Part 8 - Take And Give
"Bagaimanapun juga, seorang ibu akan selalu memaafkan kesalahan anak-anaknya. Apapun kesalahan anaknya. Bukankah Surga ada di telapak kakinya?"
(NoonaAgassi)
***
Bandung, 2016
"Jangan pernah lagi kamu kembali ke sini!!!"
"Abah, jangan begitu... Dia..."
"Let him go, Ivana! Aku tidak sudu punya anak seperti dia! Pergi Kamu!"
"Abaaaaahh......"
"Abang... Please."
"Dok, tekanan darah pasien menurun," ujar seorang resident membuyarkan ingatannya akan kejadian 15 tahun yang lalu. "Sepertinya ada sepsis yang tidak kita duga."
Tanpa banyak bicara ia pun mengecek kemungkinan sepsis yang di alami oleh pasiennya. Dia harus bisa fokus dan melupakan sementara ingatan akan keluarganya. Sabar, sebentar lagi mereka akan bertemu.
***
"Nuha..."
Nuha memalingkan wajahnya ke arah suara yang memanggil namanya. "Hamish? Kapan kamu datang?"
Hamish mendekati Nuha dan menepuk pelan bahunya. "Sabar. Gue baru tau kondisi Muna 2 hari kemarin. Abang sudah pernah mengunjungimu?"
Nuha menggeleng. "Sepertinya dia melupakan kami."
"Gue rasa enggak. Sewaktu gue mengunjunginya setahun yang lalu, beliau mengaku ingin pulang ke Indonesia. Kangen kalian. Mungkin, kesibukkannya sekarang yang menghalangi beliau untuk pulang," ujar Hamish panjang lebar. "Tak ada yang tak mungkin bagi Tuhan jika Dia berkehendak."
"Tuhan? Kamu percaya sekarang?" tanya Nuha kaget.
"Biasa aja, Nuha...," jawab Hamish. "Memangnya aneh kalau gue berubah?"
"Hmm. Kamu 'kan dulu kayaknya ngotot banget gak percaya sama Tuhan. Buat apa memiliki keyakinan kalau kita gak yakin Tuhan itu ada," sahut Nuha. "Dan kamu juga mempertanyakan apa aku yakin dengan keberadaan Tuhan aku 'kan?"
Hamish terkekeh. "Itu sudah berlalu beberapa tahun yang lalu, Nuha. 6 tahun, cukup untuk mengubah seseorang bukan? Sama kayak kamu sekarang. Makin cantik pake jilbab."
Nuha tersipu sambil menunduk.
"Jagain Muna! Malah ngobrol!" tegur Killian yang tiba-tiba keluar dari ruang perawatan Muna sambil menatap tak suka pada Hamish.
"Kamu mau kemana?" tanya Nuha.
"Untuk apa tanya-tanya? Kita bukan siapa-siapa!" jawab Killian ketus lalu berlalu dari hadapan Nuha dan Hamish.
"Dan 6 tahun juga cukup untuk membuat seseorang tidak berubah," sahut Hamish.
"Sudahlah. Abaikan saja dia," ujar Nuha. "Mau nengok Kak Muna?"
Hamish mengangguk lalu mengikuti Nuha memasukki ruang perawatan Muna.
***
Napas seorang lelaki muda terengah-engah karena berlari dari ruang operasi sebuah rumah sakit ternama di kota Bandung menuju sebuah ruang perawatan VIP di rumah sakit tersebut. Air matanya nyaris tumpah kalau saja dzikir tidak mengiringi langkah kakinya yang mulai terasa lemas.
"Ruang perawatan nyonya Muna Takizawa?" tanyanya pada seorang suster jaga di ruang perawatan.
"Anda dokter?"
Lelaki itu menunduk memperhatikan baju yang ia kenakan. Karena terburu-buru, ia masih mengenakan setelan khusus tindakan operasi. Bahkan masih mengenakan tutup kepala bermotif awan yang selalu ia kenakan tiap operasi.
