Chapter 7
Ini kalo banyak yang bikin penasaran di cerita ini, di versi buku aku jabarin lebih detail soalnya versi ini emang kurang detail😅 jadi kalo entar berpikir gak make sense, ya bener soalnya ini versi belom ku revisi habis2an😂😂
•
•
Wina menikmati kemenangan telak saat mengetahui Pahlevi sudah menunggu di restoran selama kurang lebih tiga puluh menit. Dia sengaja mengerjai Pahlevi sebagai balasan masalah tempo hari. Biar saja laki-laki itu menunggu sampai bosan. Bahkan dalam bayangan Wina, dia sudah berhasil mencapai garis finish atas semua permainan gila ini.
Melanie dan Belia yang sedang main ke rumah Wina cuma bisa geleng-geleng kepala menyaksikan keisengan sahabat mereka.
"Rasain. Lo tungguin tuh gue sampai restoran tutup!" Wina bermonolog sendiri sambil melihat pesan Whatsapp dari Pahlevi.
"Win, hati-hati kualat," sela Melanie.
"Ish! Kenapa sih lo ngomongnya gitu?"
"Bukan begitu soalnya-"
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu kamar terdengar cukup keras seiring suara teriakan dari luar. "Win, ada tamu tuh di bawah."
Wina turun dari tempat tidur dan bergegas membukakan pintu. "Siapa, Ma?"
"Kalau nggak salah namanya Pahlevi."
"Hah?"
"Kenapa kaget gitu sih? Itu orangnya nungguin," ucap Laras. "Omong-omong, Pahlevi tuh siapa? Ganteng banget. Apa jangan-jangan calon suami yang kamu maksud itu?"
"Jawabnya nanti aja deh. Aku mau ganti baju dulu, Ma."
"Ya, sudah. Mama tunggu di bawah ya."
Wina menutup pintu. Kenapa Pahlevi ada di rumahnya sementara baru beberapa menit mengatakan menunggunya di restoran? Seharusnya dia ingat kalau Pahlevi sudah tahu rumahnya karena pernah mengantarnya pulang. Ah, sebal! Gagal deh mengerjai Pahlevi.
"Selamat ketemu sama calon suami ya, Win," ledek Melanie, yang kemudian merebahkan tubuh di atas tempat tidur dan mulai menyalakan televisi. Hal yang sama dilakukan oleh Belia. Mereka berdua tidak mau peduli bagaimana akhirnya nanti. Yang terpenting nonton drama Korea dulu.
Wina mengepal tangannya sebal. Sebelum turun, dia mengganti piyama bergambar Winnie the Pooh dengan kaus polos biru dan celana panjang. Dia sudah menahan kesal karena kalah dari Pahlevi. Begitu tiba di ruang tamu, dia melihat ibunya tersenyum saat berbincang dengan Pahlevi. Jangan bilang ibunya terhasut rayuan manis Pahlevi. Jangan sampai!
"Win, duduk dong." Laras menepuk tempat kosong di sampingnya. Setelah putrinya duduk, dia berbisik, "Kenapa kamu nggak bilang kalau dia ini calon suami kamu?"
Wina menaikkan satu alisnya. Sial! Pahlevi sudah mengatakan hal yang seharusnya dikatakan minggu depan. Apa ini siasatnya untuk mengambil hati ibunya?
"Dia bilang apa sama Mama?" tanya Wina berbisik.
Laras tidak menggubris pertanyaan putrinya. Dia menggenggam tangan anaknya sambil tersenyum. "Selama ini Wina nyusahin kamu nggak, Pahlevi?"
"Nggak kok, Tante. Wina sangat baik." Pahlevi menjawab sambil menatap Wina dan tersenyum tipis.
Wina berdecak. "Dasar sok baik. Mukanya minta diguyur air es," gumamnya pelan.
"Kamu bilang apa, Win?" Laras meneleng ke samping begitu mendengar kalimat samar-samar yang keluar dari mulut putrinya. "Mau ngobrol berdua sama Pahlevi?"
"Nggak. Aku mau-"
Laras memotong kalimat Wina yang belum selesai seraya bangun dari tempat duduknya. "Kalau gitu Tante tinggal ya." Kemudian, dia beranjak pergi menuju dapur untuk mengambil camilan yang akan dipersiapkan.
Pahlevi bangun dari tempat duduknya, berpindah posisi duduk di samping Wina dan merangkul pundaknya. "Kamu nggak bisa mengerjai saya, Wina."
Wina mendelik tajam sembari menyingkirkan tangan Pahlevi dari pundaknya. "Biar Pak Pahlevi merasakan pembalasan saya."
"Maaf. Saya benar-benar minta maaf. Jangan marah lagi ya," bujuk Pahlevi. Belum sempat ditanggapi oleh Wina, dia mengecup singkat pipi calon istrinya. "Hadiah permintaan maaf."
