Chapter 4
Wina menguap berulang kali. Matanya masih ingin tidur di hari Sabtu, tetapi sialnya tidak bisa. Pahlevi yang menyebalkan itu malah mengajaknya pergi ke tempat bermain golf bersama para sepupunya. Kata Pahlevi supaya dia kenal dengan beberapa sepupunya sebelum mengenal om dan tantenya esok hari. Dari perkenalan singkat setelah tiba di tempat ini, Wina sudah mengenal tiga sepupunya—Wilmar, Aruna, dan Dimas. Mereka semua pandai bermain golf, seperti halnya Pahlevi. Berbeda dengan dirinya yang tidak pernah memegang stick golf seumur hidupnya. Main congklak saja dia sudah senang, tidak usah mencoba olahraga seperti golf.
"Omong-omong, kalian beneran pacaran? Soalnya nggak ada nama Wina dalam daftar perempuan yang dipacari Pahlevi." Aruna membuka obrolan setelah sekian lama berfokus dengan bola kecil yang dipukulnya.
"Bukannya lo masih punya—"
Pahlevi memotong kalimat Dimas yang belum selesai dengan cepat. "Iya, Wina pacar baru gue makanya mau dikenalin sama kalian."
"Kapan udahan sama—"
Pahlevi kembali memotong, tapi kali ini kalimat Wilmar yang belum sempat selesai. "Sejak sebulan lalu. Gue mau menikah sama Wina."
Dimas, Wilmar dan Aruna saling melempar pandang. Rasanya ada yang aneh dengan gelagat Pahlevi. Sebab, mereka tahu Pahlevi punya pacar entah siapa namanya—mengingat ada banyak perempuan yang dikenalkan Pahlevi kepada mereka. Namun, memang dalam sebulan belakang Pahlevi belum terlihat mengajak pacar-yang-katanya-sudah-putus dalam setiap pertemuan keluarga.
"Baru pacaran sudah mau nikah?" tanya Dimas semakin penasaran.
Ingin sekali Wina membekap mulut Pahlevi. Sayangnya masih ada ketiga sepupunya.Nih orang mulutnya enteng banget sih! Mau ngasih tahu ke seluruh dunia apa kalau mau nikah?
"Lo serius? Jangan bercanda, Lev," sambung Wilmar, masih tidak percaya.
"Wina nggak..." Aruna menggantung kalimatnya sambil menunjuk ke arah perut Wina. Melihat Wina menggeleng kuat, dia melanjutkan, "... jadi kalau bukan karena hamil terus kenapa mau buru-buru nikah? Bukannya selama ini lo belum tertarik menikah, Lev?"
"Apa jangan-jangan karena disuruh Oma?" lanjut Dimas.
Pahlevi merangkul pundak Wina, lalu berpura-pura menatapnya penuh cinta. Sambil mengusap kepala Wina, dia menjawab, "Selain karena sudah ditanyain Oma, gue merasa cocok sama Wina. Dia mengubah persepsi gue soal pernikahan. Gue sudah mantap begitu juga dia. Iya kan, Sayang?"
Wina mengangguk berulang kali sambil memaksakan senyum saat melihat ketiga sepupu Pahlevi. Bukan apa-apa, dia takut ketahuan karena aktingnya tak sebaik Pahlevi. Mendengar banyaknya pertanyaan mereka akhirnya Wina tahu kalau Pahlevi sempat punya pacar sebelumnya.
"Oke, jadi kapan kalian mau melangsungkan pernikahan?" tanya Aruna dengan menunjukkan tatapan seperti sedang menginterogasi.
"Rencananya sih satu bulan lagi tapi gue perlu tanya sama keluarga dan Oma juga."
Wilmar terkaget-kaget. "Sebulan lagi? Serius? Secepat itu?"
"Kenapa harus lama-lama? Bokap lo punya hotel, nyokapnya Dimas punya WO. Jadi semuanya bisa diatur, kan?"
