Part 34 - The melody into my harmony
Hello 🤗🤗🤗
Semoga dengan upload ini bisa membuat kalian senang...
Sebelumnya aku turut berduka untuk jatuhnya pesawat Lion JT 610 😭
Deep condolences for those families who has lost 😭😭😭
Happy Reading
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Lemas.
Itulah yang dirasakan Joan sekarang. Dia seperti mengalami masa tidur paling panjang dan rasa kaku terasa di sekujur tubuhnya karena sudah lama tidak digerakkan. Apakah dia sudah mati? Entahlah. Yang jelas saat ini dia bisa mendengar suara deburan ombak diluar sana dengan suasana yang begitu sunyi di sekitarnya.
Perlahan dia membuka matanya dan menatap langit-langit putih dengan hiasan lampu gantung yang berbentuk simetris. Dia pun mencoba untuk mengerjap dan merasakan pusing yang amat sangat di kepalanya.
Spontan dia mengangkat tangannya untuk menangkup kepalanya dan... shit! Untuk mengangkat tangannya saja, dia meringis pelan karena merasa nyeri di setiap sendi tubuhnya.
Dia mencoba memiringkan kepalanya kearah kiri lalu kearah kanan sambil melihat dimana dirinya berada. Sebuah kamar dengan jendela besar yang memberikan pemandangan pantai di cuaca yang begitu cerah. Dia tidak tahu dimana dirinya sekarang, yang dia tahu adalah bahwa saat ini dia tidak mati.
Dia menatap tangannya yang terangkat dan melihat ada perekat dengan perban yang ada ditengah-tengahnya di sekitaran pergelangan tangannya, itu bekas infusan. Seperti baru dilepaskan belum lama karena perekat itu tampak masih baru.
Sambil meringis pelan karena menahan rasa nyeri di bagian dadanya saat menarik nafas, Joan berusaha untuk beranjak dari rebahannya dan mengambil posisi duduk dengan kepala yang masih begitu pusing. Dia memejamkan matanya ketika rasa pusing itu menghantamnya dan menunggu selama beberapa saat sampai rasa pusing itu berkurang.
Dia menyentuh perutnya dan sudah terpasang perban anti air yang menandakan kalau dirinya sudah ditangani dengan baik. Lukanya sudah dijahit dan hanya ada rasa sakit yang samar di perutnya saat ini. Mungkin dia sudah diberi obat penghilang rasa sakit. Entahlah. Karena yang ingin dilakukannya saat ini adalah mencari minum lalu kemudian makan.
Tenggorokannya terasa sakit dan kering, perutnya pun sudah bergemuruh lapar. Dia benar-benar membutuhkan makanan saat ini karena rasa lemas yang dirasakannya sungguh menyiksanya. Dia tidak suka jika harus tidak berdaya.
Dengan kedua tangan yang sudah menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, dia menunduk untuk melihat flowery pajama kesukaannya sedang dikenakannya. Siapa yang membawakan pakaiannya sampai kesini? Dia pun mulai melihat ada sepasang sendal berbulu yang ditaruh di kaki ranjang untuk dipakainya.
Joan hanya bisa tersenyum kecil melihat sendal rumah kesukaannya ada disini. Bisa jadi dia sedang berada di salah satu rumah pantai milik kakaknya atau ayahnya karena hanya di tempat merekalah terdapat barang-barang kesukaannya agar merasa lebih seperti dirumah sendiri.
Dia adalah tipikal homesick, bukan orang yang mudah merasa nyaman dengan tempat tinggal saat dirinya bepergian. Oleh karena itulah, ayah dan kakaknya akan mempersiapkan kebutuhan pribadinya agar dia menjadi senyaman mungkin jika berlibur bersama keluarga besarnya.
Joan memakai sendalnya lalu beranjak berdiri dan meringis pelan karena kedua kakinya tidak sanggup menopang berat badannya. Dia sampai meraih nakas yang ada disamping ranjang untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Dimana orang-orang yang lainnya? Kenapa tidak ada satu orang pun yang menunggunya disini?
Setelah yakin kalau dirinya sudah mampu berjalan, Joan melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar itu dan menyusuri koridor yang menuju kearah sebuah tangga. Dia menuruni anak tangga dengan hati-hati sambil melihat rumah itu dalam tatapan menilai. Sangat tenang dan cukup nyaman. Rasanya dia rindu untuk bertemu dengan ayah dan ibunya saat ini.
Dia melebarkan senyuman saat bisa melihat ruang makan yang sudah tersaji berbagai macam makanan disitu, spontan perutnya kembali bergemuruh dan membuatnya melangkah dengan penuh semangat kearah meja itu.
Saat dia tiba tepat di meja makan, disitu bertepatan dengan Petra yang muncul dari arah dapur sambil membawa sepiring makanan. Deg! Joan mengerjap kaget, demikian juga pria itu. Keduanya terdiam namun saling bertatapan dengan pikirannya masing-masing.
"Hai...", sapa Petra dengan ragu.
Joan mengerjap pelan lalu membalas dalam suara tercekat. "Hai...".
Seperti mengetahui apa yang dirasakan Joan pada tenggorokannya, Petra segera menaruh piring yang dibawanya yang ternyata adalah seporsi pasta yang terlihat menggiurkan. Pria itu meraih segelas air putih dingin yang sudah ada dimeja seolah itu sudah disiapkan untuk dirinya lalu berjalan mendekatinya dan menyodorkan gelas itu.
Joan langsung mengambilnya dan meneguknya dengan cepat. Ya Lord... ini sangat menyegarkan dan Joan mendesah lega setelah menandaskan air dalam gelas itu.
