Tanaman-tanaman kecil, seperti rumput, jamur dan lumut mengelilingi pohon tersebut tak lupa dengan binatang-binatang kecil bersayap yang bercahaya apabila di malam hari. Seorang gadis penunggu pohon itu tertidur di salah satu akar besar yang menunggang. Membiarkan cahaya matahari pagi mengenai wajahnya dari sela-sela dedaunan.

Beberapa makhluk kecil penunggu jamur di sekitar pohon mengerubunginya. Menarik rambut serta jari kakinya, seakan-akan meminta gadis itu untuk terbangun dari tidur cantiknya. Aksi mereka berhasil, saat gadis berambut hitam legam itu membuka mata. Menatap sayup ke arah sungai yang terlihat tenang, kemudian mendongak saat terdengar kicau burung kenari dan kutilang saling bersahutan di atas pohon. Mereka seakan-akan menyambut paginya yang lagi-lagi terasa begitu hambar. 

“Karina! Ada makhluk aneh di pinggir sungai!”

“Karina, Karina! Kau harus segera melihatnya!”

“Dia tidak terlihat seperti kita. Tapi tubuhnya hampir mirip denganmu!”

Gadis yang bernama Karina itu merenggangkan tubuhnya sejenak. Dia membetulkan rambut panjangnya dan berdiri. Mengikuti langkah peri jamur yang membawanya menuju pinggiran sungai. Di tengah sungai terdapat beberapa batu besar yang mencuat. Di antara batu tersebut terdapat sesosok makhluk yang teman-temannya ceritakan. Tubuhnya besar, mungkin hampir mirip dengannya yang merupakan salah satu dari 10 Nymph penunggu Pulau Veela. Karina memiringkan kepalanya, terlihat penasaran. 

Gadis itu tanpa berpikir panjang, turun ke sungai. Membiarkan kaki mulusnya tercelup air yang dingin menusuk tulang. Gaun putih gadingnya ikut basah hingga ke pinggang menyesuaikan dengan kedalaman sungai. Dia berhenti sejenak untuk meneliti penampilan makhluk tersebut. Dia mengenakan pakaian yang tidak pernah Karina lihat. Rambutnya pendek berwarna merah tua. Terdapat rambut-rambut halus di sekitar dagunya. Tubuhnya basah, kulitnya sangat pucat. Karina kembali mendekatinya, menyentuh lengannya yang ternyata memiliki bentuk yang sama sepertinya. Tubuhnya sangat dingin. 

“Hei.”

Makhluk itu tidak bergeming. Apakah dia sudah mati?

“Hei.”

Karina menyentuh rambutnya, menyingkirkannya dari wajahnya. Sehingga kini dia dapat melihat wajah makhluk itu yang tengah memejamkan matanya. Gadis itu semakin penasaran, mencoba untuk menyentuh wajah itu dan mengusap dengan tangannya. Dia masih hidup. Karina merasakan deru napas dari makhluk tersebut. Gadis itu seketika menarik tangan makhluk itu dan membawanya ke pinggir sungai. Dia membaringkannya ke tanah dan memperhatikan lekat-lekat rupa dari mahkluk yang memiliki bentuk tubuh kurang lebih sepertinya. Memiliki rambut, memiliki mata, hidung, bibir, kulit, sepasang tangan dan kaki (yang masing-masing memiliki 5 jari). Karina menyunggingkan senyum, bertahun-tahun tinggal di hutan ini, dia tidak pernah melihat makhluk seperti ini. Dan makhluk ini sama sepertinya namun ada yang sedikit berbeda. Dada dan perutnya sangat keras, dan dia tidak memiliki gumpalan daging di dadanya. Apakah dia bukan dari kaum Nymph?

Kening makhluk itu mengkerut, perlahan dia membuka matanya. Karina terkejut, begitu pula para peri jamur yang memang sedari tadi hanya melihat dari kejauhan. Gadis itu refleks berdiri dan kabur bersembunyi dalam pohon tempat dia tinggal. Mengintip dari balik sela-sela batang. 

Makhluk apa itu? Apakah ini pertanda buruk?

* * *

Kapalnya diserang oleh sekelompok angkatan laut pada malam itu. Badai ikut mendukung dan persediaan meriam sudah habis bersamaan dengan kesadaran para awak kapal yang begitu minim. Sang kapten yang juga sama-sama mabuk mencoba untuk mengembalikan kesadarannya dan membentak para bawahannya untuk menyerang dan melarikan diri secepatnya mungkin. Badai membutakan pandangan sang navigator, dan itu menjadi kesialan bagi mereka saat 3 meriam berhasil menghancurkan dek belakang kapal serta tiang layar. 