Aruna menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Dia tidak mengerti jalan pikiran Pahlevi yang selalu memudahkan berbagai hal. Apa yang dibicarakan Pahlevi benar, tetapi tidak membenarkan keinginan gilanya.
"Memangnya Wina sudah yakin mau menikah sama lo?" Aruna menatap Wina yang masih menunjukkan cengiran kudanya. "Win, memangnya sudah yakin mau nikah sama dia? Pahlevi ini orangnya agak susah ditebak. Dia selalu menggampangnya masalah dan berbagai hal."
Demi meyakinkan ketiganya Wina sengaja memeluk lengan Pahlevi. Sebenarnya dia jijik melakukan hal seperti ini apalagi di depan sepupu Pahlevi yang baru ditemuinya hari ini, tetapi kalau tidak dilakukan mereka takkan berhenti memberondong dengan berbagai pertanyaan.
"Yakin kok, Kak Aruna. Mau seperti apa pun sikapnya Pahlevi, aku sudah siap menerima dia apa adanya," jawab Wina akhirnya.
Aruna, Wilmar dan Dimas kembali melempar pandang. Mereka mengamati keduanya yang tak berhenti memancarkan senyum bahagia, terutama tangan yang mulai menggenggam seperti tidak ingin terpisah walau sedetik saja.
"Okelah, gue liat kalian memang sudah benar-benar yakin. Gue akan mendoakan yang terbaik. Omong-omong, lo harus ajarin Wina main golf supaya kita bisa tanding," ucap Aruna.
"Uhm... aku nggak—"
Pahlevi menyela sebelum Wina sempat menyelesaikan kalimatnya. "Saya ajarin. Bukan hal yang sulit." Lantas Pahlevi melepas tangan Wina dari genggaman dan menyodorkan stick golf pada Wina.
"Caranya begini..." Pahlevi memberi tahu cara memegang stick golf yang benar, cara memukul yang akurat dan postur tubuh yang tepat saat berancang-ancang memukul bolanya. "Nah, kamu coba sendiri sekarang."
Wina mencoba yang Pahlevi jelaskan meskipun dirinya tidak begitu mengerti dengan apa yang dikatakan laki-laki itu. Ketika Wina berancang-ancang, dengan tiba-tiba Pahlevi memeluknya dari belakang sambil menggenggam tangannya yang memegang stick golf.
"Kamu salah. Yang benar posisinya seperti ini," bisik Pahlevi dengan gerakan memperbaiki posisi Wina yang sedikit melenceng dari apa yang dia ajarkan. "Jangan gugup, tetap fokus lihat ke depan dan bayangin bolanya masuk ke dalam lubangnya."
"Aduh... mata gue sakit lihat kemesraan kalian," ledek Aruna.
Ledekan Aruna tak dihiraukan karena Wina fokus memukul bolanya supaya masuk ke dalam lubang. Setelah siap, bola di depan mata berhasil dipukul sampai jauh. Pahlevi menarik diri, dan mengamati ke mana bola tersebut berhenti. Dan tak disangka-sangka bola kecil itu masuk ke dalam lubang hanya dalam sekali pukul.
"Yassssh!" Wina melompat kegirangan dan spontan memeluk Pahlevi. "Makasih sudah ngajarin, Pak," bisiknya pelan.
Pahlevi tersenyum sambil membalas pelukan Wina. "Congrats. You did well, Wina."
"Wah... luar biasa banget! Baru belajar sekali terus langsung masuk. Keren!" puji Aruna. "Eh, tapi sudah dong pelukannya. Gue sama yang lain berasa lagi nonton drama Korea."
Wina yang menyadari tindakannya langsung melepas pelukan, menggaruk tengkuk leher, dan menarik senyum tipis.
Aruna mengambil stick golfnya. "Kita tanding yuk, Lev. Kalau gue bisa masukin bola ke dalam lubang dalam sekali pukul, lo harus cerita secara mendetail di depan kita semua di mana ketemu Wina. Tapi kalau gue gagal dan lo berhasil, lo harus cium Wina di depan kita. Gimana?"
