Part 24 - The Anxiety of Joan

So, tadi pagi bapaknya udah nongol dan kalian sepertinya beralih.

Sepertinya pesona daddy Ashton lebih unggul ketimbang Petra 😛

Yakin?

Happy Reading 💋




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷




Joan meringis saat melihat Petra menahan rasa sakit lewat geraman yang hebat sambil menggertakkan giginya. Darren sedang bekerja untuk mengeluarkan sebuah peluru yang ada pada bahu kirinya. Shit! Isakannya kembali terdengar sambil menggenggam erat tangan Petra dimana pria itu membalas genggamannya dalam cengkeraman yang begitu kuat dan mengetat.

Luke yang menahan kedua bahu Petra melirik sekilas kearah Joan lalu menghela nafas. "Sir, kau bisa meremukkan telapak tangan istrimu kalau kau mencengkeramnya seperti itu".

Petra menggeram sambil menatap sinis kearah Luke lalu melepas genggaman tangannya tapi Joan bersikukuh untuk tetap menggenggam tangannya sambil menatap dirinya dengan cemas.

"Apakah harus selalu seperti ini jika ada kejadian seperti barusan?", tanya Joan dengan suara gemetar karena masih meringis ketika dia bisa melihat jepitan bercorong tajam mulai masuk melewati kulit bahu Petra.

"Tidak pernah. Baru kali ini saja karena ada pengalihan seorang wanita tadi", jawab Luke ceria dan Petra langsung kembali menggeram dengan kesal.

Joan mengerutkan alisnya dan menekuk wajahnya sambil membuang muka kearah lain. Hal itu terus dibicarakan Luke tapi Petra tidak menjelaskan siapa yang dimaksud. Meskipun dia baru menikah beberapa hari dengan Petra tapi setidaknya Joan berhak untuk merasa cemburu, apalagi kalau ada wanita lain. Ugh!

Darren terlihat fokus sampai tidak mengedip sama sekali untuk mendapatkaan apa yang terlihat dari sorot matanya. Petra menggigit sebuah alat penahan yang diselipkan di sela-sela giginya sambil menggeram dalam suara yang tertahan dan deru nafas yang memburu.

"I got it!", seru Darren langsung ketika berhasil mengeluarkan benda kecil itu dan menaruhnya diatas mangkuk kecil yang tersedia di nakas lalu menghembuskan nafas yang sedaritadi ditahannya.

Kini, posisi Darren diganti oleh Luke yang mengambil alih untuk menjahit bahu Petra.

Joan bisa melihat kalau Petra melotot tajam kearah Luke yang masih melebarkan cengirannya sambil bekerja untuk menjahit luka di bahunya.

"Kalau aku tidak terluka, sudah pasti aku akan menghajarmu!", desis Petra geram lalu kembali menggertakkan giginya saat Luke mulai menjahit.

"Jangan seperti itu, sir. Kalau tidak ada aku, istrimu tidak ada yang menjaga dan melindungi", balas Luke santai sambil memberikan ekspresi serius dan sorot mata tajam ketika dia sudah memulai untuk bekerja menjahit lukanya.

Joan hanya mengusap-usap lengan Petra dan mencoba menenangkannya dengan pikiran yang campur aduk. Jika memang Petra harus mengalami hal yang seperti ini setiap kali berhadapan dengan kejadian yang berbahaya seperti tadi, maka hidupnya akan penuh dengan kecemasan dan kepanikan. Apalagi jika Petra harus bepergian seperti kakaknya untuk mengurus bisnisnya dan dia yang menunggu di rumah, sudah pasti Joan akan kalang kabut.

Ya Lord... kenapa harus ada urusan yang seperti ini? Padahal sebelumnya dia yakin kalau dia bisa menjadi seorang istri untuk Petra yang bisa menjadi penolong hidupnya. Tapi kenapa sekarang dia tidak yakin di saat usia pernikahannya baru tiga hari? Heck! Dia menikah bukan untuk berpisah karena dia sudah memutuskan untuk mengenal sosok pria yang sudah berusaha membuktikan dirinya lewat perhatian dan kasih sayang yang begitu besar padanya.

"Jangan dengarkan Luke, baby. Aku tidak suka melihat wajahmu yang murung seolah banyak pikiran itu. Aku baik-baik saja", ucap Petra dengan suara mengetat sambil meraih tangannya dalam genggamannya seperti tadi.

