Part 9 - Cahaya Di Ujung Jalan

"Berusahalah untuk menjadi orang yang jauh lebih baik setiap hari, inshaAllah hidayah juga akan mudah kamu dapatkan"

(Shanum, sahabat Nuha)

"Nuha?"

Suara bariton itu mengalihkan pandangan Nuha dari kolam ikan yang ada di halaman belakang rumahnya.

"Hamish..."

Hamish tersenyum menatap wanita yang tampak masih bersedih setelah 3 hari di tinggal oleh kakak perempuannya untuk selamanya. "Aku  pamit."

"Aku?" tanya Nuha heran.

"Eh.. Gue... Gue pamit," jawab Hamish. "Gue balik ke London. Kondisi grandma kurang stabil jadi gue harus ke sana."

Nuha mengangguk. "Makasih udah dateng ke pemakaman Kak Muna tempo hari. Maaf aku gak langsung nyapa kamu."

"It's okay. Gue sempet papasan sama abang Rasyid di pemakaman," ujar Hamish. "Gue denger Killian gak datang ke pemakaman?"

Nuha menaikkan bahunya. "Biarlah. Suka-suka dia. Lagipula aku udah melayangkan gugatan perceraian lewat pengacara keluarga."

Hamish menaikkan kedua alisnya. "Kamu serius cerain dia?"

Nuha mengangguk. "Sebenernya udah lama aku persiapin ini. Tapi aku menghormati almarhum Kak Muna. Dan lagipula.. Aku merasa tidak benar-benar menikah dengan Killian."

"Keluarga kamu yang lain bagaimana?"

Nuha menatap Hamish. "Maksud kamu?"

Hamish menghembuskan nafasnya. "Kamu tau sendiri bagaimana keluarga besar kamu. Kamu menikah dengan Killian aja mereka kasak kusuk."

Nuha mendengus. "Kamu banyak tau tentang keluargaku. Om Niko memang luar biasa."

Hamish tertawa. "Bagi sebagian orang menjadi seorang single parents itu masih di pandang sebelah mata. Mommy mengalaminya. Be strong!"

"Thanks."

"Gak kapok nikah kan?"

Nuha tercengang. "Iih Hamish... Apa deh..."

Hamish tertawa. "Siapa tau kamu jadi trauma nikah."

"Ya engaklah... Suatu saat aku harus menyempurnakan setengah agamaku. Anak-anak juga butuh sosok ayah yang benar-benar sayang sama mereka," ujar Nuha. "Tapi tidak dalam waktu dekat."

Hamish menatap lekat Nuha, wanita yang sudah lama ia cintai. Ingin rasanya saat ini juga membawa Nuha ke dalam pelukannya. Tapi ia tau, untuk membawa Nuha ia masih harus menghancurkan tembok. Tembok keyakinan. Meskipun kini tembok itu sudah mulai bolong di berbagai tempat, tapi Hamish tidak ingin menjanjikan apapun pada Nuha.

"Hamish... Kapan datang?" sapa Rasyid memecah keheningan yang terjadi di antara Nuha dan Hamish.

"Baru aja, Bang. Tadi habis pamit sama om dan tante. Sekarang mau pamit sama Nuha."

"Balik ke London?" tanya Rasyid yang di jawab anggukan oleh Hamish.

"Pamit ya, Bang. Nuha jaga diri. Semoga urusannya lancar," ujar Hamish. "See you."

"Kamu masih suka sama Hamish?" tanya Rasyid pada Nuha, sepeninggalan Hamish dari hadapan mereka.

Nuha terbungkam. Untuk saat ini ia belum mau memikirkan tentang perasaannya akan berlabuh kemana. Baginya yang terpenting bukan mendekati makhlukNya tapi Sang Penciptanya, karena kita tidak pernah tau kapan nafas kita berhenti berhembus. Kematian Muna membawa dampak perubahan yang lebih besar bagi Nuha.

"Kamu tidak berminat melanjutkan sekolah?" tanya Rasyid pada Nuha tiba-tiba. "Abah bilang nilai sarjana kamu bagus-bagus"

"Sebenarnya sudah lama aku ingin sekali melanjutkan kuliahku, tapi bagaimana dengan Noah dan Nara?"

