Chapter 2

Enjoy<3

-

-

-

Wina memandangi Pahlevi yang berdiri di sampingnya di dalam lift. Dia ingin turun ke basement supaya obrolan mereka tidak terganggu suara berisik karyawan lain. Meskipun belum sampai, Wina sudah tidak sabar mempertanyakan maksudnya.

"Masih waras, Pak?"

Pahlevi melirik Wina sekilas. "Saya belum kayak kamu yang tiba-tiba minta dihamilin. Berarti saya masih waras."

Wina berdecak. "Bapak ngajak nikah begini aja sudah terdengar nggak waras buat saya. Kita aja nggak kenal—"

Pahlevi memotong kalimat Wina yang belum selesai. "Lalu kenapa kamu minta dihamili oleh saya? Kita kan nggak saling kenal."

"I-i-itu..." Wina memberi jeda pada kalimatnya. "Itu karena... ah, Pak Pahlevi nggak akan ngerti," lanjutnya bingung. Dia tidak mungkin menjelaskan langsung alasannya. Bisa-bisa semakin dibilang tidak waras.

Pahlevi sedikit menyamping sampai tubuhnya berhadapan dengan Wina. Ditatapnya iris hitam pekat gadis itu yang menunjukkan keingintahuan. Lantas dia maju beberapa langkah sampai tubuh Wina menabrak dinding lift.

"Ma-ma-mau ngapain, Pak?" tanya Wina tergagap.

"Menghamili kamu. Saya bisa melakukannya di mana aja," jawab Pahlevi santai.

"Hah??"

Dengan gerakan cepat Wina menyilangkan tangannya di dada, menutupi aset pentingnya. Ya, Tuhan... dia tidak menyangka Pahlevi semesum ini! Aduh, sepertinya dia salah memilih orang. Tuhan, tolong jauhi tawon ini! teriak Wina dalam hati.

Pahlevi meraih pinggang Wina, menariknya lebih dekat dengan tubuhnya. "Setelah saya menghamili kamu, kita menikah."

Baru akan Wina menjawab, pintu lift terbuka. Semua karyawan yang menunggu langsung melihat suguhan tak terduga. Desas-desus telah menyebar luas bagai virus di grup chat gosip kantor sehingga mereka yang baru datang sudah tahu akan insiden paling langka hari ini.

Pahlevi melepas tangannya, memutar tubuh hingga menghadap ke depan. Pandangannya tertuju pada beberapa karyawan yang menunjukkan wajah kaget. "Kalian mau masuk? Silakan."

Beberapa orang tampak ragu, meski akhirnya mereka masuk ke dalam lift. Bukan takut, tapi mereka merasa canggung setelah menyaksikan kejadian sebelumnya.

Wina menggigit bibirnya kesal. Setelah ini, satu kantor akan menggunjingkannya karena Pahlevi. Semua pasti akan menyangka dirinya menyantet teman bosnya itu. Astaga! Pahlevi lebih gila darinya! Namun lebih gila lagi saat mendengar bisikan laki-laki itu.

"Kita bicara di apartemen saya sekarang. Saya akan bilang sama Hadi kalau saya ada perlu sama kamu."

***

Seperti yang dilakukan Wina tadi pagi, dia mengacak rambutnya frustrasi. Rasanya akal sehatnya sudah benar-benar hilang ditelan rayap sampai bersedia mengikuti Pahlevi. Dia melirik Pahlevi dari ekor matanya, mengamati laki-laki itu yang berdiri tak jauh darinya. Pahlevi tampak tenang. Yang menjadi kebodohannya adalah kenapa dia bersedia ikut ke apartemen laki-laki itu? Dia bukan perempuan bayaran, dan bisa saja mereka membahas pembicaraan penting di dalam mobil.

"Uhm... maaf Pak, kayaknya kewarasan saya sudah balik. Tolong lupain soal kemarin. Saya mau pulang," ucap Wina sembari maju selangkah, lalu menekan huruf G.

"Kewarasan saya belum balik, jadi kamu nggak bisa pulang." Pahlevi maju selangkah, mengamati Wina dari ujung rambut sampai kaki. Wina belum tuli saat mendengar kata 'not bad.'

"Maaf ya, Pak. Soal kemarin saya kerasukan setan gila jadi ngomong sembarangan." Wina memasang cengiran kuda. "Anggap aja ini nggak pernah terjadi ya, Pak."

Pahlevi memangkas sisa jarak di antara mereka, membuat Wina menutup bagian dadanya.