Joan melirik kearah Luke yang hanya memutar bola matanya tapi kedua tangannya masih bekerja untuk menjahit lukanya. Dia kembali menatap Petra yang masih menahan rasa sakitnya dengan menggigit alat yang dipasangkan di rongga mulutnya.

Saat ini mereka sedang berada di sebuah rumah yang berada entah dimana. Joan bahkan tidak bisa melihat ada rumah lain di sekelilingnya selain pohon-pohon besar layaknya hutan tropis yang mengelilingi rumah yang ditempati mereka.

Rumah itu seperti rumah kayu pada umumnya namun interior didalamnya lebih modern dan elegan. Mereka sedang berada dalam ruangan serbaguna dengan berbagai alat kesehatan yang cukup lengkap. Seperti ruang operasi dengan ranjang panjang dan alat-alat kesehatan yang terpasang di sekeliling ruangan itu. Ada rak kaca berisi obat-obatan dan juga alat suntik. Overall, ruangan itu terlihat seperti ruang praktek untuk seorang dokter profesional.

"Done!", ucap Luke sambil menghela nafas dan melepas sarung tangannya.

Darren pun mulai bekerja untuk membersihkan alat-alat yang tadi digunakannya untuk menjahit sementara Luke membantu Petra untuk beranjak dari rebahannya bersama dengan Joan.

"Apakah tidak ada obat penahan rasa sakit untuknya?", tanya Joan kepada Luke.

"Barusan saja dia tidak memakai obat bius karena stok obat itu habis disini. Harusnya dia tidak akan kenapa-napa karena kebetulan sekali obat anti sakit itu juga habis", jawab Luke sambil terkekeh pelan.

"Apakah tidak ada cara lain? Dia kesakitan", ujar Joan bersikeras.

"It's okay, baby. Aku baik-baik saja", tukas Petra kemudian.

"Tidak apa-apa bagaimana katamu? Aku tidak tahan melihat dirimu seperti ini. Coba pikirkan apa yang harus diberikan untuk supaya kau tidak kesakitan? Lihat wajahmu, kau pucat", ucap Joan dengan suara gemetar.

Luke dan Darren hanya terdiam dan tidak menanggapi komplainan dari wanita karena itu diluar dari job description-nya. Biarkan bosnya yang pusing kepala karena mereka berdua memilih mangkir secepatnya setelah mensterilkan alat-alat yang dipakai mereka tadi.

Dan sekarang hanya ada Joan yang bersama dengan Petra dalam ruangan itu sambil menatap satu sama lain.

"Dengarkan aku, Joana. Aku baik-baik saja dan ini tidak berarti apa-apa, okay? Kau harus terbiasa dan belajar banyak dari trio kakak perempuanmu yang memiliki suami berbahaya sepertiku. Kami memang suka melakukan hal yang berat tapi kami bisa menjaga diri kami dan ketiga kakak perempuanmu sudah mengerti akan hal itu", ujar Petra dengan pelan.

"Kau ingin aku menjadi oranglain dengan menyuruhku bertanya pada mereka?", tanya Joan dengan alis berkerut tidak senang.

"Bukan begitu", jawab Petra langsung. "Maksudku belajarlah dari mereka soal bagaimana menghadapi kondisi seperti ini. Tidak udah jauh-jauh, tanyakan saja ibumu sendiri atau ibuku".

Joan menarik nafas lalu menghembuskannya dengan berat. Dia masih menatap Petra dengan sorot matanya yang sedih.

"Aku rasa bertanya dengan mereka itu percuma. Karena aku berbeda dengan mereka", ujar Joan kemudian.

Alis Petra berkerut bingung. "Apa maksudmu?".

"Mereka memang sudah mendapatkan jodohnya dan itu adalah takdir mereka. Sedangkan aku? Aku bahkan belum mengenalmu dan hari ini membuatku merasa kalau aku mulai tidak yakin. Maafkan aku, aku hanya berkata jujur padamu dan firasatku mengatakan kalau kau akan meninggalkanku", tukas Joan dengan tatapan menerawang.

"Apakah ini karena ocehan Luke yang tidak beralasan? Atau karena obrolan kita soal aku yang belum mau memiliki anak?", desis Petra langsung dengan eskpresi tidak senang.

Joan menggeleng dengan cepat. "Ini hanya sekedar rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul dalam hatiku".

"Dengarkan aku, Joana. Apakah tiga tahun ini tidak cukup sebagai bukti kalau aku menginginkanmu dan memilikimu? Tiga hari yang lalu kita menikah dan sekarang kenapa kau berubah pikiran?! Apakah semudah itu kau merasa ragu padaku hanya karena rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul dalam hatimu? Aku memang tertembak dan aku tidak mati. Aku kembali padamu dan sekarang masih bersamamu!", cetus Petra dengan dingin.

