Chapter 5

Lima tahun yang lalu....

Maukah kamu menunggu aku setahun lagi? Menanti kesuksesan yang sebentar lagi kuraih? Setelah setahun berlalu, aku akan meminangmu. Kita akan hidup bahagia bersama seperti apa yang telah kita rencanakan.

Love, Daryan Adita

Wina meremas kertas yang baru saja dia temukan di dalam dompetnya. Senyum pahitnya terukir sempurna saat membaca tiap baris kalimat yang kini hanya tinggal kenangan. Sosok bernama Daryan sudah menikah. Bukan dengan dirinya seperti yang dijanjikan oleh laki-laki itu melainkan bersama perempuan lain.

Ada luka dalam diri Wina yang masih begitu melekat. Bukan karena masih mencintai Daryan tapi karena dia belum memaafkan apa yang laki-laki itu lakukan padanya. Tidak setelah semua angan-angan serta harapannya pupus terinjak oleh kenyataan pahit yang menyakitkan.

Setelah kertasnya sudah teremas sempurna, Wina melemparnya ke dalam tempat sampah. Tidak lupa membuang beberapa barang yang masih tersimpan baik di dalam lemarinya selama berpacaran dengan Daryan dulu. Melihat semua barang sudah dibuang olehnya, air mata jatuh membasahi pipi Wina. Dia segera menutup wajahnya bersama isakan yang terdengar jelas.

"Lo nangis karena ingat Daryan lagi?" Suara itu keluar dari mulut sahabatnya, Melanie. "Win, stop it. Lo harus berhenti menangisi Daryan sialan itu. Move on."

"Lo nggak tau rasanya diputusin lalu dibuang kayak sampah, Melanie."

Melanie menarik lengan Wina, memandunya duduk di pinggir tempat tidur, lalu menghapus air mata Wina dengan tisu yang baru saja dia ambil. Miris. Begitu yang dirasakan Melanie setiap kali melihat sahabatnya menangis karena masa lalunya.

"Gue memang nggak tau, tapi apa lo mau seperti ini? Menjalani hidup penuh kesedihan, kebencian, dan kemarahan yang nggak ada habisnya. Lo mau hidup kayak gitu seumur hidup? Nggak, kan?" Melihat Wina menggeleng, Melanie menambahkan, "Win, ini udah dua tahun sejak Daryan putusin lo. Manusia itu sudah hidup bahagia sama istrinya. Sementara lo? Masih terpuruk membayangkan betapa jahatnya dia sudah berbuat kayak gini. Lo harus merelakan semuanya."

"Ini bukan karena gue masih sayang sama dia. Bukan. Tapi–"

"Tapi lo masih belum bisa memaafkan semua yang dia perbuat sama lo. Gue tau. Hanya aja lo nggak bisa begini terus, meratapi nasib yang masih bisa lo ubah," potong Melanie. Kedua tangannya menggenggam tangan Wina dengan erat. Tatap matanya melembut ketimbang harus menunjukkan tatapan kasihan pada sahabatnya.

"Rasanya gue masih sulit untuk melupakan yang sudah terjadi." Wina kembali meneteskan air matanya, yang mana segera dihapus oleh ibu jari Melanie. "Gue harus berbuat apa? Setiap kali berniat pedekate sama yang lain, gue selalu berpikir apa dia lebih baik dari Daryan atau nggak."

"Wina, denger... gue harap lo sadar. Kunci untuk menjalani hidup lo sekarang adalah dengan memaafkan Daryan. Gue harap lo belajar menerima luka yang lo rasakan setiap harinya lalu diubah menjadi sebuah keikhlasan. Ketimbang membenci Daryan, gue mau lo menjalani hidup sebaik-baiknya dengan memaafkan dia. Gue harap lo mau memaafkan Daryan semudah lo memaafkan diri lo sendiri atas semua yang udah terjadi."

Kalimat Melanie justru memperparah tangis Wina. Dengan cepat Melani menarik sahabatnya dan memeluk seerat mungkin. Wina memang perlu diingatkan berulang kali jika dia ingin hidup tenang tanpa kebencian, maka memaafkan Daryan adalah jalan terbaik. Sayang, Wina terlalu membenci Daryan. Seperti sudah mendarah daging sehingga hidupnya selalu dipenuhi kebencian masa lalu.