"Ma-ma-mau ngapain, Pak?"

"Kayaknya having sex di lift menyenangkan. Mau coba nggak?"

Wina menggeleng kuat-kuat. "Ng-ng-nggak, Pak. Saya lebih suka di kamar." Menyadari jawabannya, Wina buru-buru meralat. "Maksud saya, lebih suka di kamar kalau sama suami nanti."

Pahlevi mundur beberapa langkah, kembali ke tempatnya semula sambil memandang lurus ke depan. "Tenang aja, saya nggak tertarik sama perempuan kurus kayak triplek."

Wina memelotot kesal. "Jadi maksudnya saya kayak triplek? Kata siapa? Dada saya segede ini masa dibilang triplek!" Dengan rasa kesal yang menjalar, Wina menekan kemejanya supaya bagian dadanya terlihat lebih jelas. "Lihat nih, dada saya gede, kan?"

Bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka. Seorang nenek yang tidak sengaja melihat apa yang Wina lakukan langsung terkejut. Wina pun sama terkejutnya dan buru-buru menunduk malu.

"Maaf ya, Nek. Istri saya sudah nggak sabar, jadi begitu," ucap Pahlevi santai.

Nenek itu hanya mengangguk, lalu mengibaskan tangannya seolah meminta menutup pintu karena dia tidak jadi naik lift. Melihat permintaan nenek itu, Pahlevi segera menutup pintu liftnya.

Wina memukul keningnya berulang kali merasa bodoh. "Gila, gila, gila! Dasar gila!" Wina bermonolog sendiri.

"Saya butuh seorang istri yang mentalnya sekuat baja, dan nggak tahu malu kayak kamu. Keluarga saya agak kolot, dan mulutnya ketus jadi kalau orangnya kayak kamu pasti nggak akan nyerah di tengah jalan," ucap Pahlevi yang masih menatap lurus ke depan.

"Nggak. Pokoknya nggak mau," tolak Wina cepat.

Pahlevi menaikkan ponselnya ke udara sambil berkata, "Saya sudah rekam tindakan kamu barusan soal dada. Kalau saya laporin sama Hadi kamu pasti diomelin atau mungkin yang terburuknya dipecat. Saya bisa bilang kalau kamu merayu dan melecehkan saya."

Wina menganga, dan spontan mendekati Pahlevi, kemudian berjinjit dalam upaya merebut ponsel laki-laki itu yang tingginya tidak masuk akal. Wina yang tingginya hanya 160 sentimeter harus mati-matian meraih ponsel yang dinaikkan oleh tangan Pahlevi yang tingginya 189 sentimeter ke udara.

"Satu kata setuju akan membebaskan kamu dari tuduhan ini," ancam Pahlevi dengan seringai liciknya.

Sialan! Wina salah memilih target. Seharusnya dia tidak mengatakan apa-apa kalau tahu Pahlevi pemaksa dan pemeras seperti ini!

"Iya, saya setuju."

"Setuju soal?"

"Menikah sama Pak Pahlevi."

Pahlevi memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. "Saya bohong soal rekaman. Saya naikin ponsel karena mau ngerekam persetujuan kamu menikah dengan saya. Welcome to Haritama's Family, Wina."

WHAT THE HECK??!

***

Di dalam apartemen mewah yang luasnya tidak terkira, Wina yakin Pahlevi membeli beberapa unit dan menyatukannya supaya lebih luas. Desain modern metropolis dengan dominasi warna cokelat dan putih menjadikan unit apartemen kelihatan elegan. Ada satu lukisan yang pernah Wina lihat dalam situs website yaitu lukisan termahal di dunia yang dilelang satu tahun lalu. Beberapa hasil jepretan fotografi ikut menghiasi dinding ruang tamu. Wina tidak akan heran kenapa Pahlevi masuk dalam the most wanted Bachelor's in town. Karena semua yang ada pada laki-laki itu terbilang lebih dari cukup.

Mengesampingkan pikirannya soal hunian nyaman ini, Wina memikirkan pernyataan laki-laki itu di lift. Kenapa dia harus menikahinya? Jika alasannya mental sekuat baja masih ada yang lebih dari dirinya di luar sana. Mungkin satu-satunya perempuan kurang waras yang tidak ingin dinikahi laki-laki seperti Pahlevi adalah dirinya.