"Thanks", ucap Joan lalu membasahi bibirnya dengan lidahnya untuk memberikan sensasi dingin dari air yang diteguknya tadi.
Petra tersenyum. "Kau sudah bangun. Apa kau baik-baik saja?".
"Ya. Aku... baik-baik saja. Aku.... bolehkah aku menikmati makanan itu? Aku sangat lapar", ucap Joan yang fokusnya teralihkan pada zuppa soup yang ada diatas meja.
"Tentu saja", balas Petra langsung dan menarik sebuah kursi untuk Joan.
Joan langsung duduk dan meraih sendok untuk menekuni zuppa soup yang masih hangat disitu. Dia menekan pastry yang ada di mulut mangkuk sehingga terpecah lalu menyendok sebagian pastry yang sudah dipecah dengan soup cream yang ada didalamnya. Dia pun memakannya dengan tekun dan sama sekali tidak menyadari Petra yang masih memperhatikannya dalam diam.
Perutnya benar-benar lapar dan tanpa terasa seporsi zuppa soup itu dihabiskannya tak bersisa. Dia mengalihkan tatapan diatas meja yang masih ada beberapa pilihan makanan dan tatapannya tertuju pada spaghetti carbonara yang dibawa Petra tadi.
Joan menoleh kearah Petra yang masih memperhatikannya dengan tatapannya yang tajam dan tenang. Pria itu seperti tahu apa yang diinginkan Joan dengan memberikan kode tangan kearah pasta itu seolah mempersilahkannya untuk menikmati hidangan itu.
"Kau tidak makan?", tanya Joan malu-malu lalu mengambil piring yang berisi pasta itu.
Petra menggeleng sambil tersenyum. "Aku sudah cukup makan. Kau yang harus makan. Semua makanan ini memang untukmu".
"Untukku?"
"Ya. Untukmu. Aku tidak tahu apa yang harus kusajikan selain memasak makanan kesukaanmu saat kau sadar nanti karena kau pasti akan kelaparan", jawab Petra hangat.
Apa katanya barusan? Petra memasak untuk dirinya dan masakan yang tersaji adalah memang makanan kesukaannya. Zuppa soup, spaghetti carbonara, chicken snitzel dan omelette jamur beserta salad buah.
"Kau... bisa memasak?", tanya Joan sambil memulai ritual makannya.
Matanya melebar sesaat menikmati pasta yang terasa begitu lezat dan tentu saja tidak membutuhkan waktu lama untuk Joan kembali menyuapi dirinya agar rasa laparnya terpuaskan.
"Aku sudah terbiasa hidup mandiri sedari dulu dan pengasuhku yang bernama Helen sering memasak untukku lalu aku menanyakan resep masakan yang dibuatnya. Kemudian aku mencoba untuk membuatnya sendiri saat aku berkuliah", jawab Petra kemudian.
Joan mengangguk paham dan tidak ada yang aneh jika pria bisa memasak. Kakaknya, Joel dan para anak laki-laki memang bisa memasak meskipun kemampuan memasak mereka masih standart. Jauh dari keluarga membuat mereka harus mampu melakukan segala sesuatunya sendiri.
"Kedengarannya Helen adalah orang yang baik", ucap Joan pelan.
Petra mengangguk dengan seulas senyum tipis disitu. "Sayangnya dia sudah tidak ada. Dia meninggal saat aku berusia 15 tahun karena penyakit leukimia. Jika dia masih hidup, aku pasti akan mengenalkanmu padanya dan dia pasti akan senang denganmu".
Joan menghentikan makannya saat melihat sorot mata sedih yang dipancarkan Petra. Pria itu terlihat masih merasa takut untuk kehilangan. Di balik dari sosok yang kuat dan keras seperti dirinya, ada banyak duka yang disimpannya rapat-rapat tanpa ada yang mengetahuinya.
Seorang pria dewasa yang akan selalu datang ke makam orangtuanya setiap tiga kali dalam setahun. Tanggal ulang tahun orangtuanya, tanggal kematiannya dan saat thanksgiving. Petra selalu rutin membawakan sebuket bunga yang sama setiap kali mengunjungi makam itu. Juga dengan perasaan yang sama.
Joan spontan menaruh tangannya diatas punggung tangan Petra lalu meremasnya lembut. Pria itu langsung mengerjap dan menatapnya dengan gugup.
"Dia sudah bahagia diatas sana. Jalan hidup orang berbeda. Jika dia sudah tidak ada, itu berarti tugasnya di dunia ini sudah selesai. Tidak ada lagi kesakitan melainkan kedamaian. Jadi, jangan berpikir kau akan sendirian jika satu orang dalam hidupmu sudah tidak ada. Kau masih memiliki keluarga, teman dan sahabat", ujar Joan dengan lugas.
Petra terdiam dan menatapnya begitu lama. Ada raut kesedihan yang terpancar dari wajahnya. "Jadi, aku sudah tidak memiliki istri yang akan menemaniku sekarang?".
Joan tercengang dan menatap Petra dengan tatapan tidak mengerti.
"Tadi kau bilang aku masih memiliki keluarga, teman dan sahabat. Tapi kau tidak menyebut soal istri", ujar Petra menjelaskan kebingungan Joan.
Eh?
"Aku... ", Joan tidak tahu harus berkata apa dan tatapannya langsung tertunduk pada tangan kanannya dimana cincin pernikahannya sudah tidak ada.
Dia mengerutkan alisnya dan merasa bingung. Seingatnya dia masih memakai cincin pernikahan itu ketika penyerangan itu terjadi. Tapi sekarang? Cincin itu sudah tidak ada.
