Part 32 - The proof of persistence

Today seems not good for me.

Having my first day of PMS
And kids are going insane to make me more crazier.

So I'm about feeling mad and yell around them 😖😖😖

Happy Reading 💋

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

2 years earlier,

Aku melihat seseorang dari kejauhan. Dia terlihat sedang mengawasi dari balik kemudinya. Aku tahu siapa yang dia incar dan apa yang akan dilakukannya.

Aku pun hanya bisa menghela nafas melihatnya dari jauh yang sudah mengawasi selama satu jam. Sambil menunggu, aku mengingat atas apa yang sudah kujalani selama satu tahun terakhir ini. Sepulangnya dari Tokyo, aku tetap menjalani masa kuliahku dan bekerja setelah jam kuliahku usai. Seperti sekarang.

Pekerjaan yang kulakukan cukup mudah dan membosankan. Hanya mengawasi saja dari kejauhan tanpa adanya hal yang harus kulakukan jika tidak terpaksa. Meskipun aku tahu bahwa mungkin saja apa yang kulakukan sebenarnya adalah sia-sia. Karena tidak ada untungnya sama sekali.

Jika bukan karena Ashton adalah sahabat ayahku dan jika bukan karena ayahku mengatakan kalau Ashton sudah banyak membantu kakakku yang hampir frustrasi namun bisa bangkit kembali setelah dididik olehnya, aku tidak akan mau. Aku lakukan hal ini semata-mata karena aku menyayangi kakakku dan mendengarkan perkataan orangtuaku.

Lagipula tidak ada ruginya jika aku bisa menjaga diri dan membela diriku dengan kemampuan yang kukuasai. Selama setahun aku dilatih di Kyushu bersama Nayla dan Patricia, kami bertiga sama-sama melewati hari-hari yang cukup berat lewat pelatihan yang tidak main-main oleh Paul, pelatih kami.

Istrinya yang adalah mantan seorang yakuza wanita menjadi guru kami dalam mengajarkan bela diri khas negara sakura itu. Sedangkan Paul, mendidik kami dengan kedisplinan, olahraga fisik dan tekanan batin sampai kami menjadi orang yang mati rasa. Aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya aku bisa bangkit dari rasa lelah, lebam dan emosi saat melewati masa satu tahun itu.

"Confirm your position, Phantom", terdengar suara bariton yang menggema ditelingaku lewat earphone yang kukenakan.

Aku mengerjap untuk menoleh kearah sosok pria yang sedang berjalan menyebrang ke sebuah toko bunga dan juga kulihat sosok mencurigakan yang masih di balik kemudinya juga masih mengincar apa yang menjadi pengawasanku saat ini.

"Target locked. The enemy get closer", balasku kemudian.

"Finish it!", perintah dari sebrang sana yang membuatku hanya mengangguk saja.

Aku pun segera keluar dari mobilku yang terparkir tidak jauh dari situ sambil mengenakan hoodie kebesaranku untuk menyamarkan diriku. Tanpa ragu aku berjalan mantap sambil memasukkan kedua tanganku dalam saku hoodieku.

Aku berjalan menyusuri jalan yang cukup sepi di jam siang yang memang tidak terlalu banyak orang yang berlalu lalang. Setidaknya hal itu memudahkan pekerjaanku saat ini tanpa adanya saksi mata yang tidak diperlukan.

Begitu aku tiba pada sebuah mobil sedan berwarna hitam, aku mengetuk pintu kaca mobil itu dimana pria itu membukakan kaca jendela mobilnya. Belum sampai kaca mobilnya terbuka seluruhnya, aku mengeluarkan sesuatu yang menyerupai koin dan melesatkannya kearah pria itu dengan sentilan keras dari tanganku.

Koin itu menyelinap masuk ke dalam mobil dari balik kaca mobil yang baru terbuka setengah. Pria itu terlihat kaget dan menunduk untuk mencari apa yang kulemparkan tadi. Aku memutar tubuhku untuk kembali berjalan dengan santai menjauhi mobil itu dan mengabaikan umpatan kasar orang itu dalam bahasa asing.