"Kenapa gue harus bersedia?"
"Lo takut kalah dari Aruna?" Dimas menjawab sambil tersenyum meledek.
"Yah... Pahlevinya payah. Masa takut duluan ditantang perempuan," timpal Wilmar.
"Lo takut nih ngelawan gue? Ayolah, kalau kalah cuma sebatas kecupan dan itu nggak bikin lo mati kok," bujuk Aruna setengah memaksa.
Dimas menambahkan, "Mungkin Pahlevi sudah tau kalo dia bakal kalah."
"Bisa juga Pahlevi nggak mau bagi cerita soal pertemuannya sama Wina," sambung Wilmar.
Setelah cukup lama diam mendengar ledekan para sepupunya, Pahlevi akhirnya berkata, "Deal."
Pahlevi mengambil posisi, begitu juga dengan Aruna. Saat Aruna berancang-ancang, Pahlevi meneleng ke samping. "Win, menurut kamu Aruna akan berhasil atau nggak?"
"Berhasil. Kak Aruna hebat," jawabnya yakin.
"Kata saya sih gagal." Pahlevi tersenyum yakin. "Kalau tebakan kamu salah cium pipi saya. Oke?"
"Males banget. Nggak mau."
"Saya anggap sebagai iya."
Wina memelotot tajam. Sialnya Aruna sudah mengayunkan stick golfnya, tinggal menunggu kelanjutan hasil pukulan penuh teknik itu. Parahnya, pukulan itu meleset. Aruna gagal. Wina menganga.
"SIALAN! Kenapa meleset?!" pekik Aruna kesal.
"Kamu utang cium pipi." Pahlevi menunjuk pipinya berulang kali. "Cium sekarang. Anggap sebagai penyemangat dari kamu sebelum saya memenangi pertandingan ini."
Wilmar yang tak sengaja mendengar taruhan kecil antara Pahlevi dan Wina langsung menyerobot, "Wah... gue mau lihat lo cium pipi Pahlevi. Ayo, cium Pahlevi dong, Win."
Wina ingin mengutuk dirinya sendiri karena sudah yakin Aruna akan menang. Nyatanya malah gagal! Dengan malu-malu karena diperhatikan ketiga sepupu Pahlevi akhirnya Wina berjinjit dan mengarahkan bibirnya pada pipi Pahlevi. Belum sempat menyentuh permukaan pipinya, Pahlevi menoleh sehingga bibir mereka bertemu dengan cepat. Wina terkejut dan buru-buru mengalihkan pandangannya. Akibat kejadian tadi, muncul debaran tak beraturan.
"Bisaan banget lo pakai taktik begitu. Kalau mau bibirnya dicium minta aja langsung," ledek Dimas sambil geleng-geleng kepala.
"Ampun... licik banget lo cium pipi jadi bibir!" sambung Aruna ikut-ikutan.
Pahlevi tak menanggapi seruan sepupunya. Dia fokus dengan posisinya. Setelah merasa yakin, Pahlevi memukul bola kecil yang akhirnya melambung jauh dari pandangan. Beberapa kali memperhatikan, bolanya masuk tepat ke dalam lubang. Pahlevi memasang senyum penuh kemenangan, meledek Aruna yang gagal total. Wina bergeser ke samping pelan-pelan, tapi usahanya gagal karena Pahlevi sudah berhasil merangkul pundaknya.
"Payah lo, Na. Itu Pahlevi berhasil!" seru Dimas.
"Keberuntungan memihak sama dia tahu!" sahut Aruna sewot.
"Eh, berarti...." Wilmar menghentikan kalimatnya. Pandangannya beralih pada kedua sepupunya yang lain.
"Cium! Cium! Cium!" Kalimat itu keluar dari mulut ketiganya sambil bertepuk tangan pelan. Mereka bertiga menunggu momen yang tidak pernah ditunjukkan Pahlevi.