"Jika kau bingung kemana cincinmu. Cincin itu sudah kubuang", ujar Petra kemudian.
Joan langsung mengangkat wajahnya dan menatap Petra dengan mata terbelalak kaget. Apakah pria itu sudah gila? Barusan dia bertanya kenapa dirinya tidak menyebut kata istri saat memberikan perkataannya tadi, tapi dia juga yang mengambil cincinnya lalu membuangnya tanpa sepengetahuannya.
Joan pun hanya terdiam sambil melanjutkan makanannya tanpa minat. Dia kembali merasakan denyutan nyeri dalam hatinya. Apakah sebegitu tidak berharganya dirinya di mata Petra? Jika dia tidak mengindahkan arti sebuah pernikahan, rasanya sungguh terlalu sampai harus menikahinya dengan cara yang salah untuk mempermudah rencananya.
Mereka kembali terdiam satu sama lain dengan Joan yang menunduk untuk menekuni makanannya sedangkan Petra yang masih tidak melakukan apa-apa selain menatapnya. Hal itu terjadi selama beberapa saat atau sampai Joan menyelesaikan makanannya.
Joan meneguk air putihnya dengan cepat lalu segera beranjak dari kursinya dan langsung diikuti oleh Petra yang juga beranjak dari kursinya.
"Kau mau kemana?", tanya Petra pelan.
"Aku ingin mandi", jawab Joan langsung tanpa menatap kearahnya dan memutar tubuhnya untuk kembali menuju ke kamarnya yang tadi ditempati.
"Biar kubantu", ujar Petra sambil meraih lengannya dan merangkul pinggangnya tapi Joan buru-buru menjauh darinya.
Petra mengerutkan alisnya dan menatapnya bingung. "Aku..."
"Aku ingin mandi, Petra. Aku mampu untuk berjalan kembali ke kamar seperti tadi aku datang kesini untuk mencari makan", tukas Joan dengan seulas senyum tipis.
Petra tidak menyahutnya dan hanya mengangguk pelan. Dia mempersilahkan Joan untuk berjalan lebih dulu dengan dirinya yang mengikutinya dari belakang. Sesampainya di kamar itu, Petra segera mengarahkannya kepada walk in closet yang sudah berisikan pakaiannya.
Joan mengerjap bingung lalu menoleh kearah Petra yang masih menatapnya. "Kenapa ada pakaianku disini?".
"Aku menyiapkan pakaianmu dengan model dan ukuran yang sama seperti yang kau miliki di rumah orangtuamu. Apa yang kau miliki di tempat orangtuamu atau Joel, demikian juga ada di tempat tinggalku. Maksudku, tempat tinggal kita", jawab Petra lugas.
Joan kembali terdiam selama beberapa saat untuk mencerna perkataan Petra barusan. Pria itu semakin membingungkan tapi dia tidak berniat untuk menanyakan lebih lanjut.
"That's a very considerate of you. Thanks", ujar Joan akhirnya.
"Your welcome", balas Petra sambil menyerahkan sebuah handuk padanya.
Joan menerimanya dan berjalan menuju kearah kamar mandi diikuti Petra dibelakangnya. Dia bisa melihat ada bathub yang sudah berisikan bubble bath dengan aroma floral yang menyenangkan.
"Apa kau butuh bantuan?", tanya Petra kemudian.
Joan berbalik padanya lalu menggeleng dengan cepat. "Aku bisa sendiri".
Petra mengangguk dan dia terlihat ragu selama beberapa saat lalu melangkah kearahnya untuk memberikan sebuah kecupan di keningnya. Joan sampai menahan nafasnya menerima kecupan itu dan kembali kecanggungan itu terjadi.
Joan mundur selangkah untuk menjauh dari Petra sementara pria itu hanya terdiam saja melihat penolakannya lalu mengundurkan diri.
Merasa yakin kalau Petra sudah menghilang, disitu Joan segera mengunci pintu kamar mandi itu dan melepas pakaiannya dengan hati-hati untuk berendam didalam bathub sambil mendesah lega.
Sambil bersandar di pinggir bathub dan merasakan kehangatan yang menyelimuti dirinya, Joan menengadah untuk menatap langit-langit dengan kebimbangannya saat ini.
Selama satu tahun dia berlatih dan dua tahun dia mengikuti Petra, dia sudah sangat mengenal pria itu dari kejauhan namun tidak dari dekat. Dia juga tidak mempercayai sepenuhnya pria itu namun juga tidak berniat untuk meragukannya. Hanya saja.. rasa sakit yang dilakukan Petra terasa begitu menyakitkan.
Dia menunduk untuk menatap tubuhnya lalu menilai dirinya yang merasa tidak menarik dengan seluruh kekurangan yang dimilikinya. Semampu atau sehebat apapun dirinya, tetap tidak akan membuat Petra benar-benar mencintainya. Dia tahu itu. Sekali lagi. Dia hanya seorang wanita muda yang naif dan mudah dibohongi.
Tapi Joan tahu kalau Petra juga membutuhkan seseorang untuk mengerti keadaannya, situasinya, luka hatinya. Jika bukan dirinya, siapa lagi? Tadinya Joan merasa yakin dia mampu menjadi sosok yang dibutuhkan Petra, tapi sekarang? Semenjak Petra mengatakan sesuatu mengenai dirinya yang dimanfaatkan untuk membalas Joel dan dirinya yang bukan tipe wanitanya, rasanya itu masih menyesakkan dadanya.
Mengabaikan airmatanya yang hendak mengalir, Joan mengurungkan niatnya untuk berendam lama dengan beranjak dari situ lalu berdiri di bawah pancuran air dingin agar perasaannya menjadi lebih ringan.