Ketika aku bisa mendengar adanya gerakan seperti benda logam yang disentuh, aku tahu kalau pria itu hendak mengeluarkan pistolnya. Tanpa menoleh sedikitpun, aku mengeluarkan sebuah alat seperti pulpen dan menekan tombol pada ujungnya.

Basssshhhhh!!! Suara letupan yang teredam langsung terdengar diiringi rintihan kesakitan yang berlangsung hanya beberapa detik saja. Karena ketika aku kembali duduk di balik kemudiku, aku bisa melihat asap berwarna hitam menggerubungi isi mobil itu. Asap hitam itu tidak menyebar kemana-mana, hanya tersedot melalui udara yang dihembuskan dan dihirup dalam-dalam di sekitarnya yang berarti pria itu menghirup asap mematikan yang membuatnya terbakar dari dalam sampai kondisi tubuhnya hangus dalam hitungan beberapa menit saja.

Aku hanya menatap kejadian itu dengan datar seolah tidak ada artinya sama sekali. Tatapanku kembali beralih pada sosok pria yang baru saja keluar dari toko bunga dengan membawa sebuah buket besar bunga lilac yang cantik. Ah, itu bunga favoritku. Kepada siapa pria itu membelikan bunga yang indah itu? Aku cukup penasaran.

Spontan aku mengikuti dengan pelan dari kejauhan setelah merubah warna dan plat mobilku secara otomatis dari dalam. Bugatti yang kukemudikan yang tadinya berwarna merah kini berubah menjadi warna gelap dengan nomor yang juga sudah berubah.

Selama kurang lebih setengah jam aku mengikuti mobil Ferrarri yang ada didepanku dan berhenti tepat di sebuah pemakaman. Aku terdiam selama beberapa saat melihat tujuan pria itu yang tidak kusangka sama sekali.

Pria itu keluar dari mobilnya dan sambil membawa buket besar itu bersamanya lalu berjalan kearah pemakaman. Aku pun mulai mengikutinya dan menjaga jarak agar tidak sampai diketahui.

Aku duduk di sebuah kursi kayu tepat di balik pohon besar saat pria itu berhenti di sebuah nisan yang sepertinya memiliki dua nama disitu. Aku tidak melihat kearahnya tapi ada suara isakan pelan yang terdengar sampai aku tidak tahan untuk menoleh kearahnya.

Pria dengan paras paling tampan yang pernah kulihat dan selalu tampak gagah itu terlihat rapuh. Dia menangis pelan dalam isakan yang terdengar begitu pilu. Aku pun sampai terhanyut melihat kesedihannya hingga memahami kenapa sir Ashton begitu mengasihi putra tertuanya.

Karena pria itu lemah dibalik kekuatannya. Pria itu hancur dibalik kekerasannya. Dan pria itu tampak sedih dibalik keceriaannya.

Aku pun mulai menyadari beberapa hal selama aku mulai mengikutinya atau sejak aku menyelesaikan pelatihanku. Kini aku paham kenapa aku bisa menerima tawaran sir Ashton untuk membantunya dalam mengawasi putranya.

Karena pria itu memang membutuhkan perlindungan untuk sebuah pemulihan. Bahwa pria itu tidak menyadari adanya bahaya yang mengancam nyawanya dibalik dari sejarah yang selama ini disimpan oleh ayahnya agar pria itu tidak cemas atau menaruh dendam pada siapapun.

"Don't cry, princess", ucap suara dari earphone yang kukenakan. "Aku tahu kau memiliki hati yang begitu lembut dan mudah terbawa perasaan. Tapi kau tetap harus fokus pada tujuanmu".

Aku mengangguk sambil mengusap airmata yang membasahi pipiku dan pria itu masih berlutut di hadapan nisan itu dengan isakan yang masih terdengar begitu pelan.

"Apakah benar dia mengincarku? Kenapa rasanya terdengar seperti mustahil? Aku bahkan tidak merasa layak untuk bersanding dengannya", ujarku lirih.

Selain diriku yang tidak mempunyai pengalaman apapun bersama pria, aku sama sekali tidak menyangka kalau akan didekati oleh pria seumuran kakakku yang bisa dibilang bagai langit dan bumi.