Sebelum Wina menolak, Pahlevi sudah lebih dulu mendaratkan kecupan di pipi Wina. Sambil tersenyum, Pahlevi berbisik, "You did a great job today, soon-to-be-my wife."
***
Hari ini menjadi hari yang mendebarkan bagi Wina karena dia akan bertemu dengan keluarga Haritama. Pahlevi bilang neneknya sedang sakit jadi ini saat yang tepat untuk mengenalkan dirinya sebagai calon istri di hadapan semua keluarga. Dari yang Wina tahu, orangtua Pahlevi sudah meninggal akibat kecelakaan mobil jadi ada Pakde dan Bude yang selama ini menjaganya.
"Kamu mau saya gendong? Kenapa nggak keluar dari mobil?" tanya Pahlevi.
"Uhm... kenapa harus hari ini? Kenapa nggak di lain waktu?" jawab Wina gugup.
Pahlevi mengulurkan tangan, dan berkata, "Nggak ada lain waktu. Kalau lain waktu takut nenek saya sudah meninggal. Beliau lagi sakit. Kamu nggak perlu takut. Keluarga saya jinak."
Dengan ragu-ragu Wina menyambut uluran tangan Pahlevi. Setelah kakinya menginjak tanah, Pahlevi menggenggam tangannya cukup erat. Mereka berdua memasuki rumah sakit yang dimiliki oleh Ernan Haritama, kakak dari ayahnya Pahlevi.
"Ini rumah sakitnya Pak Ernan Haritama, kan? Besar banget kayak mall," tanya Wina sekaligus berdecak kagum.
"Iya. Beliau yang paling galak. Kamu pasti diceramahi dan dimarahi kalau nggak bisa tegas," jawab Pahlevi.
"Yang bener? Eh, nggak usah ketemu deh." Wina menahan lengan Pahlevi sampai langkah mereka berhenti. Dia panik. Rumor yang beredar juga mengatakan hal yang sama bahwa Ernan adalah keturunan Haritama yang paling galak dan tegas. "Saya mau pulang aja, Pak."
"3P."
"Apa tuh 3P?"
"Penakut, Pengecut, Panikan. Itu kamu."
Wina tidak suka dibilang 3P. Menatap Pahlevi yang menunjukkan wajah meledek membuat jiwa pantang menyerahnya muncul. "Kata siapa? Ayo kita ketemu keluarga Pak Pahlevi!"
Usaha licik Pahlevi membuahkan hasil karena Wina tak lagi terlihat ragu-ragu. Beberapa menit melangkah menuju kamar VIP, akhirnya Pahlevi tiba dan segera memasuki kamar bersama Wina di sampingnya. Beberapa sanak keluarga terlihat sedang menemani sang nenek, termasuk Ernan.
"Eh, Pahlevi. Datang sama siapa?" tanya Ares.
Sebelum datang ke rumah sakit Wina sudah menghafal silsilah keluarga Haritama. Dia melakukannya supaya tidak ketahuan bohong. Ares Aditama adalah suami dari kakak ayahnya Pahlevi yang bernama Celine. Bungsu kesayangan Ares sudah pernah Wina temui yaitu, Wilmar Aditama. Dapat dikatakan Celine adalah putri satu-satunya sekaligus sulung di keluarga. Ernan sendiri anak kedua dan ayahnya Pahlevi yang bernama Aliano anak bungsu.
"Calon istri saya, Pakde," jawab Pahlevi singkat, berhasil mengejutkan satu keluarga termasuk neneknya yang sedang mengunyah apel.
"Calon istri? Kenapa nggak bilang kamu sudah ada calonnya?" tanya Ares lagi.
Pahlevi mendekati neneknya sambil menggenggam tangan Wina, dan meletakkan buah tangan di atas nakas. Kemudian Pahlevi duduk di samping tempat tidur neneknya setelah mengambil kursi kosong yang tersedia. Wina tampak berdiri di sampingnya mengikuti pergerakkannya.