Wina memelotot tajam. "Jangan cium lagi. Saya aduin Mama kalau Pak Pahlevi nakal!"
Pahlevi tertawa geli. Bagaimana bisa Wina selucu ini? Dia bahkan tidak sadar sering tertawa hanya karena tingkah laku atau penuturan calon istrinya. Dengan gemasnya Pahlevi mengacak-acak rambut Wina yang tertata rapi. "Kalau kita nikah, saya pasti nakalin kamu. Setiap hari."
"Ck! Mesum!" Wina bangun dari tempatnya. "Saya mau tidur. Pak Pahlevi pulang sana."
"Saya masih mau ngobrol sama kamu. Duduk dulu." Pahlevi menarik tangan Wina hingga akhirnya duduk seperti semula. Berhubung dia takut Wina kabur, dia menggenggam tangannya seerat mungkin. "Besok lusa kita bahas soal surat perjanjian. Oke?"
Wina menurunkan pandangan, mengamati tangan yang digenggam erat. "Biar apa gandengan segala? Memangnya mau nyebrang?" Lalu, dia mencoba melepaskan tangan Pahlevi tapi sayangnya gagal. Pahlevi semakin mempererat genggamannya dan memasang senyum tanpa dosa.
"Saya tau kamu malas ketemu saya. Kamu masih marah soal Resya?"
"Iya."
"Saya harus menebusnya dengan apa supaya kamu berhenti marah?"
"Kalau mau saya nggak marah lagi, kita pergi ke Dufan. Saya mau naik roller coaster. Pak Pahlevi harus naik bareng saya. Gimana?"
"Oke. Itu gampang," jawabnya santai.
"Terus waktu kita naik bianglala Pak Pahlevi harus teriak sekeras-kerasnya bilang cinta sama saya."
Pahlevi terkekeh. "Kamu serius minta hal seperti ini? Kamu tahu saya orang yang seperti apa, Wina. Melakukan hal-hal yang kamu sebutkan nggak akan membuat saya malu."
Sialan! Kenapa Pahlevi tahu saja dia ingin membuat Pahlevi malu? Seharusnya dia memikirkan cara lain. Ah, kenapa sulit sekali menjatuhkan Pahlevi? Ibarat main game, Pahlevi saingan berat yang sulit dikalahkan. Namun, kalau menuruti egonya untuk terus mencari kepuasan supaya rasa kesalnya hilang, pasti takkan habis. Mungkin ada baiknya dia melupakan saja yang telah berlalu. Di tengah pikiran yang sedang berdebat antara ingin melupakan atau tidak, telinganya mendengar Pahlevi mengatakan sesuatu dengan serius.
"Win, kalau kamu masih marah ya sudah. Saya tulus minta maaf. Saya nggak bermaksud menyakiti kamu, apalagi tindakan Resya kemarin memang di luar kendali. Semoga kamu bisa memaafkan saya meski nggak dalam waktu dekat. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf."
Wina menghela napas. Pada akhirnya dia tidak tega. Ya, meskipun awalnya salah Pahlevi karena berbohong tapi insiden ditampar dan diguyur waktu itu bukan atas kemauan Pahlevi. Itu di luar kendalinya.
"Iya, saya maafin."
"Senyum dong. Saya suka liat kamu senyum," bujuk Pahlevi.
Niat hati ingin marah, Wina terpaksa menarik senyum. Pelan-pelan Pahlevi menarik pinggang Wina hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Seperti sebelumnya, Pahlevi kembali mendaratkan kecupan di pipi Wina. Dan berkat kecupan itu, pipi Wina bersemu merah.
"Makasih, Win."
* * *
Hari belum siang dan ayam baru saja berkokok. Wina menghela napas panjang menyadari kehadiran yang tidak diinginkan. Pahlevi duduk tenang di ruang makan bersama ibunya. Entah apa yang meracuni ibunya sampai menyuruh Pahlevi sarapan bersama mereka.
"Win, ngapain bengong di situ? Duduk di sebelah Pahlevi dong," suruh Laras sambil menggerakkan tangan ke udara memanggil putrinya. "Kamu sudah sikat gigi dan cuci muka, kan?"
Wina bergerak maju dan terpaksa duduk di sebelah Pahlevi yang menampilkan senyum. Dia sulit mengartikan setiap senyum yang diperlihatkan Pahlevi. Sambil merapikan rambutnya yang belum kering dia menjawab, "Wina sudah mandi, Ma."
"Kok keliatan kayak belum mandi sih? Masih aja dekil," komen Laras.
"Bagi saya Wina keliatan cantik, Tante. Nggak salah saya datang ke sini pagi-pagi jadi saya bisa lihat wajah Wina tanpa make up," sela Pahlevi sambil tersenyum sesaat meneleng ke samping.