Aku bukan rendah diri tapi aku sadar diri. Bagaimana mungkin diriku yang biasa ini bisa diincar oleh pria maha rupawan itu dengan niatnya untuk menungguku?

"Dia mempunyai tujuan dan itu bukanlah hal yang baik. Tapi dia tidak akan sampai membuatmu terluka karena aku tidak akan membiarkannya. Karena itu bersabarlah", balasnya langsung.

Aku termenung dan menatap punggung lebar pria itu dengan tatapan menerawang. Jika memang dirinya berniat untuk melakukan sesuatu padaku, maka aku tidak akan diam saja dan membiarkannya.

Aku akan mampu menghadapinya satu hari nanti dan membuktikan kepadanya bahwa hidupnya layak untuk diperjuangkan sekalipun dia merasa tidak berharga.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Joan bisa melihat sorot mata yang melebar kaget dengan ekspresi tidak percaya tampak jelas di wajah Petra saat ini. Dia bahkan tidak bergeming selama beberapa saat dan suara gaduh diluar sana mulai semakin terdengar. Damn!

Dia tidak bisa berlama-lama disini karena sebentar lagi Alena dan Alex yang menjaga pusat kendali mereka akan segera bergerak untuk meluncurkan drone penghancur. Dia harus melakukan sesuatu, salah satunya adalah membawa Petra keluar dari sini dan membiarkan para petinggi Eagle Eye untuk mengurusi kekacauan yang terjadi.

"Kau tidak bisa menipuku, Joana. Aku tidak percaya padamu. Tidak kepada siapapun. Aku muak dengan adanya pertikaian dan selalu dipenuhi kebohongan yang katanya untuk kebaikan sendiri. Tapi apa buktinya? Tidak ada! Semua adalah omong kosong yang menyembunyikan kebenaran dan berakhir dengan kekecewaan!", ucap Petra dengan nada sengit.

"Tidak semua yang kau katakan itu benar. Intinya adalah ayahmu menyayangimu dan sudah pasti keinginan orangtua adalah yang terbaik untuk anaknya", balas Joan langsung.

"Oh yeah? Dia? Menyayangiku? Yang benar saja", cibir Petra sinis.

"Ya. Dan aku juga", sahut Joan lagi.

Petra malah semakin menyeringai sinis saat mendengar ucapannya barusan.

"Pardon me? Kau menyayangiku juga? Buktinya kau berbohong padaku! Kau menyembunyikan sesuatu dariku dan berkomplot dengan ayahku untuk mengelabuiku!", balas Petra dengan mata yang melotot tajam.

"Aku tidak mengelabuimu. Aku hanya ingin kau aman. Aku diminta ayahmu untuk melindungimu", ujar Joan dengan sabar.

"Melindungiku? Ckckck... aku sama sekali tidak merasa harus dilindungi oleh siapapun, apalagi oleh wanita lemah sepertimu. Sok polos. Tampak begitu naif namun licik bagai ular berkepala dua! Jika kau sebegitu loyalnya kepada ayahku, kenapa tidak kau nikahi saja dia? Kenapa malah menerima lamaranku? Apakah karena aku lebih..."

PLAAKKK!!!

Sebuah tamparan melayang tepat di pipi Petra dengan keras dan kencang. Joan berang dengan semua perkataan Petra yang terdengar begitu menyakitkan.

"Dengarkan aku, bajingan! Aku tidak mempunyai masalah denganmu tapi kau yang mencari masalah denganku! Kau yang mendekatiku lebih dulu dengan niat untuk memanfaatkan diriku demi pembalasanmu yang tidak beralasan! Kau yang melakukan drama itu lebih dulu tapi kau tidak terima diperlakukan dengan hal yang sama! Jika kau berkata kau sudah muak dengan pertikaian dan kebohongan, lantas apa yang terjadi hari ini harus kusebut apa? Terjadi secara kebetulan atau rekayasa yang tidak disengaja? Jadi siapa yang memberikan omong kosong disini?!", desis Joan lantang.