Shanks, sang kapten, mencoba untuk melakukan serangan jarak dekat, dia telah siap dengan pedangnya, tak lupa letupan Haki penakluk dan Haki senjata dia aktifkan. Namun hal tak terduga pun terjadi saat dia berhasil melompat melesat bagai kilat, lalu ombak muncul tak kalah cepat menghantam dirinya hingga hilang ditelan oleh malam. Semua awak kapal panik. Namun sang wakil kapten, satu-satunya orang yang masih memiliki kesadaran seutuhnya, mengambil alih. Dia menuntun para awak kapal untuk fokus melarikan diri. Walau di pikirannya dia sangat khawatir dengan sang kapten yang terbawa ombak. 

Tubuh Shanks terombang-ambing, skill berenangnya benar-benar dikalahkan oleh amukan gelombang di bawah laut. Berkali-kali dia terus terhempas hingga menjauhi kapal. Sangat jauh hingga dia tidak bisa ditemukan di mana-mana. Tubuhnya terasa nyeri, dia yakin ada banyak memar di sana akibat benturan batu karang dan gelombang sekuat baja. Pria itu terbangun saat cahaya hangat matahari mengenai wajahnya. Matanya tak sengaja menatap wajah asing yang terlihat sangat kontras akibat sinar matahari di belakangnya. Shanks jadi tidak bisa melihatnya dengan jelas. Lalu beberapa detik kemudian orang itu memekik dan kabur. 

Shanks terbelalak. Sekarang dia tersadar sepenuhnya. Dia masih hidup, bahkan dia merasakan rasa sakit di sekitar tubuhnya yang basah kuyup. Pria itu menatap ke sekelilingnya. Tadi dia melihat seseorang, kemana dia?

“Oy! Apa ada seseorang?!” tanyanya. Pria itu mencoba untuk menyentuh leher dan belakang lehernya, kemudian mengecek ikat pinggangnya. Setelah itu dia menghela napas lega saat topi dan pedangnya masih melekat di tubuhnya. Perlahan Shanks berdiri, melepas kemejanya dan memerasnya. Dia meneliti sejenak dada dan perutnya yang terdapat beberapa memar dan lebam-lebam keunguan. Pasti dia menabrak bebatuan dengan sangat keras. 

Sreek ...

Sreek ...

Shanks dengan cepat menoleh ke belakang. Dia baru saja mendengar suara rumput diinjak. Pria itu menaruh kemeja basanya di pundak mengejar suara tersebut. Dia sampai mengaktifkan Haki observasinya, sebab siapapun itu, dia butuh bantuannya untuk keluar dari tempat ini.

“Hey, tunggu!”

Kini pria itu bisa melihat dengan jelas terdapat seorang gadis berambut hitam panjang dengan gaun putih gading tengah berlari di jalan setapak yang dipenuhi oleh pohon-pohon pinus, kakinya yang mungil bergerak dengan lincah bersamaan dengan rambut dan ujung gaunnya yang bergoyang. Shanks menyeringai, dia memancarkan Haki penakluk miliknya hingga berhasil menyengat tubuh gadis itu yang mendadak berhenti di pinggir jurang. Tubuhnya terlihat bergetar sebab Shanks belum melepas Hakinya padanya. Setelah pria itu berhasil mendekat, dia langsung memegang tangan gadis itu.

Tapi kejadian tak diduga terjadi saat tanah yang mereka pijak mengalami longsor, tubuh mereka berdua terjatuh begitu saja ke jurang. Shanks mengumpat, refleks menarik tangan gadis itu yang sepenuhnya telah pingsan (akibat serangan Hakinya) ke dalam rengkuhannya agar terlindung dari hantaman akar pohon serta semak-semak berduri. Tubuh Shanks terhempas ke tanah, menahan tubuh gadis itu agar tidak terluka. Dia meringis, dan karena sejak awal dia sudah cedera, membuat kesadarannya kembali menghilang. 

* * *

Karina terbangun dari pingsannya sejenak setelah dia merasakan ada dua tangan memeluk dada dan perutnya. Tubuh gadis itu mendadak gemetar saat merasakan deru napas berat di sekitar kulit lehernya. Karina memejamkan matanya, mencoba untuk melepas tangan tersebut dan menjauh darinya. Karina memegang dadanya, merasakan degup jantungnya yang berdetak sangat cepat. Gadis itu cepat-cepat berdiri dan meninggalkan makhluk itu yang ternyata bukanlah makhluk yang ramah. Tadi, makhluk itu mengejarnya, menyerangnya dengan energi sihir sehingga membuatnya tidak bisa bergerak sedikitpun. 

Tapi langkah Karina terhenti saat melihat punggung makhluk itu yang terluka. Lukanya cukup panjang dan mengeluarkan cairan berwarna merah. Karina terkejut, sontak membuatnya menutup mulutnya. Dia kembali mendekat, berjongkok dan menyentuh luka tersebut. Darah di tubuhnya berbeda dengannya. Itu berwarna merah, sama seperti warna rambutnya. 