Wina memang belum memoles make up. Bahkan rambutnya masih basah bagai diguyur hujan. Pakaiannya juga belum diganti, masih memakai daster bertali satu. Baru kali ini Pahlevi melihat Wina yang seperti ini.
"Aduh... manis banget deh," gumam Laras pelan. "Eh, yuk kita makan. Win, tolong ambilkan nasi untuk Pahlevi. Jangan lupa tuangkan air putihnya juga," suruh Laras.
Wina mengambilkan nasi untuk Pahlevi dan beberapa lauk pauk buatan ibunya. Setelah Pahlevi mengatakan cukup, Wina mengisi gelas kosong Pahlevi dengan air putih. Semua Wina lakukan sesuai perintah ibunya.
"Makanannya enak, Tante. Saya suka. Sudah lama nggak makan masakan rumah," komentar Pahlevi setelah mencicipi masakan buatan Laras. Soal rasa, dia tidak pernah bohong dan mengatakan yang sejujurnya.
"Ah, kamu bisa aja. Beneran enak nih, Nak?"
"Iya, Tante. Wina pasti bangga punya ibu sehebat Tante."
Laras tersipu malu. "Kamu bisa aja deh. Padahal ini masakan yang gampang banget."
Wina geleng-geleng kepala mengamati wajah tersipu malu ibunya. Lagi pula gampang dari mana? Masakannya terbilang rumit. Wina saja menyerah kalau disuruh masak opor ayam. Semakin ke sini Wina sadar mulut Pahlevi semanis madu. Pintar merayu dan memuji. Oh, pintar memaksa juga!
"Omong-omong kapan nih ketemu ibunya Pahlevi? Siapa tau bisa berbagi resep masakan," tanya Laras.
Wina memelototi ibunya yang terlihat bingung. Dia menyadari perubahan ekspresi Pahlevi yang cukup jelas. Walaupun Wina sudah memberitahu perihal ibunya Pahlevi yang sudah meninggal melalui gerakan bibir tanpa suara, ibunya tetap tidak dapat menangkap maksudnya. Alhasil kerutan-kerutan bingung itu menghiasi kening sang ibu.
"Ma, bisa nggak sih kita makan dulu? Jangan ngomong mulu. Tau nggak sih kalau makan-"
Pahlevi mengerti maksud Wina mulai bicara. Sebelum Wina menyelesaikan kalimatnya, Pahlevi menyela, "Orangtua saya sudah meninggal, Tante. Mereka meninggal dalam kecelakaan mobil."
Laras merasa bersalah. Raut wajahnya mendadak panik. "Aduh, maaf Tante nggak tau. Wina belum cerita. Tante nggak bermaksud bikin kamu sedih." Lalu, matanya terarah pada Wina dan memelototi putrinya yang tidak memberitahu dari lama berita itu.
Pahlevi tetap memaksakan senyum. "Nggak pa-pa, Tante. Kejadiannya sudah lama banget kok. Tante nggak salah jadi jangan minta maaf."
"Walaupun Tante bukan orangtua Pahlevi, tapi kalau Pahlevi butuh sesuatu boleh bilang sama Tante. Karena nanti Pahlevi akan menikah sama Wina jadi jangan pernah sungkan," ucap Laras. Nada bicaranya terdengar lembut dan penuh kasih sayang.
"Makasih, Tante."
"Ayo, makan yang banyak, Pahlevi. Tante masih punya buah dan kue bolu untuk kamu. Tante juga sudah siapkan bekal makan siang untuk Pahlevi," kata Laras sembari bangun dari tempat duduknya, mengambil tas kecil yang berisi kotak makan dan meletakkannya di atas meja makan. "Semoga kamu suka ya."
Tanpa sadar kedua sudut bibir Wina tertarik. Tubuhnya beranjak dari tempatnya untuk mengambilkan botol vitamin yang tersimpan di dalam lemari gantung. Setelah itu, dia meletakkan vitaminnya di samping Pahlevi. "Diminum vitaminnya supaya fit terus."
Pahlevi mengangguk. Biasanya dia menyiapkan sarapan, vitamin dan semuanya seorang diri. Sarapan juga sendiri mengingat dirinya tinggal sendirian di apartemen. Khusus pagi ini, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Hal yang sudah lama tidak pernah dirasakannya yaitu, sarapan bersama di meja makan. Perasaan nyaman dan diterima muncul begitu merasakan kehangatan keluarga Wina. Juga, dia seperti sudah menemukan 'rumah' yang selama ini telah lama hilang.
* * *
Wina mengamati surat perjanjian yang dibuat Pahlevi. Tanpa merundingkan lebih dulu dengannya surat perjanjian sudah jadi. Jika dibuat seorang diri maka hasilnya pasti ada saja yang dirasa tak memuaskan. Ya, seperti Wina sekarang.