"Iya, Pahlevi. Kenapa baru kasih tau kalau kamu mau menikah, Nak? Dua bulan lalu Oma minta kamu menikah tahun ini, tapi katanya masih betah sendiri. Jadi sudah nggak betah sendirian?" tanya Oma sembari mengusap wajah Pahlevi dengan senyum ramahnya.
"Niatnya gitu, Oma. Akhirnya saya berubah pikiran. Seperti yang Oma mau, saya akan menikah." Pahlevi menggenggam tangan Oma sambil tersenyum manis.
"Jadi ini beneran? Oma senang dengar kamu mau menikah."
"Kapan kalian mau melangsungkan pernikahan?" tanya Ernan mulai buka suara.
"Mungkin bulan depan, Pakde," jawab Pahlevi enteng. Wina memelotot tidak setuju.
"Apa nggak buru-buru? Kita aja baru tau soal ini," tanya Ernan semakin heran.
"Nggak." Pahlevi menarik tangannya dari sang nenek, lalu berpindah mengamit tangan Wina dan menggenggamnya erat. "Soalnya Wina hamil empat minggu."
Kalimat Pahlevi berhasil menimbulkan keterkejutan massal. Beberapa menganga dan terperanjat tidak percaya. Wina semakin panik mendengarnya. Sementara Oma yang terbaring lemah langsung megap-megap.
"Astaga, Oma!"
* * *
Lima belas menit berlalu dan tidak ada satu pun yang memulai pembicaraan. Kepulan asap dari teh dan kopi yang tersedia di atas meja coffee shop rumah sakit mulai berkurang. Ernan tak berhenti mengamati Pahlevi dan Wina secara bergantian. Menatap keduanya dengan tatapan tajam, dengan berulang kali menghela napas. Lain halnya dengan Pahlevi yang terlihat santai. Sementara Wina terlihat takut dan menunduk karena tidak berani menatap tatapan menyeramkan Ernan.
"Kamu tau kan gunanya kondom apa, Pahlevi?" Setelah sekian menit, akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Ernan. Niat hati tidak ingin membahas soal ini, tapi akhirnya mulut tidak bisa menahan diri.
"Tau, Pakde. Wina nggak suka kalau kita pakai kondom. Dia bilang nggak—"
Wina menyela Pahlevi yang belum menyelesaikan kalimatnya. "Bohong, Om. Itu cuma akal-akalannya Pahlevi. Saya nggak pernah bilang soal itu."
Ernan mengembuskan napas kasar. Tangannya mengusap wajah dengan perasaan yang bercampur aduk. Menatap keponakannya yang terlihat tenang rasanya dia ingin mengamuk tapi tidak bisa. "Saya tau keluarga ini kacau. Semua sepupu kamu tinggal bareng sama pacarnya, termasuk anak saya sendiri. Berbeda dengan kamu, Pahlevi. Kamu satu-satunya yang nggak menganut kebebasan seperti itu. Kamu lebih suka bekerja dan menghabiskan waktu di rumah ketimbang pergi ke kelab atau bar seperti Kiano. Kamu mengikuti aturan keluarga ini dengan baik, makanya orangtua saya sayang sama kamu. Lalu hari ini saya mendengar berita mengejutkan. Saya hampir kena serangan jantung tadi."
Apa yang dikatakan Ernan benar. Hampir seluruh keturunan Haritama melakukan hal yang sama—tinggal bersama pacarnya. Ernan mengakui ini adalah kesalahannya dan saudaranya yang terlalu membebaskan anak mereka. Akan tetapi anak-anak mereka bukanlah anak umur belasan dan pastinya sudah bisa mengurus diri sendiri. Wilmar persis seperti Pahlevi, tetapi Wilmar tidak bisa dicantumkan dalam daftar 'si penurut' karena marganya berbeda. Yang Ernan bahas memang benar-benar keturunan yang memakai marga Haritama.
