Chapter 3

Enjoy<3

Setelah pulang kerja, Wina tidak langsung pulang. Dia mampir ke rumah sahabatnya, Melanie. Seperti yang sudah-sudah kalau Wina main ke rumah Melanie pasti berakhir menonton drama Korea. Contohnya sekarang. Mereka rebahan di atas tempat tidur sambil menonton drama Angel's Last Mission.

"Aduh... kenapa sih Myungsoo ganteng banget? Berasa lagi liat calon suami di masa depan," komentar Melanie tiba-tiba.

"Myungsoo siapa?"

"Myungsoo itu nama asli pemeran utama laki-lakinya. Dia personel boyband Infinite. Lagunya menarik semua," jawab Melanie. Biasanya kalau sudah membicarakan girlband atau boyband jebolan Korea Selatan dia paling semangat. Soalnya sekalian promosi boyband kesukaannya.

"Sepanjang hidup gue dengerin lagu Korea cuma tau Super Junior. Itu pun diracunin lo. Sisanya mana gue ikutin." Wina mengamati Myungsoo yang dimaksud sambil melahap popcorn asin buatan Melanie. "Omong-omong, dia udah punya pacar belum?"

"Waktu itu sih rumornya pacaran sama ulzzang."

"Ulzzang apa sih?" tanya Wina makin bingung. Melalui Melanie dia mengetahui hal-hal seputar Kpop atau hal lain seperti yang sedang ditanyakan.

"Ulzzang itu sebutan untuk seseorang berwajah good looking. Semacam gue gitu."

Wina geleng-geleng kepala. "Sumpah ya... lo beneran Kpop addict banget sampai ngikutin semua informasinya. Bahkan waktu itu gue tanya Song Joong Ki sudah nikah atau belum, lo tau."

Melanie menepuk-nepuk dadanya dengan bangga. "Gue gitu, lho!"

"Omong-omong, gue mau nikah," ucap Wina.

"Nikah sama siapa? Setan?"

"Bukan, Pahlevi."

"Pahlevi mana?"

"Pahlevi Haritama."

Melanie mendadak duduk setelah mendengar nama Pahlevi disebutkan. Tontonan dramanya sudah tak lagi berarti setelah penuturan Wina barusan. Dia ingin tahu apa maksudnya.

"Kok bisa?" tanya Melanie penasaran. "Bentar, lo nggak godain dia untuk menikahi lo, kan?"

"Nggak, tapi minta dia menghamili gue," jawab Wina santai, berhasil membuat Melanie tersedak popcorn yang sedang dikunyah.

"Serius?!"

Wina mengubah posisinya seperti Melanie, duduk dan tetap mengambil popcorn sambil terus dikunyah oleh mulutnya. Dia sudah menduga Melanie pasti kaget. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan yang besar. Setelah ini dia yakin Melanie mengira dirinya mulai gila karena lelah bekerja.

"Oh, My God! This is my gurl! I'm so proud of you, Baby Win!"

Oke, ini bukanlah dugaan yang terbayang di kepala Wina. Kenapa Melanie mendadak mengatakan kalimat itu dan memeluknya seolah dia telah melakukan hal yang benar? Oh, come on! Jangan bilang Melanie setuju dengan ide gilanya.

"Kok..." Wina melepas pelukan Melanie, lalu dia menatap dalam sahabatnya yang menunjukkan wajah berseri-seri—berbeda dengan sebelumnya. Detik selanjutnya dia melanjutkan, "... respons lo begitu?"

"Gue senang akhirnya lo move on. Lima tahun lalu lo bilang nggak mau menikah tapi sekarang? Akhirnya lo bilang mau nikah dan minta dihamilin pula. Berarti gue nggak perlu meragukan seksualitas lo lagi dong? Karena sebelumnya gue pikir lo beralih naksir perempuan," jawab Melanie.