"Kenapa saya harus kasih morning kiss? Itu bukan kewajiban!" protes Wina setelah selesai membaca keseluruhan perjanjian dengan saksama. Lirikan tajam terlempar tepat ke arah Pahlevi yang duduk di sampingnya di dalam mobil. Sopir pribadi Pahlevi menunggu di luar. Mereka berada di parkiran gedung kantor Wina.
"Apa menurut kamu mencium suami itu aneh? Saya meminta kamu melakukan itu setelah kita menikah bukan sekarang," balas Pahlevi santai.
"Tapi saya nggak mau."
"Kalau gitu saya ralat dengan morning sex setiap hari."
"Hah?! Mesum! Otak Pak Pahlevi isinya apa sih? Bentar-bentar cium, peluk-"
Pahlevi memotong kalimat Wina yang belum diselesaikan. "Kamu minta dihamili sama saya, tapi diminta untuk mencium saya setiap pagi aja kaget. Kamu memang aneh."
Wina mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Tahan, tahan, dia tidak boleh berkata kasar apalagi sampai menoyor kepala Pahlevi. Mungkin lain waktu kalau kesabarannya sudah habis, dia tidak peduli dibilang barbar karena pasangannya seperti ini.
"Oke, morning kiss. Saya setuju," kata Wina akhirnya mengalah.
"Ada lagi yang mau kamu protes?"
"Kenapa saya harus resign dari kantor?" Wina kembali protes sambil menunjuk poin keempat yang tertulis di kertas.
"Satu, saya nggak mau ada yang menggunjingkan istri saya karena menikah dengan rekan kerja bosnya. Kedua, saya nggak mau kamu diledekin. Ketiga, ini bisa jadi kesempatan kamu mencari pekerjaan di tempat lain." Pahlevi menjelaskan dengan santai dan lancar. Mimik wajahnya tetap terlihat tenang meski Wina selalu memelototinya.
"Ternyata bisa mikirin orang juga. Kirain cuma bisa egois," gumam Wina pelan. Sepelan-pelannya, Pahlevi dapat mendengar gumamannya.
"Saya tau kamu payah melawan ledekan Cia jadi saya tulis itu."
Wina memiringkan tubuhnya hingga dia dapat melihat Pahlevi sepenuhnya. Kesabarannya sudah diambang batas. Mulutnya Pahlevi masih saja semenyebalkan ini. Sambil menggigit bibir bawah dengan gemas dia berkata, "Siapa bilang saya payah? Bapak belum pernah dengar saya balas ledekan lebih pedas dari cabai rawit, kan?"
"Belum, tapi saya nggak mau tau." Pahlevi menyunggingkan senyum tipis membuat Wina semakin kesal. "Keluar sekarang karena saya mau berangkat ke kantor."
Wina tertawa kecil tanpa alasan. Ini karena sikap Pahlevi yang benar-benar membuatnya ingin marah. Kalau saja dia bom mungkin sudah meledak dan menghancurkan Pahlevi. Akan tetapi, dia punya cara yang mungkin saja dapat membuat Pahlevi diam.
"Pak Pahlevi belum tau mulut saya bisa sepedas apa, kan?"
Sebelum sempat dijawab, Wina sudah memangkas jarak di antara mereka, duduk di atas pangkuan Pahlevi dan mencium bibirnya. Awalnya Pahlevi menutup bibirnya rapat-rapat hingga Wina terpaksa menggigit bibir bawahnya sampai berhasil membuat bibirnya terbuka, memberi akses untuk menjelajahi bibirnya lebih leluasa. Tanpa memperdulikan apa pun, Wina mencium lebih dalam dan setelah Pahlevi membalas ciumannya, dia segera menarik diri.
Dengan menunjukkan senyuman licik Wina berkata, "Ini yang katanya minta morning kiss tapi dicium aja mulutnya ditutup rapat-rapat. Payah."
Ketika Wina akan duduk kembali ke tempatnya seperti semula, Pahlevi menangkal tangan Wina dan memeluk pinggangnya dengan erat. Seringaian kecil muncul di wajah Pahlevi. "Saya nggak suka dicium setengah-setengah." Detik selanjutnya dia menarik tengkuk leher Wina dan meraup bibir semanis stroberi yang dia rasakan dari pelembab bibirnya. Saat Wina berontak, dia semakin mengeratkan pelukannya hingga tak ada penolakan selain membalas ciuman darinya.
Wina merutuki kebodohannya. Ini namanya senjata makan tuan. Lain kali dia tidak perlu melakukan hal bodoh seperti ini!
* * *
Jangan lupa tinggalkan komen dan vote😍😍
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top