Joan mengerjap dalam diam lalu mengangguk saja. Apa yang dikatakan Petra memang benar. Selama tiga tahun pria itu menunggunya dan dengan sabar memakluminya, harusnya dia tidak perlu ragu dan yakin kalau pria itu mencintainya dengan tulus, bukan?

Semua karena Joan yang minim pengalaman soal pria lantaran dirinya yang tidak permah berpacaran dan terlalu naif. Dia akui itu. Seorang pria dewasa yang berbeda umur belasan tahun dengannya sudah pasti memiliki pemikiran dan pemahaman yang berbeda. Bagaimanapun Joan masih harus banyak belajar soal perbedaan usia dan karakter diantara mereka. Toh menikah adalah keputusannya.

"Maafkan aku", ucap Joan akhirnya dengan suara tercekat.

Dia tidak tahu harus berkata apa karena sepertinya mood Petra sedang tidak baik mengingat rasa sakit yang harus ditahannya.

"Joana...", panggil Petra lembut.

"Ya?".

"Aku mencintaimu dan membutuhkanmu. Aku sudah menjadi milikmu dan kau milikku. Kita berdua sudah menjadi satu dan tidak akan mungkin berpisah. Jadi jangan berpikir yang bukan-bukan atau berburuk sangka. Aku baik-baik saja dan akan selalu kembali padamu", ujar Petra dengan hangat.

Joan mengangguk lalu beranjak dari ranjang itu untuk mengapit lengan Petra agar ikut dengannya. "Kau harus beristirahat. Aku akan ke dapur untuk mencari bahan masakan yang bisa kubuat agar dirimu menjadi lebih baik. Tapi sebelumnya aku akan mengantarmu ke kamar".

Petra menyeringai lalu beranjak dan berdiri menjulang di hadapan Joan yang hanya sebatas bahunya saja. Wanita itu begitu mungil di hadapannya tapi terlihat pas dengannya. Petra membungkuk untuk bisa melihat wajahnya sambil tersenyum lebar.

"Dengan adanya dirimu sudah membuatku menjadi jauh lebih baik. Aku suka saat seperti ini. Saat dimana aku tidak sendirian dan ada yang menemani", ujar Petra ceria.

"Ini kan memang sedang bulan madu. Kalau di hari lain mana mungkin aku bisa ikut denganmu", balas Joan.

"Kata siapa? Aku ingin kau selalu bersamaku. Untuk itulah aku belum ingin mempunyai anak supaya kau bisa ikut kemanapun aku pergi dan tahu apa yang kukerjakan", sahut Petra dengan alis mengerut tidak setuju.

Spontan senyum Joan mengembang dan dia langsung terlihat senang. Perkataan Petra benar-benar manis dan enak didengar. Dia akui kalau dia tidak bisa menampik ucapan ataupun tindakan romantis yang selalu dilakukan Petra padanya.

"Aku kan sudah ditunjuk ayahmu sebagai CFO di Trinity. Dan pekerjaanku akan semakin menumpuk jika tidak kuselesaikan dengan benar", ucap Joan.

Petra tersenyum tanpa ekspresi lalu terdiam beberapa saat. Dia hanya mengangkat bahunya setelahnya. "Kau adalah menantu dari pemilik Trinity dan ada orang yang sudah dibayar untuk mengerjakan tugasmu itu. Jadi kau menjadi nyonya rumah saja tanpa harus repot-repot bekerja".

"Aku lulus kuliah bukan untuk menjadi istri yang kerjanya hanya menunggu suaminya pulang dan menyiapkan air hangat atau sebagai pemuas birahi. Aku tetap ingin bekerja, Petra", ujar Joan dengan tegas.

Petra tertawa geli mendengarnya lalu mengusap kepalanya dengan lembut. Dia merangkul bahu Joan dan mengarahkannya kearah pintu untuk keluar.

"Tidak heran kalau kau adalah putri dari seorang Christian dan adik dari seoraang bajingan seperti Joel. Karena itulah aku memilihmu dan yakin kalau kau memang wanita yang berbeda", tukas Petra senang.

"Ngomong-ngomong soal wanita yang berbeda. Siapa wanita yang dimaksud Luke tadi sampai kau melupakanku?", tanya Joan saat dia teringat akan hal itu.