"Gue bilang gitu karena—"

"Karena lo trauma. I know. Gue sudah dengar ratusan kali alasan lo menolak laki-laki di luar sana. Makanya gue bilang kayak tadi karena bahagia," potong Melanie. "Lebih bahagia lagi pas lo sebut laki-lakinya Pahlevi Haritama. Aduh, siapa yang nggak mau gebet manusia sempurna kayak gitu?"

"Gue nggak mau. Lo nggak tau aja narsisnya tinggi banget. Belum lagi—"

"Intinya dia sempurna," potong Melanie lagi. "Kalau gitu ceritain gue dari awal dari mana munculnya ide brilian lo itu. Gue nggak peduli sama Myungsoo karena cerita lo lebih penting. Pokoknya harus cerita yang lengkap. Jangan ada yang lo kurangin."

Wina menyesal cerita. Pemikiran sahabatnya memang unik. Namun, dia bersyukur juga karena sahabatnya Melanie. Kalau bukan Melanie, mungkin dia bisa dibilang gila. Bicara soal gila, pikirannya mendadak melambung jauh memikirkan ibunya. Bagaimana dia mengatakan akan menikah dengan Pahlevi sementara dirinya tidak pernah membawa pacar ke rumah selama lima tahun? Bisa-bisa dia dikira hamil duluan.

"Helloooo, Winny the Pooh! Buruan cerita!" paksa Melanie mulai tak sabar.

Lamunan Wina buyar setelah mendengar suara nyaring Melanie. Mungkin urusan ibunya bisa dipikirkan nanti. Atau, dia bisa tanya sama sahabatnya. Iya, dia harus bertanya pada Melanie supaya dapat pencerahan.

***

Di saat Pahlevi sibuk mengurus pekerjaannya di apartemen, adik bungsunya—Kiano Mahabrata Haritama—datang mengganggu. Adiknya datang untuk curhat mengenai kisah cintanya yang rumit seperti rel roller coaster yang berkelok-kelok. Helaan napas adiknya terdengar memenuhi ruangan.

"Gue nggak habis pikir Ara setega itu nyembunyiin kehamilannya dan kabur begitu aja ke luar negeri. Iya, gue memang belum siap berkomitmen, tapi bukan berarti dia mutusin hubungan dengan nyimpan banyak rahasia. Giliran gue lagi bahagia-bahagianya sama Corysha, dia datang bawa anak gue dengan dalih biar anak gue tahu bapaknya. Gue heran banget. Kenapa baru sekarang coba? Kenapa nggak pas gue lagi nggak punya Corysha? Perasaan Corysha pasti hancur banget. Dan lo tahu yang terburuknya? Ara bilang jangan temui dia dan dia bilang benci sama gue. Asli gue bingung. Gue harus gimana, Kak?"

Pahlevi masih berkutat pada laptop, mengamati semua pekerjaannya dengan detail tanpa ada yang terlewat, tetapi telinganya tetap mendengarkan cerita Kiano dengan baik.

"Lo dengerin gue nggak, sih, Kak?" tegur Kiano kesal.

"Dengar. Nggak usah teriak. Ini bukan hutan rimba," sahut Pahlevi.

"Terus tanggapan lo apa? Gue kayak ngomong sama tembok kalau begini."

"Bicara baik-baik sama Ara."

"That's it? Gila! Lebih baik gue curhat sama Kak Felan. Cerita sama lo makan hati. Dijawabnya singkat. Lo masih manusia atau kulkas berjalan, sih, Kak?"

Pahlevi mengangkat jari-jarinya dari keyboard laptop sambil mengalihkan pandangan kepada sang adik. "Lo mau gue kasih tanggapan kayak gimana? Nyuruh lo lamar Ara? Itu nggak mungkin. Lo udah punya Corysha. Gunain otak lo, dong. Percuma lulusan kampus nomor satu di Indonesia, tapi otak nggak digunain. Nanti dikira lo masuk boleh nyogok."

Kiano melempar bantal kecil ke arah Pahlevi, tapi meleset. Alih-alih ingin mendapat pencerahan, Kiano malah semakin emosi.