"Sorry, I'm her brother," jawabnya sembari memasukkan tutup kepala ke dalam saku celana. "Aku--"
"Dokter Zein?"
Ia menoleh pada sumber suara. Ia pun menghembuskan napas lega karena melihat salah satu koleganya yang pernah bekerjasama di Rumah Sakit John Hopkins, tempatnya praktek setahun yang lalu.
"Dokter Oemar," sahutnya sembari menjabat tangan koleganya. "Bagaimana kondisi Muna?"
"Hanya keajaiban dari Allaah saja yang bisa menyembuhkan Muna," jawab dokter Oemar. "Aku sudah melakukan yang terbaik. Dan dari hasil pemeriksaan terakhir-"
"Ya. Aku sudah baca kiriman emailmu. Aku harus menemuinya. Terima kasih atas bantuanmu dan maaf baru sekarang aku menemuimu."
Dokter Oemar tersenyum dan menepuk bahu dokter Zein. "Muna tau kalau kamu sibuk. Dia wanita kuat. Dia terus berjuang supaya bisa bertemu denganmu. Temuilah ia. Nuha ada di dalam."
Dokter Zein mengangguk dan kemudian dengan perlahan melangkah menuju ruang perawatan Muna yang di tunjuk oleh dokter Oemar.
"By the way, jika aku ke Seoul kita makan malam bersama. Ajak istrimu," tambah dokter Oemar sebelum berlalu dari pandangan.
Dokter Zein terdiam di depan pintu perawatan Muna. Ia menghembuskan nafas sebelum membuka pintu perawatan Muna. Inilah pertama kali sejak 15 tahun yang lalu, bertatap muka dengan Muna, adiknya. Bukan ia tidak mau menemui kedua adiknya, bukan pula menaruh dendam pada orangtuanya sehingga ia tidak kembali pada mereka. Waktu dan pekerjaan yang membuat dirinya menunda kembali ke tanah air.
Selama 15 tahun, Sergei ArRasyid Zein menempa dirinya menjadi seorang dokter spesialis bedah anak di Negeri Paman Sam. Sampai akhirnya Hamish yang di mintai tolong oleh Nuha, menemuinya setahun yang lalu, tepatnya di Baltimore, Maryland. Saat itu juga, Rasyid sudah menyiapkan tiket kepulangannya. Qadarullaah panggilan darurat dari seorang profesornya di Seoul, membuatnya terbang ke Negeri Ginseng.
Butuh waktu setahun lagi bagi Rasyid untuk bersabar menunda kepulangannya. Hingga kemudian ia di minta membantu mengoperasi seorang anak kecil di Bandung, membuatnya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk pulang kembali pada keluarganya. Tujuan utamanya adalah meminta maaf dan memeluk adiknya Muna. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
"Abang?" ujar Nuha ketika melihat sesosok lelaki berusia 33 tahun dan mengenakan baju setelan operasi berwarna hijau tua memasukki ruang perawatan Muna. Gurat ketampanannnya semakin bertambah dan netra coklatnya menatap sendu.
Air mata Nuha tergenang. Ia berlari menghampiri dan memeluk sang Kakak penuh rindu. "Abang, Nuha kangen abang... ."
"Maaf... Maafkan abang ya Nuha. Maafkan abang," jawab Rasyid haru.
Nuha memeluk erat Rasyid. "Abang sehat? Abang kemana saja? Kenapa baru datang?"
Rasyid mengangguk lalu mengecup kepalku penuh sayang. "Maaf. Ceritanya panjang, Nuha. Alhamdulillaah, Allaah pertemukan kita lagi. Muna... apa kabar?"
Nuha melepas pelukkannya dan membimbing Rasyid mendekati ranjang perawatan Muna. Di kanan-kiri Muna kini terpasang berbagai macam alat penunjang kehidupan. Sinar kedua netra Muna sedikit bercahaya setelah selama ini meredup. Air matanya mengalir tatkala Rasyid menggengam tangannya.