Ayahnya pernah berkata bahwa dia memiliki hati yang terlalu baik. Joan seringkali mengorbankan kebahagiaannya untuk oranglain dan hal itu tidak disukai ayahnya. Semua karena ayahnya yang begitu menyayanginya karena pernah merasakan kehilangan yang amat dalam saat ibunya mengalami keguguran sebelum mendapatkan dirinya.
Dia yang disayangi oleh orangtuanya dan dilindungi oleh kakaknya. Juga oleh Alena. Dirinya sudah seperti puteri raja yang diistimewakan sehingga membuatnya dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Joan bersyukur akan hal itu. Dia beruntung mendapatkan keluarga yang masih dimilikinya dan merasakan kebahagiaan sejak dia dilahirkan.
Namun ketika dia melihat Petra yang begitu kesepian, hatinya merasa terenyuh. Bahkan setiap ekspresi yang menampilkan kesakitan saat pria itu menatap nisan orangtuanya, hal itu membuat Joan tidak sanggup untuk melihat lebih lama. Ingin rasanya dia memeluk dan mengatakan semua akan baik-baik saja kala itu. Tapi dia tidak bisa. Bahkan sampai sekarang.
Niatnya yang ingin mengenal Petra lebih dalam menjadi urung karena pria itu sudah begitu menyakitinya. Namun dia sudah terlanjur berjanji. Janji pernikahan yang pernah diucapkannya berasal dari hatinya yang terdalam. Sekalipun apa yang dikatakannya tidak dianggap Petra, tapi dia sudah berjanji.
Joan sudah mengeringkan tubuhnya, membelitkan tubuhnya dengan handuk dan berjalan menuju ke walk in closet-nya untuk memakai pakaiannya. Setelah makan dan mandi, dia sudah merasa jauh lebih baik.
Begitu dia selesai memakai pakaiannya, dia segera keluar dari situ dan mendapati Petra yang sedang duduk di tepi ranjangnya dengan tatapan menunduk seolah memikirkan sesuatu. Seperti mengetahui kedatangan Joan, dia mendongak untuk menatapnya dalam diam.
Lagi. Kecanggungan kembali terjadi diantara mereka berdua karena sama-sama tidak tahu apa yang harus dibicarakannya.
"Apakah aku sedang diculik olehmu dan menjadi sandera sekarang?", tanya Joan dengan ragu.
Alis Petra berkerut sambil menggeleng. "Tidak".
"Kalau begitu apakah aku boleh pulang?", tanya Joan lagi.
"Pulang?".
Joan mengangguk. "Aku ingin pulang ke rumah orangtuaku. Aku merindukan mereka dan tidak ingin membuat mereka cemas".
"Mereka sudah tahu keadaanmu", balas Petra.
"Tapi aku ingin bertemu dengan mereka", sahut Joan langsung.
"Apakah jika kau pulang ke rumah orangtuamu maka kau tidak akan kembali padaku?", tanya Petra sambil beranjak berdiri dari tepi ranjang.
Joan terdiam. Jujur saja dia tidak tahu harus menjawab apa sekarang.
"Aku tidak tahu apa yang kau tanyakan sekarang", jawab Joan jujur.
Petra menghela nafas dan menatapnya penuh arti. "Apa kau sudah lebih baik?".
Joan mengangguk.
"Kalau begitu maukah kau mendengarkanku lebih dulu? Aku ingin menjelaskan semuanya padamu sebelum aku membawamu kembali ke rumah orangtuamu", ucap Petra lirih.
"Apakah ada yang harus dijelaskan lagi? Dengar, apa yang kulakukan kemarin bukan untuk mencari perhatianmu agar kau merasa harus berhutang budi padaku", balas Joan.
"Aku tahu", sahut Petra kemudian.
Dia mengulurkan tangannya kearah Joan sambil berjalan mendekat padanya. "Please, we need to talk".
Joan mengangguk lalu menyambut uluran tangan Petra dengan gugup. Tangan besar Petra menggenggam erat tangannya lalu pria itu memimpin jalan untuk keluar dari kamarnya.
Mereka berdua menuju ke sebuah sudut ruangan dengan satu tempat duduk gantung dengan beberapa buah bantal besar di bawahnya. Di luar dari ruangan itu tampak pemandangan kolam renang dan pantai secara bersamaan. Harus Joan akui kalau rumah ini adalah rumah paling cantik yang pernah dilihatnya.
"Duduklah, Joana", ucap Petra hangat sambil mengarahkan tubuhnya untuk duduk diatas tempat duduk gantung itu.
Petra meraih segelas minuman hangat berupa lemon madu padanya dari sebuah meja yang tidak jauh dari situ. Joan menerimanya sambil menggumamkan terima kasih dan Petra duduk diatas karpet dengan sebuah bantal besar sebagai alasnya.
Dia duduk tepat menghadap Joan atau lebih tepatnya di depan pangkuan Joan. Pria itu melipat kedua tangannya diatas pangkuan Joan dan menaruh dagunya diatas lipatan tangannya sambil menatap Joan dengan intens. Hal itu membuat Joan gugup dan tidak nyaman.
"Apakah perlu seperti ini?", tanya Joan risih.
"Kita adalah suami istri. Kenapa harus malu?", balas Petra langsung.
"Aku tidak merasa kalau kau menganggapku demikian", sahut Joan.
"Kau masih marah padaku atas ucapanku waktu lalu. Aku minta maaf dan aku tahu aku yang bersalah disini. Maaf tidak akan cukup untuk mengampuni atas apa yang sudah kulakukan tapi... tidak ada kata terlambat untuk sebuah penjelasan", ucap Petra dengan nada masam.