"Kalau kamu memang mau, aku akan coba daftarkan kamu di Ewha Women University. Ambil pascasarjana di sana saja," jawab Rasyid. "Mereka juga punya sekolah setingkat taman kanak-kanak bahkan ada elementary school juga. Noah dan Nara bisa bersekolah di sana."

"Untuk biaya hidup bagaimana?"

"Kamu bisa kerja part-timer di sana. Dan anak-anak kamu sepulang sekolah bisa di titipkan di daycare," jawab Rasyid. "Sementara kamu bisa tinggal denganku, bagaimana?"

Nuha tampak menimbang-nimbang sambil membetulkan helaian rambut yang keluar dari jilbabnya. "Apa aku harus tanya abah dulu ya?"

"InshaAllah abah setuju. Nanti kalau kamu keterima, perginya bareng aku saja," usul Rasyid.

"Istri abang bagaimana?" tanya Nuha. Nuha tau abangnya sudah menikah dengan seorang muslimah berkebangsaan Korea Selatan.

"InshaAllah dia akan suka kedatangan anak kecil di apartemen kami," jawab Rasyid.

Rasyid memegang kedua bahu Nuha dan menatap lurus netra Nuha yang biru keabuan. "Masih ada beberapa minggu lagi sebelum pendaftaran tahun ajaran baru di tutup. Ayo, mana jiwa bertualangmu, Nuha?"

Nuha tertawa geli. "Aku sudah bukan ABG yang senang bertualang, Bang"

"Memangnya ibu-ibu tidak boleh bertualang?" sahut Rasyid sambil tersenyum geli.

Nuha pun nyengir. "Baiklah. CV dan resume nilai aku akan aku kirimkan. Mana alamat emailnya?"

***

"Seriusan?! Lu ga bohong 'kan?!" seru Ovi bersemangat.

Sebelum kepergian Nuha ke Seoul, Korea Selatan, ia menyempatkan untuk bertemu sahabat-sahabatnya. Setelah pemakaman Muna dan juga perceraian Nuha dengan Killian yang berjalan lancar, mereka memang tidak pernah lagi berkomunikasi. Sahabat-sahabatnya sengaja memberikan ruang untuk Nuha menyendiri.

"How lucky you are!" puji Julia.

"Abang yang mengusulkan," sahut Nuha. "Ya udah aku apply dan keterima."

"Bisa ketemu KNight," celetuk Ovi. "Sudah satu tempat dan menghirup udara yang sama masa tidak ketemu juga?"

"Ya belum tentu juga kali," timpal Julia. "Coba tanya Nuha, emangnya dia masih nge-fans sama KNight?"

"Ya lu?" tanya Ovi pada Julia.

"Biasa aja sih. Lagian sekarang gue di paksa dengerin musik-musik yang ga jelas arahnya kemana," jawab Julia. "Sometimes it bothering me."

"Ganti saja pekerjaan kamu, Juls," sahut Shanum sambil menepuk-nepuk lembut punggung bayi-nya yang habis menyusu. "Kamu 'kan pintar, pasti mudah dapat pekerjaan."

"Gajinya besar cyin. Tau sendiri berapa utang gue gara-gara ikut kelas diving sama si bule kampret itu," ujar Julia sambil memasukkan buah ceri ke dalam mulutnya.

"Umi, kampret itu apa?" tanya seorang anak berusia 3 tahun yang duduk di sebelah Shanum.

Shanum melotot menatap Julia yang dari dulu paling senang mengucapkan kata-kata yang seharusnya tidak di dengar oleh anak kecil. "Coba tanya sama tante Julia."

"Emh gimana ya, kampret itu."

Shanum terkikik. "Itu kata-kata yang tidak baik, Azzam."

"Kalau tidak baik, kenapa tante Julia ngomong gitu?" tanya Azzam lagi.

"Iya ya. Seharusnya tante Julia yang cantik tidak ngomong begitu," jawab Shanum geli.

"Harusnya berkata yang baik atau diam, iya kan Mi?" ujar Azzam.

"Nah, Juls.. Dengerin Azzam tuh," ujar Ovi geli.

Julia memutarkan bola matanya. "Iya degh. Maafin tante Julia ya, Zam. Tante akan bicara yang baik-baik aja sekarang. Kapan berangkat ke Seoul? "

"Sabtu ini kalau lancar, inshaAllah," jawab Nuha. "Sekalian abang Rasyid balik juga."

"Sayang udah nikah," celetuk Julia.