Petra menoleh kearahnya saat mereka baru saja hendak menaiki anak tangga dan menatapnya selama beberapa saat dengan alis berkerut seolah menilainya.

"Ada apa, Petra?", tanya Joan dengan bingung.

Petra mundur selangkah lalu menatapnya naik turun dan berjalan pelan mengelilinginya seolah menilai tubuhnya saat ini. Dia bahkan mengambil helaian rambutnya lalu memicingkan matanya seperti ingin memastikan bola matanya yang berwarna coklat.

Joan bahkan memekik kaget saat Petra dengan tiba-tiba menaruh tangannya tepat diatas payudaranya lalu meremasnya lembut dengan alis terangkat setengah seolah membayangkan sesuatu.

Melihat kesemua itu membuat Joan naik pitam lalu... PLAKKK!!! Sebuah tamparan mendarat di pipi Petra dan pria itu tersentak kaget sambil mengusap pipinya yang barusan ditampar Joan.

"Kenapa kau menamparku?", tanya Petra tidak senang dan kaget secara bersamaan.

"Karena kau dengan kurang ajarnya melakukan tindakan barusan sambil membayangkan oranglain! Apa mungkin kau memikirkan wanita yang dibilang Luke tadi sampai kau melupakanku? Dan sekarang kau mencurigaiku sampai menatapku dengan tatapan menilai seperti itu? Apakah saat kau bertemu dengan wanita itu kau juga ingin meremas dadanya seperti yang kau lakukan barusan?", seru Joan dengan ekspresi tidak terima.

"Apa-apaan ini? Kau mulai melantur dan berhenti berpikiran buruk. Aku tidak memiliki..."

"Kalau begitu untuk apa kau menyentuhku dengan tatapan menerawang seolah membayangkan oranglain? Kalau kau tidak menilai sampai sebegitu rincinya, kau tidak akan mungkin melihatku sampai sebegitu detailnya. Jangan-jangan kau memang berniat untuk meninggalkanku setelah melihat wanita tadi!", sela Joan dengan nada kesal.

"Aku tidak... fuck! Okay! Aku memang menatapnya dan terpana selama beberapa saat tapi itu tidak berarti apa-apa untukku. Aku tidak mengenalnya dan penasaran kenapa dia menolongku. Itu saja", balas Petra dengan lantang.

"Dia menolongmu?", tanya Joan bingung.

"Ya. Dia menolongku. Kalau bukan karena dia melempar pisau kearah bajingan itu, mungkin tembakannya mendarat di jantungku dan bukan di bahuku", jawab Petra langsung.

Deg! Joan menatap Petra dengan tatapan yang tidak terbaca. Saat ini dia bisa melihat ada raut kekaguman dan kekecewaan disaat yang bersamaan pada sorot mata Petra. Hal itu tidak disukainya mengingat dia terbiasa dengan Petra yang memujanya dan mengaguminya. Jika dia memiliki kesan seperti itu kepada wanita lain hanya karena wanita itu sudah menolongnya, otomatis hal itu membuat sesuatu yang berkesan bagi seorang pria. Bukankah seperti itu?

"Lalu kenapa kau melihatku seperti itu? Kau terkesan seperti mencurigaiku", tanya Joan dengan suara tercekat.

"Karena aku berpikir kalau Joel akan melakukan hal licik untuk melatihmu seperti yang dia lakukan kepada Ashley untuk mengelabui Hyun", jawab Petra langsung.

"Dan mencurigaiku adalah daftar pertama yang bisa kau buat untuk rasa penasaranmu akan wanita itu?", tanya Joan lagi.

Petra menghela nafas lalu mengangguk sambil memejamkan matanya, terlihat tidak sanggup untuk membalas tatapannya.

"Kenapa kau bisa tega mencurigaiku lalu menyangka yang tidak-tidak pada kakakku?", tanya Joan lagi.

"Kakakmu itu adalah bajingan paling keji yang ada di dunia ini dengan selalu mencari masalah denganku. Aku tidak mau sampai kau ikut diseret dalam urusan brotherly emotion yang tidak diperlukan disini", jawab Petra sambil mendengus pelan.

"Lalu, setelah kau menilaiku dan mencurigaiku barusan, apakah kau mendapatkan apa yang kau inginkan?", kembali Joan bertanya.

Petra terdiam dan menatapnya lagi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ada keraguan dari sorot matanya dan Joan yakin kalau Petra masih membayangkan wanita itu.

"Sepertinya aku salah", gumannya dengan nada tidak yakin.