Nafas Joan tertahan saat merasakan adanya cengkeraman erat pada lehernya dan itu dilakukan Petra. Pria itu mencengkeram lehernya dan mendesakkan tubuhnya kepada pintu kayu yang ada dibelakangnya. Bahkan pria itu tidak segan-segan menekan batang tenggorokannya sampai dia mulai terengah dan mencengkeram tangan Petra agar menjauh dari lehernya tapi dia terlalu kuat.

"Aku sudah cukup menerima perlakuan tidak adil dari ayahku. Jadi aku peringatkan jangan ikut campur atau kau akan menyesal. Sudah kubilang kalau aku tidak akan terpengaruh oleh siapapun, apalagi wanita sepertimu", desis Petra dengan dingin.

Joan mengumpulkan seluruh tenaganya untuk menekuk lututnya lalu melancarkan tendangan telak kearah pangkal paha Petra dimana cengkeraman di lehernya langsung terlepas dan pria itu mengumpat sambil menangkup kejantanannya yang terkena tendangan lutut Joan barusan.

Saat Petra membungkuk, disitu Joan melompat naik keatas punggung Petra untuk melumpuhkannya agar pria itu tersungkur ke lantai dan giliran Joan yang mengalungkan leher Petra dengan tangannya yang sudah menarik kencang kearah belakang sampai wajah pria itu memerah.

"Aku cukup menyesal memutuskan untuk menolongmu dalam setiap kesempatan! Tapi lucunya aku malah merasa bersyukur jika kau bisa selamat dari ancaman apapun. Jangan membuatku berbuat lebih hanya untuk membuatmu sadar, Petra!", ancam Joan dengan sengit.

Joan menjerit ngilu saat merasakan sebuah pukulan siku yang mendarat di ulu hatinya. Dan dia merasakan tubuhnya berbalik arah dengan posisi Petra yang membungkuk kearahnya dan kembali mencekik lehernya dan dirinya yang merebah di lantai.

"Kalau begitu biarkan aku yang menunjukkan padamu bagaimana caranya berbuat lebih agar dirimu sadar kalau kau sudah terlalu banyak ikut campur dan apa yang kau lakukan adalah sia-sia!", ucap Petra sambil terus menekan batang tenggorokannya sampai dia mulai kehabisan nafasnya.

Shit! Bukan seperti ini yang diinginkannya. Dia harus membawa Petra pergi dari sini sekarang juga karena mansion ini akan segera dihancurkan. Dan juga pihak Apocalypse mulai menyebar ke seluruh penjuru mansion.

"Pe... tra! Lepaska...n aku!", pekik Joan sambil mencengkeram tangan Petra yang masih mengetatkan cengkeramannya dengan kedua tangannya.

"Why? Hanya sebatas ini kemampuanmu? Seperti inikah cara pria tua itu melatihmu sehingga kau tidak berkutik saat dalam posisi yang menyudutkan seperti ini?", ejek Petra tanpa sekalipun tersenyum.

BRAAKKK!!!

Pintu kayu itu tiba-tiba didobrak dan Joan melebarkan matanya saat bisa melihat adanya pihak Apocalypse yang bernama Robin menyeringai ketika bisa melihat sosok Petra dari arah belakang.

Cekikan Petra terlepas karena sebuah tendangan keras mendarat di balik punggungnya dimana Robin sudah menendangnya begitu saja. Shit! Joan pun langsung berguling ke samping sambil terbatuk-batuk dimana dia bisa mendengar adanya pukulan keras kembali dilakukan.

Joan menoleh dan mendapati Robin memukul Petra tanpa ampun. Sekalipun Petra terlihat sudah membalasnya, tapi Robin yang memiliki tubuh kekar dan besar itu seakan menggila saat melihat Petra.

Robin tergelak dalam tawa yang mengerikan melihat kondisi Petra yang sudah lebam dan berdarah-darah diatas lantai tepat di bawahnya. Bahkan Robin seakan tidak menyadari adanya Joan disitu yang melihat semua kejadian itu dari balik kesengsaraannya untuk mengambil nafas.

"Akhirnya aku bisa menggapaimu, anak bodoh! Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu karena kau adalah satu-satunya keturunan Maxwell yang masih hidup karena ulah ayah gadunganmu itu", ucap Robin dengan amarah yang meluap.