"Win, lo benar-benar harus melakukan apa yang gue bilang barusan. Dengan begitu lo bisa hidup tenang tanpa amarah, apalagi kebencian. Percaya deh setelah lo berhasil melakukan itu, lo akan berterima kasih sama gue karena semua ucapan gue benar."

"Haruskah gue memaafkan Daryan? Dia aja nggak minta maaf setelah membuang gue."

Melanie melepas pelukannya, lalu menatap Wina dengan tajam. "Plis deh, Wina. Ini bukan tentang siapa yang harus minta maaf duluan, tapi demi hidup yang lebih cerah lagi."

"Gue tau tapi... sulit." Wina menunduk sambil mengembuskan napasnya kasar. Akan selalu ada kata 'sulit' acapkali Melanie memintanya memaafkan sang mantan.

Melanie kembali menggenggam tangan Wina kemudian berkata, "Ayolah Wina, jangan melulu bilang sulit. Semua bisa, tapi lo menolak untuk melakukan itu. Cobalah dan temukan kehidupan penuh kebahagiaan versi lo sendiri. Dan harus ingat kalau Daryan tidur sama perempuan lain. Lo sendiri yang memergoki dia bersetubuh di apartemennya. Jadi, apa yang membuat lo masih menangisi laki-laki brengsek kayak gitu?"

"Ada baiknya gue nggak menikah, Mel."

"Menikah atau nggak, itu urusan lo. Yang terpenting sekarang lo bahagia dan berhenti menangisi manusia sampah kayak dia. Oke?"

Wina mengangguk sambil memaksakan senyum. Dia sudah memantapkan diri untuk tidak menikah. Pokoknya dia rela menjadi perawan tua seumur hidup.

* * *

Apartemen Pahlevi yang biasanya sepi kini berubah ramai. Bukan karena dia mengadakan pesta, tapi karena kehadiran Didi—sahabatnya sejak mereka masih di taman kanak-kanak. Walaupun Didi hanya sendirian, tapi suaranya lebih ramai dari ibu-ibu kompleks. Ditemani sebotol bir, Didi menikmati ketenangan yang diciptakan oleh suara sunyi tanpa musik karena Pahlevi sibuk mengerjakan pekerjannya.

"Kepala lo nggak ngebul tuh kerja mulu?" tegur Didi akhirnya mulai bersuara.

"Gue bukan lo."

"Sialan! Gue serius. Kenapa nggak coba having fun ke kelab kayak Kiano?" usul Didi.

"I don't have time for that. Lebih baik gue urus pekerjaan."

Didi menepuk pahanya kasar. "C'mon, maaaan! Sekali-kali coba liat dunia luar. Gue samperin lo kalau nggak ke apartemen, ya cuma ke coffee shop. Sisanya lo habiskan waktu bekerja di kantor dan di rumah. Kalau gue jadi lo bisa stress atau paling parah sih gila."

"Setiap manusia beda-beda. Itu sih lo. Kalau gue dibawa fun aja."

Didi mengusap wajahnya kasar. Dia berharap Pahlevi amnesia supaya bisa dengan mudahnya menciptakan Pahlevi yang lebih menyenangkan. Sebagai sesama laki-laki, dia tidak akan berbohong kalau Pahlevi tipe yang membosankan. Laki-laki itu memilih pacar yang bertipe sama dengannya. Semua mantan pacar Pahlevi rata-rata pembawaannya serius sepertinya. Pembahasan yang mereka bahas pun berat seperti perekonomian di dunia, hukum-hukum di dunia dan masih banyak hal serius lainnya. Kebanyakan yang dipacari Pahlevi berprofesi sebagai Jaksa atau Pengacara.

"Ya sudah, terserah apa kata lo aja. Kalau tiba-tiba di koran ada berita kematian lo karena kelelahan kerja dua puluh empat jam non stop, gue orang pertama yang bakal ketawa senang."

Pahlevi tergelak. Selain menjadi sahabatnya, Didi bisa merangkap jadi pelawak dadakan. Contohnya barusan. Walau sebenarnya tidak lucu tapi menurut Pahlevi itu sudah cukup menghibur.