"Lalu apa yang ingin kau jelaskan?", tanya Joan dengan tegas.
"Semuanya", jawab Petra tanpa berpikir. "Aku ingin meminta maaf atas apa yang sudah kulakukan padamu, terutama kejadian satu minggu ini".
Joan hanya terdiam saja sambil menunggu penjelasan lebih lanjut dari Petra. Dia meneguk minuman itu dan mendesah lega. Lemon madu adalah minuman kesukaannya jika dia merasa kurang fit. Dia heran dengan inisiatif Petra seperti menyiapkan makanannya tadi.
"Alasan kau yang aku manfaatkan untuk membalas Joel adalah bohong. Aku sudah tertarik denganmu sejak dulu. Kau yang ketus dan dingin. Yang selalu mengabaikanku karena ketidaknyamananmu terhadap orang asing. Kupikir akan menyenangkan jika bisa mendapatkanmu, itulah yang menjadi niat awalku untuk mendekatimu", ujar Petra kemudian.
Joan masih menunduk menatap Petra yang mendongak menatapnya. Dia sama sekali tidak mau menyela atau menimpali. Masih tetap dalam sikap diamnya yang seolah memberikan waktu sebanyak mungkin untuk pria itu melanjutkan ucapannya.
"Look, aku lelah dengan semua kebohongan dan kelicikan yang terjadi selama beberapa tahun ini atau saat aku sudah bergabung dengan Eagle Eye karena suruhan ayahku. Aku sudah tahu sejarah keluargaku, aku yakin kau pun sudah tahu karena ayahku pasti sudah memberitahumu. Niatku adalah menyelesaikan semuanya dengan batas waktu yang sudah kutentukan. Yaitu ketika aku sudah melamarmu dan membuatmu jatuh cinta padaku", ujar Petra dengan mimik wajah sungguh-sungguh.
"Yang tidak kusangka disini adalah kau yang langsung menerima lamaranku dan meminta untuk segera menikah. Kau berniat untuk mengenalku dan menerimaku. Sungguh. Itu diluar dari rencanaku. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja sebelum aku menghancurkan para organisasi hitam dan menjatuhkan masa kejayaannya dengan bekerja sama pada pihak FBI dimana Jared yang menjadi kepala divisi kejahatan federal untuk menangkap mereka. Kami berdua mendirikan Manhunter sebagai pengalihan dan drama kebohongan itu terjadi begitu saja", kembali Petra melanjutkan.
Joan pernah melihat sosok Jared beberapa kali saat Petra melakukan pertemuan secara sembunyi-sembunyi beberapa bulan yang lalu. Dialah yang memberikan informasi kepada Noel untuk mencari tahu tentang orang itu sehingga Noel dapat mencari informasi tentang Jared ini. Tapi tentang Jared yang adalah ternyata pihak FBI, Joan baru tahu sekarang.
"Aku sempat dilarang dan diperintahkan oleh Joel agar menjauhimu dan jangan mendekatimu. Melihat sikapnya yang seperti itu membuatku semakin bersemangat untuk menarik perhatianmu selama tiga tahun ini. Apa yang kulakukan, itu kulakukan dengan sungguh-sungguh. Niatku memang ada untuk memanfaatkan situasi dengan mendapatkanmu, aku pikir semua akan berjalan dengan mulus. Tapi.. kau sempat menjauhiku dan menolakku selama dua bulan itu setelah mengetahui siapa diriku. Aku... merasa kehilangan saat itu dan terus berpikir apakah yang kulakukan terlalu salah? Atau apakah aku tidak pantas untuk mendapatkan seseorang yang bisa mendukungku?", ujar Petra sambil menghela nafas dan membetulkan posisi duduknya.
Joan kembali meneguk lemon madunya sambil membalas tatapan Petra yang begitu tajam padanya. "Aku bukan menjauhimu atau menolakmu. Aku membutuhkan waktu untuk berpikir keras tentang apa yang harus kuputuskan. Setelah aku yakin dengan apa yang aku putuskan yaitu menerima dirimu untuk mengenalmu lebih jauh, maka ayahmu mulai bergerak untuk mencarimu dan memintaku untuk mengisi posisi CFO di Trinity".
Petra tersenyum hambar. "Aku tahu. Aku sudah yakin kalau ayahku mempunyai rencana tapi masih belum memahami apa yang dia lakukan. Jujur aku tidak percaya kalau kalian memiliki shocking bomb untuk melemparkannya padaku seperti kau yang menjadi... sosok wanita yang selama ini seperti ingin menyerangku dan mengawasiku tapi sebenarnya melindungiku. Pada intinya aku kaget kalau kau datang dan menerima lamaranku lalu memintaku untuk segera menikahimu".
"Apa rencanamu sebenarnya jika aku tidak menerima lamaranmu dan menikah denganmu?", tanya Joan kemudian.
"Seperti rencana semula. Menangkap semua oknum jahat dalam satu kesempatan tanpa berniat untuk kembali membunuh karena aku sudah berjanji kepada diriku sendiri saat aku menunjukkan diriku padamu, maka aku bukanlah Petra yang dulu lagi. Aku ingin menyelesaikan semua urusanku tanpa adanya kau yang terlibat", jawab Petra.
"Kau sendiri dalam bahaya, Petra. Kau tidak tahu bagaimana Apocalypse melakukan serangan secara diam-diam tanpa kau sadari", balas Joan.
Petra terdiam beberapa saat lalu matanya melebar seolah menyadari sesuatu. "Apakah saat aku menghadiri pesta topeng di Toronto, saat aku hendak meneguk champagne yang diberikan padaku, kau yang menabrakku sampai gelas itu terlepas dan pecah disitu?".