"Siapa kau? Aku bahkan tidak mengenalmu!", tukas Petra sengit sambil menyeka darah yang ada di sudut bibirnya.

"Kau tidak tahu siapa aku? Sungguh sangat disayangkan sekali kalau pria tua itu tidak mengenalkanku padamu. Perkenalkan, namaku Robin Richardson. Aku adalah keturunan ketiga dari petinggi R.Corp dengan ayah kandungmu yang sudah membunuh seluruh keluargaku!", desis Robin sambil berteriak kasar.

"Tidak mungkin! Ayahku hanya orang biasa dan dia tidak mungkin membunuh orang!", balas Petra langsung.

"Terserah kau saja. Pokoknya aku cukup senang dengan kedua orangtuamu yang sedang memanjat tebing dan aku menyuruh orang memutuskan tali pengaman mereka dan mereka terjatuh begitu saja", ucap Robin dengan seringaiannya yang menakutkan.

Joan bisa melihat ekspresi wajah Petra yang memucat karena baru saja mendengar kenyataan yang sebenarnya dari orang itu. Dia mulai terpengaruh dengan ucapan mengintimidasi dari Robin yang memang benar adanya tapi tidak sepatutnya dipercayai begitu saja.

Beberapa orang mulai berdatangan dan sepertinya para petinggi Eagle Eye sudah terkepung sampai tidak ada satupun yang menyusul mereka kesini. Joan bisa melihat ada sekitar sepuluh orang anak buah Robin yang hendak menerobos masuk tapi buru-buru dia segera menarik sebuah granat yang dia selipkan pada pinggangnya, membuka pengaitnya lalu menggelindingkan granat itu kearah mereka dan... DUAARRRR!!!

Ledakan itupun terjadi dan mengenai Robin sampai pria besar itu terkapar. Kesepuluh orang itu merebah tidak beraturan akibat ledakan dan terlihat tidak sadarkan diri. Melihat situasi yang sekarang ini, Petra pun segera bertindak untuk membalas Robin dengan memukulnya secara bertubi-tubi sambil mengumpat.

"Phantom Blaze, you're just have ten mins to go", suara Alex menggema di telinganya dan itu membuatnya waspada.

"I'm on it", balasnya sambil mengeluarkan sebuah portable yang memperlihatkan keberadaan puluhan drone yang sudah beterbangan dari markas mereka kearah Lawrenceville. Shit!

"You have to go now!", desis Alex tajam.

Joan tidak sempat menjawab karena dia merasakan adanya tarikan keras dari arah belakang, tubuhnya terarah keatas lalu diputar dalam satu putaran yang kencang dan tarikan itu pun terlepas. Sedetik kemudian, tubuhnya terhempas membentur tembok dan dia terjatuh begitu saja diatas lantai yang berdebu.

"JOANA!!!", seru Petra kaget saat melihat dirinya yang menjerit kesakitan.

Dalam satu minggu ini, dirinya sudah dilempar dua kali oleh pria banci yang beraninya memperlakukannya dengan kasar. Dia meringis lalu mengangkat wajahnya untuk melihat Robin yang mulai menggeram melihatnya dan mulai melangkah untuk mendekatinya.

Belum sempat menggapai Joan, sosok Petra sudah menghalangi langkah Robin. Pria itu menatap berang kearah Robin sambil mengepalkan kedua tangannya erat-erat.

"Kau sangat tidak tahu diri dengan melempar tubuh wanita seperti itu!", ucap Petra sambil kemudian mengayunkan sebuah pukulan keras ke wajah Robin dengan telak.

Sambil mendengus marah, Robin membalas pukulan Petra jauh lebih keras dari sebelumnya sampai tubuh Petra melayang kearah meja kayu dan... BRAK! Meja kayu itu pun patah bertepatan dengan erangan kesakitan dari Petra.

"Take those drones back. We need help!", ucap Joan dengan suara gemetar saat melihat Robin meraih sebuah pisau panjang yang begitu tajam dari saku celananya sambil berjalan mendekat kearah Petra.

"Joana!".

"Aku serius!", desis Joan tajam seolah tahu akan mendapat penolakan dari pusat kendali.