Joan hanya tersenyum hambar dan menatap Petra dengan sorot mata kecewa. "Kau mengikutiku, mengawasiku dan menjagaku selama tiga tahun ini tapi masih bisa mencurigaiku. Aku tidak tahu siapa yang kau maksud dan wanita seperti apa yang membuatmu tertarik tapi... aku sangat kecewa oleh dirimu yang begitu mudah berpaling".

"Aku tidak berpaling. Aku hanya penasaran dan aku tidak ingin kau ditipu oleh kakakmu untuk menjebakku", ucap Petra dengan wajah masam.

"Kakakku tidak akan melakukan hal seperti itu. Aku tahu dan sangat mengenalnya. Dia tidak akan menyakitiku apalagi menipuku. Lagipula untuk apa kakakku menjebakmu jika kau tidak mempunyai kesalahan? Sekarang katakan padaku apa yang membuatmu harus diwaspadai oleh kakakku, bahkan dia yang terus memperingatiku untuk jangan dekat-dekat denganmu", ucap Joan.

Petra hanya tersenyum hambar lalu mengangkat bahunya. "Kami selalu bersaing dalam hal apa saja dan berselisih untuk mendapatkan peringkat terbaik versi kami. Bisa jadi dia berniat untuk menggeser kedudukanku lewat sikap semaunya itu".

"Dia orang yang adil dan aku yakin dia tidak berniat untuk mencelakaimu. Lagipula aku sudah menerima lamaranmu dan menikah denganmu. Apa itu tidak cukup untuk membuktikan kalau aku berusaha menerima apa adanya dirimu?", sahut Joan pelan.

Petra menyeringai tajam. Dia terlihat jenuh dengan apa yang dibicarakannya dan Joan yakin kalau ada sirat kebencian dari ekspresi wajah Petra sekarang. Pria itu bisa berubah-ubah sesuai moodnya.

"See? Kau sendiri tidak pernah memujiku dan malah memuji kakak brengsekmu itu", celetuk Petra dengan nada pahit.

"Bukankah seorang adik memuji kakaknya adalah hal yang wajar? Aku pun berpikir kalau kau itu sama dengan kakakku. Kalian adalah pria baik yang selalu memperlakukan wanitanya dengan lembut dan mengutamakan kami", balas Joan dengan wajah yang tersenyum hangat kearah Petra.

Alis Petra terangkat. "Oh yah? Aku sama dengan kakakmu?".

Joan tertawa lalu menggeleng pelan. "Sekilas sama tapi kalian berbeda. Kau adalah Petra dan dia adalah Joel. Kalian menjadi pribadi yang hebat sesuai dengan diri kalian masing-masing. Aku senang kalau kalian bersahabat".

Petra tidak langsung menanggapi dan hanya terdiam mendengar ucapannya barusan. Dia terkesan memiliki sesuatu dan memikirkan hal lain dalam benaknya. Entah itu apa.

"Aku ingin istirahat, Joana", ucap Petra kemudian dengan nada jenuh lalu kembali menaiki anak tangga sambil tetap merangkul bahunya.

"Kau memang harus beristirahat. Aku juga. Aku sangat lelah", balas Joan lalu menguap.

Petra terkekeh. "Yeah. Aku berharap kalau kau sudah tidak merasa lemas dan bisa merasakan kedua kakimu sehingga aku tidak perlu menggendongmu".

"Tidak. Aku bukan anak kecil lagi dan berhenti menggodaku", ucap Joan sambil melihat Petra yang sedang berjalan mendekati satu alat seperti LCD yang terpasang di samping pintu sebuah kamar.

Joan melihat ada beberapa pintu ruangan disitu. Sepertinya ada empat pintu dengan alat yang sama di samping pintu masing-masing dalam satu koridor panjang di lantai atas rumah itu. Tampak depan rumah ini sangatlah sederhana bahkan tampak seperti rumah tua. Tapi jika sudah berada di dalam, interiornya sangat modern dan memiliki berbagai alat teknologi seperti ini.

Petra menaruh telapak tangannya pada alat itu yang Joan yakini adalah alat pendeteksi sidik jari dan.. pintu kamar pun terdengar terbuka. Petra pun langsung membuka pintu itu dan mempersilahkan Joan untuk masuk ke dalam kamar itu lalu menguncinya kembali.

Joan bisa melihat kamar khas pria yang terkesan maskulin dan ada aroma kayu yang segar menyeruak dari kamar itu. Suasananya begitu sunyi dan hawa kamar terasa dingin. Namun cukup menyenangkan.