Sambil menyesap tehnya Pahlevi membiarkan Ernan mengeluarkan unek-uneknya. Setelah bibir Ernan tertutup rapat dan menunjukkan tatapan menanti jawaban, barulah dia merespons. "Pakde percaya saya menghamili anak orang sembarangan?"
Ernan menggeleng cepat. Pahlevi kembali bicara dengan senyum tipis. "Wina nggak hamil. Saya nggak akan nyentuh perempuan sebelum saya menikah sama dia. Saya bilang seperti itu supaya Pakde dan yang lain nggak nanyain banyak hal. Saya ingin kalian menghargai keputusan saya secepat apa pun itu rencana pernikahannya."
Ernan menghela napas lega. Dugaannya tentang Pahlevi sempat meleset tapi, mendengar penjelasan keponakannya itu pemikirannya kembali seperti semula. Dia tahu Pahlevi tidak akan melakukan hal yang bertabrakan dengan prinsipnya. Ya, prinsip Pahlevi adalah melakukan hubungan intim setelah menikah.
"Kamu mau saya dan yang lain mati mendadak ya? Jangan seperti itu lagi. Ibu saya bisa betulan meninggal kalau kamu mengulang hal seperti ini," omel Ernan. Pandangannya beralih menuju Wina yang tak mengeluarkan kata-katanya. "Wina, saya mau tanya satu hal sama kamu."
Mati lu! Wina mendadak keringat dingin. Suara Ernan terdengar seperti sedang mengancamnya dan tatapannya lebih menakutkan dari pembunuh berantai dalam film thriller. Astaga... dia butuh oksigen!
"Iya, Om?" tanyanya berusaha santai. Padahal sih hatinya ketar-ketir.
"Apa kamu bersedia menerima Pahlevi yang seperti ini? Saya tau keponakan saya nggak bisa romantis seperti laki-laki lain. Saya takut kamu meninggalkan—"
Pahlevi menyela lebih dulu sebelum Ernan sempat menyelesaikan kalimatnya. "Pakde, maaf saya menyela tapi Wina bersedia menerima saya apa adanya. Pakde nggak perlu takut dia meninggalkan saya." Demi memperkuat aktingnya, Pahlevi mengamit tangan Wina dan menggenggamnya seerat mungkin. Ernan pasti dapat melihatnya melakukan hal romantis ini.
Wina meneleng ke samping, pura-pura memancarkan senyum bahagia saat menatap Pahlevi selama beberapa saat sebelum pandangannya beralih pada Ernan. "Saya tulus mencintai Pahlevi, Om. Saya hanya akan meninggalkan Pahlevi jika ajal menjemput saya."
Dalam diamnya Ernan memandangi dua orang yang terlihat sedang dimabuk cinta. Keduanya memancarkan raut wajah bahagia, terutama Pahlevi. Dia tidak pernah melihat Pahlevi sebahagia ini sepanjang hidupnya. Pelan-pelan kedua sudut bibirnya tertarik sempurna. "Saya akan bantu kalian urus semuanya. Lain kali kita harus bertemu lagi membicarakan awal pertemuan kalian. Saya turut bahagia untuk kalian."
Pahlevi menarik tubuh Wina supaya merapat padanya. Untungnya tempat duduk yang diduduki adalah sofa sehingga tidak ada sekat bagi mereka. "Selamat kamu lulus tes. Siap-siap kamu menjadi bagian keluarga ini," bisik Pahlevi. Entah Ernan terlalu mempercayai kata-katanya atau memang tidak dapat membedakan mana yang palsu dan nyata. Intinya Pahlevi senang karena Ernan percaya. Karena jika Ernan percaya, maka semua keluarga akan ikut mempercayainya.
Wina ingin berteriak minta tolong setelah mendengar bisikan Pahlevi. Ketimbang manis, ucapan Pahlevi justru terdengar menakutkan seolah-olah bergabung dengan keluarga Haritama adalah malapetaka. Ya, Tuhan... bagaimana hidupnya setelah ini?
* * *
Jangan lupa vote dan komen kalian ^^)/
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top