Itu kejadian setahun lalu dimana Petra diincar oleh pihak penyelenggara pesta yang berlagak menjadi kolega bisnisnya dan berniat untuk mencelakakan Petra dengan menaruh racun dalam minuman itu. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan Joan selain menyamar menjadi tamu dengan menabrak Petra waktu itu.
Dirinya sampai diawasi oleh Darren, orang kepercayaan Petra yang dikiranya sebagai pihak yang ingin menyerang Petra. Dari situlah, Phantom Blaze dianggap sebagai satu organisasi yang berniat untuk menyerang Petra dan mulai diselidiki oleh pria itu.
"Aku tidak percaya kalau kau cukup bodoh dalam mengenal siapa lawanmu yang sebenarnya", gumam Joan kemudian.
"Kau memakai gaun merah dengan panjang sampai semata kaki dan model bahu terbuka. Kau sangat cantik meskipun kau memakai topeng saat itu", ujar Petra dengan tatapan menerawang.
Alis Joan berkerut. "Apakah kau mulai..."
"Yes. Saat aku melihatmu di panggung pada acara penyambutan CEO baru yang dilakukan ayahku, saat itu kau memakai gaun merah lagi. Pikiranku langsung tertuju pada wanita yang menabrakku saat itu. Postur tubuh kalian sama dan aku sangat yakin penilaianku tidak akan salah kalau kau dan dia adalah orang yang sama", sela Petra halus.
"Jadi karena itulah kau berniat mengetesku dengan melakukan tindakan senonoh saat di dapur penthouse-mu?", balas Joan dengan alis terangkat setengah.
Petra terkekeh. "Aku tidak percaya kalau kau pintar menyembunyikan keahlianmu dan... kau pingsan saat aku menciummu. Dari situ aku menjadi ragu apakah itu benar dirimu tapi sebagian besar hatiku mengatakan kau adalah wanita yang sama".
"Apakah ini yang selalu kau lakukan setiap kali bertemu dengan wanita?", tanya Joan langsung dengan wajah yang mendengus tidak suka.
"Bukan hanya kepada wanita saja tapi kepada semua pihak yang kukenal. Aku menjadi waspada terhadap semua hal yang ada disekelilingku dengan mengingatnya baik-baik dalam pikiranku. Itu caraku bertahan agar tidak dapat dikalahkan dengan mudah oleh musuh", jawab Petra sambil terkekeh.
Joan kembali terdiam sambil membalas tatapan hangat dari pria itu. Mereka berdua masih berdiam selama beberapa waktu. Saat ini mereka sama-sama merasa gugup dengan apa yang terjadi saat ini.
"Apakah aku boleh bertanya?", tanya Joan dan langsung diangguki kepala oleh Petra.
"Saat kejadian, kau berusaha untuk membunuhku. Kau mencekikku sampai aku hampir kehabisan nafas. Aku rasa kau memang tidak mempedulikanku dan benar-benar ingin menyakitiku. Aku merasa tidak berarti dan tidak berharga di matamu. Apa aku boleh tahu alasanmu melakukan hal itu padaku?", tanya Joan sedih.
Ekspresi berang dan kesan dingin Petra kala itu mendukakan Joan, terlebih lagi dengan apa yang Petra lakukan padanya. Sudah pasti dirinya bukan siapa-siapa bagi Petra kalau pria itu sampai berani melakukan hal itu padanya.
"Jujur saja aku kaget soal Apocalypse yang kau beritahukan padaku. Aku tidak tahu sama sekali soal itu dan aku melampiaskan kemarahanku padamu. Lagipula, aku hanya ingin kau membalasku. Kurasa kau dilatih dengan baik oleh ayahku dan bisa memukulku atau membunuhku saat itu. Aku merasa kau terlalu menahan diri dan aku tidak suka kalau kau berusaha keras untuk melindungiku dimana kupikir kau adalah wanita lemah yang tidak bisa melakukan apa-apa", jawab Petra dengan nada pelan lalu bergerak untuk berdiri dengan kedua lututnya agar posisi kepala mereka sama tinggi.
"Kau mencekikku dengan sangat kuat", balas Joan dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan aku", sahut Petra dengan suara gemetar. "Aku tahu aku tidak pantas untuk meminta maaf padamu tapi kumohon, maafkan aku".
Joan melumat bibirnya sendiri sambil menatap Petra dengan tatapan sedih. "Kupikir aku tidak berarti bagimu".
"Kau berarti bagiku".
"Kau memanfaatkanku. Kau bahkan tidak menganggap pernikahan itu serius. Kau membuang cincinmu, juga cincinku. Semuanya tidak berarti untukmu, bukan begitu? Kau hanya berniat untuk mendapatkanku karena kau merasa harusnya tidak ada satupun yang akan menolakmu, begitu juga dengan aku. Kau juga sudah....", suara Joan tercekat dan ucapannya terhenti saat Petra memeluknya dengan tiba-tiba.
"Aku mencintaimu, Joana. Terlepas dari kau percaya atau tidak, aku memang mencintaimu. Semua yang kulakukan padamu adalah yang sesungguhnya. Hanya drama pengkhianatan dan soal aku yang memanfaatkanmu itulah yang tidak benar karena aku ingin membalas kebohonganmu padaku", ucap Petra dengan cepat lalu menarik diri untuk menangkup kedua pipi Joan dengan lembut.