"Selain kaku, dingin, lo juga receh. Humor lo amblas kayak ban pecah. Parah banget." Didi geleng-geleng kepala. "Omong-omong, gimana tuh cerita perempuan yang minta dihamili lo? Ini perempuan ke berapa sih? Kayaknya banyak amat yang minta dihamili sama lo," tanya Didi saat dia mulai mengingat cerita Pahlevi beberapa waktu lalu. Dia sudah tidak kaget karena waktu jalan bersama Pahlevi dia pernah bertemu perempuan yang dengan tiba-tiba minta dihamili sahabatnya. Aneh tapi nyata. Mungkin karena tahu Pahlevi kaya raya atau pesona Pahlevi bisa membuat para perempuan menginginkan anak darinya.

"Entah yang ke berapa. Khusus yang satu ini gue ajak nikah," jawab Pahlevi santai.

"WHAT?! SERIUS LO?"

"Gue serius." Pahlevi tidak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari laptop. Mendengar pekikan nyaring Didi saja dia tidak tergugah melihat sahabatnya. "Mungkin kalau nggak ada halangan, bulan depan sudah nikah sama dia."

"Lo beneran nggak waras. Ini kayak beli kucing dalam karung, Lev. Masa lo mau menikahi perempuan yang nggak dikenal sama sekali? Jangan gila dong!"

Bukan masalah Pahlevi mau menikah mendadak, tapi karena Pahlevi bukan tipe yang rela berkomitmen. Ya, satu-satunya hal yang tidak dapat dimengerti Didi tentang sahabatnya adalah hobi gonta-ganti pacar dibandingkan para sepupunya yang kelewat setia. Meskipun Pahlevi mendedikasikan dirinya pada pekerjaan dan pembawaan yang serius, tapi dalam hubungan Pahlevi tidak seserius itu karena mudah bosan dalam urusan asmara. Entah apa penyebabnya. Yang pasti setelah bosan Pahlevi akan putus dan mencari perempuan lain. Lantas bagaimana dengan menikah? Didi tidak ingin menuduh karena belum tentu terjadi, tapi apa mungkin sahabatnya akan bercerai jika bosan dengan istrinya? Lupakan. Didi tidak ingin memikirkan hal yang bukan menjadi urusannya.

"Seiring jalannya waktu gue akan mengenal dia."

Didi mengacak rambutnya frustasi. "For God's Sake, Pahlevi! Ini bukan cerita novel yang tiba-tiba lo bisa tau ini dan itu tentang dia. Ini pernikahan yang bakal lo jalani sekali seumur hidup!"

"Jangan terlalu berlebihan. Mengenal orang itu nggak sulit. Contohnya lo. Dari cara lo ngomong aja ketauan lo orang yang ramai dan senang jadi pusat perhatian. As simple as that."

Didi geleng-geleng kepala. Dia mulai mempertanyakan dirinya sendiri kenapa sanggup bersahabat dengan Pahlevi yang seperti ini. Sahabatnya sering mengambil keputusan mengejutkan tapi, keputusannya tidak pernah salah. Namun, keputusan yang satu ini berbeda. Ini mengenai pernikahan sakral. Pahlevi bisa saja salah soal keputusannya.

"Lo nggak perlu khawatir. Gue tau keputusan yang gue ambil."

Didi mengembuskan napas kasar cukup keras berulang kali. Padahal Pahlevi yang mengambil keputusan tapi dia yang merasa keputusan itu sudah salah sejak awal. "Gue cuma bisa mengucapkan selamat. Semoga ini bukan keputusan gegabah. Btw, siapa nama calon istri lo? Dia tau nggak sih soal itu?"

Pahlevi menutup layar laptopnya dan menatap Didi yang juga menatapnya ingin tahu. "Namanya Wina Lestari. Nggak. Dia nggak perlu tau."

"Bentar, bentar. Jangan bilang lo..."

Pahlevi menarik senyum dan mengangguk seolah sudah mengerti maksud ucapan Didi padanya.

"Wah... lo bener-bener, Lev. Parah!"

* * *

Jangan lupa vote dan komen kalian❤

Follow IG: anothermissjo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top