Chapter 1.1


"Mas Dwi? Dari mana?"

Salah satu pelayan pribadi Rasyid datang dengan wajah penuh kebingungan. Siapa yang tidak akan bingung? Pelayan pribadi itu sudah mencari Rasyid sejak sore tadi, karena orang rumah mengatakan Rasyid memang sudah pulang dari kantornya. Pelayan pribadi itu juga dituntut untuk membawa Rasyid pada acara syukuran yang dilakukan keluarga besar atas kelahiran bayi di keluarga tersebut.

"Saya nggak ada kewajiban untuk memberitahu kamu ke mana saya pergi, Danang."

Pelayan pribadi itu hanya bisa menahan dirinya untuk tidak mengacaukan lebih jauh lagi suasana hati majikannya itu.

"Mas Dwi dicari dari tadi sama Ndoro Putri. Tadi acara syukurannya harusnya ada Mas Dwi, tapi ternyata Mas Dwi nggak tahu ada dimana. Jadi, saya kebingungan cari Mas Dwi."

"Tanpa saya acaranya tetap berjalan dengan baik, kan? Saya nggak merasa bawa kehadiran saya diperlukan juga. Yang penting kamu nggak dihukum, kan?"

Danang menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak, Mas."

Rasyid berjalan kembali tanpa menghiraukan Danang yang mengikutinya dari belakang. Rasyid sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Sejak kecil dia sudah diperlakukan seperti keluarga bangsawan, padahal nama Beranda yang dirinya sandang hanya sekadar gelar keturunan dari leluhur-leluhur atas yang bahkan tidak Rasyid kenali. Itu sudah sangat lama, tapi namanya tetap disematkan gelar Beranda tersebut. Padahal, Rasyid selalu terbebani dengan nama yang diberikan itu, sebab dari kecil dia selalu ditanya, Oh kamu ada keturunan bangsawan, ya?, Orang mana?, dan lain sebagainya.

Bukannya Rasyid tidak bersyukur dengan apa yang didapat dan dimilikinya. Hanya saja Rasyid tidak bisa menjelaskan apa-apa mengenai namanya. Sebab bukan dia yang memiliki gelar tersebut, dan keluarga mereka sudah jauh dari kata kejawen karena bisa dibilang gelar tersebut didapatkan jauh sebelum Rasyid ada. Jika sekarang Rasyid diperlakukan bak bangsawan, itu karena mereka kebetulan memang keluarga kaya. Memiliki ini dan itu yang mendukung gelar tersebut tampak cocok untuk disandang.

"Akhirnya kamu pulang Mas."

Rasyid mendapati istrinya duduk di sofa dimana kamar pribadi pria itu tak boleh disentuh siapa pun. Mereka memang sudah menikah, tapi Rasyid tidak mencintai sama sekali perempuan yang kini berada di kamarnya itu.

"Kamu ngapain di sini? Ini sudah malam, istirahat saja di kamarmu."

"Di depan ada Danang, kan? Kenapa kamu bersikap kasar begini disaat ada orang-orang yang bekerja pada Ibumu?"

Rasyid menatap perempuan yang memang sangat anggun itu. Sangking anggunnya, Rasyid merasa tidak bisa menggapai apa pun dengan istrinya itu. Rasyid merasa terlalu dijadikan keturunan yang berharga di depan perempuan itu, sedangkan bersama Rengga Ayu dia menjadi seorang pasangan, seorang pria yang dicintai, dan seorang Rasyid tanpa embel-embel gelar keturunan dan harus bersikap penuh kepura-puraan.

"Mentari, harus kamu tahu bahwa aku nggak berniat untuk menyakiti kamu. Dari awal, aku sudah bilang, bahwa ada perempuan yang aku cinta dan itu bukan kamu. Kalau sekarang kamu berusaha untuk membuatku terikat dengan kamu melalui kedekatanmu dan ibuku. Aku nggak akan masuk dalam permainanmu. Sudah cukup aku selalu mengorbankan kebahagiaanku."

Mentari tidak tampak terancam sama sekali, sikapnya selalu tenang apa pun ancaman yang diberikan oleh Rasyid.

"Kamu yang memilihnya sendiri. Kamu yang memilih untuk mengorbankan kebahagiaanmu. Kamu yang menyerah untuk membela dirimu di depan kedua belah pihak keluarga. Sejak awal, aku nggak pernah memaksakan kehendak. Kamu terima, aku bersedia menikah. Tidak kamu terima, aku juga akan tetap dijodohkan pria lain. Jadi, kenapa harus kamu menyalahkan orang lain karena kamu nggak bahagia? Itu urusanmu, kamu yang bermasalah untuk membela dirimu sendiri." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top