"Masih kepincut sama abang, Juls?" tanya Ovi usil.

"Istrinya abang orang Korea ya?" tanya Shanum mengalihkan pertanyaan Ovi.

Nuha mengangguk. "Sebelum kenal abang, eonni udah jadi mualaf . Dan sudah mengenakan hijab juga. Mirip-mirip aku lah.. Belum syar'i kayak Shanum."

"Juls, istri abang sudah berhijab lho..," celetuk Ovi.

"Maksud lu?"

"Ya jelas. Belajar tutupi aurat lu dong sayang," jawab Ovi sambil membetulkan rambutnya yang keluar dari kerudungnya.

"Do'ain aja gue dapet hidayah pake hijab kayak kalian."

"Hidayah itu bukan di tunggu, Juls. Tapi di cari dan di jemput," ujar Shanum. "Berusahalah untuk menjadi orang yang jauh lebih baik setiap hari, inshaAllah hidayah juga akan mudah kamu dapatkan."

***

Sinar matahari pagi menyinari kota Seoul, Korea Selatan ketika untuk pertama kalinya Nuha menginjakkan kaki di negeri Ginseng. Nuha masih teringat 7 tahun lalu ketika ia, Julia, Ovi dan Shanum sangat menginginkan jalan-jalan ke Seoul karena ingin bertemu dengan KNight. Dan ketika ia tidak terlalu menginginkan bahkan melupakannya, justru dengan mudahnya ia berada di kota ini.

Noah yang duduk di pangku abang Rasyid, terpesona oleh pemandangan kota Seoul yang baru pertama kali dia lihat. Sepanjang perjalanan dari Incheon International Airport sampai ke depan apartemen, Noah banyak bertanya ini itu.

"Abang ketemu eonni di mana?" tanya Nuha, ketika Noah sudah berhenti bertanya.

"Minyoung anak seorang profesor ternama yang bekerja di rumah sakit Seoul. Ketika beliau sakit dan kritis, aku di telepon istrinya untuk segera bertemu dengan beliau," jawab Rasyid dengan pandangan mata menerawang. "Abang tidak menyangka ternyata beliau menjodohkan abang dengan putri semata wayangnya. Seminggu setelahnya profesor Park yang telah menjadi mertuaku pun meninggal dunia."

Tak berapa lama, taksi mereka berhenti di sebuah kompleks apartemen yang terbilang cukup mewah di Seoul. Cat apartemennya perpaduan warna krem dan abu sementara di sekitarnya terdapat pepohonan yang rimbun berwarna putih akibat dari salju yang turun.

"Kamsahamnida," ujar Rasyid pada supir taksi yang sudah membantunya menurunkan 2 buah koper besar, 1 buah koper ukuran sedang, 1 buah koper kecil dan juga stroller lipat. "Yuk kita masuk. Alhamdulillah ada lift, jadi tidak perlu repot-repot membawa koper."

Mereka pun berjalan beriringan menuju lift. Liftnya berdentang dua kali dan mereka pun sudah tiba di lantai tempat unit Rasyid berada. Rasyid kemudian menempelkan kartu penghuni miliknya di depan unit apartmen nomor 12 dan membuka penutup tombol yang berisi angka, memasukkan kode kunci rumahnya lalu menutup kembali penutupnya. Dengan mudah, pintu unit apartemennya pun terbuka.

"Honey! Assalaamu'alaikum," sapa seorang perempuan cantik berambut coklat muda sambil merangkul Rasyid. "I miss you"

"Nuha, she is my wife, Park Minyoung," ujar Rasyid. "Honey, she is my little sister, Nuha. And they are her kids, Noah and Nara."

"Annyeonghaseyo," sapa Nuha sambil menundukkan kepala dengan sopan lalu menatap kakak iparnya.

"I'm so sorry for your lost," ujarnya sembari memeluk Nuha erat. "Hope you enjoy live here, Nuha"

"Kamsahamnida, eonni."

"I always dream that someday I have a sister," lanjutnya. "Jadi, ini keponakkanku?"

Minyoung mendekati Nara yang tersenyum malu-malu di dekat Rasyid. "Hi Nara. My name is Minyoung."

Nara berbisik pada Rasyid yang tertawa terbahak-bahak setelah mendengar kalimat yang di bisikkan oleh Nara. "She said that you look like a Barbie."

***

To be continued

Kamis, 12 maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top