"Dengarkan aku, Joana. Aku tidak akan memaksamu untuk menerima diriku, apalagi mengharapkan kesempatan kedua. Aku terlalu bajingan untuk dirimu. Pernikahan kita bukanlah drama karena prosesi pemberkatan itu adalah benar adanya. Aku mengucapkan janji pernikahan itu dari hatiku yang paling dalam. Alasanku membuang cincin pernikahan itu adalah hubungan kita waktu itu diawali dengan kebohongan dan niat yang terselubung didalamnya. Kau yang menjadi sosok tersembunyi untuk melindungiku dan aku yang dalam misi untuk menjatuhkan Eagle Eye dan organisasi lainnya dengan menjadikanmu sebagai pengalihan", kembali Petra berujar dengan sorot mata yang begitu tajam dan serius.
Joan mengangguk. "Di dunia ini, tidak ada satu orang pun yang bercita-cita untuk menjadi bajingan, Petra. Semua yang terjadi pasti ada alasannya. Kebanyakan keputusan yang salah dilakukan oleh orang banyak adalah karena rasa sakit atau luka yang sudah terlanjur membekas dalam hati".
Petra mengerjap bingung. "Joana, aku..."
"Semua bisa terjadi karena adanya kesempatan. Tapi hal baik atau buruk tergantung dari bagaimana caranya kita menggunakan kesempatan yang ada untuk menunjukkan pribadi kita, Petra. Aku sudah sampai sejauh ini. Aku melakukan sesuatu karena aku memutuskan untuk membasuh luka dalam hatimu dan ingin mengisi kekosongan dalam jiwamu saat aku memutuskan untuk menerimamu", ujar Joan lagi.
"Kau... menerimaku lagi dan memberikanku kesempatan untuk..."
"Bukankah sudah kukatakan sedari awal kalau aku akan bersamamu sampai maut memisahkan kita, Petra? Aku tahu siapa dirimu dan aku mengenal siapa keluargaku. Kau akan merasa kehilangan diriku lalu menyesali diri sampai seumur hidupmu jika aku tidak ada. Keluargaku akan melarangku untuk menemuimu dan mereka akan berusaha untuk mencarikanku sosok lain sebagai pengganti dirimu. Itu sudah pasti. Oleh karena itulah, aku memutuskan untuk menikah denganmu dimana ada satu ikatan kuat yang tidak akan memisahkan kita sekalipun aku harus menerima sikap bajinganmu yang kemungkinan akan menyakitiku satu hari nanti", sela Joan halus dengan nada suara yang begitu pelan dan mantap.
Sekali lagi. Joan tidak ingin membuang waktunya dengan percuma. Inilah alasannya dia ingin segera menikah dengan Petra dan mengenal sosok pria itu lebih dalam selama masa pernikahannya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menjamin kebahagiaannya sendiri, tapi dia bisa memutuskan jalan mana yang akan dia pilih untuk mengejar kebahagiaannya.
Satu-satunya yang mendukung keputusannya saat itu adalah ayahnya, Christian. Dia tahu bagaimana rasanya pernah kehilangan orang yang dicintainya dan sampai harus membuang waktu bertahun-tahun untuk reuni kembali dengan ibunya yang sudah memiliki kakaknya waktu itu. Dia juga yang paling terluka saat mendapati ibunya yang pernah keguguran dan kehilangan calon anak sebelum dirinya.
"Sebesar apapun tekanan yang akan kau hadapi nanti, ingatlah akan satu hal bahwa kau tetap akan menjadi sosok yang diingat dalam memori hidup mereka. Jika kau yakin kau bisa menjalaninya, lakukan itu. Jika kau menyerah untuk menghadapi hari itu, daddy akan menerimamu kembali dengan tangan terbuka dan akan mengangkatmu untuk menjalani hari-hari terberatmu nantinya", ucap Christian kala itu.
"Kau masih mau menerima diriku yang tidak pantas ini, Joana? Kau tidak marah padaku dan tidak akan meninggalkanku? Kau masih mau bersamaku?", tanya Petra dengan tatapan tercengang.
Joan mengusap rahang Petra dengan lembut. "Kau lupa apa janji pernikahanku padamu, Petra? Kalau kau lupa, biarkan aku mengulanginya untukmu".
Dia bisa melihat mata Petra mulai berkaca-kaca sambil menatapnya dengan penuh arti. Rahangnya mengetat seolah menahan perasaannya, nafasnya terdengar memburu dan kedua tangannya menggenggam kedua tangan Joan dengan begitu erat.
"I, Joana Agnesia Christina... choose you, Petra Joshua Tristan, to be my everything in my life. I promise to love you without condition, to honor you each and everyday. To laugh with you when you're happy. To support you when you're sad. To guide you when you're ask for direction. To challenge you to be a better person and allow you to do the same for me. To be your biggest fan and your ever present listening audience. And you'll be my forever man".
Petra mengecup kedua tangannya dengan dalam. Joan bisa melihat Petra menangis dalam diam. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya lalu menyematkan... tiga buah cincin pada jari-jari tangannya dengan model yang berbeda.
"Apa ini, Petra? Kenapa kau memberiku cincin sebanyak ini?", tanya Joan heran.
Di jari telunjuknya terdapat cincin berlian dengan model mahkota, di jari tengahnya adalah cincin platinum yang membentuk tulisan 'wifey' dan jari manisnya adalah cincin berlian dengan dua baris yang terlihat sederhana namun elegan.
"Cincin mahkota ini berarti kekuasaan, dimana aku memberikanmu sebuah otoritas untuk memegang kekuasaan dalam mengendalikan kerajaanku yang adalah diriku sendiri", ucap Petra sambil mengusap jari telunjuk yang tersemat cincin mahkota itu.