Pahlevi meletakkan secangkir teh hangat di atas meja, tepat di depan Wina yang tidak berhenti memandanginya. Entah apa maksudnya, tapi Pahlevi tidak peduli. Dia hanya ingin tahu alasan perempuan itu minta dihamili olehnya. Meskipun bukan kali pertama Pahlevi mendengar permintaan tidak masuk akal itu, tetapi permintaan Wina terdengar ada maksud terselubung.

"Kenapa saya harus nikah sama Pak Pahlevi?" tanya Wina terang-terangan.

Pahlevi menyesap teh miliknya dengan santai. Dari pandangan lurusnya dia dapat melihat Wina yang tampak tidak sabar mendengar jawabannya.

"Saya cuma ingin punya anak dari Bapak makanya saya nolak permintaan nikah sebelumnya. Ya, sebelum akhirnya diancam sama Bapak," lanjut Wina menyindir.

Pahlevi menurunkan gelas cangkirnya. Dia mengamati Wina untuk kedua kalinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Gadis ini memang bukan tipenya sama sekali. Mendekati saja tidak. Namun, Wina begitu berani mengatakan hanya ingin punya anak darinya. Biasanya perempuan yang memohon minta dihamili olehnya berharap bisa dinikahi juga, tapi tidak dengan Wina.

"Kenapa kamu menginginkan anak dari saya?" tanya Pahlevi, mengabaikan pertanyaan yang sempat ditanyakan oleh Wina.

Hal ini langsung menimbulkan protes dari perempuan di depannya. "Saya tadi nanya duluan sama Bapak jadi tolong jawab dulu pertanyaan saya."

"Saya bisa duduk seharian di sini mengulang pertanyaan barusan, nggak peduli seberapa kamu menginginkan jawaban saya. Jadi silakan jawab lebih dulu pertanyaan saya," ucap Pahlevi memaksa.

Wina mendelik tajam. Dia tidak mengenal Pahlevi sepenuhnya, tapi perkataannya barusan menunjukkan kalau Pahlevi tidak suka mengalah. Seharusnya dia minta bosnya saja untuk menghamilinya. Kenapa harus teman bosnya yang terkenal dingin dan kaku ini? Ah, dia salah prediksi!

"Saya cuma kasih tahu sekali. Nggak ada siaran ulang." Wina tak berhenti menatap tajam Pahlevi. Sejurus kemudian dia melanjutkan, "Saya ingin punya anak tapi harus dari laki-laki yang tepat dalam artian wajahnya rupawan. Pak Pahlevi berada dalam urutan pertama daftar panjang sosok yang tepat untuk menjadi ayah dari anak saya. Tapi saya nggak mau menikah karena itu terlalu rumit. Cinta seorang anak nggak akan pernah hilang. Berbeda dengan cinta seorang laki-laki yang bisa aja hilang di tengah jalan. Intinya saya ingin anak tanpa tambahan suami."

Menarik. Kata itu yang pertama kali muncul saat mendengar penjelasan Wina. "Hanya karena itu alasan kamu?"

"Ada lagi tapi saya nggak mau bilang."

"Saya perlu tahu apa yang membuat kamu senekat ini. Rasanya ada yang kurang dengar alasan kamu barusan."

Wina mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. "Ibu saya sudah sering komentar soal pernikahan dan anak. Dia takut saya berakhir sendirian sebelum sempat punya suami dan anak. Saya nggak mau menikah karena trauma tapi saya menginginkan anak untuk mengisi hari-hari saya kalau nanti nggak menikah. Di samping itu saya menginginkan anak sebelum semakin tua."

"Oh, gitu. Kebetulan saya menginginkan seorang istri. Jadi saya rasa kamu nggak bisa minta sperma saya cuma-cuma kalo nggak mau jadi istri saya."

"Kenapa semudah itu minta orang asing jadi istri Bapak?"

"Pertanyaannya saya balikin ke kamu. Kenapa semudah itu kamu minta orang asing menghamili kamu?"

Wina terdiam. Sial! Dia lupa kalau Pahlevi pintar. Jadi kalau bicara dengannya harus memutar otak sampai sakit kepala. Ini pertama kalinya dia bicara langsung dengan teman bosnya, jadi baru tahu bahwa rumor mengenai kemahiran Pahlevi dalam bersilat lidah benar adanya. Lain kali dia harus menyiapkan berbagai balasan sebelum nekat bertanya.

"Kalau kamu tanya kenapa semudah itu, jawabannya gampang. Karena nenek saya ingin saya menikah tahun ini, jadi saya butuh calon istri. Kebetulan kamu muncul di depan saya minta dihamili. Saya rasa nggak ada salahnya kita mencapai tujuan masing-masing dengan cara menikah," jelas Pahlevi.