Karina tiba-tiba teringat, sebelum dia terjatuh. Makhluk ini yang melindunginya agar tidak terkena tanah berisi akar-akar kayu yang tajam serta semak-semak berduri. Pasti punggungnya sobek karena akar yang mencuat di atas sana. 

“Kau ... Sebenarnya kau ini apa?”

Karina membopong tubuh makhluk itu dan membawanya ke tepi sungai terdekat. Dia membasuh luka di punggungnya serta luka-luka gores di wajahnya. Gadis itu meraup tanah di sekitar, tangannya mengeluarkan cahaya kuning hangat sebelum akhirnya membalurkannya ke luka di punggung makhluk tersebut. 

Shanks perlahan membuka mata. Dia terdiam saat merasakan seseorang menyentuh punggungnya. Sentuhannya lembut, dan entah kenapa rasa sejuk terasa di luka sobeknya. Gadis itu kini makin mendekat, berjongkok di hadapannya dan membalurkan sisa tanah di wajahnya yang terdapat luka gores dan memar. Shanks perlahan membuka mata, dengan cepat mencekal tangan gadis itu agar tidak kabur atau melakukan hal radikal lainnya. 

Gadis itu jelas terkejut. Mata indahnya itu terbelalak. Dia hendak menjauh tapi tangannya ditahan oleh tangan kekar pria itu. 

“Lepas!”

Suaranya begitu lembut, tapi ada getar ketakutan di dalamnya. 

“Aku ada di mana? Pulau apa ini?”

Gadis itu tiba-tiba terdiam. Dia dibuat terkejut oleh suara bariton pria itu. Karina tidak pernah mendengar jenis suara seperti itu sebelumnya. Terdengar ... Terdengar sangat indah. 

“Hey, kau dengar aku?” Pria itu kembali bertanya. Kali ini gadis itu sedikit lebih tenang. 

“Veela ... Pulau Veela.”

Shanks mengernyit. Dia tidak pernah mendengar nama pulau itu. Bahkan untuk ukuran dirinya yang merupakan seorang bajak laut sejak kecil, yang sudah paham dan hafal rute di lautan, dia tidak pernah mendengar nama pulau tersebut. 

“Terletak di mana pulau ini? Grand Line? Atau di wilayah Biru?” tanya Shanks. 

Karina memiringkan kepalanya, membuat atensi Shanks turun pada bentuk daun telinga gadis itu yang sedikit meruncing.

“Grand Line? Apa ... Itu?”

Baiklah. Sekarang Shanks bingung. Dia membetulkan posisi duduknya dan mencoba untuk menyentuh punggungnya. Ada banyak tanah basah yang sengaja dibalur di sana. Tapi anehnya, luka sobeknya sudah tidak ada. Padahal Shanks yakin dia nyaris telah menghancurkan punggungnya saat terjun dari jurang tadi. 

“Shhh.”

Shanks meringis. Kali ini bukan karena punggungnya. Tapi memar di dada dan perutnya yang sekarang sakitnya mulai terasa. Karina menatap memar tersebut, secara impulsif gadis itu memegang perut dan dada pria itu, mengoleskan tanah yang ada di tangannya. 

Shanks terdiam, tadinya dia mau menepis tangannya, namun saat dia merasakan rasa sejuk di kulitnya, membuatnya hanya terdiam menatap wajah gadis misterius tersebut. 

Bentuk wajahnya mungil, hidungnya kecil dan mancung, matanya besar dengan bola mata cokelat terang. Bibirnya tidak terlalu besar namun berwarna merah muda. Kulitnya putih bersih bak porselen disertai rona merah muda di hidung, pipi dan di sekitar sendinya. Rambutnya panjang berwarna hitam yang terlihat kontras dengan warna kulitnya. Satu kata yang bisa Shanks simpulkan. Gadis ini sangat cantik. Tubuhnya mungil, namun cukup berisi di beberapa bagian. Lekuk tubuhnya sangat proporsional, dan lagi, gadis ini sangat wangi. Ada aroma kayu bercampur aroma buah persik merebak saat dia mendekat ke arahnya. Shanks dibuat gugup. Pria itu mengatur napasnya dan terus mencoba menelan ludahnya susah payah. 

“Kau ... Siapa?”

Eh? Gadis itu bertanya?

“Aku ... Tidak pernah melihat makhluk sepertimu sebelumnya.”

Tunggu-apa? Memangnya Shanks mahkluk apa kalau bukan manusia?!

* * *

Sekarang Shanks paham. 