Joan pun meraih sebilah pisau kecil yang tajam dan runcing dari dalam saku celananya. Pisau dengan sarung khusus karena mengandung racun yang mematikan dalam hitungan detik. Tidak ada cara lain untuk membunuh bajingan itu selain menghalangi langkahnya dan menusuknya.

Dengan sisa tenaga terakhirnya yang terasa semakin menyakitkan, Joan dengan cepat beringsut maju mendekati Petra yang terlentang dengan Robin yang sudah berdiri di atasnya dalam posisi menyerang dengan pisau yang ada ditangannya itu.

Saat Robin mengayunkan pisau itu kearah Petra, tepat disaat itulah Joan tiba tepat di depan tubuh Petra dan menerima tusukan pisau Robin yang terasa begitu menyakitkan di perutnya.

"Joana....", pekik Petra dengan suaranya yang tercekat dari arah belakang.

Joan menarik nafasnya yang semakin memberat dan menatap tajam kearah Robin yang tersentak kaget. Dia melepaskan sarung penutup dari pisau kecil yang digenggamnya lalu mengarahkan pisau itu kearah Robin dan menusuknya tepat di jantung pria itu sambil mendorongnya mundur.

Mata Robin terbelalak dengan suara rintihan yang tertahan karena Joan semakin menekan tusukan pisaunya pada jantung Robin sementara pria itu juga melakukan hal yang sama pada perutnya.

Joan melepas pisau yang masih menancap di jantung Robin lalu menendang pria itu sekuat tenaga sampai pria itu terkapar dilantai dengan posisi tubuh yang sudah mengejang dan busa putih mulai keluar dari mulutnya yang menganga lebar.

Melihat hal itu membuatnya sedikit merasa tenang dan tubuhnya melemas karena tidak sanggup menahan rasa sakit yang ada pada perutnya. Dia terjatuh dengan darah yang bersimbah deras.

Kemudian, dia bisa merasakan adanya dekapan dari arah belakang lalu Joan menjerit kesakitan saat merasakan pisau yang tertancap di dalam perutnya ditarik keluar. Ya Lord... Joan semakin merasakan sesak dalam dadanya saat ini.

"Joana... stay awake! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau harus seperti ini?", ucap Petra dengan lirih sambil menangkup wajahnya.

Nafas Joan semakin memberat dengan tubuh yang mulai terasa dingin dan mati rasa. Dia bisa melihat wajah Petra yang terlihat pilu dan pria itu... Joan mengerjapkan matanya untuk bisa melihat dengan jelas kalau pria itu menangis untuknya.

"Inilah caraku untuk menebus kesalahanku karena sudah membohongimu. Dan inilah yang kumaksud tentang berbuat lebih agar kau sadar. Juga ini adalah janjiku untuk selalu bersamamu sampai maut memisahkan, Petra", ujar Joan dengan nafas yang terengah-engah.

"No! Please don't...! Aku tidak bermaksud sungguh-sungguh untuk menyakitimu. Aku hanya ingin membuatmu membenciku. Please... Joana! Please... stay awake! Stay awake!! Baby... !!".

Petra berteriak keras untuk memanggilnya seiring dengan tangisannya yang terdengar menyakitkan. Dia tahu kalau pria itu membenci perpisahan, apalagi kehilangan. Namun Joan tidak mampu mengatasi hal ini untuk sekedar mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja tapi ternyata tidak.

Teriakan Petra terdengar semakin memudar dari pedengarannya dan tatapannya semakin mengabur bergantikan cahaya putih yang menyilaukan penglihatannya saat ini. Kesemuanya itu berubah menjadi sebuah ketenangan dan kesunyian yang dirasakan Joan saat ini.

Rasa damai menyelimutinya dengan kelegaan yang menyebar dalam hatinya bahwa... pekerjaannya sudah selesai dan pembuktiannya sudah dilakukan dengan sempurna.

Dia sudah mengakhiri pertandingan itu dengan baik dan sudah mencapai garis akhir. Dia sudah memelihara sebuah keyakinan bahwa cinta membutuhkan sebuah pengorbanan yang menyerukan sebuah arti hadir dari seseorang yang tak dianggap.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top