Dia tersentak saat merasakan adanya pelukan dari arah belakang dan Petra sudah menaruh dagunya di bahunya sambil menatap kearahnya dengan tatapannya yang mempesona.

"Aku ingin berendam air hangat sebelum tidur", bisiknya lembut.

"Aku akan siapkan airnya. Kau duduk dulu disini", ucap Joan sambil mengubah posisi untuk menghadapnya dan mengarahkannya duduk di tepi ranjang.

"Tidak perlu. Bathup yang ada di dalam kamar mandi sudah diisi air hangat secara otomatis sekarang, setiap kali pintu ini dibuka olehku", tukas Petra yang menariknya untuk duduk di pangkuannya.

"Eh? Maksudmu?", tanya Joan bingung lalu melirik kearah pintu yang ada di dekat lemari pakaian dan memang terdengar ada suara kran yang menyala.

"Kamar ini adalah milikku dengan pengaturan yang kuinginkan. Ada tiga kamar yang lain dan itu adalah kamar milik Joel, Noel dan Hyun. Kami berempat memiliki kamar masing-masing dengan pengaturan sesuai keinginannya dan tidak ada yang bisa sembarangan masuk ke kamar mereka, begitu juga dengan kamar ini", jawab Petra sambil memainkan ujung rambutnya dan menatapnya penuh damba.

"Rumah ini milik kalian?", tanya Joan sambil menghela nafas karena lengannya bersentuhan dengan dada bidang Petra.

Pria itu masih shirtless dan sepertinya dia tidak berpikiran untuk memakai baju lagi.

"Ini adalah base camp kami. Eagle Eye memiliki banyak rumah seperti ini untuk kami bersembunyi. Jika kami terjun lapangan untuk melakukan misi, maka kami tidak bisa tinggal di hotel atau tempat umum lainnya karena akan dikenali sebagai pihak lawan", jawab Petra yang sudah mengusap punggungnya lalu menarik turun risleting gaun yang dikenakan Joan.

"Eh? Petra, kau mau apa? Kenapa membuka gaunku", tanya Joan sambil menangkup tubuhnya saat merasa Petra mulai bekerja untuk menurunkan gaunnya.

"Aku tadi bilang aku ingin berendam", jawab Petra dengan sabar lalu melepaskan kedua tangan Joan yang menghambat pergerakannya untuk melucuti gaunnya.

"Tapi kenapa sampai harus membuka gaunku?".

"Karena aku tidak mau berendam sendirian dan aku ingin kau menemaniku", balas Petra sambil berbisik lalu mengecup lehernya dengan ringan.

Shit! Joan memejamkan matanya menerima sentuhan Petra pada kulitnya dengan rasa yang tidak sanggup ditolaknya. Pria ini benar-benar selalu mencari kesempatan padahal bahunya terluka. Apakah pria memang harus selalu seperti ini dalam berbagai keadaan dan situasi?

"Aku lelah", ucap Joan pasrah.

Dia membiarkan Petra melucuti gaunnya dengan hanya memakai sebuah celana dalam berenda saja tanpa bra sambil menatap Petra yang menyeringai senang melihat tubuhnya saat ini.

"Aku janji hanya berendam", tukas Petra lembut lalu menyusuri lekuk lehernya dan kemudian turun sampai ke dadanya.

Yeah. Janji Petra yang katanya akan memberikannya istirahat setiap kali dia berulah itu nyatanya tidak pernah terjadi karena selalu ada kesempatan untuknya mengingkari janjinya.

Karena saat ini, Joan kembali harus melayaninya diatas ranjang dengan Petra yang sedemikian bernafsu untuk menyetubuhinya. Bahu yang terluka itu sepertinya tidak berarti apa-apa baginya, apalagi menghambatnya untuk membuat Joan pasrah akan kenikmatan yang ditawarkannya.




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷




Bisa bayangkan gimana otakku hari ini yang begitu dinodai oleh imajinasi dengan para cowok kurang ajar itu 😑

Nggak bosnya, nggak bodyguardnya.
Semua sama saja 😣






Nih kasih bonus buat muka
Darren and Luke..




Lelah hayati lama2 kalo gini mah.

P.S.
Sorry ga smpet balesin komen.
Tapi aku sangat menghargai komen kalian dan minat membaca kalian yang menebak2 😂😂😂

Brb mau ngepack dulu, genks.

Hyun maleman.
Noel nggak jd up krn mentor blm kelar.

🤗🤗🤗🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top