Dia hanyut begitu jauh sampai ke pulau entah berantah. Gadis ini bilang, dia berada di pulau Veela. Dia tidak tahu pulau apa itu. Tapi, melihat reaksi gadis itu yang juga kebingungan akan kehadirannya, pikiran gila Shanks terbang ke mana-mana. Dia sempat berpikir kalau dia jatuh ke dimensi lain. Tapi tidak mungkin. Dia yakin dia masih di dunianya. Paling tidak, dia terbawa badai dan terombang-ambing hingga terseret ke wilayah Calm Belt, (meskipun itu terdengar mustahil, sebab wilayah itu tidak ada angin dan cuaca) sebab di sana banyak pulau-pulau tak berpenghuni. Jadi masih ada kemungkinan kalau Shanks tidak terpental ke dunia lain. 

“Siapa namamu?” tanya Shanks. “Aku Shanks. Aku kapten bajak laut Akagami. Kau pernah mendengarnya?” tanyanya sekali lagi. 

“Bajak laut? Apa ... Itu?” Gadis itu malah bertanya. 

Shanks menghela napas. "Baiklah, kau mungkin tidak tahu siapa kelompok bajak laut itu. Tapi siapa namamu?"

“Aku ... Karina.”

Pria itu mengangguk-angguk. “Baiklah, Karina. Aku harus segera pergi dari pulau ini. Teman-temanku pasti mencariku.”

Shanks bangkit dari duduknya. Dia mencari pakaiannya yang ternyata terlempar beberapa meter dari lokasinya. Karina ikut berdiri, menatap pria itu yang tengah memakai pakaiannya. Luka dan memar di sekujur tubuhnya perlahan menghilang akibat kekuatan magisnya melalui media tanah. Gadis itu memperhatikannya sejenak. Terdapat perbedaan antara dirinya dengan pria itu. Dia berambut merah, sedangkan dia berambut hitam. Dia memiliki kulit yang sedikit coklat, sedangkan dia putih pucat. Dia memiliki tubuh yang tinggi dan kekar, sedangkan dia tidak. Suaranya begitu berat, sedangkan Karina begitu kecil. Terakhir, dia tidak memiliki daun telinga yang runcing. Sebenarnya makhluk jenis apa dia?

“Kau—Apakah kau manusia?” Karina tiba-tiba mencoba memberanikan diri untuk bertanya. Legenda mengatakan jika manusia memiliki ciri fisik hampir sama dengan para Nymph. 

“Yeah ... Memangnya apa lagi? Apakah kau bukan manusia?” Shanks terkekeh. Dia berniat melempar guyonan. 

Gadis itu terbelalak. Pria ini manusia?! Dia tidak pernah menyangka bisa bertemu langsung dengan makhluk tersebut yang selalu diceritakan oleh para tetua atau Oread yang menghuni daerah pegunungan. 

“Kau ... Bagaimana bisa datang ke sini?” tanya Karina. 

Shanks menaikkan salah satu alisnya. “Aku hanyut terbawa ombak saat badai. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah menolongku, Karina.”

Karina terdiam. Pria itu tadi menyebut namanya. Rasanya seperti aneh saat mendengar suara beratnya yang menggelitik di telinga. 

“Aku boleh minta tolong sekali lagi?” tanya Shanks.

“Iya?” Karina menatap wajah pria itu lekat-lekat. 

“Bisa kau antar aku ke daerah pesisir? Aku harus segera pergi dari sini.”

Karina mengangguk. “Tapi ... Manusia seharusnya tidak bisa datang ke pulau ini.”

“Apa maksudmu?”

“Nenek moyang kami mengatakan kalau manusia dilarang untuk menginjakkan kaki di pulau Veela. Terdapat pembatas tak terlihat yang menyembunyikan pulau ini agar terlindungi dari para manusia.”

Shanks terdiam. Mencoba untuk memahami informasi dadakan yang diberikan oleh gadis itu. “Jadi maksudmu, aku datang ke pulau terlarang? Manusia tidak bisa datang ke sini? Lalu kau sendiri apa?”

“Aku seorang Nymph. Salah satu roh penunggu pohon besar dekat kau pertama kali bangun tadi.”

“Apa?”

“Kau harus segera pergi. Sebelum para tetua mengetahui keberadaanmu dan membahayakan para Nymph dan peri!”

Shanks sebenarnya tidak paham apa maksud gadis ini. Tapi melihat begitu banyak keganjalan pada fisiknya yang begitu unreal, serta kemampuan magis berupa penyembuhan dari tanah itu, membuatnya tidak banyak bertanya. “Baiklah, aku akan segera pergi. Tolong antar aku ke pesisir.”

* * *

A/N:

Haki: Kemampuan super dalam dunia One Piece.

Nhymp: Makhluk mitologi berasal dari Yunani, roh alam yang berperawakan wanita cantik. Biasa disebut peri.

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak berupa vote atau komen.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top