"A... bang....," ujar Muna lemah.
"Iya. Abang di sini. Bagaimana keadaan kamu?"
"Lebih... baik," jawab Muna. "Dokter Oemar, cerita sama Muna. Makasih ya, Bang..."
"Muna sekarang istirahat ya. Abang sama Nuha ada di sini," lanjut Rasyid. "Kalau Muna sudah sehat kita jalan bareng-bareng lagi. Kita ajak Noah dan Nara. "
"Abang... tau--"
"Iya abang tau. Nuha banyak cerita lewat email yang selalu aku terima," potong abang. "Janji yaa Muna sehat."
Muna tersenyum lemah. "Abah... Mama... mana?"
"Tadi ke bawah dulu, Kak. Sebentar lagi mereka akan naik ke atas," jawab Nuha.
"Killian?" tanya Muna lagi.
Nuha mencelos. Kenapa tadi dia tidak keukeuh bertanya kemana Killian akan pergi?. Kalau hanya di sekitar rumah sakit, tidak mungkin dia pergi selama ini, bukan?, batin Nuha.
Sudah beberapa bulan terakhir, tepatnya ketika kondisi Muna memburuk, Killian layaknya matahari yang timbul tenggelam. Menjenguk Muna pun bisa di hitung dengan jari. Hanya beberapa menit lalu pergi entah kemana.
"Aku tau. Dia... meninggalkan aku," lanjut Muna getir.
Nuha dan Rasyid saling berpandangan satu sama lain. Mereka tidak tau kalimat apa yang bisa menyemangati Muna dari pikiran tak baik mengenai suaminya.
"Gak apa-apa, Asalkan aku... bisa melihat abang. Untuk terakhir kali," lanjut Muna sambil berusaha tersenyum.
"Muna kamu bicara apa!" seru abah yang baru saja memasukki ruang perawatan Muna. "Rasyid?"
Rasyid mengangguk lalu mengambil tangan sang ayah dan menciumnya sambil menangis. "Maaf. Maafkan Rasyid, abah. Rasyid yang salah..."
Abah merangkul lalu memeluk anak lelaki semata wayangnya dengan erat. Tak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya. Hanya tetesan air mata yang mengalir dari matanya sudah mewakili seluruh perasaannya. Anak lelakinya telah pulang.
Setelah melepas pelukan erat Sang Ayah, Rasyid bergegas hendak mencium kaki Sang Mama namun di cegah oleh mama. Pelukkan dan cium kerinduan yang di dapat oleh Rasyid. Bagaimanapun juga, seorang ibu akan selalu memaafkan kesalahan anak-anaknya. Apapun kesalahan anaknya. Bukankah Surga ada di telapak kakinya?
"Abah, relakan Muna. Relakan juga... Killian," lanjut Muna dengan sangat lirih. "Biarkan Muna pergi. Bebaskan Nuha dari pernikahannya... dengan Killian."
"Muna," sahut abah sembari mengusap kepala Muna. "Maafkan abah. Abah belum bisa jadi abah yang sempurna dan baik untuk kalian."
"Abah, tidak ada satu pun orangtua di dunia ini yang sempurna," ujar Nuha. "Hanya ada orangtua yang mau belajar menjadi orang tua betulan. Bukan orangtua kebetulan. Dan abah sudah menjadi ayah yang terbaik untuk kita."
Muna menggelengkan kepalanya. "Nuha. Maafkan abah ya. Maafkan aku juga. Karena keegoisan aku... kamu--"
Air mata Nuha kembali mengalir. "Engak, Kak. Aku bahagia dengan adanya anak-anak sekarang. Aku tidak menyesalinya. Sungguh."
Muna tersenyum. "Aku bebaskan kamu dari Killian. Kalau kamu... mau gugat cerai, aku persilahkan. Aku... sayang kalian semua..."
Tuuuuuuuuutt.......
Saturation is low
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top