"Use your brain." Pahlevi menunjuk kepalanya dengan jari telunjuk. "Satu-satunya jawaban paling realistis adalah bicara baik-baik sama Ara mau gimana untuk urusan anak kalian berdua, gimana bilang sama keluarga, dan lain-lain. Kalau nggak berhasil, ya sudah. Biarkan waktu yang ngikis rasa bencinya sama lo. Selama waktu berjalan, ya, lo minta Aro ajak anak lo buat ketemu diam-diam. Dengan begitu lo tetap dekat sama anak lo tanpa sepengetahuan Ara. Simple, kan? Gitu aja dibikin repot."

"Gampang banget lo ngomong gitu. Lo pikir Aro mau melakukan itu? Dia takut banget sama Ara. Bisa dicekik sampai mati sama Ara."

"Ada Dimas. Lo minta tolong dia. Aro lebih takut sama Dimas daripada Ara."

"Ya, Tuhan ... ini tetap nggak bisa semudah itu, Kak Pahlevi! Kenapa, sih, lo selalu mempermudah masalah? Nggak semua masalah bisa selesai kayak jentikan jari!" Kiano tambah emosi. Ternyata curhat sama kakaknya ini tidak membantunya menemukan jawaban yang dia inginkan. "Ah, sudahlah. Gue nanya Felan aja setelah dia balik dari Bangkok."

Pahlevi kembali fokus melihat laptopnya. "Go ahead. Jawabannya pasti sama. Lagian kalau sudah tahu kalian nggak nikah terus punya anak, cara terbaik obrolin baik-baik. Nggak mungkin lo hamilin lagi."

"Oke, deh, gue coba," kata Kiano akhirnya mencoba mengerti. "Omong-omong kayaknya waktu itu lo bilang ada perempuan nekat minta dihamili sama lo. Terus lo bilang apa?" Lalu Kiano meneguk air putihnya karena kerongkongannya kering.

"Gue ajak nikah."

Kiano menyembur keluar air yang hampir masuk ke dalam kerongkongannya. Dia sampai terbatuk-batuk. "Uhuk! Uhuk! Sudah gila lo? Masa ngajak orang asing nikah?"

"Kalau lo nggak mantap mau menikah, ya, bakal susah. Seandainya sudah mantap soal komitmen dan ada uangnya, apa yang susah?" kata Pahlevi enteng.

Kiano mengusap wajahnya kasar. "Tapi lo belum kenal dan cinta sama dia, Lev. Plis, nikah bukan mainan. Gue aja nggak mau nikah."

"Ya karena lo pengecut. Takut berkomitmen, takut banyak hal. Kalau lo nggak pengecut, Ara nggak akan ninggalin lo gitu aja," balas Pahlevi. Kalimatnya menohok Kiano sampai tak bisa berkata apa-apa.

"Lagi juga Oma mau lihat gue nikah. Anggap aja ini hadiah ulang tahunnya. Bicara soal perasaan, seiring jalannya waktu cinta itu bisa tumbuh. Witing tresno jalaran soko kulino. Kayak lo aja sama Corysha," tambah Pahlevi santai sembari melirik adiknya. Kiano tampak diam, dan tak bersuara lagi. "Sebagai kakak, gue akan mendoakan yang terbaik untuk lo, Ki."

Masalah mengenai anak yang baru diketahui, mantan pacar yang kembali muncul, dan kekasih yang mengisi hari-harinya, begitu memusingkan kepala Kiano sehingga dia memutuskan untuk menemui kakaknya dengan harapan mendapat jawaban. Namun, sepertinya dugaan dia salah. Pada akhirnya dia harus menyelesaikan urusannya dengan caranya sendiri.

***

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗❤

Follow IG: anothermissjo

Cerita Kiano, adiknya si Pahlevi, judulnya Those Three Little Words. Aku lagi unpub soalnya mau share versi paling terbaru. Setelah Hello, Ex-Boss tamat, aku publish ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top