"Cincin platinum ini bertuliskan wifey yang adalah dirimu juga. Seperti platinum yang adalah logam yang memiliki ketahanan yang sangat baik terhadap korosi, memiliki sifat listrik yang stabil dan bereaksi lambat dengan oksigen pada suhu yang sangat tinggi. Demikian jugalah dirimu yang begitu stabil dan bertahan dalam kondisi sesulit apapun untuk tetap menjadi istriku", kembali Petra menjelaskan sambil mengusap jari tengahnya yang tersemat cincin platinum itu.
"Dan cincin terakhir ini berarti apa?", tanya Joan saat melihat usapan tangan Petra beralih pada jari manisnya.
"Semua orang setuju jika berlian adalah batu permata paling mahal dan terkuat di dunia. Untuk itulah aku berusaha untuk mendapatkan berlian dengan harga yang tidak ternilai seperti jenis The Koh-I-Noor. Aku buatkan dalam model sederhana dengan berlian ini. Sama seperti dirimu yang sederhana tapi tidak ternilai".
Joan yakin kalau dirinya tidak duduk dan digenggam begitu erat seperti ini oleh Petra, kemungkinan dia akan jatuh lemas karena tidak sanggup mendengar ucapan Petra yang begitu manis dan terdengar menyenangkan. Terlebih lagi pria itu berkata-kata dalam suara lembut dan berlutut didepan pangkuannya saat ini.
"Aku harap kau melambungkanku bukan untuk kau hempaskan seperti kemarin, Petra", ujar Joan dengan suara serak.
Petra menggeleng dengan cepat. "Diriku yang sekarang bukanlah orang yang memiliki rahasia sampai harus membohongimu. Misiku adalah penyelesaian dan menjatuhkan hal-hal yang membuatku muak. Semuanya sudah dalam pemeriksaan pihak berwajib, termasuk kami. Eagle Eye sedang dipantau dan diawasi oleh pihak Jared. Dan aku bersyukur masih bisa melihatmu untuk mengucapkan kembali janji pernikahanku, Joana".
"Kau... serius?".
"Aku serius".
"Tapi aku tidak mempunyai hadiah cincin yang..."
"Dirimu sudah jauh lebih cukup, Joana. Aku tidak membutuhkan apa-apa selain dirimu. Aku takut kehilangan lagi dan tidak ada yang membuatku ngeri saat melihatmu sekarat waktu itu", sela Petra cepat.
"Okay! Kau mengikatku dengan tiga cincin sementara kau tidak memakai cincin satupun, apakah itu berarti kau akan melalangbuana untuk menggoda wanita-wanita diluaran sana?", cetus Joan dengan tatapan menuduh.
Petra menghela nafas. "Aku memang dulu adalah seorang playboy tapi bukan pria yang tidak setia. Aku sudah menjadi milikmu. Jika kau ingin aku memakai cincin, baiklah. Aku akan mencari cincin untuk diriku sendiri".
"Tidak! Biar aku saja yang mencari", balas Joan langsung dan Petra langsung tertawa pelan.
"Kenapa kau sangat menggemaskan?", ucap Petra hangat lalu mengecup hidungnya dengan lembut.
"Terima kasih untuk kejujuranmu, Petra. Aku hargai itu", ujar Joan kemudian.
Petra tersenyum sambil menautkan rambut Joan ke belakang telinganya. "Aku yang harusnya berterima kasih padamu karena kau sudah begitu baik dan menjadi sosok yang luarbiasa untuk kumiliki".
Joan mengangguk pelan lalu tersenyum. Dia membalas tatapan Petra yang penuh arti. Tatapan yang penuh dengan kesungguhan dan pengertian didalamnya. Tatapan yang mengintimidasi seolah dirinya adalah miliknya yang sangat berharga dan tidak ada satupun yang boleh mengambilnya.
Kemudian Petra pun mengecup punggung tangannya dengan lembut lalu mengucapkan janji pernikahannya yang pernah diucapkannya tepat sebulan yang lalu.
"I, Petra Joshua Tristan... choose you, Joana Agnesia Christina, to be no other than yourself. Loving what I know of you and trusting who you will become. I will respect and honor you, always and in all ways. I take you to be my queen, my love, my wife. To have and to hold, in tears and in laughter. In sickness and in health. To love and to cherish. From this day forward, in this world and the next. You'll be my forever and my happy ending".
Janji pernikahan yang kembali diucapkan menjadi sebuah nada yang terdengar manis untuk harmoni yang tercipta dalam kedamaian yang Joan rasakan.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
5376 words untuk kalian!
Kenyataan :
Nggak pernah digombalin,
Nggak pernah dibokisin,
Nggak pernah disayang-sayang kayak gitu
Dunia orange :
Semua yang manis-manis adalah wajib
Romantis itu mutlak
Bahagia itu absolute
😆😆😆😆😆
Next Part adalah jatah mentorku.
Yang lainnya?
Ditunggu aja yah.
Aku lagi lelah dan minggu ini cukup hectic 😣
Nggak ada obat yang berguna untuk bikin gue santai ngeliat visual Petra yang makin lama bikin kesel karena kepengen gigit roti sobeknya
🐯🐯🐯🐯🐯
Terus ini ada titipan foto dari babang mentor yang katanya tolong di upload sebagai pemanasan kalian di part selanjutnya.
Karena katanya mau ngerjain cowok-cowok Eagle Eye yang bikin gemes.
(Efek hujan deras semalem kayaknya)
"Kamu jadi author selalu kasih bacaan yang tegang-tegang belakangan ini.
Contohnya kayak babang nih yang kasih bacaan tegang tapi bermakna lewat hasil akhirnya"
-Babang Mentor-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top