Wina menggeleng cepat menunjukkan penolakannya. "Saya nggak mau menikah."

"Saya yakin laki-laki yang ada di daftar kamu nggak punya kapasitas sebaik saya. Pernikahan yang saya maksud hanya satu tahun."

Wina mengingat kembali daftar panjang yang tertulis di atas kertas kosong. Pahlevi menempati urutan teratas karena nama-nama di bawahnya berisi nama artis yang dia idolakan. Orang lain boleh menganggapnya gila, tapi memang dia tidak punya kandidat yang tepat selain Pahlevi. Selama bekerja dengan bosnya, dia sudah mengamati sosok Pahlevi. Ayolah, siapa yang akan menolak dihamili Pahlevi Reandra Haritama? Tidak ada! Laki-laki itu kesayangan kakek neneknya, dan digadang-gadang akan mendapat bagian terbesar—Haritama Perkasa Konstruksi yang termasuk dalam salah satu perusahaan kontruksi terbesar di Indonesia—dari sang kakek di antara semua sepupunya. Selain tampan, tubuh atletis, tinggi, pintar, kaya, tidak ada yang kurang darinya. Sosok Pahlevi persis seperti manusia sempurna yang tidak ada di dunia nyata, hanya ada dalam novel romansa.

"Maksudnya setahun? Nikah kontrak kayak di novel-novel gitu?"

"Nggak, kita menikah secara hukum dan agama. Menjalani kehidupan pernikahan sebagaimana mestinya. Setelah satu tahun berlalu kita cerai. Yang penting keluarga saya tahu saya pernah menikah dan kamu dapat anak dari saya. Intinya kepentingan yang kita inginkan terpenuhi."

Wina mengulang kalimat yang sempat diucapkan Pahlevi. "Tunggu—menjalani kehidupan pernikahan sebagaimana mestinya?"

"Ya, selayaknya suami dan istri pada umumnya. Sarapan bareng, pergi ke mana-mana bareng dan berhubungan intim. Kalau nggak bersetubuh terus gimana caranya kamu hamil? Anggap aja ini pernikahan atas dasar bisnis semata. Pikirkan kembali yang saya katakan. Saya akan menghubungi kamu dua—"

"Nggak perlu saya pikirkan lagi karena saya setuju," potong Wina lebih cepat. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Jika Pahlevi hanya menginginkan pernikahan karena neneknya, maka dia menginginkan anak supaya hidupnya tidak terasa sepi. Ya, impas. "Tapi sebelum nikah saya ingin ada perjanjian hitam di atas putih supaya nggak dibohongin soal batas waktu pernikahan. Selain itu saya nggak mau Bapak ikut turut andil dalam urusan anak. Kalau sudah punya anak, hak asuhnya harus sepenuhnya jatuh ke saya."

"Oke, kalau gitu kita bisa buat setelah bertemu keluarga saya minggu depan. Tolong persiapkan diri kamu karena mereka orang yang sulit dimengerti," ucap Pahlevi seraya bangun dari tempat duduknya.

Wina ikut bangun dari tempat duduknya, menghampiri Pahlevi yang tengah membuka jas hitam miliknya. "Tunggu sebentar. Soal anak, seandainya kita sudah setahun menikah terus saya nggak hamil apa solusinya?"

Pahlevi membalas, "Lanjutin pernikahannya sampai kamu hamil."

"Kalau sampai lebih dari setahun belum hamil berarti kita menjalani pernikahan selama itu? Ini namanya enak di Bapak tapi nggak enak di saya. Kepentingan Pak Pahlevi sudah terpenuhi sementara saya belum," protes Wina dengan sorot mata tajamnya memandangi Pahlevi.

"Enak? Apa menurut kamu menikah dengan orang asing yang saya nggak kenal itu enak? Apalagi kurcaci kayak kamu," balas Pahlevi dengan senyum mengejek.

Wina berkacak pinggang. Dengan kepala mendongak menatap Pahlevi yang tingginya menyebalkan, Wina memelototi laki-laki itu. "Iya, saya kurcaci. Pak Pahlevi raksasa paling sialan di seluruh antariksa!" Wina menginjak kaki Pahlevi dengan kekuatan penuh sampai Pahlevi meringis kesakitan. Setelah itu, dia bergegas pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi, meninggalkan Pahlevi larut dalam rasa sakitnya.

***

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kalian❤❤

Follow IG: anothermissjo

Salam dari Wina🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top